• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAKNA HARI RAYA BAGI KEMANUSIAAN

Tanpa terasa sudah sebulan lamanya kita melakukan ibadah puasa pada bulan Ramadlan. Sebulan pula kita sudah menahan makan, minum, melakukan relasi seksual pada siang hari dan juga menahan semua hawa nafsu yang memang harus dimanaj sedemikian rupa. Puasa memang dalam arti generiknya adalah menahan atau shaum.

Sebagai sarana untuk menahan berbagai tindakan tercela, puasa adalah instrumen agar seseorang dapat mencapai derajat taqwa atau disebut sebagai “laallakum tattaqun.” Sebagai instrumen untuk mencapai ketaqwaan, maka semua proses dan cara yang ditempuh di dalam puasa mestilah berbasis pada kebenaran ajaran agama yang terkait dengan ibadah puasa itu sendiri.

Puncak puasa adalah yang disebut sebagai hari raya atau lebaran atau di dalam tradisi Jawa disebut sebagai riyayan. Tradisi ini ditandai dengan adanya tindakan saling kunjung ke rumah kerabat, tetangga, sahabat dan juga para sesepuh serta pimpinan suatu lembaga atau institusi pemerintah dan swasta.

Bahkan dalam kerangka untuk memenuhi hasrat saling berkunjung tersebut, mereka rela untuk melakukan mudik yang jauhnya bisa ratusan kilometer dan dalam waktu yang berjam-jam. Bayangkan untuk bisa ke Surabaya, maka mereka rela untuk macet di jalan berjam-jam. Itulah sebabnya semua jalur ke wilayah timur dari Jakarta macet luar biasa. Baik jalur pantura maupun jalur selatan selalu berada di dalam kemacetan.

Apakah kemacetan tersebut membuat mereka jera? Ternyata sama sekali tidak. Hasrat untuk bertemu dengan kerabat ternyata mengalahkan rasa kecapekan dan kepenatan sepanjang mudik tersebut. Aneh tetapi nyata. Bukankah mereka melakukannya hampir setiap tahun. Dan seandainya mereka ditanya apakah akan mudik lagi tahun depan, pastilah jawabannya mereka akan melakukannya lagi.

Hari raya sebenarnya tidak hanya sekedar upacara keagamaan liminal yang dilakukannya setiap tahun untuk menandai berakhirnya puasa Ramadlan, akan tetapi juga memiliki makna social yang mendasar. Shalat idul fithri yang dilakukan di masjid, mushallah dan lapangan adalah bagian dari ritual keagamaan. Meskipun hukumnya sunnah, akan tetapi masyarakat Islam selalu berbondong-bondong datang ke tempat penyelenggaraan shalat id.

Mereka memakai baju baru sebagai ekspressi kegembiraan menyambut hari raya idul fithri. Hal itu dilakukan sebagai ekspressi kemenangan setelah melawan hawa nafsu selama sebulan. Mereka  menumpahkannya dalam hari raya dengan pakaian baru, pikiran baru dan tindakan baru. Terutama yang bersuka cita adalah anak-anak. Mereka benar-benar merasakan makna hari raya sebagai hari bersuka cita.

Makna hakiki dari Idul Fithri adalah kembali kepada kesucian. Di sini diartikan bahwa kesucian tersebut adalah kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir ditandai dengan tindakan-tindakan dan sikap-sikap kita yang kembali kepada kesucian. Simbol lahiriyah kita adalah pakaian, kendaraan, rumah, dan milik kita yang berupa fisikal merupakan sesuatu yang sudah kita sucikan. Sedangkan dari aspek batin yang suci adalah kala semua pikiran, hati dan perasaan kita memang sudah memasuki tahapan kesucian pula.

Kesucian tersebut ditandai dengan kecenderungan kita untuk secara fisik dan batin semakin suci. Yang kita pikirkan dan kita lakukan adalah tindakan berbasis pada ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.

Di dalam puasa kita dapat menahan banyak hal, maka yang diharapkan sesudah puasa dan pada bulan-bulan berikutnya adalah kita kembali untuk memperkuat ketahanan fisik dan batin kita dalam melawan godaan kehidupan yang makin kompleks.

