• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

ISIS DAN RESPON KITA (2)

Seminar dan silaturahim yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama kali ini memang menarik minat hampir seluruh media, baik televisi, radio dan surat kabar. Makanya, setelah acara pembukaan seminar, maka seluruh media mengikuti dengan seksama penjelasan  Menag, Pak Lukman Hakim Saifuddin, dan juga Ketua MUI, Prof. Dien Syamsudin dalam acara press release.

Di dalam al Qur’an  kata dawlah tidak disebut secara spesifik dan tidak dimaksudkan sebagai bentuk Negara. Kata dawlah dipakai di dalam sistem pemerintahan barulah pada masa kekhalifahan Bani Muawiyah dan Abbasiyah dan seterusnya. Kala Nabi Muhammad saw memimpin umat Islam dan juga Khulafaur Rasyidun juga tidak menggunakan kata dawlah tersebut. Lalu, pada masa sekarang kata Dawlah Islamiyah diletakkan dalam konteks Negara Islam.  Dan pemimpinnya disebut sebagai khalifah. Maka ISIS menjadikan Abu Bakar Al Baghdadi sebagai khalifah yang didambakan untuk memimpin kekhalifahan di dunia.

Di dalam penjelasannya, Prof. Dien Syamsudin memberikan gambaran bahwa ISIS sesungguhnya adalah jelmaan dari organisasi teroris lainnya, yaitu Al Qaida yang pernah dipimpin oleh Usamah bin Laden. Gerakan ini semula dihidupkan oleh Amerika Serikat untuk melawan Rusia di dalam perang Afghanistan. Jadi sebenarnya gerakan Al Qaidah dibesarkan oleh Amerika. Bahkan dahulu, ada sebanyak puluhan anak-anak muda Indonesia yang direkrut untuk menjadi kaum jihadis di dalam perang Amerika melawan Rusia. Di antara mereka itu, ada yang menjadi pimpinan organisasi Islam dan ada pula yang terus menjadi kelompok yang  melakukan jihad dalam konteks pemikirannya.

Ada dua hal yang penting, pertama, factor eksternal. Sebagai gerakan teroris, gerakan ISIS tentu tidak berdiri sendiri. Jika menggunakan konsep penyebab terjadinya gerakan-gerakan ini, maka bisa dirunut dari dimensi dunia yang tidak adil yang diciptakan oleh Negara-negara barat. Kalau dilihat misalnya, bagaimana dengan perang yang terus bergejolak di Gaza, yang mengakibatkan keterpinggiran Palestina, lalu perang di Afghanistan, perang di Irak, di Chechnya, dan sebagainya adalah contoh tentang betapa ketidakadilan dunia.

Ketidakadilan dunia di dalam politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan dan juga budaya yang diciptakan oleh orang barat kenyataannya menjadi penyebab terjadinya kemarahan yang luar biasa dari mereka yang lalu disebut sebagai gerakan radikal ini. Ketidakadilan ini  terus dipelihara dan juga diciptakan, sehingga hal tersebut juga terus terjadi di wilayah-wilayah yang memang menjadi target mereka. Selama masih terdapat kenyataan seperti ini, maka terorisme akan terus ada dan perdamaian juga tidak akan terdapat di dalamnya.

Kedua, factor internal. Secara empiris dapat diketahui bahwa mereka yang terlibat dan menjadi sasaran pembinaan kaum teroris adalah daerah yang miskin, tertinggal dan terbelakang. Makanya, pemerintah perlu hadir untuk mengentaskan kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan ini. Selama kemiskinan masih mendera terhadap masyarakat kita, maka selama itu pula bahwa peluang para teroris untuk membina masyarakat kita akan terus terjadi.

Pak Dien juga menyatakan bahwa di dalam menghadapi ISIS ini kita serius tetapi santai. Dan yang menarik juga karena adanya ISIS menjadikan kita bersatu untuk bersama-sama merespon secara positif. Hanya saja semestinya respon kita itu tidak berupa kekagetan, akan tetapi sistematis. Makanya seharusnya BNPT itu juga menjadi lembaga yang ad hoc saja.

