• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

TUJUAN AKHIR PELAYANAN ADALAH KEBAHAGIAAN

Di dalam banyak kesempatan untuk memberikan arahan dalam pertemuan di Sekretariat Jenderal Kementerian Agama maupun di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, selalu saya tekankan bahwa tujuan didirikannya birokrasi adalah untuk memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan.

Pelanggan sebagaimana yang kita ketahui terdiri dari dua kelompok, yaitu pelanggan internal dan pelanggan eksternal. Kepuasan pelanggan internal akan terjadi manakala para karyawan di tempat kerjanya akan merasa puas dengan pelayanan birokrasi di dalamnya, sedangkan pelanggan eksternal juga akan merasa puas jika pelayanan kepada mereka (masyarakat pelanggan) dilakukan dengan sangat baik dan memuaskan.

Kepuasan merupakan kondisi fisik dan psikhis yang merasa nyaman, senang dan aman terhadap stimuli dari luar dirinya maupun stimuli dari dalam dirinya. Seseorang akan merasa puas jika pelayanan yang diberikan dari luar dirinya ataupun  pencapaian di dalam dirinya sesuai dengan harapannya.

Namun demikian, sesungguhnya kepuasan bukanlah tujuan akhir pelayanan birokrasi. Tujuan final dari semuanya adalah untuk mencapai kebahagiaan. Jika kita memberikan pelayanan kepada para pelanggan,  maka kedua belah pihak akan merasa bahagia. Jika kita sebagai pelayan masyarakat dan  tidak bisa melakukannya dengan baik, maka sesungguhnya kita telah mengalami kegagalan.

Secara umum, berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia lebih meningkat dibanding tahun sebelumnya. Survey yang dilakukan terhadap sebanyak 9.720 orang dan menghasilkan indeks 65,11 dan indeks ini  berada di dalam level “bahagia”.

Ada 10 indikator yang digunakan untuk memahami tentang “kebahagiaan”, yaitu: kesehatan, pendidikan, pekerjaan, pendapatan rumah tangga, kondisi lingkungan, kondisi keamanan, hubungan sosial, keharmonisan keluarga, ketersediaan waktu luang, kondisi rumah dan asset.

Dari 10 indikator ini ternyata diketahui bahwa seluruhnya adalah bercorak materialistis. Artinya tidak ada yang terkait dengan aspek non-materi yang dijadikan sebagai indikator kebahagiaan tersebut. Makanya, saya sering menyatakan bahwa mestinya untuk mengukur kebahagiaan bukan hanya dari aspek materi, sebagaimana ukuran di atas, akan tetapi seharusnya juga menggunakan ukuran nonmateri yang juga menjadi aspek mendasar dari kehidupan manusia.

Selama ini, sebuah negeri yang sudah menggunakan ukuran nonmateri untuk mengukur kebahagiaan adalah Negeri Buthan. Sebuah negara di Kaki Gunung  Himalaya, dengan agama Budhisme sebagai agama masyarakatnya. Di negeri ini juga terdapat kuil tertinggi di dunia, sebagai tempat pemujaan terhadap Budha Gautama, sebagai tokoh utama panutan di dalam tradisi agama ini. Masyarakat  Buthan adalah penduduk dengan tingkat kebahagiaan terbaik di dunia.

Apakah masyarakat Indonesia sudah menikmati kebahagiaan sebagaimana yang diharapkan? Berdasarkan ukuran Badan Pusat Statistik (BPS), maka penduduk Indonesia sudah bahagia. Artinya, meskipun masih banyak kendala kehidupan dan tantangan kehidupan yang relatif banyak, misalnya kemiskinan, akan tetapi ternyata mereka sudah cukup bahagia.

Sesungguhnya, kebahagiaan adalah hak setiap manusia di manapun keberadaannya. Sesuai dengan doa yang terus dikumandangkan dan sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, “Rabbana atina fi al-dunya hasanah wa fi al-akhirati hasanah waqina adzaban nar”.