Di sekeliling kita ada banyak tantangan, misalnya sikap materialism yang makin kuat, globalisasi yang semakin tidak tertahankan. Makanya yang diharapkan sesudah selama sebulan kita berpuasa adalah dapat menyaring mana yang bermanfaat dan relevan dengan ajaran agama dan mana yang tidak.

Oleh karena itu tugas kemanusiaan kita adalah mengembalikan kefitrian kita agar yang kita lakukan adalah tetap berada di dalam koridor kemanusiaa pula. Setelah berpuasa, maka kita semakin mengikat relasi dengan Tuhan dengan sebaik-baiknya, kita juga mengikat relasi dengan manusia dengan sebaik-baiknya dan kita juga mengikat relasi dengan alam dengan sebaik-baiknya.

Jadi makna hakiki dari berhari raya adalah mengembalikan kita kepada kesucian diri dalam menyembah Allah, membangun kebaikan dengan sesama manusia dan juga mengembangkan relasi dengan alam yang makin baik. Kita pastikan bahwa manusia dan alam adalah subyek di dalam kehidupan ini, sehingga tidak ada perbudakan terhadap mereka semua.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

KEBERSAMAAN IDUL FITHRI ITU INDAH

Kita semua bersyukur kepada Allah swt, bahwa  Hari Raya tahun 1435 H atau 2014 M.,  ternyata dapat dilaksanaan dalam waktu bersamaan. Baik NU maupun Muhammadiyah dan pemerintah ternyata menetapkan hari raya idul fithri 1435 H  pada hari Senin, 28 Juli 2014.

Terasa indah manakala hari yang monumental dalam serangkaian ibadah ritual puasa tersebut terselenggara dalam waktu yang bersamaan. Semua was-was menunggu hasil sidang itsbat yang dilakukan pemerintah.  Mereka tentu berharap agar pemerintah  menentukan  hari raya Idul Fithri yang sama. Dan semuanya pasti mengucapkan syukur Alhamdulillah kala mendengar Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin membacakan keputusan hasil sidang itsbat  sebagaimana di atas.

Semua lega dan semua menyatakan kegembiraannya. Saya kira tidak hanya kalangan Muhammadiyah yang lega, akan tetapi juga semua umat Islam merasakan perasaan senangnya. Kebersamaan hari raya oleh sebagian orang merupakan  bagian dari  indicator kesatuan dan persatuan umat Islam. Persoalan hari raya yang tidak sama terkadang bisa dimaknai sebagai keterpecahbelahan umat Islam secara general.

Memang banyak orang yang tidak paham bahwa perbedaan penentuan awal Ramadlan atau awal Syawal tersebut berawal dari perbedaan metodologi dalam penentuannya. Muhammadiyah yang menggunakan prinsip wujudul hilal bisa berbeda dengan organisasi lain dan juga pemerintah yang menggunakan imkanur rukyat. Dulu perbedaan tersebut dipandang sebagai perbedaan metodologi hisab dan rukyat, akan tetapi sebenarnya sekarang sudah tidak seperti itu lagi.

Kesamaan hari raya idul fithri juga terasa sedemikian bermakna. Semuanya bisa merayakannya dengan saling berkunjung atau silaturrahim. Sudah menjadi tradisi di Indonesia bahwa hari raya itu identik dengan saling kunjungan ke rumah kerabat, handai taulan, tetangga dan juga antara staf dan pimpinan.

Itulah sebabnya banyak pejabat yang melakukan open house untuk kepentingan melestarikan tradisi riyayan. Hari raya sekarang ini terasa sangat istimewa, sebab saya bisa melakukan silaturrahim ke banyak tempat. Dan tentu juga banyak kenalan yang bisa saling memaafkan. Indah memang.

Ketika jam menunjukkan angka 10.30 menit saya sudah sampai di Rumah Dinas Pak Menag. Ketika saya sampai di Rumah Dinas Menteri, ternyata  sudah datang para Pendeta Agama Hindu dan juga beberapa staf di kementerian. Untungnya,  bahwa jam 11.00 wib., Pak Menag sudah datang di Widya Candra. Tentu kami semua bergegas untuk menyambutnya dengan mengucapkan “selamat hari raya Idul Fithri, minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin”.