Namun demikian,  agar tidak berupa respon kekagetan, maka kita harus tahu siapa saja yang disebut sebagai teroris tersebut. Melalui kejelasan siapa saja sebenarnya itu, maka kita bisa melakukan pembinaan secara memadai. Selama ini jika organisasi social keagamaan mau melakukan pembinaan, maka tidak diketahui siapa mereka sesungguhnya. Data yang akurat tentang para teroris tentu akan membantu tentang bagaimana secara preventif mereka akan bisa dibina.

Di dalam menghadapi kaum teroris ini, maka sikap MUI dan juga sikap umat Islam Indonesia yang mengedepankan Islam rahmatan lil alamin sudah jelas, yaitu: pertama, menyatakan bahwa gerakan Islam yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan seperti terror adalah gerakan yang justru akan merusak Islam sendiri. MUI menolak keras dan mengharamkan terhadap terorisme.

Kedua, pembinaan terhadap pelaku terorisme harus dilakukan dengan  kebersamaan dan keberlanjutan. Kiranya tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri. Itulah sebabnya, pemberantasan terhadap tindakan para teroris juga harus dilakukan dengan sistematis dan terstruktur, sehingga tidak terkesan sebagai respon kekagetan.

Jadi memang haruslah ada sinergi antar berbagai segmen masyarakat, instansi pemerintah dan organisasi keagamaan, bahkan social dan politik, sehingga penyelesaian terhadap terorisme tersebut lebih komprehensif.

Wallahu a’lam bi al shawab.

ISIS DAN RESPON KITA (1)

Saya mestinya harus ke Surabaya, sebab pada hari Sabtu, 09/08/2014 ada kegiatan yang saya rasa penting yaitu acara reuni Alumni Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel –kini UIN Sunan Ampel—yang diselenggarakan di Auditorium UIN Sunan Ampel. Saya sesungguhnya diwanti-wanti agar datang, sebab hadir pula Jendral Dr. Ahmad Yani Basuki, yang sekarang menjabat Staf Khusus Presiden SBY, bidang Logistik.

Tetapi karena di kantor ada acara yang juga sangat penting, yaitu Silaturrahim dan Seminar Nasional tentang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dalam kaitannya dengan NKRI dan Islam Rahmatan lil Alamin, maka kepulangan ke Surabaya harus saya tunda. Seminar ini tentu sangat penting sebab isu tentang ISIS menjadi headline media akhir-akhir ini. Pemberitaan yang gencar tentang pengiriman kaum jihadis ke Iraq atau Syria dan juga pembaiatan yang dilakukan di beberapa daerah untuk setia kepada ISIS tentu memantik reaksi yang luar biasa besar dari segenap elemen masyarakat.

Saya sebenarnya sudah pernah diwawancarai oleh Metro TV dan kemudian juga bisa dilihat di You Tube tentang pandangan saya selaku Sekretaris Jenderal Kementerian Agama. Saat itu saya nyatakan bahwa ISIS adalah fenomena radikalisme agama yang merupakan gerakan kaum Jihadis atau kaum takfiri yang menganggap bahwa individu atau kelompok yang bukan kelompoknya adalah kaum yang salah. Halal untuk diperangi atau dibunuh.

ISIS yang memperoleh dukungan dari sedikit orang Indonesia tentu disebabkan karena ada genealogi yang mengikat di antara mereka. Kelompok Jihadis yang menginginkan terbentuknya Negara Islam menemui kesempatan untuk mengekspresikan keyakinannya bahwa ISIS adalah cikal bakal terbentuknya kekhilafahan  dunia. Abu Bakar al Baghdadi dianggap dan diyakini sebagai khalifah yang akan membangun kekhalifahan Islam.

Mereka yang sependapat untuk mendukung ISIS kemudian melakukan baiat untuk mendukung dan bersedia untuk dikirim berjihad di Iraq atau Syria. Acara baiat ini dilakukan salah satunya di Wisma Syahidah milik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Berdasarkan penuturan Prof. Dr. Amsal Bachtiar, bahwa  ijinnya adalah untuk  menyelenggarakan seminar, maka pimpinan UIN tidak mencurigai terhadap acara ini.  Pimpinan UIN baru tahu kala terjadi pemberitaan bahwa di kampus UIN dilaksanakan baiat mendukung ISIS.

