• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

WARTAWAN PELIPUT HAJI

Di dalam pertemuan dengan para wartawan di Hotel Bumi Wiyata, Depok , 14/08/2014, dalam sessi pelatihan bagi wartawan yang akan meliput ibadah haji di Tanah Suci, saya sungguh merasakan bahwa para wartawanlah yang sesungguhnya humas Kementerian Agama. Pada acara yang diberi tajuk “Media Center Haji (MCH) ini diikuti oleh sebanyak 30 wartawan dari berbagai media, yaitu Media cetak, televisi dan radio.

Acara yang dihandel oleh Pusat Informasi dan kehumasan (Pinmas) Kementerian Agama ini memang dijadikan sebagai ajang untuk menyamakan visi tentang peliputan pelaksanaan ibadah haji terutama di Tanah Suci. Acara ini tentu saja merupakan wahana untuk saling memahami apa yang sesungguhnya menjadi visi dan misi Kementerian Agama di dalam penyelenggaraan haji.

Saya tentu saja menyampaikan beberapa hal yang saya anggap  penting sebagai bagian dari keinginan untuk menjadikan pelaksanaan haji dan salah satu yang membantu terselenggaranya informasi haji yang makin baik adalah para wartawan. Pertama, bahwa peliputan jamaah haji bukan saja amalan lahiriyah atau duniawi, akan tetapi juga liputan spiritual, yang tentu harus diniati sebagai amalan ibadah.

Di dalam kerangka ini maka peliputan haji tentu mengandung peliputan yang tidak hanya mengandalkan mata sebagai instrument peliputan yang utama, akan tetapi juga menggunakan perangkat hati, yang merupakan alat control utama untuk menyatakan mana yang fit to be informed dan mana yang tidak layak untuk diberitakan.  Saya kira wartawan yang sudah terbiasa untuk melihat atau menemukan sisi pemberitaan yang baik tentu saja sudah memiliki full kesadaran tentang misi haji adalah untuk mencapai kemabruran.

Jika yang menjadi misi haji adalah bagaimana melaksanakan haji yang baik, maka juga akan berakibat terhadap misi individual atau organisasional para wartawan untuk membangun pemberitaan yang memadai. Saya yakin para wartawan yang tergabung di MCH akan memaklumi tentang hal ini.

Kedua,  banyak hal yang bisa diliput oleh wartawan. Di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji mulai dari kedatangan mereka di Tanah Suci sampai penggambaran seluk beluk pelaksanaan haji. Bagaimana mereka melakukan tawaf, sa’i, tahallul dalam paket umrah, lalu mabit di Arafah, Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah, dan seluruh cerita tentang pelaksanaan haji. Lalu, acara-acara wisata rohani ke Jabal Rahmah, ke Goa Hira’, ke tempat wisata rohani lainnya yang saya kira juga sangat menarik untuk diberitakan.

Dengan demikian tidak hanya berita yang ditulis berbasis peristiwa on the spot, akan tetapi juga cerita kehidupan para jamaah dengan berbagai aktivitas dan keyakinannya. Pengalaman-pengalaman religious kala bisa mencium ka’baitullah, kala bisa mendaki Jabal Rahmah, kala bisa datang ke Bi’ru Ali, kala datang di maqbarah para syuhada’ tentu semua akan menjadi berita yang menarik dalam bentuk feature yang sangat manusiawi.

Peliputan tentang situs ritual memang sudah banyak ditayangkan dan diberitakan. Akan tetapi menurut saya bahwa tentu masih ada sisi menarik yang bisa disajikan. Selama ini liputan difokuskan pada obyek situs ritualnya sehingga akan terasa kering dari sentuhan bagaimana religious experience kala ada individu yang berhubungan dengan situs ritual tersebut.

Ketiga, wartawan adalah agen sesungguhnya dari kementerian atau lembaga pemerintah. Sebagai agen maka tugas para wartawan adalah memberikan informasi tentang apa dan bagaimana visi dan misi kementerian atau lembaga tersebut harus dibangun untuk tercapai. Saya kira wartawan memiliki peran yang sangat besar untuk menjadi agen di dalam pencapaian visi dan misi dimaksud. Pelaksanaan ibadah haji bukan semata urusan keduniaan atau bisnis, akan tetapi adalah urusan akherat. Maka di sini ada tanggungjawab tidak hanya kepada manusia, pemerintah atau lembaga tetapi juga kepada Tuhan. Itulah sebabnya para wartawan sebenarnya adalah agen keberhasilan ibadah haji dalam pengertian yang generic.