Kami pun menikmati makanan yang sudah disediakan. Ada bakso, nasi kebuli, opor ayam, dan makanan lainnya. Sayang perut saya sudah kenyang, sehingga tidak lagi mampu menampung makanan yang variatif tersebut. Sayang sekali bahwa ada banyak makanan,  akan tetapi apa daya perut sudah tidak sanggup lagi untuk memuatnya.

Saya pun bergegas ke rumah Pak Muhamad Nuh, Mendikbud. Hanya saja Pak Nuh belum datang dari acara Halal bil Halal di Istana Negara dengan Pak Presiden, SBY. Makanya saya lalu ke rumah Dinas, Menteri Bappenas, Ibu Armida Alisyahbana. Saya bersyukur karena Bu Menteri sudah berada di kediaman. Ternyata sudah sangat banyak pejabat yang hadir di situ. Saya tentu mengenal beberapa di antaranya, misalnya Ibu Nina Sarjunani, Pak Taufiq Hanafi, Ibu Emmy dan lain-lain,  yang saya tentu sering bertemu dan berdiskusi dengannya. Saya pun bertemu dengan Ibu Prof. Dr. Armida S Alisyahbana dan mengucapkan selamat berhari raya dan mohon maaf atas semua kesalahan. Dengan ramahnya Bu Armida menyapa dan membalasnya dengan ucapan permohonan maaf dan terima kasih atas kerjasamanya selama ini.

Saya pun bergegas ke Jalan Denpasar, di mana juga banyak rumah dinas menteri. Saya akan riyayan ke Rumah Dinas Pak Azwar Abubakar dan juga Pak Dipo Alam. Syukurlah bahwa jalanan lengang. Saya bisa cepat sampai di rumah Pak Dipo Alam. Sudah datang di rumah beliau Pak Djatmiko, salah seorang deputi di Sekretaris Kabinet. Di rumah ini juga ada banyak makanan sebagaimana ciri khas makanan hari raya Idul Fithri. Opor ayam adalah khas masakan pada hari ini. Kita pun bisa berbincang tentang banyak hal, terutama tentang kebersamaan hari raya tahun ini. Semua sependapat bahwa kebersamaan hari raya adalah kebahagiaan bagi kita semua.

Akhirnya saya bisa bertemu dengan Pak Azwar. Saya memang sudah janji mau bertemu Beliau pada waktu kami membahas usulan CPNS tahun 2014 di kantor. Saya datang ke kantor Beliau untuk membahas tambahan kuota CPNS bagi Kementerian Agama. Semula memang hanya mendapatkan jatah 596 orang dan akhirnya mendapatkan tambahan sebanyak 1500 orang. Mayoritas CPNS tersebut akan didayagunakan untuk penambahan jumlah dosen PTAIN yang memang dirasakan sangat kurang.

Menteri yang baru saja mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa ini memang sangat getol memperjuangkan reformasi pendidikan khususnya pendidikan Islam. Pada zaman Beliau menjadi Menpan dan RB, maka sebanyak lima IAIN berubah menjadi UIN dan sebanyak lima STAIN menjadi IAIN serta akan bergulir lagi sejumlah STAIN untuk menjadi IAIN. Warga PTAIN tentu sangat senang dengan kenyataan ini.

Ada yang unik di Rumah Dinas Pak Azwar. Makannya banyak yang bernuansa Aceh, misalnya Mie Aceh dan Ketan Aceh, serta Ketan Bakar. Enak rasanya kala disantap. Beliau ambilkan Ketan Bakar dan Ketan Aceh untuk disantap secara bersamaan. Konon katanya, yang paling enak adalah Mie Aceh yang makanannya ditaruh di Cangkang Kepiting. Lezat dan nikmat. Kalau orang datang ke Aceh dan belum menyantap Mie Aceh,  katanya belumlah datang ke situ.

Puasa adalah bulan ibadah dan bulan pahala serta bulan pengampunan. Kala kemudian kita bisa bersilaturrahim pada saat lebaran kepada orang yang kita kenal dan kita ajak kerjasama dalam waktu lama, rasanya puasa kita menjadi  sempurna. Oleh karena tradisi lebaran sungguh merupakan tradisi yang sangat baik makanya  kiranya perlu terus kita lestarikan meskipun gelombang globalisasi terus menggempur kita.