Sebagai Gerakan radikal, ISIS tentu memiliki genealogi dengan gerakan radikal lainnya. Cikal bakalnya adalah Gerakan terorisme Al Qaidah pimpinan Usamah Ibn Laden. Pasca kematian Usamah maka terdapat faksi-faksi yang kemudian salah satunya adalah ISIS yang semula bernama ISIL atau Islamic State of Iraq and Levant. Di dalam perkembangannya, maka ISIS kemudian menjelma menjadi kekuatan separatis dan teroris yang mengguncang dunia karena dukungan dari berbagai kalangan.

Seminar yang dihadiri oleh pejabat dari berbagai lembaga, seperti dari pejabat militer, kepolisian, BNPT, Kemenko Kesra, organisasi social keagamaan dan juga pejabat-pejabat Kementerian Agama ini dibuka oleh Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin. Di dalam sambutannya, Pak Menteri menyatakan bahwa acara silaturrahim ini diselenggarakan bukan dalam kaitannya dengan adanya tudingan tentang konspirasi mengenai ISIS, atau maksud tertentu terkait dengan pilpres, gugatan ke Mahkamah Konstitusi atau lainnya, akan tetapi semata-mata dilakukan untuk memberikan penegasan mengenai posisi umat Islam Indonesia.  Di  dalam kenyataannya mayoritas  umat Islam Indonesia adalah yang beragama dengan model Islam rahmatan lil alamin.

Menurut Beliau, bahwa Pemerintah sudah final di dalam menyikapi terhadap semua gerakan radikal apalagi yang membawa misi untuk mendirikan Negara Islam. Bagi kita, bahwa semua bentuk keinginan untuk mendirikan Negara Islam di atas Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila, NKRI dan Binneka tunggal Ika adalah penyelewengan yang tidak bisa ditoleransi. Jika ada warga Negara yang melakukannya, maka dia telah bertindak subversif.

Tentu saja tindakan yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk berbaiat kepada ISIS adalah tindakan yang melanggar undang-undang. Makanya, pemerintah juga harus bertindak tegas terhadap mereka. Siapapun yang melakukan tindakan makar haruslah dihukum sebagaimana aturan yang berlaku.

Seminar ini tentu relevan di dalam kerangka untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat luas melalui para ulama agar jangan sampai umat Islam Indonesia terprovokasi dengan gerakan-gerakan teror yang berbalut agama. Apalagi agama Islam.

Jadi,  kita semua harus meningkatkan kewaspadaan terutama di dalam menghadapi ideologi gerakan trans-nasional yang belum tentu hal itu sesuai dan relevan bagi bangsa dan masyarakat Indonesia.

Wallahu a’lam bi al shawab.

SURVEY KEPUASAN PELANGGAN DI KEMENTERIAN AGAMA

Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan arahan dalam rapat Part II Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Agama RI. Rapat yang diselenggarakan di Hotel Ibis, 07/08/2014 tersebut dihadiri oleh para Sekretaris Direktorat, Irjen dan juga Pejabat Eselon II dan III lainnya di Kementerian Agama. Acara ini sebenarnya diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, akan tetapi kemudian diperluas dengan melibatkan jajaran lain di Kementerian Agama.

Saya sampaikan bahwa ada tantangan yang kiranya perlu dipecahkan oleh jajaran Kemenag, yaitu: pertama, tentang rendahnya penilaian yang diberikan oleh Kementerian PAN&RB terkait dengan format dan borang Reformasi Birokrasi yang diselenggarakan oleh Kemenag. Kedua, adalah masih rendahnya pengetahuan aparat Kemenag tentang reformasi birokrasi. Ada gap yang cukup besar antara aparat di pusat dan di daerah terkait dengan upaya reformasi birokrasi.