Di dalam kerangka inilah maka dibutuhkan kerjasama yang sangat mendasar antara Kementerian Agama dengan para wartawan adalah partner yang saling memberikan kepercayaan dan memahami. Biarkan para wartawan bekerja dengan misi dan tanggungjawabnya tentu di dalam koridor visi dan misi Kementerian Agama dalam pelaksanaan ibadah haji.

Seluruh rangkaian kegiatan informative mengenai pelaksanaan haji pada akhirnya adalah untuk mengembangkan imaje tentang pengelolaan ibadah haji. Jika kita menggunakan bagan konseptual G. Lukacs, maka “dunia dibangun di atas imaje”. Siapa yang menguasai imaje tersebut, maka dialah yang menguasai dunia. Saya kira wartawan dengan informasi yang disampaikannya akan bisa menjadi sahabat yang dapat membangun imaje positif tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

SANTRI DAN PENGUASAAN KITAB KUNING

Saya berkesempatan untuk hadir pada acara Rapat Koordinasi Pelaksanaan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) yang diselenggarakan di Hotel Wiltop, Jambi, 12/08/2014. Hadir pada acara ini adalah Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus, Kyai Najmi Qadir, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ace Syaifuddin, Kakanwil Kementeraian Agama Provinsi Jambi, Mahbub Daryanto,  dan seluruh Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren se Indonesia. Acara MQK ke lima ini memang ditempatkan di Jambi.

Acara ini diselenggarakan di dalam kerangka untuk menjadi ajang bagi kontestasi penguasaan kitab kuning yang menjadi ciri khas program pendidikan di Pesantren. Di antara lima elemen pesantren, yaitu: kyai, santri, masjid, sistem asrama dan pembelajaran kitab kuning, maka yang memang menjadi program  ke depan adalah penguasaan kitab kuning di kalangan para santri.

Di dalam sambutannya, Gubernur Jambi, yang juga alumni pondok pesantren menyatakan bahwa sebagai host bagi penyelenggaraan MQK, maka beliau berkeinginan untuk menjadi tuan rumah yang baik dan juga sukses. Untuk meraih keduanya, Provinsi Jambi sudah memiliki pengalaman sebagai penyelenggara MTQ tingkat Nasional pada tahun 90-an. Selain itu juga disiapkan banyak hal, termasuk anggaran, tempat di Pesantren As’ad dan juga SDM yang memadai untuk penyelenggaraan acara dimaksud. Pak Gubernur juga membuka secara resmi terhadap acara rakor MQK ini.

Saya mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi pesantren dan kaitannya dengan penyelenggaraan MQK. Saya nyatakan, pertama: adalah tantangan kelangkaan ulama. Sebagaimana hasil Halaqah Nasional yang diselenggarakan di Provinsi Gorontalo, beberapa tahun yang lalu, bahwa tantagan yang makin kuat adalah kelangkaan ulama. Problem ini saya kira harus dijawab oleh dunia pesantren, sebab tentu kita terus berharap bahwa kontinuitas pesantren tidak akan mengalami degradasi disebabkan oleh kelangkaan ulama ini.

Bagi saya, program MQK adalah salah satu instrumen di dalam kerangka untuk menjawab terhadap kelangkaan ulama. Melalui program ini, maka penguasaan kitab kuning sebagai persyaratan utama untuk menjadi ulama akan terwujud. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu di antara persyaratan utama kompetensi kekyaian atau keulamaan adalah pemahaman dan penguasaan terhadap kitab kuning. Tentu masih ada sejumlah variabel kompetensi, misalnya kepemimpinan, relasi sosial, kemampuan mengajar dan sebagainya.

Kedua, tantangan modernitas pesantren. Selama ini masih ada anggapan bahwa pesantren kita adalah pesantren tradisional dan segala sesuatu yang melekat dengan konvensionalitas tersebut. Pesantren identik dengan orang sarungan, pemikiran masa lalu dan bahkan hanya mementingkan akherat ketimbang duniawi dan sebagainya. Namun demikian, membaca trend pesantren dewasa ini, maka anggapan tersebut tidaklah benar. Pesantren sudah berkembang sedemikian jauh dengan mengadopsi berbagai perubahan sosial dan modernitas itu. Sudah banyak pesantren yang berbasis IT, pesantren berbasis kewirausahaan, pesantren berbasis pengembangan lingkungan, dan sebagainya.

