SANTRI DAN PENGUASAAN KITAB KUNING
Saya berkesempatan untuk hadir pada acara Rapat Koordinasi Pelaksanaan Musabaqah Qiraatil Kutub (MQK) yang diselenggarakan di Hotel Wiltop, Jambi, 12/08/2014. Hadir pada acara ini adalah Gubernur Jambi, Hasan Basri Agus, Kyai Najmi Qadir, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Ace Syaifuddin, Kakanwil Kementeraian Agama Provinsi Jambi, Mahbub Daryanto, dan seluruh Kabid Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren se Indonesia. Acara MQK ke lima ini memang ditempatkan di Jambi.
Acara ini diselenggarakan di dalam kerangka untuk menjadi ajang bagi kontestasi penguasaan kitab kuning yang menjadi ciri khas program pendidikan di Pesantren. Di antara lima elemen pesantren, yaitu: kyai, santri, masjid, sistem asrama dan pembelajaran kitab kuning, maka yang memang menjadi program ke depan adalah penguasaan kitab kuning di kalangan para santri.
Di dalam sambutannya, Gubernur Jambi, yang juga alumni pondok pesantren menyatakan bahwa sebagai host bagi penyelenggaraan MQK, maka beliau berkeinginan untuk menjadi tuan rumah yang baik dan juga sukses. Untuk meraih keduanya, Provinsi Jambi sudah memiliki pengalaman sebagai penyelenggara MTQ tingkat Nasional pada tahun 90-an. Selain itu juga disiapkan banyak hal, termasuk anggaran, tempat di Pesantren As’ad dan juga SDM yang memadai untuk penyelenggaraan acara dimaksud. Pak Gubernur juga membuka secara resmi terhadap acara rakor MQK ini.
Saya mengungkapkan beberapa tantangan yang dihadapi pesantren dan kaitannya dengan penyelenggaraan MQK. Saya nyatakan, pertama: adalah tantangan kelangkaan ulama. Sebagaimana hasil Halaqah Nasional yang diselenggarakan di Provinsi Gorontalo, beberapa tahun yang lalu, bahwa tantagan yang makin kuat adalah kelangkaan ulama. Problem ini saya kira harus dijawab oleh dunia pesantren, sebab tentu kita terus berharap bahwa kontinuitas pesantren tidak akan mengalami degradasi disebabkan oleh kelangkaan ulama ini.
Bagi saya, program MQK adalah salah satu instrumen di dalam kerangka untuk menjawab terhadap kelangkaan ulama. Melalui program ini, maka penguasaan kitab kuning sebagai persyaratan utama untuk menjadi ulama akan terwujud. Sebagaimana kita ketahui bahwa salah satu di antara persyaratan utama kompetensi kekyaian atau keulamaan adalah pemahaman dan penguasaan terhadap kitab kuning. Tentu masih ada sejumlah variabel kompetensi, misalnya kepemimpinan, relasi sosial, kemampuan mengajar dan sebagainya.
Kedua, tantangan modernitas pesantren. Selama ini masih ada anggapan bahwa pesantren kita adalah pesantren tradisional dan segala sesuatu yang melekat dengan konvensionalitas tersebut. Pesantren identik dengan orang sarungan, pemikiran masa lalu dan bahkan hanya mementingkan akherat ketimbang duniawi dan sebagainya. Namun demikian, membaca trend pesantren dewasa ini, maka anggapan tersebut tidaklah benar. Pesantren sudah berkembang sedemikian jauh dengan mengadopsi berbagai perubahan sosial dan modernitas itu. Sudah banyak pesantren yang berbasis IT, pesantren berbasis kewirausahaan, pesantren berbasis pengembangan lingkungan, dan sebagainya.
Pesantren dengan doktrin utamanya, “melestarikan nilai lama yang baik dan mengembangkan nilai baru yang lebih bermanfaat” ternyata survive di dalam perjalanannya. Pesantren tetap melestarikan program lama yang memang menjadi legacy sejarah peradaban Islam, dan terus berupaya melakukan inovasi untuk pengembangan pesantren dan masyarakat di masa depan. Kita sungguh mengapresiasi terhadap dunia pesantren yang selalu siap menjadi garda depan pengembangan pendidikan, kemasyarakatan dan modernitas tersebut.
Ketiga, penjaga NKRI. Di antara sekian banyak peran pesantren yang menonjol sebagai ciri khasnya adalah bagaimana pesantren terus menjadi avant garde bagi elan vital kebangsaan. Pesantren ternyata memerankan fungsi yang sangat mendasar bagi nusa dan bangsa. Semenjak prakemerdekaan sampai sekarang, pesantren tetap berada di dalam jalurnya mengembangkan Islam yang rahmah. Islam yang memberikan keselamatan bagi siapapun di dunia ini. Tidak hanya keselamatan orang seiman akan tetapi juga mereka yang imannya lain dan berbeda.
Pesantren telah menjadi penyangga bagi pendidikan karakter bangsa. Melalui pesantren dididik agar santri mencintai Negara dan bangsanya. Mencintai Negara dan bangsanya adalah sebagian dari iman.
Itulah sebabnya kita tetap berharap di tengah isu tentang Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan isu radikalisme lainnya, maka pesantren dengan watak dasarnya sebagai pengembang Islam rahmatan lil alamin tentu tidak akan bergeser sedikitpun. Para kyai dan ulama adalah orang yang begitu konsern terhadap kesatuan dan persatuan bangsa dengan meletakkan Islam dalam bingkai keindonesiaan.
Dengan peran seperti ini, maka kita akan merasa tenang sebab pilar penting di dalam pendidikan untuk generasi yang akan datang ternyata diisi oleh orang yang tepat. Generasi emas Indonesia tidak akan kehilangan momentumnya melalui pendidikan pesantren. Kita akan bisa menyaksikan di era Indonesia, ternyata diisi oleh genarasi terbaik bangsa ini yang berasal dari pesantren.
Di dalam acara MQK juga diselenggarakan Internasional Conference of Pesantren Studies, yang rencanaya akan diikuti oleh beberapa pakar dari luar negeri dan juga pengamat pesantren luar dan dalam negeri. Ke depan memang kita harus mengirimkan kyai-kyai kita untuk mendeseminasi pesantren di pusat-pusat kebudayaan dunia di luar negeri. Dan saya kira hal itu adalah keniscyaan dalam 10-20 tahun ke depan.
Wallahu a’lam bi al shawab.