Jadi setiap orang menginginkan kondisi bahagia itu. Di dalam kebahagiaan tersebut tentu ada aspek rasa puas, rasa aman, rasa nyaman,  rasa damai dan rasa sejahtera.   Sesungguhnya bahagia itu lebih banyak sebagai fenomena rasa atau dimensi dalam diri manusia. Jadi bukan hanya aspek fisik belaka akan tetapi lebih merupakan fenomena dalam diri manusia.

Di dalam hal pelayanan dunia birokrasi, jika kita yang dilayani, maka kita merasa senang, puas dan nyaman dengan pelayanan yang diberikan oleh partner kita. Artinya, bahwa proses yang terjadi di dalam pelayanan dan juga hasil layanannya dapat memberikan kepada kita mengenai rasa aman, nyaman, puas dan terpenuhi keinginan kita.

Jika kita yang melayani, maka kita juga merasa senang, puas dan nyaman dengan pemberian layanan kepada mitra kita. Artinya bahwa proses pelayanan dan hasil pelayanan yang kita berikan tersebut dapat memberikan rasa aman, nyaman, puas dan bisa memenuhi terhadap para pelanggan kita.

Jika seandainya, kita umpamakan bahwa diri kita itu adalah pelayan toko, maka kita akan puas kalau mampu “memanjakan” para pelanggan kita, sehingga para pelangan akan merasakan kepuasan atas pelayanan kita. Para pelanggan kita akan datang dan terus datang ke toko kita karena senyuman dan ucapan kita yang membuat para pelanggan akan merasakan kenyamanan dan kepuasan.

Dengan demikian, sebagai pelayan maka kita akan berterima kasih karena ada pelanggan yang memerlukan bantuan atau pelayanan kita. Oleh karena itu, kita mestilah merasa nyaman, senang dan puas ketika kita dapat memberikan pelayanan yang lebih baik dari hari ke hari.

Jadi bukan hanya pelanggan yang merasa puas dengan pelayanan kita, akan tetapi kita juga merasakan kepuasan karena bisa melayani para pelanggan kita. Dan kebahagiaan akan muncul  sebagai akibat dari pemberian pelayanan tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

YANG MEMBANGGAKAN DARI PENDIDIKAN ISLAM (4)

Tidak boleh dilupakan adalah pendidikan agama Islam di sekolah. Islam menjadi berkembang dengan tingkat pengetahuan, pengamalan dan penyebarannya yang makin baik adalah salah satunya melalui sekolah.

Sebagai pilar pendidikan moral dan religiositas, peran pendidikan agama Islam di sekolah tentunya sangat signifikan. Kedudukan pendidikan agama juga menjadi makin kuat setelah terjadi perubahan undang-undang pendidikan. Melalui Undang-Undang Pendidikan Nasional, No. 20 Tahun 2003, maka posisi pendidikan agama semakin jelas, sebab semua siswa harus mendapatkan pelajaran agama sebagaimana agama yang dipeluknya.

Meskipun masih ada beberapa problema terkait dengan pendidikan agama di sekolah, seperti di Malang, dan juga di Bali, tetapi hal tersebut tidaklah mengurangi tentang makna penting pendidikan dimaksud. Melalui  sikap tegas yang diambil oleh pemerintah terkait dengan pendidikan agama ini, maka kiranya ke depan problem ini tentunya tidak akan didapati lagi.

Pendidikan agama Islam di sekolah tentunya mengusung konsepsi Islam rahmatan lil alamin atau Islam yang mengedepankan moderasi atau Islam keindonesiaan. Yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia adalah Islam yang tidak ekstrim kanan atau Islam yang sering dikonsepsikan sebagai Islam fundamental atau Islam garis keras.

Itulah sebabnya, beberapa saat yang lalu digagas tentang program pembelajaran Islam rahmatan lil alamin. Di dalam diskusi yang diselenggarakan tersebut, maka dianggap penting untuk menyusun kurikulum pendidikan Islam yang rahmatan lil alamin. Meskipun kurikulum ini belum maksimal diajarkan di sekolah, akan tetapi sekurang-kurangnya telah terjadi disseminasi pengajaran dan pendidikan agama Islam yang berciri khas keindonesiaan, yaitu Islam rahmatan lil alamin.

