ISIS DAN RESPON KITA (3)
Acara yang diprakarsai oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas Islam) ini juga menghadirkan beberapa narasumber utama yang memahami dan mendalami terhadap gerakan-gerakan radikal. Di antara narasumber tersebut adalah Aansad Mbay Ketua BNPT, Kapolri, KH. Yunahar Ilyas, KH. Masdar F. Ma’udi, KH. Ma’ruf Amin, yang dipandu oleh Asrori S. Karni.
Di dalam paparannya, Ketua BNPT menyatakan bahwa teori konspirasi yang sering digunakan sebagai basis analisis untuk melihat gerakan radikalisme dan terorisme adalah basis analisis yang kurang tepat. Menurutnya, bahwa gerakan radikalisme dan terorisme seharusnya dilihat dari basis teori jaringan kekerasan. Melalui teori ini, maka dapat diketahui bahwa gerakan radikal sebenarnya juga dilakukan oleh mereka yang sebenarnya juga teroris.
Teori konspirasi, misalnya terkait dengan Bom Bali I, 11 September 2011 selalu menyatakan bahwa tidak mungkin pengebom Bali I adalah orang-orang yang memakai sarung. Mereka tidak percaya bahwa yang melakukan adalah Imam Samudra dan kawan-kawannya. Mereka inilah yang oleh ulama Timur Tengah, seperti Syaikh Dr. Naji Ibrahim dan Syaikh Ali Halaby adalah kaum Takfiri dan kaum Jihadis. Mereka memang melakukan kekerasan dalam mencapai tujuannya.
Akan tetapi ketika ada pengakuan secara langsung bahwa mereka bisa membikin Bom dengan tingkat eksplosivitas yang tinggi barulah orang sadar bahwa mereka memang pelakunya. Yang tidak mempercayai berdalih bahwa pada saat itu ada kapal Amerika di Indonesia, ada banyak pejabat penting di Bali dan juga bertanya kenapa tidak banyak orang Amerika di sana. Akhirnya semua terpatahkan kala mereka menyatakan bahwa merekalah pengebomnya.
Di dalam catatan beliau bahwa mereka yang sekarang menjadi penggerak radikalisme dan menjadi pengebom di wilayah Indonesia adalah mereka yang buronan kepolisian maupun mantan napi teroris. Jaringan terorisme itu tersebar di seluruh wilayah Indonesia, baik di Jawa, Sumatra, Sulawesi, Ambon dan Kalimantan. Jaringan ini bercorak sirkular dan migratif.
Setelah selesainya kekerasan di Ambon dan Poso maka mereka membangun jaringan baru dan bermigrasi ke beberapa tempat. Di Jakarta, misalnya di Tangerang, Bekasi, kemudian di Jawa Tengah, misalnya di Solo, Sukoharjo, di Jawa Timur, seperti di Malang, Sidoarjo, Mojokerto, Kediri dan kemudian juga di wilayah lain di Indonesia. Mereka mambangun pusat jaringan-jaringan yang terus berkembang dan bergerak.
Dan kenyataannya mereka yang sekarang melakukan baiat setia kepada ISIS adalah mereka juga. Bahkan orang yang diduga Abu Muhammad al Indonesi adalah buronan teoris yang sekarang sedang berada di Siria, semenjak tiga bulan yang lalu. Dialah yang menyebarkan ajakan untuk menjadi syahid di Iraq dan Siria melalui You Tube.
Mereka yang telah dibaiat lalu menyebarkan pamphlet, brosur dan stiker yang ditempelkan di beberapa wilayah, seperti di Ciputat, di Jambi, di Solo dan sebagainya. Stiker atau pamphlet yang berisi ajakan untuk mendukung terhadap gerakan ISIS ini menandakan bahwa mereka telah menjadi bagian dari gerakan jihad untuk kepentingan membangun dawlah Islamiyah.
Berdasarkan teori ini, maka sesungguhnya terorisme itu bukan disebabkan oleh factor eksternal, misalnya Amerika, Israel atau lainnya, akan tetapi mereka telah menjadi jaringan tersendiri dan membentuk jejaring baru secara sirkular dan migratif. Jika misalnya penyebabnya adalah kemiskinan, maka tidak perlu polisi atau aparat keamanan untuk menyelesaikannya, akan tetapi cukup Menteri Pertanian, misalnya. Namun demikian yang jelas bahwa penanganan terhadap terorisme tidak bisa dilakukan secara parsial, mestilah ada kerjasama antar aparat keamanan, ulama, masyarakat dan elemen masyarakat lainnya.
Selama ini terasa bahwa yang menyelesaikan terorisme hanyalah polisi sendiri. Makanya yang menjadi target pembunuhan oleh para teroris adalah para polisi. Sebab selama ini yang melakukan perburuan dan pemberantasan terhadap para teroris adalah polisi. Padahal polisi sendiri juga sangat hati-hati ketika harus menangkap orang dan melakukan penggerebakan terhadap para teroris. Harus dikaji dulu bagaimana respon masyarakat, bagaimana respon para ulama, bagaimana kemungkinan respon media dan seterusnya.
Jika semua sudah tidak ada masalah barulah bidikan tersebut ditangkap atau digerebek, meskipun pengintaian dan penyelidikan sudah dilakukan dalam waktu yang lama. Semua dilakukan dengan sangat hati-hati sebab jangan sampai kemudian menjadi masalah besar dan berskala nasional bahkan internasional. Di dalam proses penanganan terorisme, polisi tidak didasari oleh perundang-undangan yang memadai.
Oleh karena itu, ke depan harus dibuat Undang-Undang Anti terorisme. Malaysia memiliki undang-undang yang tegas. Amerika Serikat pasca Black September juga makin keras di dalam menangani terorisme dan hal tersebut didukung oleh aturan perundang-undangan yang tegas. Demikian pula Inggris.
Masyarakat juga harus terlibat di dalam menangani teroris. Jika didapati praktek keagamaan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya, sebaiknya segera melakukan koordinasi dengan para ulama dan aparat pemerintah, sehingga sedari kecil hal tersebut sudah bisa dipantau dan ditangani. Jangan seperti cara masyarakat memperlakukan Azhari yang dimana-mana justru dikawinkan dengan masyarakat setempat.
Jika semuanya secara sinergik bahu-membahu tentang penanganan terorisme, maka ke depan akan terdapat tindakan komprehensif untuk menyelesaikan masalah terorisme. Jadi, penyelesaian akan lebih berdaya guna.
Wallahu a’lam bi al shawab.