• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (1)

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (1)

Setahun terakhir ini kita disibukkan oleh berbagai komentar atas masalah yang terkait dengan biaya pencatatan nikah yang bisa didentifikasi sebagai gratifikasi. Dalam praktek penyelenggaraan pernikahan, seringkali para penghulu menerima hadiah yang lalu bisa dikaitkan dengan gratifikasi.

Mengapa disebut sebagai gratifikasi, sebab pemberian tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang menyebutkan bahwa biaya pencatatan  pernikahan hanyalah sebesar Rp. 30.000,-  untuk satu kali peristiwa nikah. Makanya, ketika ada tambahan biaya nikah yang diberikan kepada penghulu dengan dalih sebagai hadiah atau ucapan terima kasih, maka hal tersebut tetap saja dinyatakan sebagai gratifikasi.

Pemberian uang atau barang ini memang diperuntukkan bagi pernikahan di luar kantor. Sedangkan untuk pernikahan di dalam kantor tentu nyaris tidak ada pemberian hadiah baik dalam bentuk uang atau barang. Makanya, yang selalu dikaitkan dengan gratifikasi adalah nikah bedolan atau nikah yang diselenggarakan di rumah.

Di dalam tradisi Nusantara, memang pernikahan selalu dikaitkan dengan hari yang cocok untuk pernikahan. Bahkan di dalam tradisi Jawa lebih kompleks lagi. Tidak hanya dihitung harinya, akan tetapi juga jam dan tempatnya. Kerumitan inilah yang kemudian mendorong adanya tradisi bagi pernikahan yang dilakukan di rumah atau di tempat selain kantor.

Pernikahan di rumah tidaklah mengenal strata social. Artinya mulai dari rakyat kecil sampai pejabat juga cenderung menikahkan anaknya di rumah. Makanya, jumlah mereka yang menikah di rumah dibandingkan di KUA tentu tidak berimbang. Jumlahnya 94% untuk yang menikah di luar kantor dan hanya 6% yang menikah di KUA.  Tradisi, ritual dan lingkungan social sangat menentukan adanya pernikahan di rumah ini. Makanya tidak salah jika semakin lama juga semakin banyak orang yang menikahkan anaknya berbalut tradisi ini.

Karena semakin banyak yang berperilaku seperti ini, maka dugaan adanya gratifikasi juga sangat besar. Jika dihitung setiap pernikahan terdapat gratifikasi Rp500.000,- dan dikalikan dengan jumlah peristiwa nikah pertahun, maka akan dijumpai angka trilyunan rupiah sebagai tindakan gratifikasi yang dilakukan oleh para penghulu.

Dari sini kemudian muncul diskusi panjang tentang bagaimana mengelola pernikahan tersebut. Apakah akan dibiayai oleh Negara dalam keadaan anggaran yang terbatas, ataukah akan dibebankan kepada masyarakat dengan kenyataan tidak semua masyarakat kita adalah golongan orang yang kaya. Di sini maka timbul pro-kontra tentang biaya pernikahan ini.

Berdasarkan wilayah Indonesia yang sangat luas dan tingkat kerumitan lapangan di dalam pernikahan yang sangat mendasar tersebut, maka biaya pencatatan nikah yang hanya sebesar Rp30.000,- tentulah tidak mencukupi. Itulah sebabnya ada pemikiran agar pernikahan hanya diselenggarakan di kantor saja dan pada hari kerja saja. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melakukan pernikahan di rumah atau di luar kantor. Agar tidak terjadi gratifikasi maka inilah satu-satunya pilihan yang menurut sebagian masyarakat sangat tepat. Dan di sisi lain juga muncul gagasan agar biaya pencatatan nikah dianggarkan lewat APBN, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pencatatan nikah tersebut. Masyarakat tentu senang dengan gagasan ini, akan tetapi APBN tidak mampu mengkover pembiayaannya.

Dalam diskusi panjang ini, maka ditemukanlah berbagai rumus untuk menyelesaikan permasalahan yang mengandung makna gratifikasi. Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan mengubah peraturan perundang-undangan. Jika peraturannya diubah, maka akan terdapat kejelasan tentang dari mana sumber pendanaan biaya pernikahan dan bagaimana cara untuk mendayagunakannya.