Di antara yang menonjol adalah program apresiasi pendidikan Islam. Di dalam program ini, maka para guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan diberikan penghargaan sesuai dengan bidangnya. Melalui program ini maka akan dapat menyulut semangat para guru, kepala sekolah dan pengawas pendidikan untuk berlomba-lomba menyelenggarakan pendidikan secara maksimal. Penghargaan hanya diberikan kepada mereka yang ekselen saja di dalam penyelenggaraan pendidikan.

Melalui program MGMP dan KKG, maka banyak dilakukan berbagai aktivitas untuk peningkatan kualitas pendidikan agama. Melalui pelatihan dan diskusi serta workshop untuk peningkatan kualitas guru dan aktivitas pembelajaran, maka para  guru tentu makin berkualitas. Program ini juga digunakan untuk pelatihan guru bagi penyelenggaraan kurikulum 2013.

Saya tentu mengapresiasi terhadap para guru agama Islam yang selalu memanfaatkan MGMP dan KKG bagi pengembangan kualitas para guru agama. Self activism inilah yang kiranya menjadi pembeda antara guru agama dengan lainnya. Ketika forum kebersamaan para guru tersebut terus diaktivasi, maka saya yakin bahwa kualitas guru agama akan menjadi semakin baik.

Untuk peningkatan kualitas para guru juga diberikan beasiswa untuk melanjutkan studi pada  program strata dua. Melalui kerjasama dengan PTAIN yang memiliki program strata dua, maka para guru agama yang lulus test kualifiksi akademik akan dapat menikmati pendidikan bersubsidi untuk memperoleh gelar magister pendidikan agama Islam. Program ini didesain untuk menjawab keraguan akan kualitas guru agama yang dianggapnya masih berada di bawah standar. Dengan menyandang gelar master, maka siapapun tidak akan meragukan kualitas para guru agama Islam tersebut.

Bantuan bagi pengembangan kapasitas pembelajaran dan kelembagaan sekolah juga dilakukan. Di dalam hal ini maka sekolah mendapatkan bantuan untuk pengembangan hal ini. Melalui bantuan ini maka sekolah dapat menyelenggarakan pelatihan para guru atau workshop pembelajaran yang sesuai dengan tuntutan perubahan kurikulum tahun 2013 dan juga sarana prasarana keagamaan, misalnya mushallah di sekolah.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Presiden SBY dalam suatu kesempatan bahwa di Indonesia sedang terjadi silent revolution, yaitu program pendidikan yang lebih menyejahterakan para guru dalam perbaikan kualitas pendidikan. Makanya, melalui program yang dirancang untuk peningkatan mutu para guru, peningkatan kualitas proses pembelajaran dan peningkatan kualitas manajemen pendidikan, maka ke depan tentu akan dihasilkan kualitas pendidikan Indonesia yang lebih baik.

Para guru agama Islam tentu adalah penjaga terdepan kualitas moral siswa. Oleh karena itu jika para gurunya berkualitas dan memiliki panduan moralitas dan etika yang jelas, maka akan dihasilkan kualitas pendidikan yang baik. Jadi pendidikan agama jelas memiliki kontribusi bagi pengembangan karakter anak didik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

YANG MEMBANGGAKAN DARI PENDIDIKAN ISLAM (3)

Kali ini saya ingin mengulas tentang pesantren. Sebagai salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia, saya kira tidak ada orang yang tidak mengenal pesantren. Pesantren telah memiliki peran penting, tidak hanya dalam pendidikan akan tetapi juga pada masa perjuangan bangsa Indonesia untuk merebut kemerdekaan.

Semenjak menjadi Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren yang berdiri sendiri, maka sudah banyak program yang dikembangkan oleh direktorat ini. Sebagai institusi yang mewadahi pendidikan diniyah dan pondok  pesantren, tentu saja banyak kegiatan yang digunakan untuk melakukan pertemuan dengan para kyai untuk pengembangan pesantren.

