MAKNA HARI RAYA BAGI KEMANUSIAAN
Tanpa terasa sudah sebulan lamanya kita melakukan ibadah puasa pada bulan Ramadlan. Sebulan pula kita sudah menahan makan, minum, melakukan relasi seksual pada siang hari dan juga menahan semua hawa nafsu yang memang harus dimanaj sedemikian rupa. Puasa memang dalam arti generiknya adalah menahan atau shaum.
Sebagai sarana untuk menahan berbagai tindakan tercela, puasa adalah instrumen agar seseorang dapat mencapai derajat taqwa atau disebut sebagai “laallakum tattaqun.” Sebagai instrumen untuk mencapai ketaqwaan, maka semua proses dan cara yang ditempuh di dalam puasa mestilah berbasis pada kebenaran ajaran agama yang terkait dengan ibadah puasa itu sendiri.
Puncak puasa adalah yang disebut sebagai hari raya atau lebaran atau di dalam tradisi Jawa disebut sebagai riyayan. Tradisi ini ditandai dengan adanya tindakan saling kunjung ke rumah kerabat, tetangga, sahabat dan juga para sesepuh serta pimpinan suatu lembaga atau institusi pemerintah dan swasta.
Bahkan dalam kerangka untuk memenuhi hasrat saling berkunjung tersebut, mereka rela untuk melakukan mudik yang jauhnya bisa ratusan kilometer dan dalam waktu yang berjam-jam. Bayangkan untuk bisa ke Surabaya, maka mereka rela untuk macet di jalan berjam-jam. Itulah sebabnya semua jalur ke wilayah timur dari Jakarta macet luar biasa. Baik jalur pantura maupun jalur selatan selalu berada di dalam kemacetan.
Apakah kemacetan tersebut membuat mereka jera? Ternyata sama sekali tidak. Hasrat untuk bertemu dengan kerabat ternyata mengalahkan rasa kecapekan dan kepenatan sepanjang mudik tersebut. Aneh tetapi nyata. Bukankah mereka melakukannya hampir setiap tahun. Dan seandainya mereka ditanya apakah akan mudik lagi tahun depan, pastilah jawabannya mereka akan melakukannya lagi.
Hari raya sebenarnya tidak hanya sekedar upacara keagamaan liminal yang dilakukannya setiap tahun untuk menandai berakhirnya puasa Ramadlan, akan tetapi juga memiliki makna social yang mendasar. Shalat idul fithri yang dilakukan di masjid, mushallah dan lapangan adalah bagian dari ritual keagamaan. Meskipun hukumnya sunnah, akan tetapi masyarakat Islam selalu berbondong-bondong datang ke tempat penyelenggaraan shalat id.
Mereka memakai baju baru sebagai ekspressi kegembiraan menyambut hari raya idul fithri. Hal itu dilakukan sebagai ekspressi kemenangan setelah melawan hawa nafsu selama sebulan. Mereka menumpahkannya dalam hari raya dengan pakaian baru, pikiran baru dan tindakan baru. Terutama yang bersuka cita adalah anak-anak. Mereka benar-benar merasakan makna hari raya sebagai hari bersuka cita.
Makna hakiki dari Idul Fithri adalah kembali kepada kesucian. Di sini diartikan bahwa kesucian tersebut adalah kesucian lahir dan batin. Kesucian lahir ditandai dengan tindakan-tindakan dan sikap-sikap kita yang kembali kepada kesucian. Simbol lahiriyah kita adalah pakaian, kendaraan, rumah, dan milik kita yang berupa fisikal merupakan sesuatu yang sudah kita sucikan. Sedangkan dari aspek batin yang suci adalah kala semua pikiran, hati dan perasaan kita memang sudah memasuki tahapan kesucian pula.
Kesucian tersebut ditandai dengan kecenderungan kita untuk secara fisik dan batin semakin suci. Yang kita pikirkan dan kita lakukan adalah tindakan berbasis pada ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Di dalam puasa kita dapat menahan banyak hal, maka yang diharapkan sesudah puasa dan pada bulan-bulan berikutnya adalah kita kembali untuk memperkuat ketahanan fisik dan batin kita dalam melawan godaan kehidupan yang makin kompleks.
Di sekeliling kita ada banyak tantangan, misalnya sikap materialism yang makin kuat, globalisasi yang semakin tidak tertahankan. Makanya yang diharapkan sesudah selama sebulan kita berpuasa adalah dapat menyaring mana yang bermanfaat dan relevan dengan ajaran agama dan mana yang tidak.
Oleh karena itu tugas kemanusiaan kita adalah mengembalikan kefitrian kita agar yang kita lakukan adalah tetap berada di dalam koridor kemanusiaa pula. Setelah berpuasa, maka kita semakin mengikat relasi dengan Tuhan dengan sebaik-baiknya, kita juga mengikat relasi dengan manusia dengan sebaik-baiknya dan kita juga mengikat relasi dengan alam dengan sebaik-baiknya.
Jadi makna hakiki dari berhari raya adalah mengembalikan kita kepada kesucian diri dalam menyembah Allah, membangun kebaikan dengan sesama manusia dan juga mengembangkan relasi dengan alam yang makin baik. Kita pastikan bahwa manusia dan alam adalah subyek di dalam kehidupan ini, sehingga tidak ada perbudakan terhadap mereka semua.
Wallahu a’lam bi al shawab.