Kita tentu bersyukur karena perubahan PP tersebut telah dapat dilakukan. PP 47 Tahun 2004  Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Agama, yang disebutkan bahwa PNBP untuk biaya pencatatan nikah adalah sebesar Rp30.000,-. PP tersebut lalu diubah menjadi PP 48 tahun 2014 yang menegaskan bahwa biaya pencatatan nikah jika dilaksanakan di luar kantor adalah sebesar Rp600.000,- sedangkan kalau dilaksanakan di KUA maka dibebaskan dari biaya.

Melalui perubahan PP ini, maka peluang untuk melakukan gratifikasi dapat dianulir. Di dalam Perubahan PP ini, maka ditegaskan tentang berapa besaran pernikahan jika dilaksanakan di luar kantor dan tanpa biaya jika dilakukan di KUA.

Melalui Perubahan PP ini maka satu masalah yang terkait dengan pembiayaan pencatatan nikah dapat diselesaikan. Masyarakat tentunya memiliki pilihan.

Wallahu a’lam bi al shawab

LPSE DALAM REFORMASI BIROKRASI

LPSE DALAM REFORMASI BIROKRASI

Hari Selasa, 22 Juli 2014, saya diminta oleh Kapinmas, Drs. Zubaidi, MEd., untuk membuka Rapat Koordinasi LPSE di kalangan Kementerian Agama. Hadir di dalam acara rakor ini adalah pejabat eselon 3 dan 4 Kementerian Agama pusat dan daerah.

Acara ini harus diapresiasi, sebab semula acara ini didesain dengan full budget dari Kementerian Agama pusat, akan tetapi karena tahun ini terdapat pemotongan beberapa program di berbagai unit kerja, maka salah satu yang terkena pemotongan anggaran adalah acara ini. Itulah sebabnya, acara ini akhirnya didesain dengan patungan, antara pusat dan daerah. Maksudnya, seluruh peserta membiayai dirinya sendiri, sementara pusat menanggung biaya nara sumber, akomodasi dan konsumsi. Saya merasa gembira sebab acara yang penting ini bisa dilaksanakan.

Ada lima hal yang saya sampaikan di dalam sambutan pengarahan saya. Pertama, bahwa LPSE dapat memberikan jaminan hukum bagi pelaksana pengadaan barang dan jasa. Dengan menggunakan Layanan Pengadaan Secara elektronik (LPSE), maka tidak ada keraguan tentang pengadaan barang dan jasa, sebab semuanya dilakukan dengan proses dan prosedur yang benar. Mulai dari pengumuman sampai penentuan pemenang dilakukan dengan sangat terbuka dan terjamin kualitasnya. Semuanya bisa diakses dan diawasi dengan baik oleh semua kalangan.

Selain itu, dengan system LPSE juga sangat kecil peluang untuk melakukan tindakan tidak terpuji antara penyedia barang sebagai pemenang lelang dengan kementerian dan lembaga. Melalui system ini, maka tidak ada lagi kesempatan bagi penyedia barang untuk melakukan tindakan yang menyimpang dalam proses penentuan pemenang lelang.

Kedua, LPSE dapat menjamin penentuan HPS atau HET akan relevan dengan dengan harga pasaran yang sesungguhnya. Melalui system ini, maka akan semakin banyak penyedia barang yang terlibat di dalam proses pelelangan. Dengan semakin banyak pengusaha penyedia barang yang terlibat di dalam pelelangan, maka pasti akan didapatkan harga yang kompetitif, sehingga akan menjamin ketepatan dalam menentukan pemenang lelang dalam harga yang wajar. Sesungguhnya bahwa di antara aspek krusial didalam pelelangan barang dan jasa adalah pada saat menentukan pemenang lelang. Banyaknya competitor akan menyebabkan usaha-usaha yang makin keras dari penyedia layanan barang dan jasa untuk melakukan tindakan yang tidak tepat. Oleh  karena itu LPSE menjamin bahwa setiap pengusaha akan bermain fairness dan terbuka.