Tentang tantangan yang pertama, tentu harus dicari apa variabel penyebab tentang rendahnya penilaian tersebut. Dan salah satunya adalah tentang proses open promotion yang belum memberikan gambaran bahwa untuk menjadi pejabat di berbagai eselon kemenag ternyata masih menggunakan proses konvensional. Memang sudah dimulai untuk melakukan open promotion, akan tetapi masih sangat terbatas. Bahkan rasanya masih berada di level lebih rendah dari semi open promotion.

Tentang tantangan yang kedua, rasanya memang harus ada sosialisasi yang sangat menyeluruh mengenai RB ini. Jangan sampai pembicaraan RB hanya ada di pusat, sementara di daerah nyaris tidak terdengar suaranya. Jangan ada gap antara wilayah Indonesia barat dengan Indonesia timur tentang pengetahuan dan praktek RB. Ke depan semua harus memiliki pengetahuan yang sama dan semangat yang sama untuk memperkuat RB. Apalagi tahun depan akan dilakukan assessment terkait dengan kompetensi PNS atau ASN, sehingga semuanya harus memiliki pengatahuan dan kompetensi yang sama tentang jabatannya masing-masing.

Oleh karena itu, tahun depan harus dianggarkan untuk memberikan penguatan dan pengembangan pegawai dalam pengetahuan dan kompetensi ASN ini. Kita tidak ingn bahwa PNS kita dianggap tidak kompeten di dalam jabatannya. Ke depan setiap direktorat harus membuat program untuk pengembangan HRD yang kita miliki. Jangan sampai kala dilakukan assessment RB, kemudian banyak di antara PNS kita yang tidak lulus dan dengan terpaksa harus dirumahkan.

RB memang sebuah kewajiban. Tidak ada kata mundur di dalam implementasinya. Di tengah tudingan bahwa masih ada banyak kelemahan tentang birokrasi kita rasanya memang hanya bisa dijawab melalui implementasi birokrasi yang sangat tegas. Makanya, perubahan mindset para PNS terkait dengan RB juga harus signifikan.

Tahun ini kita akan memasuki ruang baru RB. Tahun ini pula menjadi tonggak awal bagi pelaksanaan RB. Dengan demikian, semua aparat harus memiliki mindset baru terkait dengan RB ini. Jangan sampai hanya wadahnya saja yang berubah sementara itu isi tetap sama. Instrument untuk melakukan perubahan adalah kedisiplinan atau pemanfaatan waktu secara efektif dan efisien di dalam bekerja. Sebagai aparat, maka waktu kerja kita adalah 37,5 jam dalam seminggu. Jangan sampai waktu tersebut terkurangi sedemikian rupa. Kita bisa mencontoh bangsa Jepang atau Korea Selatan di dalam penyelenggaraan birokrasi dan kedisiplinan aparatnya.

Sebagaimana yang pernah saya paparkan, bahwa tujuan akhir RB adalah kepuasan pelanggan. Makanya, kepuasan pelanggan menjadi standart atau ukuran apakah RB kita berhasil atau tidak. Disebabkan oleh implementasi RB yang diselenggarakan sekarang, maka saya kira perlu ada tolok ukur pertama terkait dengan pelanggan kita.

Tahun depan haruslah dianggarkan untuk melakukan survey kepuasan pelanggan dan di tahun itu pula harus dilaksanakan survey dimaksud. Dengan survey ini, maka kita akan tahun bagaimana tingkat kepuasan pelanggan kita. Dan dengan ukuran ini, maka tahun 2016 dilakukan lagi survey serupa dengan indicator dan instrument yang sama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah ada kenaikan kepuasan pelanggan atau tidak.

Dengan cara ini, maka RB akan menjadi terukur keberhasilannya. Saya kira survey ini wajib dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMFASILITASI REKONSILIASI KAUM SYIAH

Hari Selasa, 5 Agustus 2014, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur. Kunjungan kerja ini dalam kerangka untuk bertemu dengan para ulama Madura dan juga kaum Syiah yang selama ini telah menjadi pengungsi di Sidoarjo. Saya menemani Pak Menteri pada waktu acara pertemuan dengan para pengungsi Syiah di Jemundo tersebut.