Pesantren dengan doktrin utamanya, “melestarikan nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai baru yang lebih bermanfaat” ternyata survive di dalam perjalanannya. Pesantren tetap melestarikan program lama yang memang menjadi legacy sejarah peradaban Islam, dan terus berupaya melakukan inovasi untuk pengembangan pesantren dan masyarakat di masa depan. Kita sungguh mengapresiasi terhadap dunia pesantren yang selalu siap menjadi garda depan pengembangan pendidikan, kemasyarakatan dan modernitas tersebut.

Ketiga, penjaga NKRI. Di antara sekian banyak peran pesantren yang menonjol sebagai ciri khasnya adalah bagaimana pesantren terus menjadi avant garde bagi elan vital kebangsaan. Pesantren ternyata memerankan fungsi yang sangat mendasar bagi nusa dan bangsa. Semenjak prakemerdekaan sampai sekarang, pesantren tetap berada di dalam jalurnya mengembangkan Islam yang rahmah. Islam yang memberikan keselamatan bagi siapapun di dunia ini. Tidak hanya keselamatan orang seiman akan tetapi juga mereka yang imannya lain dan berbeda.

Pesantren telah menjadi penyangga bagi pendidikan karakter bangsa. Melalui pesantren dididik agar santri mencintai Negara dan bangsanya. Mencintai Negara dan bangsanya adalah sebagian dari iman.

Itulah sebabnya kita tetap berharap di tengah isu tentang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan isu radikalisme lainnya, maka pesantren dengan watak dasarnya sebagai pengembang Islam rahmatan lil alamin tentu tidak akan bergeser sedikitpun. Para kyai dan ulama adalah orang yang begitu konsern terhadap kesatuan dan persatuan bangsa dengan meletakkan Islam dalam bingkai keindonesiaan.

Dengan peran seperti ini, maka kita akan merasa tenang sebab pilar penting di dalam pendidikan untuk generasi yang akan datang ternyata diisi oleh orang yang tepat. Generasi emas Indonesia tidak akan kehilangan momentumnya melalui pendidikan pesantren. Kita akan bisa menyaksikan di era Indonesia, ternyata diisi oleh genarasi terbaik bangsa ini yang berasal dari pesantren.

Di dalam acara MQK juga diselenggarakan Internasional Conference of Pesantren Studies, yang rencanaya akan diikuti oleh beberapa pakar dari luar negeri dan juga pengamat pesantren luar dan dalam negeri. Ke depan memang kita harus mengirimkan kyai-kyai kita untuk mendeseminasi pesantren di pusat-pusat kebudayaan dunia di luar negeri. Dan saya kira hal itu adalah keniscyaan dalam 10-20 tahun ke depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PESANTREN DAN KEPEDULIAN DAKWAH

Sebenarnya, Senin, 11/08/2014, saya  harus ke Makasar, akan tetapi saya tiba-tiba diundang oleh Kyai Mudatsir Badrudin dari Pondok Pesantren Miftahul Ulum Penyeppen, Pamekasan, Madura. Maka,  saya batalkan keberangkatan saya ke Makassar dan  memenuhi undangan kyai kharismatis tersebut.

Saya sudah yang ketiga kalinya datang di pesantren ini. Dan setiap saya datang selalu ada yang baru. Kemarin saya kagum sebab di sebelah pesantren saya dapati waduk berisi air  yang menjadi sumber pengairan dan sumber air bagi santri dan para petani. Selain tentu saja adalah perkembangan asrama-asrama pesantren yang baru. Maklumlah bahwa pesantren ini sudah terkenal sebagai pesantren dengan pengembangan pengetahuan keislaman dan kemoderenan.

Tentu saja ada yang menarik dari acara ini sehingga saya mengharuskan diri  untuk hadir, yaitu upacara pelepasan da’i atau guru tugas ke beberapa wilayah di Indonesia, Madura, Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Cukup banyak da’i atau guru tugas yang dikirim, 300 orang dengan variasi tingkat pendidikannya. Ada sebanyak 30 persen yang lulus strata satu, sedangkan lainnya adalah lulusan pesantren dengan tingkat pengetahuan agama yang cukup memadai. Mereka yang dikirim ke medan dakwah atau medan pendidikan tersebut hanya digaji Rp150.000,- perbulan.