Ketiga, LPSE akan menjamin keterbukaan dan transparansi sebagai aspek penting di dalam reformasi birokrasi. Keterbukaan dan transparansi adalah aspek yang di masa Orde Baru tidak ada di dalam birokrasi. Melalui system otoritarianisme, maka semua ditentukan oleh pimpinan birokrasi, sehingga apa yang terjadi dengan pengadaan barang dan jasa adalah kewenangan birokrasi. Melalui system ini, maka di dalam birokrasi terdapat banyak KKN. System otoriter menyebabkan tumbuh suburnya KKN tersebut.

Melalui Orde Reformasi, maka system tersebut kemudian diganti dengan aturan baru  atau regulasi baru. Peraturan-peraturan Presiden kemudian diterbitkan untuk menjamin agar praktek penyelenggaraan Negara dengan system KKN tersebut dapat direduksi dan bahkan dihilangkan. LPSE adalah salah satu di antara pilar penyelengaraan birokrasi dalam kaitannya dengan fungsi pengadaan barang dan jasa akan dapat dijamin keberadaan dan kebenarannya.

Keempat, LPSE menjamin relasi antara pengusaha dan aparat birokrasi menjadi lebih seimbang. Di masa lalu, relasi antara pengusaha dengan aparat pemerintah tersebut berjalan tidak seimbang. Hal ini disebabkan bahwa pengusaha yang dekat dengan aparat tersebut akan bisa menguasai dan menentukan terhadap barang dan jasa macam apa yang akan dijual. Jadi bukan pada aspek program apa dengan barang dan jasa apa, akan tetapi barang dan jasa apa yang cocok untuk dipasarkan lewat program yang dirancang oleh pemerintah. Dengan kata lain, pengusaha lebih powerfull termasuk di dalam perencanaan program. Di era sekarang maka pengusaha yang akan mengikuti program yang sudah direncanakan secara matang.

Kelima, LPSE akan memudahkan monitoring dan pengawasan. Melalui system elektronik, maka siapapun akan dapat melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan program. Masyarakat, LSM atau lembaga-lembaga yang memiliki konsern terhadap implementasi program pemerintah akan dengan mudah untuk mengakses informasi tentang apa yang sedang dan sudah dilakukan di dunia birokrasi, terutama dalam pelelangan barang dan jasa. Oleh karena itu LPSE juga menjamin bahwa keterlibatan berbagai elemen masyarakat untuk melakukan pengawasan akan lebih terbuka lebar.

Penggunaan  LPSE di Kementerian Agama di dalam pelelangan barang dan jasa yang sudah mencapai 100 persen tahun lalu, akan dapat menjadi tonggak bagi terlaksananya reformasi birokrasi yang sesungguhnya menjadi dambaan kita semua.

Jadi, LPSE adalah satu aspek dari reformasi yang ke depan akan dapat menjadi andalan untuk mengembangkan transparansi dan akuntabilitas anggaran di semua lembaga dan kementerian di Republik Indonesia ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (2)

MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (2)

Sebagai Ketua Tim Panja Pemerintah, saya tentu merasa sangat senang dengan perkembangan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang sekarang sedang terjadi. Ada kemajuan yang sangat signifikan terkait dengan pembahasan RUU JPH. Pembicaraan yang sangat tersendat tentang keterlibatan MUI di dalam proses pemeriksaan produk halal juga setahap demi setahap bisa diurai benang kusutnya.

Saya menyadari bahwa mungkin saja upaya untuk mempertemukan pendapat antara Panja Pemerintah dan Panja DPR ini belum bisa memuaskan semua pihak, misalnya MUI. Tetapi sejauh yang sudah dilakukan oleh Panja adalah mengadaptasi terhadap berbagai perbedaan pendapat yang terkadang juga mengeras.

Pembagian kewenangan yang sudah dilakukan oleh panja kedua belah pihak, saya kira adalah jalan kompromi yang sangat mendasar. Kita tentu bisa membayangkan, jika kemudian di dalam undang-undang ini tidak memberikan kewenangan-kewenangan secara tegas, maka juga dimungkinkan akan terjadi dissenting opinion yang mengarah kepada upaya untuk melakukan upaya hukum untuk menganulir, misalnya ke Mahkamah Konstitusi pasca undang-undang ini disahkan.