Selamat hari raya dan mohon maaf atas semua kekhilafan. Tidak ada orang yang sempurna dan selalu benar, maka atas nama kekurangan itu sudahlah pantas kalau kita saling memaafkan. Min al-aidin wa al-faizin taqabbalallahu minna wa minkum taqabbal ya Karim kullu amin wa antum bi khairin.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENCERMATI SIDANG ITSBAT (2)

Sudah beberapa tahun terakhir ini saya terlibat di dalam siding itsbat. Tentu saja ini dalam kaitannya dengan posisi saya sebagai pejabat Kementerian Agama yang memang harus care terhadap peristiwa penting di dalam acara ritual Islam. Sidang ini memiliki nilai strategis, sebab memang sangat menentukan terhadap persoalan mendasar yaitu ibadah kepada Allah swt.

Siding itsbat yang dipimpin oleh Menteri Agama ini berjalan dengan sangat demokratis. Artinya bahwa semua peserta diberi kesempatan yang sama untuk berpendapat dan mengajukan pendapatnya. Meskipun tidak semua harus menyatakan pendapatnya.

Siding itsbat untuk menentukan awal Romadlon kemarin memang lebih rumit sebab memang sedari awal sudah ada perbedaan antara Muhammadiyah dan pemerintah di dalam penentuan awal Romadlon. Berdasarkan metodologi perhitungan awal Ramadlon melalui metodologi hisab, maka Muhammadiyah menentukan awal Ramadlon adalah tanggal 27 Juni 2014 atau hari Sabtu. Jadi, memang sedari awal sudah ada potensi untuk berbeda.

Pemerintah di sisi lain, harus menentukan awal Ramadlon berdasarkan metodologi rukyatul hilal, meskipun sesungguhnya juga berdasarkan atas hasil perhitungan atau metodologi hisab. Kedua metode ini yang kemudian dikenal sebagai imkanur rukyatul hilal atau teori kemungkinan keterlihatan atau ketampakan hilal. Berdasarkan teori ini, maka posisi hilal hanya akan bisa dilihat jika ketinggiannya sudah mencapai 2 derajat. Jika di bawah itu tentu sangat sulit peluangnya untuk dilihat.

Siding untuk menentukan tanggal 1 Syawal ini memang lebih mudah dilakukan, sebab antara Muhammadiyah dan pemerintah tidak terdapat perbedaan. Akan tetapi tetap saja bahwa pemerntah harus mendengarkan laporan tentang rukyatul hilal yang dilakukan di 111 titik tempat rukyat di seluruh Indonesia, mulai dari Sabang sampai Merauke.

Dari laporan Direktur urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, diketahui bahwa ada tiga titik tempat rukyatul hilal yang bisa melihat hilal. Yaitu di Gresik, Sulawesi Tenggara dan Pelabuhan Ratu Jawa Barat. Kondisi cuaca yang berawan sehingga yang lain tidak mampu melihat hilal. Setelah melalui penyumpahan oleh pengadilan Tinggi Agama, maka mereka menyatakan bahwa hilal sudah dapat dilihat.

Meskipun hilal sudah dilihat di tiga tempat bedasarkan kesaksian dan penyumpahan, akan tetapi tetap saja diberikan kesempatan kepada para hadirin untuk menyatakan pendapatnya. Dari tiga orang yang memberikan response, maka semuanya menyatakan bahwa ke depan memang harus dilakukan kesepahaman untuk menentukan awal Ramadlan, awal Syawal dan awal Dzulhijjah. Melalui kesemanaan kriteria tentang hilal tentu akan didapatkan peluang untuk kebersamaan di dalam menentukan kapan hilal bisa ditentukan.

Tentu saja Pak Menteri menyambut gembira atas usulan dari organisasi keagamaan ini. Beliau memang sangat konsern di dalam merumuskan kebijakan yang terkait dengan penetapan awal bulan Ramadlan, awal syawal dan awal Dzulhijjah. Bahkan di dalam banyak kesempatan beliau juga menyatakan keinginannya ini.