Pesantren sesungguhnya dikenal sebagai tembok depan untuk menyangga NKRI. Itulah sebabnya banyak pertemuan dengan tajuk “kebangsaan” yang diselenggarakan di pesantren. Pertemuan dimaksudkan sebagai upaya untuk melestarikan dan mengembangkan nilai-nilai kepesantrenan dan kebangsaan, dan kemudian dapat dijadikan sebagai acuan di dalam pengembangan dan pelestatian nilai kebangsaan bagi masyarakat luas.

Kyai adalah sumber spiritualitas dan penguatan pendidikan keislaman, makanya keberadaan kyai dengan segala tributnya dapat menjadi instrument yang sangat kuat di dalam pengembangan religiositas masyarakat. Kyai adalah mediator yang bisa menjadi penghubung antara pemerintah dan masyarakat. Itulah sebabnya, banyak program yang dilakukan pemerintah dalam kerjasamanya  dengan kyai dan pesantren dalam kepentingan pembinaan masyarakat.

Sebagai direktorat yang membidangi pengembangan pesantren dan masyarakat, maka tentu banyak program yang telah dikembangkan oleh direktorat pendidikan diniyah dan pondok  pesantren. Di antara yang monumental adalah program Pendidikan Terpadu Anak Harapan (dikterapan). Program ini dirancang untuk memberi kesempatan kepada anak-anak terlantar, anak jalanan dan anak-anak miskin untuk mengikuti pendidikan di pesantren. Program yang digagas oleh Menteri Agama, Suryadharma Ali ini telah mendidik tidak kurang dari 20.000 anak jalanan.

Yang tidak kalah penting adalah program pesantren kewirausahaan. Program ini didesain untuk mengembangkan pesantren agar ke depan bisa menjadi lembaga pendidikan plus. Selain mempelajri aneka kitab kuning, maka pesantren juga mengajarkan semangat kewirausahaan. Ada banyak contoh pesantren yang telah mengembangkan jiwa entrepreneurship, misalnya Pesantren Darul Falah, Pesantren Darun Najah, Pesantren Sunan Drajat, Pesantren Sidogiri Pasuruan dan sebagainya. Pesantren Sidogiri terkenal dengan usaha koperasinya yang luar biasa.  Pesantren Sunan Drajat telah mengembangkan produk pupuk untuk ekspor ke Korea Selatan dan Jepang, produk garam beryodium, produk minuman kesehatan, dan sebagainya.

Selain itu juga terdapat program pesantren lingkungan. Program ini didasarkan atas keinginan ntuk mengembangkan pesantren agar memiliki kepedulian dengan penataan dan pelestarian lingkungan. Pesantren ini didesain untuk mengembangkan budaya lingkungan yang baik. Di antara program yang dikembangkan adalah daur ulang barang-barang bekas untuk menjadi produk unggulan. Produk sampah untuk keset, produk bahan bekas untuk kebutuhan produktif dan sebagainya. Pesantren Ciwedai adalah contoh pesantren yang mengembangkan lingkungan dengan programnya yang sangat baik.

Ada banyak pesantren yang telah mengembangkan pendidikan dengan program dwi bahasa. Misalnya adalah pesantren Asiddiqiyah. Pesantren ini telah mengajarkan program bahasa Arab dan bahasa Inggris. Demikian pula pesantren Tebuireng, Pesantren Lirboyo, dan sebagainya. Selain mengajarkan pendidikan berbasis kitab kuning, juga mengajarkan pendidikan berbasis bahasa internasional. Melalui pendidikan berbasis bahasa yang unggul, maka para santri akan dapat memiliki kemampuan di dalam menatap kehidupan secara lebih baik.

Yang juga membanggakan adalah pesatren muadalah. Di masa lalu, penyelenggaraan pesantren muadalah  tidak memiliki dasar hukum yang memadai. Namun demikian dengan telah dikeluarkannya PMA Nomor 18 Tahun 2014 tentang Satuan Pendidikan Muadalah Pada Pondok Pesantren yang secara khusus terkait dengan pendidikan muadalah, maka keraguan tentang penyamaan lulusan pesantren dengan pendidikan formal telah usai.