Kompromi kedua yang juga dihasilkan oleh panja ini adalah terkait dengan apakah sifat undang-undang ini sebagai mandatori atau voluntari. Memang istilah ini tidak dikenal dalam konteks undang-undang ini. Akan tetapi pembicaraan yang justru sangat a lot adalah mengenai penggunaan istilah yang sepadan dengan dua  konsep ini. Mandatory sepadan dengan kata wajib melakukan, sedangkan voluntary artinya adalah pilihan melakukan atau tidak melakukan.

Pemerintah sesungguhnya bertahan dengan konsep voluntary, mengingat bahwa kemampuan dan kapasitas untuk melakukan pemeriksaan produk halal adalah terbatas. Artinya, memang ada yang hanya menjadi pilihan dan bahkan tidak melakukan usaha pemeriksaan produk tersebut. Misalnya,  sebagai Negara dengan pluralitas yang tinggi, maka tidak semua produk makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan dan lainnya yang harus bersertikat halal. Produk yang bahannya memang tidak halal tentu tidak bisa dipaksa untuk menghentikan produknya dan alasan lainnya.

Makanya, kepastian hukum baik bagi produk halal maupun produk nonhalal juga menjadi konsern kita. Sungguh kita sadari bahwa bangsa Indonesia itu sangat plural, baik dari suku, bahasa, agama dan kebudayaannya. Oleh karena itu Jaminan produk halal juga harus memberi kepastian bahwa produk untuk kaum muslimin haruslah produk halal yang mesti bersertifikat halal dan bagi produk yang memang nonhalal juga harus ada kepastian hukumnya.

Undang-undang ini memberikan jaminan bagi semuanya. Bagi umat islam yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, maka juga mestilah terdapat jaminan bahwa makanannya adalah makanan halal dan bahkan baik dan bermanfaat. Disebut sebagai halalan thayiban. Halal saja tidak cukup tetapi harus baik dan bermanfaat. Juga tidak hanya baik dan bermanfaat saja tetapi juga harus halal. Prinsip mendasar inilah yang kiranya menjadi rujukan penting di dalam penetapan undang-undang ini.

Perdebatan yang sangat serius adalah untuk menentukan, apakah wajib atau tidak wajib pemeriksaan produk halal tersebut. Semula panja DPR sependapat dengan agenda panja pemerintah bahwa pemeriksaan produk halal bukan sebagai mandatory akan tetapi voluntary saja, sebab ada alasan baik yang terkait dengan logika anggaran, kebinekaan, dan akibat yang ditanggung oleh Negara. Dengan menentukan bahwa sertifikasi halal adalah kewajiban, maka semua produk haus mengajukan usahanya untuk memperoleh sertifikasi halal dimaksud.

Akan tetapi panja DPR menyatakan bahwa kalau urusan sertifikasi halal ini bukan kewajiban akan tetapi sesukanya, maka apa bedanya antara periode masa lelau dengan sekarang. Kalau tidak berani menyatakan sebagai kewajiban, maka kita semua yang akan menanggung dosa kalau ada produk tidak halal yang digunakan. Katanya, Pak Amran, bahwa pemerintah harus melindungi yang mayoritas dalam kaitannya dengan produk halal. Jadi jangan hanya kaum minoritas yang dilindungi, akan tetapi yang mayoritas juga penting.

Kehadiran Pak Raihan di Komisi VIII banyak mengubah pandangan anggota panja DPR. Jika semula mereka beranggapan bahwa pemeriksaan produk halal hanya manasuka atau voluntary, maka sekarng mengubah pandangan menjadi wajib. Dengan catatan bahwa terhadap produk dan proses dan hasilnya memang tidak halal tentu menjadi eksepsi dari Undang-Undang ini.

Apapun hasilnya, bahwa perjalanan diskusi dan musyawarah untuk menyepakati RUU ini untuk menjadi UU bukanlah hal yang sederhana. Namun demikian, upaya untuk menyamakan persepsi dan kompromi telah dilakukan. Makanya, kemudian disepakati bahwa untuk sifat  sertifikasi produk halal tersebut disebut sebagai mandatory bertahap. Memang kata mandatory tidak dimunculkan di dalam RUU ini, hanya saja harus ada kesepahaman tentang kewajiban para pengusaha untuk memenuhi standart produk halal.

