• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PENGUATAN SDM BIROKRASI KEMENTERIAN AGAMA

PENGUATAN SDM BIROKRASI KEMENTERIAN AGAMA

Saya mendapatkan kesempatan untuk memberikan materi pengarahan pada acara “Rakor Penyampaian Hasil Kelulusan Ujian Tenaga Honorer K2” pada hari Senin, 14 Juli 2014 di Hotel Aston Jakarta. Acara ini dihadiri oleh pejabat kepegawaian pusat dan daerah Kementerian Agama RI.

Sebagaimana biasa, maka saya memaparkan bahwa ada tiga tantangan yang dihadapi oleh Kementerian Agama terkait dengan SDM atau PNS terutama terkait dengan pengembangan kapasitas dan kemampuan profesionalitasnya.

Pertama, tantangan rekruitmen PNS. Hingga  saat ini masih dianggap bahwa rekruitmen PNS masih berbau KKN atau sekurang-kurangnya masih belum transparan dan akuntabel. Tantangan ini yang seharusnya menjadi perhatian kita semua selaku aparat Kementerian Agama. Tidak bisa dipungkiri bahwa di masa lalu, rekruitmen PNS identik dengan kerabatisme, uangisme, dan sederet labeling jelek yang menyertainya. Akan tetapi sesungguhnya semenjak didengungkan Gerakan Reformasi Birokrasi, maka perlahan tetapi pasti bahwa rekruitmen PNS telah terjadi perubahan. Di antara perubahan tersebut adalah pemetaan kebutuhan, sistem rekruitmen yang lebih transparan dan akuntabel, penggunaan sistem passing grade dan bukan sistem rangking, dan penerimaan berbasis panitia seleksi nasional yang dikomandani oleh Kemenpan dan RB.

Saya telah meminta kepada kepala Biro Kepegawaian agar di dalam rekruitmen CPNS benar-benar berbasis pada kebutuhan. Agar dilakukan pemetaan berpola basic need untuk kepegawaian. Analisis dan pemetaan tersebut diperlukan agar tidak terjadi proses rekruitmen yang tidak tepat sasaran. Selain itu, juga rekruitmen dengan sistem terbuka untuk lowongan jabatan di segala eselon. Hal ini penting untuk menjamin agar terjadi proses transparansi dan akuntabel. Ke depan, hanya mereka yang memenuhi passing grade saja yang bisa menjadi PNS dan juga pejabat di semua lini kementerian.

Kedua, tantangan kualitas PNS. Ada yang menarik sebagaimana disampaikan oleh Menpan dan RB, Dr. Azwar Abubakar, bahwa jumlah PNS yang memenuhi standart kualifikasi kompeten hanyalah berjumlah 5 persen. Sungguh angka yang sangat minimal dibandingkan dengan jumlah PNS di semua Kementerian dan Lembaga. Kita sungguh tidak percaya bahwa PNS kita yang kompeten hanya sejumlah itu. Makanya, PNS Kementerian Agama harus bisa membuktikan bahwa sesungguhnya di antara kita yang berkompeten jumlahnya jauh lebih banyak dibanding dengan pernyataan tersebut. Itulah sebabnya, harus semakin banyak kegiatan yang diarahkan untuk kepentingan upgrading PNS Kementerian Agama di masa yang akan datang.

Ketiga, tantangan reformasi birokrasi. Tantangan reformasi birokrasi tentu tidaklah sedikit. Di antara tantangan tersebut yang mengedepan adalah kualitas PNS dan produk yang dihasilkan oleh PNS. Bukan hanya sekedar peningkatan kualitas PNS, akan tetapi juga bagaimana kualitas PNS tersebut menjadi pengungkit bagi peningkatan performance dan out come birokrasi.

Di dalam kerangka pemetaan kualifikasi PNS tersebut maka ke depan akan dilakukan tes kompetensi PNS atau assesmen PNS. Kiranya ada empat hal yang akan dilihat melalui assesmen ini yaitu: kemampuan umum PNS, kemampuan dasar atau kompetensi PNS, kepribadian dan integritas PNS. Melalui pemetaan potensi ini maka akan diketahui apakah PNS kita itu memiliki kemampuan atau kompetensi atau tidak. Di Kementerian Keuangan hal ini sudah dilakukan. Tentu saja nanti juga akan menyusul assesmen di Kementerian Agama dan lainnya.