PMA ini sudah disusun dalam waktu yang sangat lama dan baru saja bisa diselesaikan. Artinya, bahwa dengan dikeluarkannya PMA ini, maka penyelenggaraan pendidikan pesantren muadalah telah memperoleh status yang makin absah. Para kyai menjadi lega sebab penantian sejauh ini telah terjawab. Dan dengan PMA ini, maka mereka yang mondok selama 6 tahun dengan belajar ilmu agama akan memperoleh status disamakan dengan lulusan Madrasah Ibtidaiyah. Jika mereka menambah 3 tahun, maka setara dengan lulusan Madrasah Tsanawiyah, dan jika menambah lagi dengan 3 tahun, maka akan setara dengan lulusan Madrasah Aliyah. Rasanya, terbitnya PMA ini adalah berkah terendiri bagi pesantren.

Para santri bukanlah anak yang selalu berada di belakang. Ternyata bahwa melalui Program Bantuan Siswa berprestasi (PBSB), para santri yang diseleksi untuk memasuki pendidikan di PTU, ternyata juga luar biasa. Para santri yang selama ini sering dicap sebagai terbelakang, ternyata anggapan tersebut salah. Mereka yang lulus ke ITB, UI, ITS, UA, UNY, IPB, UNJ, UPI dan sebagainya ternyata menempati rangking unggul. Tidak disangka bahwa mereka unggul dalam hasil belajar di Fakultas Kedokteran UI. Sungguh hal ini merupakan kebanggaan kita semua. Tidak hanya pesantren yang mengirimnya, akan tetapi juga masyarakat Indonesia.

Geliat pesantren untuk mengembangkan pendidikan umum juga luar biasa. Makanya, banyak dijumpai pesantren yang menyelenggarakan pendidikan seperti SMP, SMA dan  SMK bahkan juga mengembangkan pendidikan tinggi seperti universitas. Pesantren Darul Ulum Jombang telah memiliki universitas, Pesantren Tebuireng juga memiliki universitas, Pesantren Bahrul Ulum juga memiliki universitas dan lain-lainnya.

Dari pesantren sesungguhnya akan dilahirkan generasi seperti Ibn Khaldun, Ibn Rusyd, Ibn Sina, al Khawarizmi, Al Ghazali, atau yang lain seperti Imam Syafii, Imam hanafi, Imam Hambali, Imam Maliki  dan sebagainya. Jika pesantren tetap mempertahankan pendidikan kitab kuningnya, lalu memadukannya dengan pendidikan sains dan teknologi, maka ke depan akan dihasilkan generasi emas Indonesia tahun 2045 yang unggul, kompetitif dan berkarakter Islami.

Wallahu a’lam bi al shawab

YANG MENGGEMBIRAKAN DARI PENDIDIKAN ISLAM (2)

Kali ini saya ingin melakukan refleksi tentang pendidikan Islam dari dimensi pendidikan madrasah. Mengapa pendidikan madrasah perlu diungkap terkait dengan kemajuannya, sebab sesuangguhnya core pendidikan Islam sebenarnya ada di sini. Hal ini tentu saja terkait dengan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang nyata-nyata berpihak kepada pendidikan dasar dan menengah.

Pemerintah Indonesia memang sangat concern untuk mengembangkan pendidikan dasar dan menengah, sebab pada aras inilah sesuangguhnya pendidikan tersebut diukur dalam level internasional. Berbagai survey yang dilakukan oleh lembaga internasional kebanyakan adalah untuk mengukur kualitas dan kuantitas pendidikan dasar dan menengah tersebut. Education Development Index (EDI), Program for Intrernational Student Assesment (PISA), Survey Firma Pendidikan, dan sebagainya dilakukan untuk mengukur kualitas pendidikan dasar dan menengah.