Jika ditilik dari dimensi penerapan pemeriksaan produk halal selama ini memang sudah berada dalam sifatnya yang voluntary, sehingga program sertifikasi produk halal juga tampaknya jalan di tempat. Oleh karena itu, produk pengusaha klas menengah dan besar akan segera berlaku untuk sertifikasi produk halalnya, sedangkan yang produk pengusaha kecil akan berlaku secara bertahap, seiraman dengan jumlah anggaran dan kesiapan pengusahanya.

Kita tentu berharap bahwa dengan lahirnya Undang-Undang ini maka kepastian makanan, minuman, obat dan bahan-bahan kosmetika akan dapat dijamin, sehingga tidak ada lagi keraguan umat Islam untuk menggunakan produk tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMPERBANYAK INVESTASI AKHERAT

MEMPERBANYAK INVESTASI AKHERAT

Saya diundang untuk memberikan taushiyah dalam acara pemberian santunan kepada anak-anak yatim, janda-janda dan juga sebagian pengurus Pondok Tahfidzul Qur’an Hidayatul Hikmah di Rungkut, Surabaya, 20/07/2014. Acara pemberian santunan ini juga dibersamakan dengan acara berbuka bersama yang diprakarsai oleh Ibu Hj. Nunuk Masruchi, selalu ketua Yayasan Pondok tersebut. Hadir juga para kyai dan sejumlah pengurus pondok pesantren.

Tradisi berbuka bersama dan sekaligus pemberian santunan anak yatim sudah menjadi tradisi umat Islam akhir-akhir ini. Kita semua tentu bersyukur dengan tradisi yang sudah menggejala seperti ini. Sungguh merupakan kebahagiaan bahwa kesadaran ke arah ini tampaknya semakin baik dari tahun ke tahun.

Demikian pula tradisi hafalan al Quran juga sudah semakin meningkat di era sekarang. Jauh sebelumnya kita tidak akan menduga bahwa terdapat anak-anak usia delapan tahun dengan hafalan al Quran yang sangat baik. Saya juga merasa bangga luar biasa kala melihat anak usia lima tahun dengan bacaan dan hafalan Quran yang sangat baik.

Bahkan di beberapa stasiun televisi juga menyajikan tayangan kontestasi hafalan al Quran khusus untuk anak-anak. Mereka semua tentunya membanggakan sebab di usianya yang masih kecil ternyata sudah memiliki hafalan al Quran yang sangat memadai. Kita sebagai orang tua terkadang merasa malu sebab kita tidak sebaik mereka dalam hafalan al Quran.

Saya diminta untuk memberikan taushiyah pada acara tersebut. Maka saya sampaikan tiga hal mendasar yang rasanya memang harus menjadi konsern kita semua. Pertama, kita bersyukur sebab selalu diberi nikmat yang besar berupa kesehatan, sehingga dengan kesehatan tersebut maka kita bisa menjalankan ibadah kepada Allah. Kita bisa shalat, puasa, dzikir, salat malam, dan juga mengamalkan ajaran Islam lainnya. Jika kita selalu bersyukur, maka kita akan diberi Allah kenikmatan yang lebih banyak.

Kedua, kita harus mengapresiasi terhadap setiap usaha untuk mengembangkan pendidikan Islam. Saya sangat bangga dengan usaha untuk mendidik anak-anak muda kita di dalam pengetahuan dan pengamalan ajaran islam. Saya sungguh merasakan betapa upaya untuk mendidik anak-anak agar menghafal al Quran adalah usaha yang sangat baik. Kala banyak orang yang tidak lagi peduli terhadap agama, lalu ada orang yang terus berkomitmen untuk mengembangkan pendidikan al Quran maka orang tersebut pastilah memiliki kesadaran tentang arti pentingnya generasi masa depan.

Saya berkeyakinan bahwa kalau generasi muda kita diisi dengan al Quran, maka mereka akan menjadi generasi yang unggul di masa depan. Kita membayangkan bahwa di tahun Indonesia emas, maka Indonesia akan dipimpin dan diisi dengan generasi terbaik bangsa ini. Dan generasi tersebut adalah generasi al Quran. Itulah sebabnya kalau ada orang yang mendarmabaktikan kehidupannya untuk mengajarkan al Quran, maka orang tersebut sudah berinvestasi untuk kehidupan akherat. Tetapi sesungguhnya tidak hanya investasi akherat saja, sebab orang tersebut juga berinvestasi untuk dunianya juga.