Di sisi lain, keberhasilan reformasi birokrasi juga akan ditunjukkan pada beberapa aspek: 1) semakin tidak ada korupsi. Reformasi Birokrasi akan dinyatakan berhasil apabila di K/L semakin tidak ada korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 2) semakin tidak ada pelanggaran disiplin PNS. Sebuah K/L juga dinyatakan telah berhasil dalam reformasi birokrasinya jika yang melakukan pelanggaran disiplin semakin sedikit atau bahkan tidak ada pelanggaran disiplin. 3) penyelenggaran anggaran yang makin baik. APBN dapat diserap dan didayagunakan dengan baik. Tidak hanya serapannya saja yang baik, akan tetapi juga sasaran kinerjanya semakin baik. Kita tentu bersyukur bahwa Kementerian Agama sebagai K/L dengan anggaran terbesar selalu bisa melakukan serapan yang baik. 4) pelaksanaan program kerja yang baik. Hal ini tentu saja misalnya dapat diukur dari LAKIP-nya. Makin baik nilai LAKIP tentu makin baik pula performance kinerja instansi pemerintah tersebut. Kementerian Agama saya kira perlu memperbaiki LAKIP ini agar apa yang kita lakukan memperoleh penghargaan yang setimbang. 5) penerapan reward dan punishment. Sebuah instansi pemerintah juga harus menghargai terhadap orang yang memiliki prestasi  dan juga bisa  memberikan hukuman yang setimpal bagi pelanggaran disiplin. Makin banyak yang memperoleh penghargaan, maka makin baik performance birokrasinya. 6) penggunaan waktu yang efektif dan efisien. Setiap aparat pemerintah juga harus disiplin waktu. Di dalam hal ini, penggunaan waktu haruslah sesuai dengan peraturan perundangan yang terkait dengan disiplin PNS.

Selain yang enam ini, maka yang juga sangat penting adalah agar aparat pemerintah terus memperbaiki pelayanan birokrasi. Semakin baik pelayanan birokrasi kepada stake holdernya, maka akan semakin baik kepuasan stake holder dimaksud.

Oleh karena itu, reformasi birokrasi akan menjadi bermakna apabila hasil survey tentang kepuasan pelanggan birokrasi kita semakin lama semakin baik. Jadi memang harus ada peningkatan kualitas pelayanan yang akan berkorelasi dengan kepuasaan pelanggan.

Wallahu a’lam bi alshawab.

 

THE FUNCTIONS OF MINISTERY OF RELIGIOUS AFFAIRS FOR CREATING THE RELIGIOUS HARMONY

THE FUNCTIONS OF MINISTERY OF RELIGIOUS AFFAIRS

FOR CREATING THE RELIGIOUS HARMONY

 

 

I have the good moment for giving the speech in the dinner meeting, between The Ministry of Religious Affairs (MORA), The UIN Syarif Hidayatullah, and The Delegation of Malaysian team for supporting HE. Dr. Mahathir Mohamad, and the team of Chinese for supporting the V. Prof. Dr. Master Chin Kung. This dinner meeting is placed in the Ball Room of Mulia Hotel in Jakarta (13/06/20014). V. Prof. Dr. Mater Chin Kung and his team is to  visit  the Indonesian people for celebrating the Buddhis Waisak Ceremony.

And for HE. Dr. Tun Mahathir Muhammad is for celebrate for giving the Doctor Honoris Causa (Dr.Hc.) for the political development science from The UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dr. Tun Mahathir Mohamad is the man who has many contributions for the political stability in Malaysia and also for the world order in general. By this contributions, so that UIN Syarif Hidayatullah Jakarta propose to give him the doctor of honoris causa , as a recognition for it.

I said to the audiences that Ministry of Religious Affairs has two functions, as well as the other functions. The first one is about the functions for education. MORA is not only to guide the religious community, but the big program is for developing the religious education. In this term is not only the education of Islam, but for the other religions. So that, we have the Buddhism education, Christian education, Hindus education and Kong Hu Cu education.  In this program, MORA sees that religious education is very important for preparing the human resources development in the next.

In Islamic educations, we have the Madrasah, pesantren or Islamic boarding school, and Islamic higher education. For Islamic education, we have 46.000 madrasahs, 43.000 pesantrens, and 53 Islamic higher educations. For madrasahs, we have primary educations, secondary educations, and for higher educations we have Islamic Higher educations. And for pesantren, we have Islamic non formal educations. We have many kinds of pesantren, for example entrepreneurship pesantren, environmental pesantren, Islamic educations for preparing the Ulama etc.

For developing of religious educations, we have the strategic planning for along time. If we use the strategic planning for 2010-2014, so we know that the first strategic is to extend of our access in education.  The actions for this one is to give the Bantuan Siswa Miskin (BSM) or poverty student fund, Bantuan Operasional Sekolah (BOS) or Schools  operation grant. By this scheme we know that madrasahs or schools can be developed step by step. The amount of student can be increased. By this program, we know the increasing of total student can be designed more rapidly in all around of Indonesia.

The second strategy is about the developing of quality of educations. We know many peoples doubt of our quality of educations.   We need the improvement of our process of learning, the improvement of our teacher or staff of educations by the means  in order to increase the quality of educations. In the other hand, we need the quality of infrastructure of educations, for example the quality of library, the quality of  media of teaching, methods of teaching etc. we must prepare the quality of education in general because of the need for preparing our  next generation for facing the demographic bonus. We   don’t want to lose in the golden age of Indonesian independence. For  that, we must prepare the excellence education for our students.