Itulah sebabnya pemerintah berjibaku untuk meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah agar hasil survey internasional tersebut dapat menggambarkan kemajuan tentang pendidikan di Indonesia. Setelah sukses mengembangkan program wajib belajar (wajar) Sembilan tahun, maka pemerintah memberikan solusi program pendidikan universal untuk mengembangkan pendidikan menengah.

Menyiasati terhadap pengembangan dan perluasan akses pendidikan bermutu, maka Direktorat madrasah telah mengembangkan Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia  (MAN IC) dengan kualifikasi yang sangat bagus. Oleh karena itu, lalu kita kembangkan sebanyak 19 MAN IC yang lain di wilayah propinsi lainnya. Dan tahun depan tentu kita berkewajiban untuk menambah jumlahnya, sehingga diharapkan setiap provinsi akan memiliki MAN IC dengan kualifikasi unggul. MAN IC ini diwajibkan menjadi MAN unggulan atau ekselen. Tiga MAN IC, yaitu Serpong, Gorontalo dan Jambi telah menjadi ikon bagi pendidikan Madrasah dengan keunggulan akademik yang nyata. Rasanya, orang tua menjadi bangga jika anaknya diterima di MAN IC tersebut.

Program unggulan lain adalah pengembangan Madrasah pedalaman dan Madrasah perbatasan. Kita telah menjalin kerjasama untuk piloting madrasah pedalaman dengan Kabupaten Kaur, Bengkulu. Kita sungguh sadar bahwa masih banyak masyarakat pedalaman di Indonesia yang belum tersentuh oleh tangan pemerintah. Makanya melalui program ini maka kita harus hadir untuk mereka. Tahun-tahun yang akan dating maka madrasah pedalaman ini akan menjadi ikon bagi kementerian Agama di dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.

Mengapa juga harus mengembangkan madrasah perbatasan? Kita seharusnya sadar bahwa pintu gerbang Indonesia adalah daerah perbatasan. Untuk melihat Indonesia yang sesungguhnya, maka yang pertama dilihat adalah wilayah perbatasannya. Jika wilayah perbatasannya maju, maka akan tampak kemajuan Indonesia tersebut. Itulah sebabnya pendidikan seperti MAN IC itu seharusnya ada di wilayah perbatasan. MAN 3 Malang itu seharusnya ada di wilayah perbatasan dengan Filipina, Papua Nugini, atau wilayah perbatasan dengan Malaysia. Dengan pendidikan unggul seperti ini di wilayah perbatasan, maka gengsi dan kewibawaan Indonesia akan tampak dengan jelas.

Selain itu juga ada program-program unggulan yang telah dikembangkan yaitu program madrasah riset nasional atau Pro-Madrina. Program ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian madrasah terhadap riset terapan yang dipergunakan untuk mendukung program Kompetisi Sains madrasah. Melalui program ini maka banyak madrasah yang menjadi maju karena riset yang dilakukannya. Tidak hanya siswa MA yang terlibat di dalam gerakan riset ini, akan tetapi juga siswa MTs yang mengikuti program ini. Melalui program ini maka ke depan akan dihasilkan calon-calon peneliti yang andal sebagai persiapan generasi emas Indonesia tahun 2045.

Yang tidak kalah penting adalah Gerakan Nasional Madrasah Tahfidz. Program ini dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi para siswa yang memiliki kecenderungan hafalan al Qur’an untuk mengekpressikan kegemarannya tersebut dalam wadah yang jelas. Melalui system boarding yang diselengarakan oleh madrasah, maka peluang untuk mengembangkan madrasah tahfidz bukanlah sesuatu yang sulit.

Pasca diterbitkannya, PMA tentang Penyelenggaraan Madrasah, maka dapat dipastikan bahwa akan terdapat tiga model pendidikan di madrasah, yaitu akademis, seperti MAN IC atau MAN 3 Malang, atau MAN 4 Jakarta, lalu madrasah kejuruan dan madrasah keagamaan. Kita sebenarnya telah memiliki sejumlah MA dengan kekhususan bidang kejuruan, tentu madrasah inilah yang ke depan akan diharapkan menjadi model MA kejuruan. Kemudian di dalam kerangka penyediaan calon ulama, maka juga dikembangkan madrasah khusus keagamaan. Untuk mempercepat proses pengembangannya, maka madrasah di pesantren akan dapat dipercepat untuk menjadi madrasah khusus keagamaan tersebut.