Jika kita memiliki rumah yang baik, mobil yang baik, asset yang banyak akan tetapi berupa harta keduniaan, maka investasi kita itu hanya untuk keduniaan semata. Akan tetapi jika kitamengajarkan al Quran, membangun Pondok Al Quran, maka kita sesungguhnya berinvestasi dua hal sekaligus. Yaitu investasi akherat karena memang mengajarkan al Quran adalah investasi akherat, tetapi jika generasi al Quran tersebut kemudian menjadi pemimpin bangsa, menjadi ahli ilmu pengetahuan dan ulama-ulama terkemuka, maka berarti kita juga berinvestasi untuk duniawi.

Jika kita tilik sejarah peradaban Islam, maka akan diketahui bahwa para ulama kita di masa lalu itu luar biasa. Bayangkan misalnya Ibnu Sina, yang beliau dikenal sebagai ahli ilmu kedokteran yang dinyatakan sebagai peletak dasar ilmu kedokteran modern, akan tetapi juga ahli filsafat, ahli ilmu tafsir, ahli ilmu tasawuf dan lain sebagainnya.  Itulah sebabnya ke depan haruslah didesain agar generasi muda kita dalah generasi sebagaimana zaman pertengan Islam.

Sungguh bahwa dengan memberikan bekal keagamaan yang cukup bagi generasi yang akan dating maka investasi keakheratan dan keduniawian bukanlah isapan jempol belaka. Ke depan kita akan melihat Indonesia yang jaya dan kuat karena keberhasilan pendidikan masa sekarang.

Jadi tidak salah kalau kita semua selalu konsern terhadap pendidikan agama, karena dari sanalah tersemaikannya generasi Indonesia yang akan mengisi kemerdekaan bangsa dengan keimanan dan ketaqwaan serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang unggul.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENDORONG KESADARAN KESALEHAN PROFESIONAL

MENDORONG KESADARAN KESALEHAN PROFESIONAL

Saya memperoleh kesempatan untuk berbuka bersama dengan Pak Prof. Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia, pada Jumat, 18/07/2014 di Kantor Beliau. Hadir di dalam acara ini sejumlah Menteri Kabinet Indonesia Bersatu II.

Yang hadir adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Mohamad Nuh, Menteri Negara Riset dan Teknologi, Prof. Gusti Muhammad Hatta, Menteri Komunikasi dan Informasi, Tifatul Sembiring, Wakil Menteri Agama, Prof. Nasaruddin Umar, Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Musliar Kasim dan sejumlah menteri lainnya. Selain itu juga hadir sejumlah pejabat eselon I dan lainnya. Sebagai penceramah adalah KH. Shalahuddin Wahid.

Di dalam sambutannya, Pak Wapres menekankan bahwa yang diundang di dalam acara berbuka bersama ini adalah mereka yang selama ini banyak berinteraksi dengan beliau. Bukan yang lain tidak berinterakasi dan bekerjasama, akan tetapi para hadirin ini adalah para pejabat yang selama ini sangat banyak membantu Beliau dalam kegiatan pembangunan.

Beliau menyatakan, terima kasih yang sangat mendalam atas kehadiran para undangan dan terutama atas kerjasamanya yang selama ini telah terjalin dengan sangat baik. Melalui kerjasama tersebut,  maka program pemerintah bisa dilakukan dengan lebih berdaya dan berhasil guna. Beliau juga menyampaikan bahwa acara berbuka bersama ini adalah yang terakhir yang dapat dilakukan dalam kapasitas beliau menjadi wapres. Kabinet  Indonesia Bersatu II sebentar lagi akan mengakhiri masa tugasnya. Oleh karena itu beliau menyampaikan ucapan terima kasih dan mohon maaf jika selama ini ada kesalahan yang beliau lakukan.

Sebagai penceramah adalah KH. Salahuddin Wahid atau yang dikenal sebagai Gus Sholah. Beliau mengungkapkan tentang keadaan umat Islam di dunia dan juga khususnya di Indonesia. Beliau menyitir beberapa penulis dan pejuang Islam yang selama ini telah banyak   menulis dan memperjuangkan Islam. Misalnya Amir Syakib Arsalan dan  Muhammad Abduh.