Konflik yang terjadi antara kaum Syiah dengan masyarakat setempat sebenarnya sudah lama terjadi. Kasus ini menjadi berlarut-larut karena kedua belah pihak sama-sama merasa sebagai pihak yang benar. Masyarakat setempat, tepatnya di Karanggayam yang diback up oleh para ulama juga menyatakan bahwa pendapatnya yang benar, sementara itu para pengungsi yang diback up oleh Kontras dan Ijabi juga merasa sebagai pihak yang benar. Dualisme kebenaran inilah yang menyebabkan kiranya konflik ini berjalan lambat di dalam proses rekonsiliasinya.

Saya sebenarnya mengikuti sedikit perjalanan menyelesaikan konflik di Karanggayam ini. Saya teringat bersama Pak Suryadharma Ali dalam  dialog dan bertemu dengan pimpinan daerah di dalam kerangka penyelesaian konflik ini. Saya teringat kala pertemuan yang diselenggarakan di Jemundo antara Pak Surya dengan para pengungsi, maka diketahui bahwa para pengungsi menyatakan ingin kembali ke rumah mereka masing-masing. Dengan kenyataan bahwa mereka ingin pulang tersebut, maka dirumuskan skenario untuk memulangkan mereka secara bertahap.

Namun demikian, masyarakat Madura dan para ulamanya menginginkan bahwa proses pemulangan tersebut harus didahului dengan pertaubatan. Artinya, mereka bisa pulang balik ke rumah mereka kalau mereka sudah menjadi sunni kembali. Jadi tidak ada lagi kata masih sebagai kaum Syiah. Hal ini merupakan persyaratan mutlak yang diwajibkan bagi para pengungsi kalau mau kembali ke daerahnya. Itulah sebabnya, para ulama ingin agar sebelum pulang ke desanya masing-masing, maka mereka harus dipesantrenkan dahulu di suatu tempat agar terjadi proses perubahan keyakinan.

Tentu saja, kaum Syiah tidak menyetujui dengan strategi ini. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh Kontras dan Ijabi dan beberapa elemen lain, mereka menolak keras terhadap strategi ini. Mereka tidak mau untuk diubah keyakinannya. Mereka tetap ngotot dengan kepercayaannya sekarang. Kalau mau dipulangkan, maka seharusnya tidak ada persyaratan apapun dari siapapun. Mereka pulang begitu saja dan tetap dengan keyakinan yang ada sekarang.

Dari dialog antara Pak Menteri Agama, Pak Lukman,  dengan kaum Syiah yang diwakili oleh Kontras dan Ijabi dapat diketahui bahwa jika ada keinginan untuk memulangkan kaum pengungsi, maka mestilah tidak ada persyaratan apapun. Tidak ada pertaubatan, pencerahan atau apapun yang istilah atau maknanya adalah untuk mengubah keyakinan mereka. Bagi mereka bahwa menjadi Syiah tidak salah, sebab menjadi Syiah bukanlah menjadi keluar dari ajaran Islam. Jadi tidak boleh ada pemaksaan untuk berubah menjadi Sunni atau menjadi Islam yang lain.

Dari empat pembicara yang mewakili Syiah, maka mereka seluruhnya  menyatakan bahwa persyaratan untuk kembali ke daerahnya masing-masing dengan pertobatan dan sebagainya adalah melanggar hak asasi manusia, tentang kebebasan beragama. Islam juga mengajarkan agar jangan memaksakan suatu agama kepada yang lain. Apalagi bahwa Kaum Syiah juga bagian dari umat Islam.

Sungguh rasanya ada kendala yang luar biasa terkait dengan penyelesaian masalah Syiah ini. Dengan tetap pada pendapat masing-masing seperti ini, maka kiranya tidak ada celah untuk menyelesaikan masalah di antara mereka tersebut. Semua berada pada tempat yang tidak bisa saling bertemu. Saya merasakan bahwa perjalanan penyelesaian tentang masalah Syiah ini berjalan di tempat. Saya juga merasakan bahwa sudah terdapat kelelahan dari semua pihak yang berada di dalam penyelesaian masalah Sampang ini.