The third strategic is to manage of our educations. The madrasahs or pesantren and the Islamic higher educations need the quality of management. There two words for showing the indicators of the quality of institutions of education: transparency and openness. By these qualities of transparency and openness, we can understand more about how to manage of our education institutions.

The second function of MORA is to make the religious harmony. Indonesia is the plural and multicultural state. There are 17.000 islands, at about 500 ethnics and languages. As the pluralistic societies as long as the multicultural societies, so we need the common platform for making unity for all of us. As a nations, we are lucky because we have the national conscience as we call Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), and multiculturalism.  These four national consciences can ensure the sustainability of our nations. We believe the Indonesian nationality can be developed step by step by the education of all of Indonesian peoples.

Religious harmony is one pillar of Indonesian society. If we want to know about the development of Indonesia, so the basic  of perquisite  is about how to empowering the harmony among of  religions. We need the religious intern religions and extern of religions. Harmony is not only in the surface structure but the important one is in the deep structure. Not only dialogue between or among the leader of religion but in grass-root of people.

We understand that many problem or issues about the relation between the followers of religions,  suddenly in the hard situation.  But we have the long experience for manage the conflict of religion in order to gain the harmonious situation. For example for to manage the conflict of religion in Poso, Ambon, East Nusa Tenggara etc. We believe by the best management on how to reconcile  about this conflict, so we can gain the good one.

Dr. Suryadharma Ali, the Minister of Religious Affairs, in many meetings usually said that without harmony there is no unity and without unity there is no more about the development. Because of that, harmony of religions is very urgent for the development of Indonesia at all.

In the next, we hope the contribution of Ministry of Religious Affairs can be increased in order to make the harmony, unity and development must be exist more expressive in around of Indonesia.

Many thanks for the supporting for modern Indonesia, now and the next.

 

MENGEMBANGKAN BIROKRASI KEMENAG RI

MENGEMBANGKAN BIROKRASI KEMENAG RI

Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan pengarahan pada acara pembinaan pegawai di kantor Kementerian Agama RI di Denpasar Bali, 28 Juli 2014. Hadir di acara tersebut adalah Kakanwil Kemenag Bali, Rektor IHDN, Kabag TU, dan pejabat eselon tiga dan kepala madrasah di Provinsi Bali.

Saya sebutkan bahwa ada tantangan ke depan terkait dengan pengembangan birokrasi, yaitu: tantangan kualitas SDM birokrasi yang masih rendah. Harus diakui bahwa kualitas SDM birokrasi kita belum sebagaimana diharapkan ialah aparat birokrasi yang professional. Bahkan menurut Menteri PAN dan RB, Dr. Ir. Azwar Abubakar, MM., bahwa aparat birokrasi kita yang professional hanyalah 5% saja, sedangkan yang 95% belum merupakan aparat birokrasi yang professional.

Kita sedang memasuki arena reformasi birokrasi, makanya tantangan SDM atau aparat birokrasi yang seperti ini tentu sangat mengganggu. Bayangkan bahwa dari sejumlah 4,4 juta PNS kita ternyata hanya 5% saja yang memenuhi kualitas aparat Negara yang baik, sedang sisanya adalah aparat Negara yang memerlukan upgrading kualitasnya.

Itulah sebabnya, Menteri PAN dan RB akan melakukan kajian ulang atau semacam uji kompetensi PNS. Ada empat aspek yang akan diujikan, yaitu kemampuan dasar, kemampuan professional, aspek kepribadian dan integritas. Dengan uji kompetensi ini, maka akan diketahui mana PNS atau aparat pemerintah yang berkualitas dan mana yang tidak. Melalui uji kompetensi ini, maka secara riil akan diketahui seberapa kualitas PNS dan darimana ke depan akan dilakukan pembenahan.

Memang sesungguhnya diperlukan berbagai upgrading PNS dalam berbagai variasinya. Tidak cukup hanya dengan pelatihan prajabatan, lalu bekerja di dalam struktur kepegawaian. Dia tentu harus memahami secara benar apa yang menjadi tupoksinya dan bagaimana cara bekerja di dalam tupoksinya tersebut. Melalui pemetaan yang benar tentang kualitas profesinya, maka akan dapat diketahui apa sesungguhnya yang dibutuhkan oleh mereka untuk upgrade dirinya.

Terkadang orang hanya berpikir kaitan antara reformasi birokrasi dengan remunerasi. Artinya, yang dipikirkan hanyalah reformasi berkaitan dengan berapa banyak tunjangan yang diperoleh. Sebenarnya reformasi bukan hanya perubahan struktur akan tetapi juga perubahan mindsetnya, reformasi birokrasi bukan hanya perubahan wadahnya,  akan tetapi juga substansi birokrasinya. Reformasi birokrasi bukan hanya perubahan remunerasi,  akan tetapi juga perubahan kinerjanya.