Hadir di acara ini, adalah Kyai Badrudin Mudatsir, KH. Muchdor Abdullah, Kakankemenag Kabupaten Pamekasan, Camat, Kapolsek dan juga kepala desa serta Badkom dari seluruh Madura. Selain itu juga para orang tua dan wali santri yang akan ditugaskan ke medan dakwah dimaksud.

Di dalam acara ini terdapat ba’iat yang dipimpin langsung oleh Kyai Mudatsir. Ba’iat tersebut memberikan gambaran tentang tiga hal, yaitu: agar para da’i atau guru tugas menjaga marwah pesantren, kyai dan masyarakat. Kedua, agar para guru tugas atau da’i dapat melaksanakan tugas dengan ikhlas dan tanggungjawab. Ketiga, agar santri yang berangkat ke medan dakwah dan pendidikan dapat menjadi penjaga Islam yang rahmatan lil alamin atau Islam ala ahli sunnah wal jamaah. Acara ba’iat yang dilakukan dengan berdiri ini diikuti dengan khusyuk dan tawadhu’ kepada kyai.

Di dalam sambutannya Kyai Mudatsir menyatakan bahwa pengiriman guru tugas atau da’i ini memang menjadi bagian dari kewajiban para santri. Mereka harus melakukan pengabdian ke pesantren atau lembaga-lembaga Islam yang memang membutuhkan  mereka. Program ini dilakukan secara terus menerus dan silih berganti. Artinya, jika ada guru atau da’i yang dibutuhkan di daerah lain, maka guru atau da’i tersebut akan diganti dengan yang lain.

Setelah semua berpidato –biasa di dunia pesantren yang memberi pidato banyak—maka saya diberi kesempatan untuk menyampaikan pidato singkat. Sebenarnya saya ingin banyak memberikan arahan atau taushiyah kepada para santri tugas, namun karena jam sudah menunjukkan pukul 13.00 wib, maka saya hanya berpidato selama 40 menit. Sayang memang.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam kesempatan ini. Pertama, apresiasi terhadap pengiriman tenaga da’i atau guru tugas ini. Sebagaimana yang saya sampaikan saat saya diwawancarai oleh Metro TV bahwa tugas kementerian dan organisasi keagamaan adalah mengirimkan tenaga da’i yang memiliki komitmen untuk mengembangkan Islam yang rahmatan lil alamin. Di tengah gencarnya gerakan ISIS, maka praksis yang seharusnya dijadikan sebagai penangkalnya adalah dengan pengiriman tenaga da’i yang memanggul tugas untuk mengembangkan Islam yang rahmah. Jangan pernah ada di antara santri dari pesantren yang berbaiat kepada ISIS yang dipimpin oleh Abubakar al Baghdadi. Saya yakin bahwa alumni pesantren yang sehaluan dengan Pesantren Miftahul Ulum akan tetap dan terus berada di dalam koridor Islam rahmah.

Kedua, menjaga NKRI. Tugas bangsa Indonesia yang salah satunya harus dilakukan oleh santri adalah untuk menjaga keberlangsungan Indonesia dengan terus menerus  memupuk dan mempertahankan NKRI. Para da’i haruslah memupuk penegakan Pancasila dan UUD 1945. Jangan pernah berageser kaki kita sedikitpun dari Islam rahmah yang sudah menjadikan Pancasila  sebagai dasar Negara yang sah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh KH. Asep Saifuddin dalam pidatonya di depan para santri yang memperoleh beasiswa santri berprestasi dinyatakan bahwa sekali saja kita berpikir akan mendirikan Negara dengan dasar selain Pancasila, maka robohlah Indonesia.

Ketiga, peran pesantren dalam mendukung kemerdekaan bangsa dan mengisi kemerdekaan dengan membangun kecerdasan pikiran dan hati, kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah hal yang sangat membanggakan. Melalui pesantren pendidikan karakter bangsa akan dapat diejawantahkan. Pesantren selama ini telah menjadi garda depan di dalam mendidik masyarakat dan bangsa Indonesia untuk beragama secara benar. Beragama dalam konteks kebangsaan Indonesia.