Beliau memulai ceramahnya dengan gambaran tentang para pejuang masa lalu. Dimulainya dengan ilustrasi tentang sebuah novel yang berjudul “Robohnya Surau Kami” karya Ali Akbar Navis. Novel ini tentunya bercerita tentang bagaimana surau atau agama Islam mulai ditinggalkan orang. Islam menjadi asing bagi sebagian pemeluk Islam sendiri. Islam menjadi seperti buih saja. Secara perlahan Islam mulai digerus oleh ideologi-ideologi lain.

Cerita itu kemudian dirangkai  dengan gambaran tentang KH. Wahid Hasyim, yang kala itu aktif di dunia politik. Waktu itu NU menjadi partai politik. Hampir seluruh waktu KH. Wahid Hasyim diabdikan untuk politik sehingga untuk mengajar di pesantren dipasrahkan kepada kyai lainnya. Suatu ketika kyai tersebut bertanya, Kyai Wahid kenapa terus menerus mengurus partai, kapan waktunya untuk mengajar? Jawaban Kyai Wahid, bahwa harus ada orang yang terus menerus mengurus partai, sebab kalau tidak ada yang mengurus politik, nanti pesantren pun akan tidak ada. Pesantren pun akan hilang.

Dua cerita ini memberikan gambaran bahwa agar Islam bisa berkembang dan menjadi pedoman di dalam kehidupan masyarakat maka harus ada sebagian orang yang memiliki komitmen Islam yang baik yang memasuki dunia politik. Seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, KH. Hasyim Asyari dan sebagainya yang semuanya menyadari akan arti pentingnya politik untuk penegakan dan pengembangan Islam.

Perjuangan mereka sama dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh generasi berikutnya yang terus berjuang untuk Islam melalui kapasitasnya masing-masing, misalnya Gus Dur, Cak Nur, Pak Habibi dan banyak lainnya yang berjuang untuk mengembangkan Islam dengan cara dan kerja kerasnya masing-masing.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti Amerika, bahwa orang Indonesia termasuk orang Islam dengan label Ritualis Murni. Sama halnya dengan orang Mesir, Arab Saudi, Pakistan dan sebagainya. Mereka ini adalah orang yang saleh ritual tetapi kurang saleh social.

Itulah sebabnya sebagaimana yang diungkapkan oleh Amir Syakib Arsalan, bahwa mengapa umat Islam mudur dan mengapa orang Barat maju, maka sebabnya adalah karena umat Islam tidak konsisten menjalankan ajaran agamanya. Ajaran Islam yang diambil hanyalah aspek ibadahnya (ritualnya)  akan tetapi meninggalkan dimensi ajaran sosialnya. Sebagaimana Muhammad Abduh menyatakan bahwa dia menemukan Islam di Eropa tetapi tidak menemukan umat Islam di sana, sedangkan di Negara Islam dia menemukan umat Islam tetapi tidak menemukan Islam di dalamnya.

Itulah sebabnya, jika kita ingin melihat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang maju dengan jumlah umat Islam terbesarnya, maka yang harus didorong adalah menguatkan kesalehan social tersebut. Umat Islam harus didorong agar lebih banyak menyantuni dan mengembangkan usaha-usaha untuk memberdayakan dan perbaikan umat Islam. Gerakan philantropi harus semakin kuat dilaksanakan. Gerakan zakat, infaq dan shadaqah harus dipompa agar menjadi kesadaran global umat Islam. Dan satu lagi yang harus ditingkatkan adalah kesalehan professional. Yaitu dengan membangkitkan kesadaran kaum professional untuk sadar melakukan upaya di dalam pemberian zakat, infaq dan shadaqah untuk kepentingan pemberdayaan umat, misalnya pendidikan dan ekonomi.

Ke depan, kiranya akan menjadi kekuatan yang luar biasa jika para professional yang jumlahnya makin banyak di negeri ini memiliki kesadaran untuk memberdayakan pendidikan dan ekonomi kaum dhuafa. Makanya, semakin banyak kelas menengah yang sadar pemberdayaan masyarakat maka akan semakin besar peluang bangsa ini akan terentaskan dari ketertinggalan dalam banyak hal.

Wallahu a’lam bi al shawab.