Oleh karena itu, maka aparat Negara harus disadarkan bahwa perubahan dalam struktur, wadah dan remunerasi haruslah diikuti dengan perubahan substansi, mindset dan kinerjanya. Itulah sebabnya kelak akan dilakukan penilaian kinerja aparat pemerintah. Siapa yang kinerjanya sesuai dengan harapan,  maka akan diberikan remunerasi yang relevan, sedangkan yang tidak memenuhi harapan tentunya akan menerima apa yang dikerjakannya. Dengan demikian, maka system reward and punishment menjadi penting.

Seirama dengan upaya reformasi birokrasi, maka juga dikembangkan suatu system rekruitmen pejabat. Di masa lalu pengangkatan pejabat berdasarkan ukuran  atau kriteria yang kurang jelas. Memang dipastikan ada ukuran atau kriteria yang dimiliki oleh setiap instansi untuk menentukan pejabat selain kriteria umum yang sudah menjadi ketentuan. Misalnya merit system.

Melalui open rekruitmen sebagaimana yang dimaksud oleh UU ASN, maka akan dihasilkan performance pejabat yang terlepas dari unsur KKN. Yang dihasilkan adalah pejabat yang memiliki performance fungsional dan kompetensi yang tinggi. Saya melihat ada beberapa teknis untuk rekruitmen pejabat ini. Pertama, fully open recruitment, atau rekruitmen terbuka secara penuh, misalnya yang dilakukan oleh Kementerian PAN dan RB. Di dalam hal ini, maka lowongan jabatan tersebut dibuka seluas-luasnya. Siapapun boleh mendaftar dan mengikuti rekruitmen ini asalkan tentunya memenuhi kriteria dan syarat yang ditentukan.

Kedua, semi open recruitment, yaitu proses rekruitmen pejabat yang dilakukan secara terbuka,  akan tetapi untuk kalangan sendiri. Contohnya yang dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri, yang melakukan open recruitmen akan tetapi hanya diikuti oleh para aparat pemerintah dari Kementerian Dalam Negeri. Demikian halnya yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Di kementerian ini, maka rekruitmen pejabat golongan dua dan tiga dilakukan melalui proses uji kompetensi di assessment center.

Jika reformasi birokrasi sudah dilakukan, maka proses open recruitment dan remunerasi jabatan tentu akan menjadi bagian tidak terpisahkan dari system aparatur sipil Negara. Oleh karena itu, tahun 2015 kiranya menjadi tahun penting terkait dengan rekruitmen pejabat dan penilaian kinerja aparat sipil Negara. Dengan system yang baik tentu diharapkan akan diperoleh pejabat yang baik. Dengan pejabat yang baik maka akan didapatkan pelayanan yang lebih baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PENGUATAN PENDIDIKAN KEAGAMAAN

PENGUATAN PENDIDIKAN  KEAGAMAAN

Sebagai pejabat yang bertanggungjawab terhadap pengembangan pendidikan Islam, maka saya harus memberikan pembekalan terhadap para pejabat teknik terkait dengan tugas dan pekerjaannya di dalam melaksanakan tupoksinya tersebut. Beberapa minggu yang lalu, saya harus terbang ke Makasar untuk memberikan pembekalan kepada pejabat teknis yang terkait dengan aplikasi keuangan di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam.

Saya tentu saja tidak secara langsung memasuki kawasan yang sangat teknis. Makanya, saya ajak mereka untuk berpikir secara lebih strategis terkait dengan kebijakan pengembangan pendidikan Islam, sedangkan yang sangat teknis tentu bisa disampaikan oleh pejabat yang terkait langsung.

Saya ungkapkan beberapa tantangan pendidikan Islam akhir-akhir ini. Pertama, adalah tantangan jumlah penduduk yang banyak dengan kualitas SDM yang rendah. Penduduk Negara kita adalah ketiga terbesar dunia, setelah Cina, dan India. Jumlah pendiduk yang besar tentu menjadi kekuatan ketika penduduk tersebut diperlukan untuk tenaga kerja. Upah pekerjaan tentu akan bisa ditekan lebih relevan dengan kemampuan. Akan tetapi jumlah penduduk yang besar akan menjadi problem kalau kebanyakan adalah memiliki SDM yang rendah dan membebani terhadap Negara. Kualitas SDM kita berada di urutan 128 dunia, artinya bahwa meskipun pemerintah telah berusaha lebih cepat akan tetapi Negara lain juga terus meningkatkan speednya. Itulah sebabnya kita tidak pernah bisa memasuki kawasan di bawah angka seratus.