Kita tentu bergembira jika ibadah puasa dapat diselenggarakan dalam waktu yang bersamaan. Jangan sampai esensi puasa dikalahkan oleh egoism sektoral di dalam penggunaan metodologi penetapan awal bulan. Keduanya harus bertemu untuk menyamakan visi dan metodologinya. Harus ditemukan titik tengah yang bisa menarik ke kiri dan ke kanan. Saya selalu menyebutnya sebagai cara berpikir “maju selangkah dan mundur selangkah.” Saya jadi ingat di dalam sidang RUU JPH, bu Leidya menyebutkan cara berpikir “poco-poco.”

Pada waktu beliau berada di dalam sessi press release beliau juga sekali lagi mengungkapkan keinginannya tersebut dan akan menindaklanjutinya dalam waktu ke depan. Demikian pula hal yang sama juga disampaikan kala beliau menerima seluruh pimpinan lembaga keagamaan di Widya Candra dalam sessi berbuka bersama, beliau juga menyampaikan hal tersebut. Beliau tekankan, bahwa sangat penting untuk menyamakan pandangan tentang definisi hilal dan kriterian hilal untuk menentapkan kapan awal puasa dan awal syawal bisa dipastikan.

Rasanya memang harus ada kearifan semua pimpinan lembaga keagamaan untuk memadukan kebersamaan,  dan saya kira semua akan bisa melakukannya. Rasanya, di dunia ini juga tidak ada yang tidak bisa dilakukan jika kita memang bisa bersepakan untuk bersama-sama.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

 

 

MENCERMATI SIDANG ITSBAT (1)

Banyak orang yang mengira bahwa sidang itsbat adalah sidang formalitas untuk menentukan kapan tanggal 1 Romadlon akan berlangsung, kapan tanggal 1 Syawal akan terjadi dan juga kapan tanggal 1 Dzulhijjah akan terlaksana. Sidang itsbat dianggap sebagai suatu peristiwa yang biasa saja. Padahal sidang itsbat tentu terkait dengan peristiwa ibadah yang sangat penting di dalam kehidupan umat Islam, yaitu puasa Ramadlon dan ibadah haji.

Sidang itsbat adalah sidang untuk menentukan kapan mulai pelaksanaan ibadah puasa, kapan mengakhiri puasa dan kapan pelaksanaan ibadah haji. Melalui sidang itsbatlah semuanya ditentukan.  Di dalam hal ini maka peran pemerintah tentu sangat penting di dalam menentukan terhadap penentuan tanggal-tanggal dimaksud.

Sidang itsbat selalu dipimpin oleh Menteri Agama. Sidang ini tidak hanya diikuti oleh organisasi Islam se Indonesia, akan tetapi juga dihadiri oleh duta besar dan perwakilan Negara sahabat. Di antara yang hadir tersebut adalah Duta Besar Palestina, Brunei, Jordan, Sudan, Iraq, Saudi Arabia, Qatar, Bangladesh, Suriah, dan sebagainya. Sedangkan organisasi keagamaan yang hadir tentu banyak sekali di antaranya adalah NU, Muhammadiyah, Persis, PUI, Mathlaul Anwar, Jamiyatul Washliyah, dan sebagainya. Sidang juga diikuti oleh para pejabat eselon I dan II Kementerian Agama RI.

Sidang itsbat kali ini juga diselenggarakan secara tertutup dan baru sesudah ditemukan rumusan keputusannya dan diputuskan oleh pemerintah lalu dilakukan press release pada semua media, baik televisi, cetak maupun radio. Hampir seluruh media meliput terhadap sidang ini. Saya kira hal ini menunjukkan betapa besar perhatian media dan tentu juga masyarakat terhadap hasil sidang itsbat.

Sebelum sidang itsbat dimulai, maka dilakukan acara mendengarkan paparan hasil hisab dan astronomi yang disampaikan oleh pakar astronomi yang juga anggota tim hisab dan rukyat Kementerian Agama, Cecep Purwendaya, tentang pandangan ilmiah tentang posisi hilal saat ini.

Berdasarkan kajian astronomis diketahui bahwa posisi hilal sekarang berada di dalam titik ketinggian 2 sampai 3 derajat. Bulan berada di sebelah selatan matahari dan agak ekstrim letaknya, sehingga wilayah bumi bagian utara  dipastikan tidak akan dapat melihat hilal. Sedangkan wilayah selatan, dipastikan akan besar kemungkinannya untuk melihat hilal.