Yang juga tidak kalah menggembirakan adalah capaian siswa madrasah yang berhasil menggondol juara olimpiade  sains, baik nasional maupun internasional. Demikian pula tentang hasil Ujian Nasional (UN) yang semakin baik. Bahkan untuk level MA dan SMA sudah setara, demikian pula untuk MTS dan SMP. Usaha-usaha yang dilakukan oleh madrasah dalam rangka menjemput hari esok yang lebih baik tentu perlu untuk diapresiasi.

Melihat performance pendidikan madrasah yang sekarang tersaji, rasanya kita berkeyakinan bahwa masa depan madrasah akan menjadi semakin baik. Melalui kerja keras, cerdas dan ikhlas dari seluruh pemangku kepentingan tentang pendidikan madrasah, kita semua yakin dengan slogan kita  bahwa ke depan “madrasah lebih baik, lebih baik madrasah”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

YANG MENGGEMBIRAKAN DARI PENDIDIKAN ISLAM (1)

Tanpa terasa ternyata saya telah mengabdi sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama sudah hampir 2,5 tahun, terhitung saya dilantik oleh Pak Suryadharma Ali, tanggal 17 Januari 2012. Saya sesungguhnya merasakan bahwa dalam kurun waktu tersebut ternyata belum banyak yang bisa saya lakukan, terutam program-program monumental yang semestinya menjadi ikon pendidikan Islam di Kementerian Agama.

Saya tentu teringat kala saya menyandang jabatan ini, maka problem utama di pendidikan tinggi Islam adalah banyaknya keluhan dari para rector terkait dengan betapa susahnya untuk membuka prodi baru, padahal di dalam renstra pendidikan tinggi Islam adalah memperluas akses pendidikan dalam rangka pencapaian peningkatan angka partisipasi kasar (APK). Problem tersebut juga makin runyam kala seorang pimpinan PTAIN berhadapan dengan hokum karena membuka prodi yang terlambat izin operasionalnya.

Itulah sebabnya tugas pertama saya adalah membuka keran perizinan bagi PTAIN, sehingga dalam waktu seminggu bisa dihadirkan ratusan prodi baru sebagai kesempatan untuk membuka akses pendidikan tinggi. Sebagai mantan rector PTAIN, tentu saya tahu persis apa yang sesungguhnya menjadi problem terutama dalam kaitannya dengan pengembangan prodi PTAIN.

Tentu ada program-program yang tidak bernilai monumental meskipun program tersebut adalah program baru, namun yang sungguh membuat gembira adalah terbuaknya keran untuk melakukan konversi kelembagaan pendidikan tinggi Islam. Saya tentu teringat bagaimana Kementerian PAN&RB menolak permohonan perubahan status dari lima STAIN untuk menjadi IAIN. Ada sejumlah alasan yang tentu sangat berat bagi perubahan dimaksud, yaitu jumlah mahasiswa harus 10.000 orang, luas tanah harus 25 hektar dan sejumlah persyaratan lainnya.

Untunglah kepemimpinan di Menpan&RB berubah. Bu Rini, kawan saya, menjadi Deputy Kelembagaan yang salah satu tupoksinya adalah melakukan penilaian terhadap perubahan-perubahan status kelembagaan pendidikan. Melalui diskusi yang panjang, akhirnya kita bersepakat untuk meneruskan perubahan status kelembagaan STAIN ke IAIN. Lima STAIN akhirnya berubah menjadi IAIN. Tentu sebuah kebanggaaan yang luar biasa bagi lima PTAIN yang bisa berubah kelembagaannya tersebut.

Kegembiraan itu terpancar dari acara demi acara pembukaan secara resmi perubahan status ke IAIN. Banyaknya ucapan selamat di berbagai media tentu saja memberikan gambaran bahwa masyarakat menyambut baik terhadap perubahan status dimaksud.