Kedua, rendahnya SDM bangsa tentu ditentukan oleh kualitas pendidikannya. Kualitas pendidikan kita juga masih belum sesuai harapan. Ada beberapa factor yang menyebabkan mengapa kualitas pendidikan kita belum maksimal. Yaitu disparitas kualitas pendidikan antar wilayah, antar propinsi dan antar kabupaten/kota. Pendidikan di wilayah barat yang sudah bagus akan tetapi di wilayah Indonesia timur masih perlu dibenahi secara maksimal. Perbedaan kualitas pendidikan ini begitu transparan. Di wilayah barat sudah memasuki era internasionalisasi pendidikan, sementara di wilayah timur masih tertatih-tatih dalam memperbaiki kualitasnya.

Ketiga, rangking kualitas pendidikan Indonesia juga masih rendah. Dalam hal indeks pengembangan pendidikan atau Education Development Index, maka kualitas pendidikan Indonesia masih berada di bawah Malaysia, Thailand dan Singapura. Peringkatnya adalah 69. Dengan rangking yang masih seperti itu, maka memberikan gambaran bahwa pendidikan Indonesia belumlah memenuhi harapan kita semua.

Keempat, kualitas data pendidikan kita juga masih belum memenuhi harapan, utamanya data kependikan Islam. Di Kemendikbud, data pendidikan memang sudah lumayan baik, artinya bahwa Pusat Data pendidikannya sudah bisa dijadikan sebagai acuan untuk melakukan kebijakan pendidikan. Akan tetapi, data pendidikan Islam rasanya masih perlu pembenahan. Memang sudah ada pusat informasi dan manajemen, yang disebut sebagai “Education Management Information System (EMIS), akan tetapi sejauh ini masih belum bisa dijadikan sebagai rujukan utama dalam pengambilan keputusan.

Kelemahan EMIS bukan pada systemnya, akan tetapi terletak pada keengganan pengelolanya untuk melakukan updating data, sehingga banyak data yang sudah kedaluwarsa, sehingga tidak lagi bisa menjadi wahana informasi yang utama. Sesungguhnya kita merasakan bahwa ada ketertinggalan antara data dengan kenyataan lapangan, sehingga seringkali data yang kita gambarkan sudah merupakan data yang tidak lagi fix dan terpercaya. Melalui pendataan yang baik, maka tentu akan bisa diharapkan bahwa akan dihasilkan perumusan kebijakan yang baik berbasis pada data yang akurat.

Kelima, tata kelola keuangan yang masih memerlukan pembenahan, baik pada pengelolaannya maupun pada pelaporannya. Pengelolaan keuangan sebenarnya ditandai dengan semakin baiknya transparansi dan akuntabilitas. Makin transparan dan akuntabel, maka maka baik pula penilaian atau opini tentang pelaporan keuangan tersebut. Pelaporan yang baik juga disebabkan karena pengeolaan keuangan yang baik. Oleh karena itu, baik buruknya pelaporan keuangan atau baik buruknya opini tentang keuangan sangat tergantung kepada pengelolaan keuangan dan pelaporannya.

Dengan demikian bisa ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan administrasi pendidikan yang berbasis pada pendataan pendidikan yang terpercaya akan dapat menjadi variabel kualitas pendidikan kita. Jadi, kualitas pendidikan hakikatnya berkorelasi dengan pengelolaan pendidikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL

AGAMA DAN PERUBAHAN SOSIAL;

Keajegan dan Perubahan

Prof. Dr. H. Nur Syam, MSi

Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama

 

 

 

Pengantar

Secara teoretik, bahwa relasi antara agama dan masyarakat tersebut berada dalam dua area, yaitu: agama mempengaruhi masyarakat, dan agama dipengaruhi oleh masyarakat. Di dalam kenyataan empiris, bahwa agama ternyata menjadi faktor penting di dalam kehidupan umat manusia. Agama menjadi pedoman di dalam kehidupan dan agama juga menjadi kenyataan sehari-hari di dalam kehidupan masyarakat. Agama merupakan faktor yang menentukan bagi kehidupan masyarakat. Agama bisa menjadi sumber spiritual dan moral bagi kehidupan masyarakat.

Akan tetapi di sisi lainnya, agama juga dapat dipengaruhi oleh masyarakat. Suatu kenyataan empiris bahwa agama dipahami oleh masyarakat berdasarkan kerangka budayanya. Pemahaman dan implementasi agama di dalam masyarakat sangat ditentukan oleh bagaimana masyarakat memandang agama tersebut. Ada paham-paham lokal yang menentukan terhadap historisitas agama ketika agama tersebut berada di dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu ada nilai-nilai lokalitas yang kemudian menjadi instrument pemahaman terhadap agama tersebut.