Bahkan kalau saya amati bahwa kedua belah pihak semakin mengeras. Kelompok Syiah yang berada di Pengungsian Jemundo juga makin mengeras seirama dengan perjalanan waktu yang lama. Dengan dukungan para pendampingnya yang berkeras untuk tetap menjadi Syiah tentu akan menjadi faktor yang menyebabkan semakin kuatnya identitas kesyiahaannya itu. Meskipun oleh pemerintah (Kementerian Agama) dilakukan kegiatan pembinaan mental dan upaya untuk melakukan rekonsiliasi, akan tetapi dengan seiring perjalanan waktu, maka rasanya upaya ke  arah rekonsiliasi makin terasa gamang.

Sebaliknya, masyarakat di Karanggayam juga makin keras. Seirama dengan pendampingan yang dilakukan oleh para ulama yang tidak menginginkan mereka (kaum pengungsi) kembali dengan kesyiahannya, maka  mereka juga makin mengeras. Dengan ketiadaan kaum Syiah di situ, maka mereka merasakan makin baik. Tidak ada lagi “kecurigaan” bahwa kaum Sunni akan digerogoti keimanannya oleh kelompok lain. Maka keadaan seperti ini makin memperkuat identitas mereka bahwa tidak ada kaum Syiah di situ akan menjadi makin baik.

Jadi,  kiranya diperlukan strategi lain untuk membangun rekonsiliasi antara penduduk setempat di Karanggayam dengan kaum pengungsi Syiah di Jemundo. Strategi untuk mengembalikan mereka kepada Sunni dengan berbagai aktivitas rasanya juga sudah tidak lagi relevan. Makin kuatnya identitas di antara mereka akan menjadi penghalang yang sangat mendasar.

Oleh karena itu, kiranya diperlukan strategi baru untuk rekonsiliasi. Dan ini masih membutuhkan waktu untuk menemukan scenario baru dan program baru tersebut. Kiranya, Kementerian Agama bisa menjadi fasilitator untuk kepentingan ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

HALAL BIHALAL SEBAGAI SARANA SALING MEMAAFKAN

Saya sungguh merasakan bahwa lebaran tahun ini amat special bagi saya, salah satunya adalah diundang untuk memberikan ceramah dalam acara halal bil halal yang diselenggarakan oleh Institut Teknologi Surabaya (ITS). Saya tentu tidak tahu apa yang menyebabkan saya diundang untuk memberikan ceramah tersebut. Pastilah karena saya orang Kementerian Agama.

Sehari sebelumnya saya juga menghadiri acara halal bil halal yang diselenggarakan oleh Bank Tabungan Negara (BTN). Hadir di dalam acara ini adalah seluruh jajaran pimpinan BTN dan juga staf. Pak Maryono tentu hadir di dalam acara ini. Saya datang bersama dengan Kabiro Keuangan, Syihabuddin Latief. Dan sebelumnya Pak Wamenag, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA juga hadir di tempat ini.

Acara halal bil halal memang merupakan tradisi Indonesia. Tidak terdapat acara ini di Negara-negara lain , termasuk di Saudi Arabia. Acara halal bil halal tidak dijumpai di Negara asal agama Islam itu. Makanya, acara ini sering disebut sebagai acara keagamaan khas Indonesia. Acara ini merupakan pemaduan antara ajaran agama dan budaya di Indonesia.

Islam memang menganjurkan untuk saling bersilaturrahim. Ada banyak teks yang menganjurkan untuk melakukannya. Sabda Nabi Muhammad saw., “barang siapa percaya kepada Allah dan hari kiyamat, hendaknya melakukan silaturrahim”. Jadi memang ada anjuran Nabi Muhammad saw untuk melakukannya. Akan tetapi bagaimana cara melakukannya maka diserahkan kepada kemampuan manusianya.

Bisa dilakukan secara sendiri-sendiri dan bisa juga dilakukan secara berjamaah. Jadi, tidak ada alasan untuk menyatakan acara halal bil halal adalah sesuatu yang mengada-ada dan tidak ada pedomannya di dalam Islam.