Memang tidak diragukan peran pesantren di dalam membangun bangsa Indonesia. Islam Indonesia yang ramah dan damai adalah sumbangan terbesar pesantren bagi bangsa Indonesia. Dan kiranya juga tidak salah jika banyak pemimpin dunia dan organisasi internasional yang menyatakan bahwa jika ingin belajar Islam yang damai dan menyelamatkan tidak ada lain kecuali di Indonesia.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

JABATAN BARU AMANAH BARU

Saya sebenarnya nyaris tidak percaya bahwa saya akan ditempatkan pada jabatan baru sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Saya merasakan bahwa suasana pekerjaan di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam sudah semakin kondusif. Bukan berarti sebelumnya tidak baik atau belum baik, akan tetapi rasanya kenyamanan bekerja sudah semakin terasa.

Saya teringat sehari sebelum dilantik menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Agama, saya sempat bertanya kepada Pak Menteri Suryadharma Ali, kenapa saya dipindahkan dari jabatan saya sebelumnya. Beliau menyatakan bahwa Surat Keputuan Presiden tentang pengangkatan saya sudah ditandatangani dan besuk harus pelantikan. Jadilah akhirnya pelantikan dilaksanakan pada tanggal 11 April 2014 dan resmilah saya sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Agama RI. Sebuah jabatan yang sama sekali tidak pernah terlintas di dalam benak saya.

Saya menjadi teringat kala Pak Anggito Abimanyu menyatakan bahwa wajah saya tidak menggambarkan kegemberiaan kala dilantik Pak Menag. Kala itu beliau sedang di Arab Saudi. Saya tidak tahu apakah benar seperti itu, akan tetapi kalau saya melihat ulang foto saya waktu dilantik, kiranya penafsiran Pak Anggito memang tidak salah.

Menjadi Sekretaris Jenderal artinya menjadi pejabat administrative sesungguhnya. Jika menjadi Direktur Jenderal Pendidikan Islam, maka saya berada di dalam koridor dan konteks pengembangan pendidikan Islam, maka dengan jabatan baru ini, maka saya harus menjadi administrator yang tugasnya adalah memeriksa keluar masuk surat yang terkait dengan kementerian. Mengembangkan dan memperkuat aturan-aturan yang terkait dengan kinerja dan keberhasilan kementerian dalam penyelenggaraan program, menata dan mengembangkan SDM atau aparat pemerintah, menata dan mengembangkan kelembagaan kementerian, mengembangkan dan menata perencanaan agar relevan dengan tugas dan kewajiban kementerian, menata dan mengembangkan sarana prasarana kementerian, dan lainnya yang bercorak managerial. Yang juga tidak kalah pentingnya adalah mengkoordinasikan seluruh program dan kinerja  kementerian.

Jika saya lakukan flash back tentang kehidupan ini, maka sepertinya Tuhan memberikan tugas kepada saya dalam hal yang menyangkut kesekretariatan. Ketika saya menjadi mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel –kini UIN Sunan Ampel—maka saya juga dipercaya untuk menjadi Sekretaris Senat Mahasiswa Fakultas Dakwah. Kala itu yang menjadi ketua Senatnya adalah Slamet Suryanto (Alm).  Hal itu terjadi pada tahun 1982-1983. Pasca menjadi Sekretaris Senat di tingkat Fakultas, kemudian saya dipilih untuk menjadi Sekretaris Umum Badan pelaksana Kegiatan Mahasiswa (BPKM), tahun 1984-1985.  Suatu organisasi intra institute setelah dibubarkannya Dewan Mahasiswa sebagai akibat kebijakan Prof. Dr. Daoed Yoesoef, Mendikbud, tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK).

Pada waktu itu, IAIN Sunan Ampel di Surabaya adalah pusatnya, sedangkan di tempat lain, seperti di Mataram, Malang, Pamekasan, Jember, Ponorogo, Kediri, Tulungagung, dan Samarinda adalah Cabang IAIN Sunan Ampel. Jadi luas kekuasaan BPKM juga seluas cabang-cabang IAIN Sunan Ampel tersebut. Ketua BPKM adalah A. Muhtadi Ridlwan, yang sekarang menjadi dosen di UIN Malang.