Agama di ketika lain, secara teoretik, juga bisa dikaji berdasarkan atas subject matternya. Ada lima aspek yang bisa digunakan untuk mengkaji agama tersebut, yaitu dimensi teologisnya, dimensi ritualnya, dimensi konsekuensialnya, dimensi pengalaman dan dimensi pengetahuannya. Varian-varian kajian tentang agama ini juga memberikan gambaran tentang bagaimana agama merupakan aspek historis yang bisa dikaji dengan menggunakan perspektif ilmu sosial tanpa harus mengembangkan metodologi yang khusus untuk hal ini. Artinya, bahwa metodologi ilmu sosial pada umumnya tentu dapat dijadikan sebagai metode untuk mengkaji relasi antara agama dengan masyarakat.

 

Perubahan sosial

Setiap masyarakat pasti berubah. Tidak ada yang stagnan di dalam kehidupan ini. Semuanya mengikuti arus perubahan, baik perubahan yang berskala makro maupun mikro, baik yang cepat atau lambat. Perubahan adalah fitrah dunia ini. Perubahan adalah sesuatu yang mesti terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Secara biologis, maka mula-mula adalah bayi, kemudian remaja, kemudian dewasa dan kemudian tua. Perubahan seperti ini merupakan perubahan yang disebut sebagai sunnatullah yang memang mesti harus terjadi.

Namun demikian, di dalam dunia kehidupan sosial tentu tidak seliner perubahan biologis seperti itu. Di dalam kehidupan sosial, maka ada perubahan yang linear dan ada pula yang sirkular. Ada kalanya perubahan itu mengambil sesuatu yang baru dan merupakan kelanjutan dan adakalanya perubahan tersebut melingkar dan kembali ke pola lama.

Secara teoretik bahwa perubahan sosial yang memang selalu terjadi berada di dalam dua kenyataan, yaitu perubahan pada aspek luarnya saja dan di dalamnya tetap atau yang di dalam istilah sosiologis disebut sebagai keajegan dan perubahan. Di dalam setiap perubahan sosial selalu terdapat sesuatu yang tetap atau ajeg. Inilah yang kemudian disebut sebagai keajegan di tengah perubahan. Jadi setiap perubahan sosial pastilah menyisakan ruang yang tidak berubah atau ajeg. Dan di setiap keajegan juga terdapat perubahan. Tampaknya perubahan dan keajegan adalah layaknya dua sisi mata uang, yang satu adalah perubahan dan di sisi lainnya adalah keajegan.

Bisa juga dinyatakan bahwa ada yang substansial tidak berubah dan ada yang secara material berubah. Di dalam hal ini, maka perubahan bisa saja terjadi hanya pada aspek luarnya saja sementara yang mendalam tidaklah berubah. Dengan demikian, perubahan selalu saja menyisakan keajegan. Dan di dalam kehidupan keagamaan maka juga terdapat kenyataan bahwa di tengah keajegan ada perubahan dan di setiap perubahan selalu ada keajegan.

 

Agama sebagai pedoman kehidupan masyarakat

Tidak ada yang meragukan bahwa agama adalah panduan atau pedoman bagi kehidupan masyarakat. Agama yang berisi aturan atau norma tentu memiliki peran yang sangat besar di dalam kehidupan masyarakat.

Sebagai pattern for behavior, maka agama memang menyediakan seperangkat ajaran tentang bagaimana sesuatu dianggap baik dan benar serta apa yang buruk dan salah. Agama selalu dikaitkan dengan ajaran moralitas atau akhlak yang baik. Agama memang menyediakan ajaran tingkah laku yang seharusnya dilakukan oleh manusia atau masyarakat.

Pada setiap masyarakat pastilah ada  interaksi sosial. Inti kehidupan masyarakat terutama di dalam kaitannya dengan relasi antar manusia ada pada konsep interaksi social tersebut. Di dalam setiap interaksi sosial, maka dipastikan ada aturan atau pedoman agar relasi antar manusia di dalam masyarakat tersebut berjalan baik dan teratur. Secara sosiologis disebut sebagai social order. Masyarakat yang mengedepankan social order tentu dipastikan di dalam kehidupannya mengembangkan relasi sosial berbasis pada akhlak atau etika yang berbasis pada ajaran agama.

Islam mengajarkan tentang bagaimana manusia mengedepankan relasi sosial berbasis pada agama dengan konsep hablum min al nas.  Di dalam konteks relasi sosial, Islam mengajarkan tentang bagaimana tatacara berhubungan sosial tersebut. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw., bahwa “sesungguhnya Allah mengutusku untuk menyempurnakan akhlak manusia.” Dengan demikian, manusia semestinya menggunakan kerangka akhlak mulia ini sebagai basis relasi antar umat manusia.

Sebagai pola bagi tindakan, Islam tentu saja memberikan arahan tentang perilaku macam apa yang seharusnya dilakukan oleh umat manusia. Di dalam relasi antar manusia maka manusia harus menggunakan kejujuran sebagai basis tindakannya. Melalui kejujuran, maka akan menghasilkan kepercayaan dan berikutnya akan menghasilkan tindakan yang diyakini kebenarannya oleh khalayak. Yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk memenuhi keteraturan sosial adalah adanya tindakan saling percaya yang berbasis pada kejujuran tersebut. Sekali saja kejujuran tersebut tercederai, maka selamanya akan sulit menghasilkan kepercayaan itu.

