• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (1)

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (1)

Setahun terakhir ini kita disibukkan oleh berbagai komentar atas masalah yang terkait dengan biaya pencatatan nikah yang bisa didentifikasi sebagai gratifikasi. Dalam praktek penyelenggaraan pernikahan, seringkali para penghulu menerima hadiah yang lalu bisa dikaitkan dengan gratifikasi.

Mengapa disebut sebagai gratifikasi, sebab pemberian tersebut tidak sesuai dengan peraturan perundangan yang menyebutkan bahwa biaya pencatatan  pernikahan hanyalah sebesar Rp. 30.000,-  untuk satu kali peristiwa nikah. Makanya, ketika ada tambahan biaya nikah yang diberikan kepada penghulu dengan dalih sebagai hadiah atau ucapan terima kasih, maka hal tersebut tetap saja dinyatakan sebagai gratifikasi.

Pemberian uang atau barang ini memang diperuntukkan bagi pernikahan di luar kantor. Sedangkan untuk pernikahan di dalam kantor tentu nyaris tidak ada pemberian hadiah baik dalam bentuk uang atau barang. Makanya, yang selalu dikaitkan dengan gratifikasi adalah nikah bedolan atau nikah yang diselenggarakan di rumah.

Di dalam tradisi Nusantara, memang pernikahan selalu dikaitkan dengan hari yang cocok untuk pernikahan. Bahkan di dalam tradisi Jawa lebih kompleks lagi. Tidak hanya dihitung harinya, akan tetapi juga jam dan tempatnya. Kerumitan inilah yang kemudian mendorong adanya tradisi bagi pernikahan yang dilakukan di rumah atau di tempat selain kantor.

Pernikahan di rumah tidaklah mengenal strata social. Artinya mulai dari rakyat kecil sampai pejabat juga cenderung menikahkan anaknya di rumah. Makanya, jumlah mereka yang menikah di rumah dibandingkan di KUA tentu tidak berimbang. Jumlahnya 94% untuk yang menikah di luar kantor dan hanya 6% yang menikah di KUA.  Tradisi, ritual dan lingkungan social sangat menentukan adanya pernikahan di rumah ini. Makanya tidak salah jika semakin lama juga semakin banyak orang yang menikahkan anaknya berbalut tradisi ini.

Karena semakin banyak yang berperilaku seperti ini, maka dugaan adanya gratifikasi juga sangat besar. Jika dihitung setiap pernikahan terdapat gratifikasi Rp500.000,- dan dikalikan dengan jumlah peristiwa nikah pertahun, maka akan dijumpai angka trilyunan rupiah sebagai tindakan gratifikasi yang dilakukan oleh para penghulu.

Dari sini kemudian muncul diskusi panjang tentang bagaimana mengelola pernikahan tersebut. Apakah akan dibiayai oleh Negara dalam keadaan anggaran yang terbatas, ataukah akan dibebankan kepada masyarakat dengan kenyataan tidak semua masyarakat kita adalah golongan orang yang kaya. Di sini maka timbul pro-kontra tentang biaya pernikahan ini.

Berdasarkan wilayah Indonesia yang sangat luas dan tingkat kerumitan lapangan di dalam pernikahan yang sangat mendasar tersebut, maka biaya pencatatan nikah yang hanya sebesar Rp30.000,- tentulah tidak mencukupi. Itulah sebabnya ada pemikiran agar pernikahan hanya diselenggarakan di kantor saja dan pada hari kerja saja. Masyarakat tidak diperkenankan untuk melakukan pernikahan di rumah atau di luar kantor. Agar tidak terjadi gratifikasi maka inilah satu-satunya pilihan yang menurut sebagian masyarakat sangat tepat. Dan di sisi lain juga muncul gagasan agar biaya pencatatan nikah dianggarkan lewat APBN, sehingga masyarakat tidak terbebani dengan biaya pencatatan nikah tersebut. Masyarakat tentu senang dengan gagasan ini, akan tetapi APBN tidak mampu mengkover pembiayaannya.

Dalam diskusi panjang ini, maka ditemukanlah berbagai rumus untuk menyelesaikan permasalahan yang mengandung makna gratifikasi. Salah satu yang harus dilakukan adalah dengan mengubah peraturan perundang-undangan. Jika peraturannya diubah, maka akan terdapat kejelasan tentang dari mana sumber pendanaan biaya pernikahan dan bagaimana cara untuk mendayagunakannya.

Kita tentu bersyukur karena perubahan PP tersebut telah dapat dilakukan. PP 47 Tahun 2004  Tentang Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Departemen Agama, yang disebutkan bahwa PNBP untuk biaya pencatatan nikah adalah sebesar Rp30.000,-. PP tersebut lalu diubah menjadi PP 48 tahun 2014 yang menegaskan bahwa biaya pencatatan nikah jika dilaksanakan di luar kantor adalah sebesar Rp600.000,- sedangkan kalau dilaksanakan di KUA maka dibebaskan dari biaya.

Melalui perubahan PP ini, maka peluang untuk melakukan gratifikasi dapat dianulir. Di dalam Perubahan PP ini, maka ditegaskan tentang berapa besaran pernikahan jika dilaksanakan di luar kantor dan tanpa biaya jika dilakukan di KUA.

Melalui Perubahan PP ini maka satu masalah yang terkait dengan pembiayaan pencatatan nikah dapat diselesaikan. Masyarakat tentunya memiliki pilihan.

Wallahu a’lam bi al shawab

Categories: Opini