Kala saya menjadi dosen dan sedang belajar Program Doktor di Universitas Airlangga, maka saya dipilih menjadi Sekretaris Kopertais Wilayah IV dengan cakupan wilayah kekuasaannya adalah Jawa Timur, Bali, NTT dan NTB. Rasanya saya sudah pernah dating ke hamper seluruh PTAIS di Kopertais Wilayah IV. Prof. HM. Ridlwan Nasir kala itu menjadi Rektor IAIN Sunan Ampel dan ex ofisio sebagai Koordinator kopertaisnya. Empat tahun lebih saya menjadi Sekretaris Kopertais tersebut.

Lalu, melalui pilihan Senat IAIN Sunan Ampel, maka saya terpilih menjadi Pembantu Rektor II yang membidangi Administrasi Umum dan Keuangan. Sekali lagi juga masih terkait dengan persoalan tata kelola dan manegemen. Bersama Prof. Toha Hamim, Hamid Syarief dan Prof. Saiful Anam mendampingi Prof. HM. Ridlwan Nasir sebagai Rektor IAIN Sunan Ampel.

Akhirnya saya terpilih menjadi Rector IAIN Sunan Ampel yang dilantik oleh Pak Menteri Agama, Bapak Maftuh Basyuni tanggal 09 Januari 2009 dan hanya berlangsung selama tiga tahun, sebab Menteri Agama, Bapak Suryadharma Ali memanggil saya ke Jakarta untuk membantu Beliau sebagai Direktur Jenderal Pendidikan Islam, pada tanggal 17 Januari 2012. Jabatan ini saya lewati selama dua tahun tiga bulan, sebab kemudian saya diangkat menjadi Sekretaris jenderal Kementerian Agama.

Saya terkadang merasa bahwa ini adalah garis kehidupan. Linearitas jabatan yang saya alami adalah bagian dari rencana Tuhan, yang saya juga tidak tahu dengan pasti. Saya terkadang merasa penganut  determinisme  tentang takdir Allah. Allahlah yang menentukan segala-galanya dan saya tinggal melaksanakan saja.

Makanya, meskipun saya mengungkapkan ketidaksiapan  tentang pengangkatan saya sebagai Sekjen, akan tetapi inilah garis tangan.  Kiranya hanya kepada Allah semata saya serahkan semuanya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

ISIS DAN RESPON KITA (3)

Acara yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) ini juga menghadirkan beberapa narasumber utama yang memahami dan mendalami terhadap gerakan-gerakan radikal. Di antara narasumber tersebut adalah Aansad Mbay Ketua BNPT, Kapolri, KH. Yunahar Ilyas, KH. Masdar F. Ma’udi, KH. Ma’ruf Amin, yang dipandu oleh Asrori S. Karni.

Di dalam paparannya, Ketua BNPT menyatakan bahwa teori konspirasi yang sering digunakan sebagai basis analisis untuk melihat gerakan radikalisme  dan terorisme adalah basis analisis yang kurang tepat. Menurutnya, bahwa gerakan radikalisme dan terorisme seharusnya dilihat dari basis teori jaringan kekerasan. Melalui teori ini, maka dapat diketahui bahwa gerakan radikal sebenarnya juga dilakukan oleh mereka yang sebenarnya juga teroris.

Teori konspirasi, misalnya terkait dengan Bom Bali I, 11 September 2011 selalu menyatakan bahwa tidak mungkin pengebom Bali I adalah orang-orang yang memakai sarung. Mereka tidak percaya bahwa yang melakukan adalah Imam Samudra dan kawan-kawannya. Mereka inilah yang oleh ulama Timur Tengah, seperti Syaikh Dr. Naji Ibrahim dan Syaikh Ali Halaby adalah kaum Takfiri dan kaum Jihadis. Mereka memang melakukan kekerasan dalam mencapai tujuannya.

Akan tetapi ketika ada pengakuan secara langsung bahwa mereka bisa membikin Bom dengan tingkat eksplosivitas yang tinggi barulah orang sadar bahwa mereka memang pelakunya. Yang tidak mempercayai berdalih bahwa pada saat itu ada kapal Amerika di Indonesia, ada banyak pejabat penting di Bali dan juga bertanya kenapa tidak banyak orang Amerika di sana. Akhirnya semua terpatahkan kala mereka menyatakan bahwa merekalah pengebomnya.