Oleh karena itu, sesungguhnya ajaran agama menyediakan seperangkat pengetahuan tentang apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan.

 

Agama Sebagai Pola Dari Tindakan

Bukan sebagai suatu kebetulan jika banyak ahli di bidang antropologi dan sosiologi yang menjadikan agama sebagai sasaran kajiannya. Semenjak dahulu agama sudah menjadi arena yang menarik untuk kajian keilmuan. Tentu yang dijadikan kajian adalah agama yang hidup di dalam kehidupan masyarakat. Bukan agama yang berada di atas langit yang suci akan tetapi agama yang berada di dalam pemahaman dan pengalaman manusia sehari-hari.

Pemahaman agama sangat variatif meskipun yang dipahami adalah agama yang sama. Kita mengenal penggolongan sosial budaya berbasis pada paham keagamaan. Tidak jarang juga berdasarkan atas paham agama yang berbeda kemudian terjadilah konflik antar komunitas agama. Dahulu antara komunitas NU dan Muhammadiyah sering terjadi rivalitas atau bahkan konflik yang disebabkan oleh perbedaan paham agama. Namun seirama dengan perubahan sosial yang terus berkembang, maka relasi antara NU dan Muhammadiyah juga mengalami perubahan. Dewasa ini relasi antara keduanya sudah saling mendekat. Sebuah konsep yang bermakna di kalangan kaum Muhammadiyah adalah dakwah yang ramah dengan budaya lokal. Yang saya kira hal tersebut sama dengan apa yang dipersepsi oleh kamunitas NU di dalam mengembangkan dakwahnya. Ke depan kiranya relasi antar penggolongan agama ini akan semakin cair di tengah kehidupan sosial yang terus berubah.

Tentang dunia tarekat, yang dahulu juga sering dilabel dengan agama kuburan, sebab ada anggapan bahwa penganut tarekat itu adalah orang yang melarikan diri dari kehidupan ramai. Perilaku yang asketik. Tetapi seirama dengan perubahan sosial yang juga terus terjadi, maka pandangan orang tentang kehidupan penganut tarekat juga berubah. Melalui kajian yang fenomenologis akhirnya juga dapat diketahui bahwa penganut tarekat juga penganut “aktivisme” kerja. Para penganut tarekat yang muda usianya adalah orang yang menganggap bahwa pekerjaan yang dilakukan dengan benar adalah bagian dari ibadah.

Perbincangan tentang tarekat sesungghnya merupakan fenomena yang menarik. Selama ini banyak kesalahan di dalam memahami religiositas kaum tarekat ini. Dianggapnya bahwa kaum tarekat adalah kaum yang mengingkari kehidupan duniawi. Mereka dianggapnya hanya bertindak untuk kepentingan ukhrawi. Namun kenyataan empiris membuktikan bahwa penganut terakat yang tua (kasepuhan) saja yang seperti itu, akan tetapi yang masih muda (kanoman) ternyata jauh dari konsepsi seperti itu.

Dengan demikian, kita harus membaca kehidupan kaum beragama secara apa adanya tanpa prejudice apalagi menghakimi. Dengan menggabungkan antara dimensi teologis, ritual, paham keagamaan dan kenyataan empirisnya, maka kita akan memperoleh kejernihan di dalam memahami religiositas masyarakat kita.

Fenomena yang mengedepan dewasa ini juga terkait dengan semakin menguatnya paham keagamaan yang bercorak fundamental. Seirama dengan semakin menguatnya demokratisasi dan Hak Asasi Manusia (HAM), maka pemahaman dan praktik keagamaan yang fundamental juga terus berkembang dengan pesat. Agama dalam coraknya yang fundamental ini seolah-olah memperoleh lahan baru yang subur, sehingga perkembangannya juga menjadi semakin cepat. Banyak anak-anak muda yang tertarik dengan agama yang bercorak seperti ini.

Mereka yang di dalam proses pencarian agama tersebut kemudian bertemu dengan paham keagamaan yang bercorak fundamental, sehingga kemudian jadilah mereka sebagai penganut agama yang cenderung keras, sehingga dalam banyak hal bertentangan secara diametral dengan faham agama pada umumnya. Bahkan yang menyedihkan adalah ketika mereka kemudian dijejali dengan ajaran-ajaran yang berbasis terror dan sebagainya.