Itulah sebabnya, dapat dipastikan bahwa dengan posisi ketinggian hilal yang sudah di atas dua derajat akan besar peluangnya untuk dilihat di Indonesia dan juga Arab Saudi. Meskipun di Arab Saudi akan lebih cepat masa peredaran hilal tersebut. Di wilayah Indonesia, hilal akan bisa dilihat selama 15 menit ketika matahari terbenam.

Berdasarkan kesepakatan MABIMS, bahwa memang hilal akan bisa dirukyat apabila ketinggiannya adalah 2 derajat. Inilah yang kemudian disebut sebagai imkanur rukyat. Yaitu teori tentang kemungkinan melihat hilal. Kriteria inilah yang dijadikan sebagai pedoman oleh Negara anggota MABIMS di dalam menentukan kapan tanggal 1 Ramadlon, 1 Syawal dan juga 1 Dzulhijjah. Imkanur rukyat merupakan pemaduan antara teori hisab dan rukyat.

Kenapa di Indonesia bisa berbeda di dalam menentukan tanggal 1 Romadlon dan 1 syawal? Hal ini disebabtkan karena metodologi penentuan tanggal tersebut berbeda. Kalangan Muhammadiyah menentukannya berdasarkan posisi wujudul hilal atau yang penting berdasarkan teori hisab diketahui bahwa hilal sudah ada. Jadi meskipun ketinggian hilal adalah 0,1 derajat, maka berarti hilal sudah ada, maka pelaksanaan ibadah puasa bisa dilakukan pada awal romadlon dan ibadah puasa dapat dihentikan kala awal syawal. Jadi berdasarkan perhitungan atau hisab yang diselenggarakan oleh tim hisabnya, maka kala wujud hilal di dalam perhitungan sudah eksis, maka dapat ditentukan dengan pasti awal Ramadlon dan akhir Ramadlan.

Berdasarkan perbedaan metodologi inilah maka di negeri ini sering didapati perbedaan di dalam menentukan awal Romadlon atau awal Syawal. Perbedaan metodologi ini juga akan terus berlangsung jika tidak ditemukan kesamaan metodologi di dalam penentuannya. Ke depan sesungguhnya yang diperlukan adalah bagaimana menyamakan metodologi penentuan awal bulan Romadlon dan Syawal.

Oleh karena itu, ada dua hal yang disampaikan oleh Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin, di dalam acara sidang ini, yaitu perlunya menyamakan konsepsi tentang definisi hilal dan kemudian menentukan kriteria seberapa hilal bisa dirukyat. Kejelasan dua hal inilah yang nantinya akan dapat menyamakan persepsi tentang hilal sebagai patokan untuk menentukan ibadah dimaksud.

Jika himbauan Menteri Agama ini memperoleh respon secara memadai dari semua kalangan atau organisasi keagamaan di Indonesia, saya kira ke depan masih ada peluang untuk sependapat di dalam penentuan awal Ramadlon dan awal Syawal. Hanya inilah cara yang bisa digunakan untuk menentukan kesamaan dalam penentuan awal bulan puasa dan kapan hari raya bisa dilaksanakan. Jika semua  berbasis pada kesepahaman dan kearifan yang mendasar pastilah keniscayaan kebersamaan akan bisa dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (2)

TRANSPARANSI BIAYA NIKAH (2)

Hari Rabo, 23 Juli 2014 dilaksanakan acara penandatangan Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Kementerian Agama dengan Bank BRI, Bank BNI, Bank BTN dan Bank Mandiri. Acara ini dilaksanakan di Operation Room Kementerian Agama RI Jalan Lapangan Banteng 3-4 Jakarta.

Acara ini menjadi sangat penting di tengah keinginan untuk membangun transparansi pembiayaan pencatatan nikah yang selama ini menjadi masalah yang terkait dengan gratifikasi. Hadir pada acara ini adalah para pejabat eselon I, II dan III Kementerian Agama dan perwakilan Direksi Bank Mitra Kerjasama.