Di Indonesia kemudian muncul acara halal bil halal yang diselenggarakan dengan mengemas secara bersamaan dan menggunakan Bani A atau Bani B dan seterusnya. Istilah bani menunjukan kepada keturunan. Misalnya ketika disebut sebagai Bani Adam, maka berarti keturunan Nabi Adam alaihis salam. Jadi, acara halal bil halal Bani Ismail berarti halal bil halal keturunan Ismail. Demikian seterusnya.

Sebagai tradisi keagamaan yang berbalut budaya, maka halal bil halal sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat maupun birokrasi. Itulah sebabnya hampir keseluruhan lembaga pemerintah maupun swasta menyelenggarakan acara ini. Pastilah bahwa acara seperti ini dilakukan dengan mengusung tema-tema keagamaan. Ada musik padang pasir, ada musik rebana, ada musik marawis atau ada musik melayu dan sebagainya. Demikian pula ada penceramah agamanya dan acara-acara keagamaan lainnya.

Demikian pula acara yang diselenggarakan di ITS ini. Acaranya juga berbalut dengan tradisi dan keagamaan sekaligus. Inti mendasarnya adalah saling meminta maaf antara satu dengan lainnya. Pimpinan meminta maaf kepada staf dan staf juga meminta maaf kepada pimpinan. Acara halal bil halal adalah acara menjalin kebersamaan di antara kita. Di dalam kehidupan ini maka tidak ada kata aku, atau kamu, ana atau antum, tetapi kita. Makanya, acara halal bil halal adalah membahas kekitaan dan bukan keakuan atau kekamuan.

Melalui acara halal bil halal kita diingatkan agar terus membangun silaturrahim, dengan upaya terus menerus untuk mendekatkan diri kepada Allah untuk menjdi hambanya yang bertaqwa dan dapat masuk surga. Luasan surga tersebut adalah seluas langit dan bumi. Di antara tanda-tandanya adalah orang yang suka berinfaq di jalan Allah, mampu menahan hawa nafsu amarah dan saling memaafkan.

Di dalam al Qur’an, surat Ali Imron, ayat 133 disebutkan bahwa “wa sari’u ila maghfiratin min rabbikum wajannatin ‘ardhuha sawatu wal ardhu ‘u’idat lil muttaqin. Alladzina yunfikuna fis sarrai wadh dharrai wal kadhimina ghaidha wal ‘afina ‘anin nas  wallahu yuhibbul muhsinin.”  Artinya, “dan bersegerelah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang yang bertaqwa. (Yaitu) orang yang berinfaq baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain, dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Allah menciptakan manusia di dalam aneka warna kulit, suku, ras, bahasa dan agama yang berbeda-beda. Allah menciptakan manusia berpasang-pasangan, lelaki perempuan, tua muda, hidup mati dan sebagainya. Disebabkan oleh adanya perbedaan-perbedaan tersebut, maka Allah memberikan instrument agar manusia saling memahami perbedaan dan memaafkan jika terjadi saling ketidaksukaan, ketidaksamaan dan ketidakserasian atau bahkan kesalahan.

Dengan diciptakan berbeda tersebut, maka manusia yang baik bukanlah dari etnis atau suku atau bangsa tertentu, akan tetapi manusia yang baik adalah yang paling bertaqwa kepada Allah swt. Jadi Allah telah membuat suatu terobosan yang indah bahwa bukanlah kesukuan, kebangsaan atau keetnisan tertentu sebagai manusia terbaik akan tetapi adalah taqwanya.

Oleh karena itulah maka momentum untuk saling memaafkan, untuk saling memberikan support dan saling memahami antara satu dengan lainnya melalui acara halal bil halal seperti ini menjadi sangat penting.

Saya kira tradisi  khas Islam Indonesia ini merupakan suatu tradisi yang sangat baik dan bisa dilestarikan sebagai bagian dari ekspressi pelaksanaan ajaran Islam yang memang menghendaki silaturrahim untuk membangun islah, saling memaafkan dan kebaikan.

Faman ‘afa  fa ashlaha fa ajrahu ‘indallah.

Wallahu a’lam bi al shawab.