Indonesia ini memang bisa menjadi lahan yang subur bagi semua paham keberagamaan. Jika di satu sisi terjadi fundamentalisme yang semakin kuat, maka di sisi lain juga terdapat semangat lokalisasi agama. Banyak agama lokal yang  lahir dan berkembang di beberapa wilayah di Indonesia. Semua ini memberikan gambaran bahwa keterbukaan dan demokratisasi melahirkan pemahaman dan praktik keagamaan yang bervariasi. Ada yang fundamental, ada yang moderat dan ada yang melokal.

Fenomena ini tentu menarik untuk dikaji secara mendalam agar kaum akademisi bisa memahami secara lebih arif dan ke depan akan dapat dijadikan sebagai rujukan untuk merumuskan kebijakan untuk menghdapi tantangan kehidupan keberagamaan yang tentunya akan lebih kompleks.

Kajian secara teologis dan ritual tentu penting akan tetapi kita juga harus terus merumuskan kajian dari perspektif pemahaman, konsekuensial dan psikhologis tentu tidak dapat diabaikan disebabkan karena memang kita semua membutuhkannya untuk kepentingan memahami secara lebih arif tentang relasi agama dan masyarakat.

 

Kontinuitas dan Perubahan: Agama danTantangan Zaman

Mengikuti cara berpikir kaum fungsional, bahwa agama akan terus ada sepanjang  masih ada kehidupan manusia. Saya berkeyakinan bahwa agama sebagaimana pedoman hidup, maka dia akan terus ada. Apalagi juga tetap didukung dengan  semaraknya penyebaran agama yang terus berlangsung. Agama memang menempati posisi yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia. Agama telah menjadi penyebab keteraturan sosial yang sangat signifikan. Meskipun juga harus diakui bahwa agama juga menjadi pemicu lahirnya konflik sosial. Namun demikian, jika dilakukan penghitungan statistik lebih banyak mana keteraturan sosial yang dibangun oleh agama dengan konflik sosial yang ditumbuhkan oleh agama, maka saya berkeyakinan bahwa peran agama sebagai penyebab keteraturan sosial akan lebih signifikan.

Di antara konsepsi agama yang kiranya akan terus berlangsung atau ajeg adalah ajaran tentang teologi dan ritual. Ajaran agama yang berkaitan dengan Tuhan dan peribadahan kepadanya tentu tidak akan berubah secara substantive meskipun terdapat juga varian-varian di dalamnya. Namun demikian ajaran agama yang terkait dengan varian perilakunya pastilah akan terdapat perubahan.

Di dalam menghadapi modernitas, misalnya bahwa agama mestilah berada di dalam nuansa keajegan dan perubahan ini. Aspek substansial agama, yang berupa pesan ketuhanan tentu tidak akan berubah,  akan tetapi simbol-simbol agama yang bercorak lahir atau artifisial pasti akan mengalami perubahan. Simbol agama dalam coraknya yang terkait langsung dengan relasi dengan manusia bisa saja berubah, misalnya gaya berpakian, cara pergaulan, gaya hidup dan sebagainya sebagai simbol luar agama bisa saja berubah.

Kesalehan ritual yang merupakan ajaran inti agama tentu akan tetap ajeg, akan tetapi kesalehan sosial yang mewujud di dalam kehidupan sehari-hari bisa berubah sesuai dengan perubahan sosial atau modernisme yang terus berlangsung. Memperhatikan terhadap kenyataan seperti ini, maka kajian terhadap relasi antara agama dan masyarakat di tengah modernisme yang terus terjadi merupakan sesuatu yang penting dan mendasar.

Modernism adalah sesuatu yang tidak dapat ditolak. Ia merupakan keharusan sosial yang pasti terjadi. Tidak ada suatu masyarakat yang dapat menolak secara tegas terhadap meodernisme ini. Jika pun ada, maka sejauh yang terjadi adalah dengan melakukan modifikasi, yaitu menolak yang merugikan dan menerima yang menguntungkan. Misalnya teknologi informasi sebagai keturunan modernism tentu tidak akan ada kelompok yang menolak secara frontal.

Biasanya ada tiga sikap yang mendasari gambaran responnya terhadap modernisme, yaitu menolak semua yang bercorak modern dan berusaha untuk melawannya. Lalu, menerima tanpa ada penolakan sedikitpun. Semua yang modern dianggapnya yang paling baik. Kemudian, ada juga yang menerima secara kritis. Yaitu menerima modernisme dengan dasar keyakinan bahwa yang baik akan digunakan dan yang merusak akan ditinggalkan.

Kajian antara agama, masyarakat, modernisme atau globalisasi ke depan menjadi lahan yang menarik di tengah keinginan untuk mengembangkan ilmu-ilmu keislaman integrative yang telah dicanangkan sebagai program nasional pengembangan ilmu pengetahuan di perguruan tinggi agama Islam (PTAIN). Namun demikian juga tetap penting mengembangkan ilmu yang berbasis pada relasi ilmu keislaman, sains dan teknologi serta ilmu-ilmu keislaman murni sebagai tugas akademik yang menantang bagi kaum akademis di PTAIN.