Di dalam catatan beliau bahwa mereka yang sekarang menjadi penggerak radikalisme dan menjadi pengebom di wilayah Indonesia adalah mereka yang buronan kepolisian maupun mantan napi teroris. Jaringan terorisme itu tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Ambon dan Kalimantan. Jaringan ini bercorak sirkular dan migratif.

Setelah selesainya kekerasan di Ambon dan Poso maka mereka membangun jaringan baru dan bermigrasi ke beberapa tempat. Di Jakarta, misalnya di Tangerang, Bekasi, kemudian di Jawa Tengah, misalnya  di Solo, Sukoharjo, di Jawa Timur, seperti  di Malang, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri dan kemudian juga di wilayah lain di Indonesia. Mereka mambangun pusat jaringan-jaringan yang terus berkembang dan bergerak.

Dan kenyataannya mereka yang sekarang melakukan baiat setia kepada ISIS adalah mereka juga. Bahkan orang yang diduga Abu Muhammad al Indonesi adalah buronan teoris yang sekarang sedang berada di Siria, semenjak tiga bulan yang lalu. Dialah yang menyebarkan ajakan untuk menjadi syahid di Iraq dan Siria melalui You Tube.

Mereka yang telah dibaiat lalu menyebarkan pamphlet, brosur dan stiker yang ditempelkan di beberapa wilayah, seperti di Ciputat, di Jambi, di Solo dan sebagainya. Stiker atau pamphlet yang berisi ajakan untuk mendukung terhadap gerakan ISIS ini menandakan bahwa mereka telah menjadi bagian dari gerakan jihad untuk kepentingan membangun dawlah Islamiyah.

Berdasarkan teori ini, maka sesungguhnya terorisme itu bukan disebabkan oleh factor eksternal, misalnya Amerika, Israel atau lainnya, akan tetapi mereka telah menjadi jaringan tersendiri dan membentuk jejaring baru secara sirkular dan migratif. Jika misalnya penyebabnya adalah kemiskinan, maka tidak perlu polisi atau aparat keamanan untuk menyelesaikannya, akan tetapi cukup Menteri Pertanian, misalnya. Namun demikian yang jelas bahwa penanganan terhadap terorisme tidak bisa dilakukan secara parsial, mestilah ada kerjasama antar aparat keamanan, ulama, masyarakat dan elemen masyarakat lainnya.

Selama ini terasa bahwa yang menyelesaikan terorisme hanyalah polisi sendiri. Makanya  yang menjadi target pembunuhan oleh para teroris adalah para polisi. Sebab selama ini yang melakukan perburuan dan pemberantasan terhadap para teroris adalah polisi. Padahal polisi sendiri juga sangat hati-hati ketika harus menangkap orang dan melakukan penggerebakan terhadap para teroris. Harus dikaji dulu bagaimana respon masyarakat, bagaimana respon para ulama, bagaimana kemungkinan respon media dan seterusnya.

Jika semua sudah tidak ada masalah barulah bidikan tersebut ditangkap atau digerebek, meskipun pengintaian dan penyelidikan sudah dilakukan dalam waktu yang lama. Semua dilakukan dengan sangat hati-hati sebab jangan sampai kemudian menjadi masalah besar dan berskala nasional bahkan internasional. Di dalam proses penanganan terorisme, polisi tidak didasari oleh perundang-undangan yang memadai.

Oleh karena itu, ke depan harus dibuat Undang-Undang Anti terorisme. Malaysia memiliki undang-undang yang tegas. Amerika Serikat pasca Black September juga makin keras di dalam menangani terorisme dan hal tersebut didukung oleh aturan perundang-undangan yang tegas. Demikian pula Inggris.

Masyarakat juga harus terlibat di dalam menangani teroris. Jika didapati praktek keagamaan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, sebaiknya segera melakukan koordinasi dengan para ulama dan aparat pemerintah, sehingga sedari kecil hal tersebut sudah bisa dipantau dan ditangani. Jangan seperti cara masyarakat memperlakukan Azhari yang dimana-mana justru dikawinkan dengan masyarakat setempat.

Jika semuanya secara sinergik bahu-membahu tentang penanganan terorisme, maka ke depan akan terdapat tindakan komprehensif untuk menyelesaikan masalah terorisme. Jadi, penyelesaian akan lebih berdaya guna.

Wallahu a’lam bi al shawab.