MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (1)
MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (1)
Dalam waktu tiga tahun terakhir ini, saya merasakan bagaimana harus mengawal RUU yang sangat penting. Yang pertama adalah ketika pembahasan RUU Pendidikan Tinggi di Komisi X bersama dengan Kemendikbud, dan sekarang ketika harus mengawal RUU Jaminan Produk Halal (JPH).
Jika pada waktu mengawal RUU Pendidikan Tinggi posisi saya adalah sebagai anggota tim Kementerian atau pemerintah, maka dalam waktu sekarang posisi saya adalah sebagai Ketua Panja Pemerintah, sebab saya adalah Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI.
Namun demikian, kala membahas RUU Pendidikan Tinggi ternyata jauh lebih rumit, sebab kala itu harus mempertahankan posisi lembaga pendidikan tinggi agama agar tetap berada di Kementerian Agama, sedangkan posisi sekarang tentu jauh lebih netral sebab tidak terkait langsung dengan posisi harus bertahan atau tidak bertahan. Meskipun demikian, tugas ini juga sangat penting, sebab menjaga produk halal merupakan tugas yang tidak ringan. Dan Kementerian Agama adalah leading sector untuk hal ini.
Saya teringat kala membahas RUU pendidikan Tinggi, maka saya harus berargumentasi secara memadai dan bahkan juga lobi-lobi politik yang sangat intensif. Saya teringat harus selalu melakukan negosiasi dengan anggota dewan yang masih memiliki “kepedulian” terhadap peran Kementerian Agama. Saya tentu tidak ingin menyebut nama-nama mereka, akan tetapi sumbangan mereka tentang pendidikan tinggi keagamaan tentu sangat signifikan.
Dalam posisi seperti itulah, maka saya memiliki memori yang sangat terpateri tentang rumusan demi rumusan di dalam UU No 12 Tahun 2012. Saya juga ingat bagaimana harus merumuskan pengertian Ilmu Agama sebagaimana yang tercantum di dalam penjelasan UU No12 Tahun 2012. Jika saya membaca UU No 12 Tahun 2012, maka memori ketika saya merumuskan pengertian Ilmu Agama kembali menjadi terungkap.
Sekarang saya harus mengawal RUU JPH. Saya semula tidak tahu bahwa untuk merumuskan RUU JPH ini sudah berjalan selama delapan tahun. Jadi sudah cukup lama pembahasan RUU ini. Saya semula juga tidak paham bahwa akhirnya saya harus menjadi Ketua Panja Pemerintah untuk merumuskan pasal demi pasal di dalam RUU JPH.
Jika saya amati, maka sesungguhnya yang menjadi problem utama di dalam pembahasan ini adalah dimanakah menempatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) di dalam RUU. Ada sebagian anggota Panja DPR yang menghendaki agar MUI memiliki pengaruh yang tetap sebagaimana peran MUI sekarang, dan ada sebagian yang menghendaki agar peran tersebut tidak sedominan sekarang.
Memang harus diketahui bahwa MUI memang memperoleh kewenangan dari Kementerian Agama untuk menjadi lembaga yang melakukan sertifikasi produk halal. Peran ini sudah dilakukannya semenjak tahun 2008 yang lalu. Makanya, MUI telah menjadi lembaga persertifikatan halal yang sangat powerfull baik untuk produk dalam maupun luar negeri. Sampai akhirnya kemudian muncullah beberapa permasalahan yang menghinggapi program sertifikasi halal yang dilakukan oleh MUI. Makanya, upaya untuk mengurangi peran MUI kembali memperoleh momentumnya.
Saya teringat di dalam suatu kesempatan Menteri Agama, Dr. Suryadharma Ali mengajak kami untuk bersilaturrahim ke MUI. Di dalam kesempatan tersebut MUI tetap pada pendiriannya bahwa pelaksanaan sertifikasi halal haruslah tetap dilakukan oleh MUI semuanya, mulai dari pendaftaran sampai keluarnya sertifikasi produk halal. Bahkan berdasarkan pertemuan berikutnya antara Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, mereka juga masih menyatakan bahwa untuk urusan sertifikasi, maka prinsipnya adalah “khudz kullahu atau utruk kullahu”, atau ambil semua atau tinggalkan semua.
Prinsip inilah yang sesungguhnya membuat rumit di dalam persidangan di Panja DPR. Prinsip yang akan mengambil hulu hilir untuk program sertifikasi ini ditentang oleh banyak pihak. Hampir seluruhnya kurang sependapat dengan prinsip ini. Demikian pula panja pemerintah juga beranggapan sama. Persoalan inilah yang membuat perbincangan di dalam panja menjadi berkepanjangan.
Sesungguhnya semua bersepaham bahwa melibatkan MUI dalam proses sertifikasi halal adalah sebuah keharusan sejarah dan pengalaman. Artinya, MUI memang harus terlibat di dalam proses sertifikasi. Akan tetapi ada perbedaan pendapat apakah seluruhnya atau sebagian saja. Jika seluruhnya tentu akan menemui kendala sebab Badan Nasional Pemeriksa Produk Halal (BNP2H) adalah Lembaga Negara yang akan memiliki kewenangan untuk melakukan pemeriksaan produk halal. Jadi, artinya adalah lembaga inilah yang nantinya akan menjadi kepanjangan tangan pemerintah untuk melakukan pemeriksaan produk halal.
Posisi MUI di dalam penjaminan produk halal adalah yang disertakan oleh BNP2H yang tentu saja memiliki otoritas yang dianggap relevan dengan tugas dan fungsi keulamaannya. Jadi ada kewenangan yang nantinya akan melekat kepada MUI sebagai kewenangan yang diberikan oleh BNP2H dalam proses pemeriksaan halal.
Saya merasa bersyukur bahwa kompromi politik ini bisa dilalui dalam proses persidangan antara Panja Pemerintah dan DPR. Maka, dirumuskan bahwa BNP2H memiliki kewenangan yang utuh, akan tetapi kewenangan tersebut bisa didelegasikan kepada berbagai lembaga untuk proses pemeriksaan halal. Di antara otonomi yang dimiliki oleh MUI (bisa sendiri atau bersama yang lain) adalah pada fatwa halal, pemeriksaan produk halal, sertifikasi auditor halal, sertifikasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), persidangan produk halal dan penandatangan fatwa tertulis atau SK tentang kehalalan produk.
Dengan keputusan rumusan seperti ini, maka kiranya MUI telah memiliki peran yang sangat signifikan di dalam proses pemeriksaan produk halal. Jika dibandingkan dengan BNP2H, maka di sini hanyalah urusan administratif dan penganggaran. Untuk kepentingan administrasi, misalnya untuk pendaftaran pelaku usaha, penandatanganan sertifikat halal dan label halal serta hal-hal lain terkait dengan administrasi.
Menilik terhadap rumusan kesepahaman ini, maka kiranya semua harus arif di dalam memahami betapa tarikan-tarikan kepentingan terhadap pemeriksaan produk halal tidaklah sesederhana yang kita bayangkan. Oleh karena itu, kita tentu ingin agar RUU ini segera bisa disahkan menjadi UU dan itu berarti kita telah memberikan kepastian hukum terhadap produk-produk untuk kepentingan umat Islam.
Wallahu a’lam bi al shawab.