MEMFASILITASI REKONSILIASI KAUM SYIAH
Hari Selasa, 5 Agustus 2014, Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin melakukan kunjungan kerja ke Jawa Timur. Kunjungan kerja ini dalam kerangka untuk bertemu dengan para ulama Madura dan juga kaum Syiah yang selama ini telah menjadi pengungsi di Sidoarjo. Saya menemani Pak Menteri pada waktu acara pertemuan dengan para pengungsi Syiah di Jemundo tersebut.
Konflik yang terjadi antara kaum Syiah dengan masyarakat setempat sebenarnya sudah lama terjadi. Kasus ini menjadi berlarut-larut karena kedua belah pihak sama-sama merasa sebagai pihak yang benar. Masyarakat setempat, tepatnya di Karanggayam yang diback up oleh para ulama juga menyatakan bahwa pendapatnya yang benar, sementara itu para pengungsi yang diback up oleh Kontras dan Ijabi juga merasa sebagai pihak yang benar. Dualisme kebenaran inilah yang menyebabkan kiranya konflik ini berjalan lambat di dalam proses rekonsiliasinya.
Saya sebenarnya mengikuti sedikit perjalanan menyelesaikan konflik di Karanggayam ini. Saya teringat bersama Pak Suryadharma Ali dalam dialog dan bertemu dengan pimpinan daerah di dalam kerangka penyelesaian konflik ini. Saya teringat kala pertemuan yang diselenggarakan di Jemundo antara Pak Surya dengan para pengungsi, maka diketahui bahwa para pengungsi menyatakan ingin kembali ke rumah mereka masing-masing. Dengan kenyataan bahwa mereka ingin pulang tersebut, maka dirumuskan skenario untuk memulangkan mereka secara bertahap.
Namun demikian, masyarakat Madura dan para ulamanya menginginkan bahwa proses pemulangan tersebut harus didahului dengan pertaubatan. Artinya, mereka bisa pulang balik ke rumah mereka kalau mereka sudah menjadi sunni kembali. Jadi tidak ada lagi kata masih sebagai kaum Syiah. Hal ini merupakan persyaratan mutlak yang diwajibkan bagi para pengungsi kalau mau kembali ke daerahnya. Itulah sebabnya, para ulama ingin agar sebelum pulang ke desanya masing-masing, maka mereka harus dipesantrenkan dahulu di suatu tempat agar terjadi proses perubahan keyakinan.
Tentu saja, kaum Syiah tidak menyetujui dengan strategi ini. Melalui pendampingan yang dilakukan oleh Kontras dan Ijabi dan beberapa elemen lain, mereka menolak keras terhadap strategi ini. Mereka tidak mau untuk diubah keyakinannya. Mereka tetap ngotot dengan kepercayaannya sekarang. Kalau mau dipulangkan, maka seharusnya tidak ada persyaratan apapun dari siapapun. Mereka pulang begitu saja dan tetap dengan keyakinan yang ada sekarang.
Dari dialog antara Pak Menteri Agama, Pak Lukman, dengan kaum Syiah yang diwakili oleh Kontras dan Ijabi dapat diketahui bahwa jika ada keinginan untuk memulangkan kaum pengungsi, maka mestilah tidak ada persyaratan apapun. Tidak ada pertaubatan, pencerahan atau apapun yang istilah atau maknanya adalah untuk mengubah keyakinan mereka. Bagi mereka bahwa menjadi Syiah tidak salah, sebab menjadi Syiah bukanlah menjadi keluar dari ajaran Islam. Jadi tidak boleh ada pemaksaan untuk berubah menjadi Sunni atau menjadi Islam yang lain.
Dari empat pembicara yang mewakili Syiah, maka mereka seluruhnya menyatakan bahwa persyaratan untuk kembali ke daerahnya masing-masing dengan pertobatan dan sebagainya adalah melanggar hak asasi manusia, tentang kebebasan beragama. Islam juga mengajarkan agar jangan memaksakan suatu agama kepada yang lain. Apalagi bahwa Kaum Syiah juga bagian dari umat Islam.
Sungguh rasanya ada kendala yang luar biasa terkait dengan penyelesaian masalah Syiah ini. Dengan tetap pada pendapat masing-masing seperti ini, maka kiranya tidak ada celah untuk menyelesaikan masalah di antara mereka tersebut. Semua berada pada tempat yang tidak bisa saling bertemu. Saya merasakan bahwa perjalanan penyelesaian tentang masalah Syiah ini berjalan di tempat. Saya juga merasakan bahwa sudah terdapat kelelahan dari semua pihak yang berada di dalam penyelesaian masalah Sampang ini.
Bahkan kalau saya amati bahwa kedua belah pihak semakin mengeras. Kelompok Syiah yang berada di Pengungsian Jemundo juga makin mengeras seirama dengan perjalanan waktu yang lama. Dengan dukungan para pendampingnya yang berkeras untuk tetap menjadi Syiah tentu akan menjadi faktor yang menyebabkan semakin kuatnya identitas kesyiahaannya itu. Meskipun oleh pemerintah (Kementerian Agama) dilakukan kegiatan pembinaan mental dan upaya untuk melakukan rekonsiliasi, akan tetapi dengan seiring perjalanan waktu, maka rasanya upaya ke arah rekonsiliasi makin terasa gamang.
Sebaliknya, masyarakat di Karanggayam juga makin keras. Seirama dengan pendampingan yang dilakukan oleh para ulama yang tidak menginginkan mereka (kaum pengungsi) kembali dengan kesyiahannya, maka mereka juga makin mengeras. Dengan ketiadaan kaum Syiah di situ, maka mereka merasakan makin baik. Tidak ada lagi “kecurigaan” bahwa kaum Sunni akan digerogoti keimanannya oleh kelompok lain. Maka keadaan seperti ini makin memperkuat identitas mereka bahwa tidak ada kaum Syiah di situ akan menjadi makin baik.
Jadi, kiranya diperlukan strategi lain untuk membangun rekonsiliasi antara penduduk setempat di Karanggayam dengan kaum pengungsi Syiah di Jemundo. Strategi untuk mengembalikan mereka kepada Sunni dengan berbagai aktivitas rasanya juga sudah tidak lagi relevan. Makin kuatnya identitas di antara mereka akan menjadi penghalang yang sangat mendasar.
Oleh karena itu, kiranya diperlukan strategi baru untuk rekonsiliasi. Dan ini masih membutuhkan waktu untuk menemukan scenario baru dan program baru tersebut. Kiranya, Kementerian Agama bisa menjadi fasilitator untuk kepentingan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.