Setelah sambutan yang disampaikan oleh ke empat mitra kerjasama, maka saya didapuk untuk memberikan kata sambutan balasan atas penandatangan PKS yang tentu sangat penting tersebut. Saya sampaikan empat  hal mendasar tentang perlunya PKS antara Kemenag dengan Bank Mitra ini.

Pertama, penandatangan PKS ini memiliki maknna penting  dari keinginan bersama untuk membangun transparansi keuangan pencatatan nikah yang selama ini memantik masalah terkait dengan dugaan gratifikasi yang sangat ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Hampir dua tahun masalah biaya pencatatan nikah menjadi polemik di masyarakat luas, sebab akibat pemberitaan di media massa yang menyatakan bahwa terdapat gratifikasi di Kementerian Agama terkait dengan biaya pencatatan nikah.

Pemberitaan yang luar biasa ini menyebabkan adanya aneka ragam opini dan pencarian jalan keluar yang memadai. Sehingga lahirlah perubahan PP No 47 tahun 2004 yang diubah menjadi PP No. 48 Tahun 2014. Perubahan ini tentu sangat signifikan di dalam PNBP Kementerian Agama khususnya mencakup biaya pencatatan nikah. Dari sebesar Rp30.000,- menjadi Rp600.000,-. Itulah sebabnya penandatanganan PKS ini memiliki maksa strategis untuk menciptakan rasa aman bagi para penghulu, yang selama ini berada di dalam bayang-bayang ketidakmenentuan, sebagai akibat ketiadaan payung regulasi yang jelas.

Kedua, penandatanganan PKS ini juga menjadi jawaban terhadap keinginan untuk membangun kerjasama yang lebih luas antara mitra perbankan dengan kementerian Agama. Selama ini Kementerian Agama sudah memiliki kerjasama dengan Bank Mandiri untuk SBMPTAIN dan juga lainnya, kemudian dengan BRI juga sudah terdapat kerjasama tentang pembayaran gaji PNS, demikian pula dengan BNI dan BTN serta bank lain yang terkait dengan setoran dana haji dan sebagainya.

Melalui kerjasama ini maka program kerja yang dimitrakan menjadi semakin luas. Dengan KUA sejumlah 5382 buah yang tersebar di seluruh Indonesia, maka peran perbankan tentu sangat signifikan.

Ketiga, terkait dengan PKS, maka yang akan dikerjasamakan adalah tentang  penerimaan setoran biaya pencatatan nikah dan rujuk. Kemudian, penyetoran hasil setoran biaya pencatatan nikah ke kas Negara. Lalu, penerimaan kembali hasil pencairan dana PNBP. Melalui pola seperti ini, maka tidak ada lagi biaya siluman di dalam proses pernikahan. Semua ditentukan melalui regulasi dan dicatat serta dikeluarkan juga melalui peraturan yang jelas.

Itulah sebabnya, maka dibuatlah peraturan Menteri Agama (PMA) yang akan mengatur secara lebih mendalam terkait dengan PNBP Pencatatan Nikah. Melalui system ini maka tidak ada lagi keraguan bagi penghulu untuk menyelenggarakan pencatatan nikah diluar kantor. Semua dilakukan by regulation.

Melalui perubahan PP akan didapatkan kepastian besaran biaya pencatatan nikah dan melalui PKS antara Kemenag dengan Bank Mitra, maka juga akan didapatkan transparansi anggaran PNBP tersebut.

Keempat, melalui kerjasama ini, juga ke depan harus dipikirkan bagaimana ada keuntungan timbal balik antara kemenag dan Bank Mitra. Oleh karena itu, maka ke depan harus didiskusikan secara mendalam tentang bagaimana memanfaatkan sebagian Corparate Social Responsibility (CSR) Bank Mitra untuk mengembangkan program kemenag. Misalnya, program pendidikan, program perhajian dan program bimbingan masyarakat. Ke depan harus ada upaya untuk membangun kebersamaan di dalam pengembangan masyarakat melalui program CSR Bank Mitra.

Jika hal ini bisa dirumuskan lebih mendasar, maka saya kira akan semakin banyak manfaat bank bagi pengembangan masyarakat termasuk yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Bukan hal yang mustahil.

Wallahu a’lam bi al shawab.