Lalu yang juga monumental adalah perubahan status dari IAIN ke UIN. Jika saya melakukan upaya flashback ke perubahan status dari IAIN Sunan Ampel ke UIN Sunan Ampel, maka betapa lamanya alih status tersebut dapat tercapai. Inisiatif perubahan status tersebut semanjak tahun 2009, dan kemudian baru bisa direalisasi tahun 2013. Waktu yang sangat panjang dan keluarnya energy yang luar biasa pula. Tim perumus proposal yang luar biasa bekerja keras dan seluruh civitas akademika juga menyambut dengan hangat tentang alih status ini.

Lalu juga IAIN Ar Raniri yang juga berubah menjadi UIN Ar Raniri Banda Aceh. Perubahan status ini juga luar biasa sebab melibatkan Pak Azwar Abubakar untuk mensupport terhadap keinginan alih status ini. Maka menurut saya, pantaslah kalau Pak Azwar Abubakar diberi penghargaan dengan Gelar Doktor Honoris Causa dari UIN Aceh. Tidak ketinggalan, tiga IAIN lainnya, yaitu IAIN Walisongo Semarang, IAIN Sumatera Utara Medan, IAIN Palembang juga memperoleh status baru sebagai UIN yang baru.

Selain perubahan ini, maka yang tidak kalah pentingya adalah keinginan untuk berubah yang sangat tinggi. Akhirnya, ada lagi sejumlah STAIN yang kelak akan menjadi IAIN. Dan sebagaimana yang sering saya ungkapkan bahwa STAIN di ibukota provinsi adalah prioritas. Ada yang masih menjadi PR kita ke depan adalah keinginan untuk perubahan dari PTAIS untuk menjadi PTAIN.

Tidak hanya PTAIN yang berubah statusnya, akan tetapi juga PTAIS. Sejumlah Sekolat Tinggi Agama Islam Swasta juga melakukan alih status ke Institut Agama Islam Swasta. Hal in dilakukan semata-mata dalam kerangka untuk memberikan secara lebih besar akses kepada PTAIS dimaksud. Sampai akhir tahun 2014 diharapkan ada sebanyak 20 PTAIS yang bisa melakukan konversi statusnya lebih luas. Dengan menyandang posisi sebagai institute, maka diharapkan bahwa kapasitas daya tamping mahasiswa makin banyak sehingga akan dapat memberikan akses yang lebih luas untuk para mahasiswa.

Namun demikian, tentu masih ada banyak hal yang harus dibenahi. Sejumlah persoalan saya rasa masih menjadi keinginan kita bersama untuk dibenahi, yaitu bagaimana menjadikan PTAI kita sebagai lembaga pendidikan yang memiliki ekselensi dan diferensiasi. Dua kata ini yang sesungguhnya terus saya pompakan di tengah keinginan untuk membangun PTAI yang memiliki keunggulan komperatif dan keunggulan kompetitif.

Dari sejumlah 53 PTAIN dan 600 lebih PTAIS ternyata baru beberapa saja yang memiliki keunggulan internasional. Meskipun baru setaraf rekognisi Webometrics, akan tetapi apapun dia adalah penghargaan internasional. Demikian pula pengakuan ISO 9001 tahun  2008. Sejumlah PTAIN seperti UIN Malang, UIN Surabaya, UIN Yogyakarta, UIN Bandung, UIN Riau, STAIN Purwikerto, STAIN Palopo adalah beberapa nama PTAIN yang sudah memperoleh pengakuan Webometrics. Bukan ketepatan bahwa beberapa UIN tersebut juga memperoleh pengakuan ISO 9001/2008.

Ke depan tentu tugas kita adalah menguatkan agar PTAIN kita semakin memperoleh international recognition, sehingga keberadaan kita semakin memperoleh pengakuan dari masyarakat. Di dalam renstra 2015-2019, hal tersebut seharusnya akan bisa dijawab.

Wallahu a’lam bi al shawab.