WARTAWAN PELIPUT HAJI
Di dalam pertemuan dengan para wartawan di Hotel Bumi Wiyata, Depok , 14/08/2014, dalam sessi pelatihan bagi wartawan yang akan meliput ibadah haji di Tanah Suci, saya sungguh merasakan bahwa para wartawanlah yang sesungguhnya humas Kementerian Agama. Pada acara yang diberi tajuk “Media Center Haji (MCH) ini diikuti oleh sebanyak 30 wartawan dari berbagai media, yaitu Media cetak, televisi dan radio.
Acara yang dihandel oleh Pusat Informasi dan kehumasan (Pinmas) Kementerian Agama ini memang dijadikan sebagai ajang untuk menyamakan visi tentang peliputan pelaksanaan ibadah haji terutama di Tanah Suci. Acara ini tentu saja merupakan wahana untuk saling memahami apa yang sesungguhnya menjadi visi dan misi Kementerian Agama di dalam penyelenggaraan haji.
Saya tentu saja menyampaikan beberapa hal yang saya anggap penting sebagai bagian dari keinginan untuk menjadikan pelaksanaan haji dan salah satu yang membantu terselenggaranya informasi haji yang makin baik adalah para wartawan. Pertama, bahwa peliputan jamaah haji bukan saja amalan lahiriyah atau duniawi, akan tetapi juga liputan spiritual, yang tentu harus diniati sebagai amalan ibadah.
Di dalam kerangka ini maka peliputan haji tentu mengandung peliputan yang tidak hanya mengandalkan mata sebagai instrument peliputan yang utama, akan tetapi juga menggunakan perangkat hati, yang merupakan alat control utama untuk menyatakan mana yang fit to be informed dan mana yang tidak layak untuk diberitakan. Saya kira wartawan yang sudah terbiasa untuk melihat atau menemukan sisi pemberitaan yang baik tentu saja sudah memiliki full kesadaran tentang misi haji adalah untuk mencapai kemabruran.
Jika yang menjadi misi haji adalah bagaimana melaksanakan haji yang baik, maka juga akan berakibat terhadap misi individual atau organisasional para wartawan untuk membangun pemberitaan yang memadai. Saya yakin para wartawan yang tergabung di MCH akan memaklumi tentang hal ini.
Kedua, banyak hal yang bisa diliput oleh wartawan. Di antaranya adalah pelaksanaan ibadah haji mulai dari kedatangan mereka di Tanah Suci sampai penggambaran seluk beluk pelaksanaan haji. Bagaimana mereka melakukan tawaf, sa’i, tahallul dalam paket umrah, lalu mabit di Arafah, Muzdalifah dan Mina, melempar jumrah, dan seluruh cerita tentang pelaksanaan haji. Lalu, acara-acara wisata rohani ke Jabal Rahmah, ke Goa Hira’, ke tempat wisata rohani lainnya yang saya kira juga sangat menarik untuk diberitakan.
Dengan demikian tidak hanya berita yang ditulis berbasis peristiwa on the spot, akan tetapi juga cerita kehidupan para jamaah dengan berbagai aktivitas dan keyakinannya. Pengalaman-pengalaman religious kala bisa mencium ka’baitullah, kala bisa mendaki Jabal Rahmah, kala bisa datang ke Bi’ru Ali, kala datang di maqbarah para syuhada’ tentu semua akan menjadi berita yang menarik dalam bentuk feature yang sangat manusiawi.
Peliputan tentang situs ritual memang sudah banyak ditayangkan dan diberitakan. Akan tetapi menurut saya bahwa tentu masih ada sisi menarik yang bisa disajikan. Selama ini liputan difokuskan pada obyek situs ritualnya sehingga akan terasa kering dari sentuhan bagaimana religious experience kala ada individu yang berhubungan dengan situs ritual tersebut.
Ketiga, wartawan adalah agen sesungguhnya dari kementerian atau lembaga pemerintah. Sebagai agen maka tugas para wartawan adalah memberikan informasi tentang apa dan bagaimana visi dan misi kementerian atau lembaga tersebut harus dibangun untuk tercapai. Saya kira wartawan memiliki peran yang sangat besar untuk menjadi agen di dalam pencapaian visi dan misi dimaksud. Pelaksanaan ibadah haji bukan semata urusan keduniaan atau bisnis, akan tetapi adalah urusan akherat. Maka di sini ada tanggungjawab tidak hanya kepada manusia, pemerintah atau lembaga tetapi juga kepada Tuhan. Itulah sebabnya para wartawan sebenarnya adalah agen keberhasilan ibadah haji dalam pengertian yang generic.
Di dalam kerangka inilah maka dibutuhkan kerjasama yang sangat mendasar antara Kementerian Agama dengan para wartawan adalah partner yang saling memberikan kepercayaan dan memahami. Biarkan para wartawan bekerja dengan misi dan tanggungjawabnya tentu di dalam koridor visi dan misi Kementerian Agama dalam pelaksanaan ibadah haji.
Seluruh rangkaian kegiatan informative mengenai pelaksanaan haji pada akhirnya adalah untuk mengembangkan imaje tentang pengelolaan ibadah haji. Jika kita menggunakan bagan konseptual G. Lukacs, maka “dunia dibangun di atas imaje”. Siapa yang menguasai imaje tersebut, maka dialah yang menguasai dunia. Saya kira wartawan dengan informasi yang disampaikannya akan bisa menjadi sahabat yang dapat membangun imaje positif tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.