MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (2)
MENGAWAL RUU JAMINAN PRODUK HALAL (2)
Sebagai Ketua Tim Panja Pemerintah, saya tentu merasa sangat senang dengan perkembangan pembahasan RUU Jaminan Produk Halal (JPH) yang sekarang sedang terjadi. Ada kemajuan yang sangat signifikan terkait dengan pembahasan RUU JPH. Pembicaraan yang sangat tersendat tentang keterlibatan MUI di dalam proses pemeriksaan produk halal juga setahap demi setahap bisa diurai benang kusutnya.
Saya menyadari bahwa mungkin saja upaya untuk mempertemukan pendapat antara Panja Pemerintah dan Panja DPR ini belum bisa memuaskan semua pihak, misalnya MUI. Tetapi sejauh yang sudah dilakukan oleh Panja adalah mengadaptasi terhadap berbagai perbedaan pendapat yang terkadang juga mengeras.
Pembagian kewenangan yang sudah dilakukan oleh panja kedua belah pihak, saya kira adalah jalan kompromi yang sangat mendasar. Kita tentu bisa membayangkan, jika kemudian di dalam undang-undang ini tidak memberikan kewenangan-kewenangan secara tegas, maka juga dimungkinkan akan terjadi dissenting opinion yang mengarah kepada upaya untuk melakukan upaya hukum untuk menganulir, misalnya ke Mahkamah Konstitusi pasca undang-undang ini disahkan.
Kompromi kedua yang juga dihasilkan oleh panja ini adalah terkait dengan apakah sifat undang-undang ini sebagai mandatori atau voluntari. Memang istilah ini tidak dikenal dalam konteks undang-undang ini. Akan tetapi pembicaraan yang justru sangat a lot adalah mengenai penggunaan istilah yang sepadan dengan dua konsep ini. Mandatory sepadan dengan kata wajib melakukan, sedangkan voluntary artinya adalah pilihan melakukan atau tidak melakukan.
Pemerintah sesungguhnya bertahan dengan konsep voluntary, mengingat bahwa kemampuan dan kapasitas untuk melakukan pemeriksaan produk halal adalah terbatas. Artinya, memang ada yang hanya menjadi pilihan dan bahkan tidak melakukan usaha pemeriksaan produk tersebut. Misalnya, sebagai Negara dengan pluralitas yang tinggi, maka tidak semua produk makanan, minuman, kosmetika, obat-obatan dan lainnya yang harus bersertikat halal. Produk yang bahannya memang tidak halal tentu tidak bisa dipaksa untuk menghentikan produknya dan alasan lainnya.
Makanya, kepastian hukum baik bagi produk halal maupun produk nonhalal juga menjadi konsern kita. Sungguh kita sadari bahwa bangsa Indonesia itu sangat plural, baik dari suku, bahasa, agama dan kebudayaannya. Oleh karena itu Jaminan produk halal juga harus memberi kepastian bahwa produk untuk kaum muslimin haruslah produk halal yang mesti bersertifikat halal dan bagi produk yang memang nonhalal juga harus ada kepastian hukumnya.
Undang-undang ini memberikan jaminan bagi semuanya. Bagi umat islam yang jumlahnya mayoritas di negeri ini, maka juga mestilah terdapat jaminan bahwa makanannya adalah makanan halal dan bahkan baik dan bermanfaat. Disebut sebagai halalan thayiban. Halal saja tidak cukup tetapi harus baik dan bermanfaat. Juga tidak hanya baik dan bermanfaat saja tetapi juga harus halal. Prinsip mendasar inilah yang kiranya menjadi rujukan penting di dalam penetapan undang-undang ini.
Perdebatan yang sangat serius adalah untuk menentukan, apakah wajib atau tidak wajib pemeriksaan produk halal tersebut. Semula panja DPR sependapat dengan agenda panja pemerintah bahwa pemeriksaan produk halal bukan sebagai mandatory akan tetapi voluntary saja, sebab ada alasan baik yang terkait dengan logika anggaran, kebinekaan, dan akibat yang ditanggung oleh Negara. Dengan menentukan bahwa sertifikasi halal adalah kewajiban, maka semua produk haus mengajukan usahanya untuk memperoleh sertifikasi halal dimaksud.
Akan tetapi panja DPR menyatakan bahwa kalau urusan sertifikasi halal ini bukan kewajiban akan tetapi sesukanya, maka apa bedanya antara periode masa lelau dengan sekarang. Kalau tidak berani menyatakan sebagai kewajiban, maka kita semua yang akan menanggung dosa kalau ada produk tidak halal yang digunakan. Katanya, Pak Amran, bahwa pemerintah harus melindungi yang mayoritas dalam kaitannya dengan produk halal. Jadi jangan hanya kaum minoritas yang dilindungi, akan tetapi yang mayoritas juga penting.
Kehadiran Pak Raihan di Komisi VIII banyak mengubah pandangan anggota panja DPR. Jika semula mereka beranggapan bahwa pemeriksaan produk halal hanya manasuka atau voluntary, maka sekarng mengubah pandangan menjadi wajib. Dengan catatan bahwa terhadap produk dan proses dan hasilnya memang tidak halal tentu menjadi eksepsi dari Undang-Undang ini.
Apapun hasilnya, bahwa perjalanan diskusi dan musyawarah untuk menyepakati RUU ini untuk menjadi UU bukanlah hal yang sederhana. Namun demikian, upaya untuk menyamakan persepsi dan kompromi telah dilakukan. Makanya, kemudian disepakati bahwa untuk sifat sertifikasi produk halal tersebut disebut sebagai mandatory bertahap. Memang kata mandatory tidak dimunculkan di dalam RUU ini, hanya saja harus ada kesepahaman tentang kewajiban para pengusaha untuk memenuhi standart produk halal.
Jika ditilik dari dimensi penerapan pemeriksaan produk halal selama ini memang sudah berada dalam sifatnya yang voluntary, sehingga program sertifikasi produk halal juga tampaknya jalan di tempat. Oleh karena itu, produk pengusaha klas menengah dan besar akan segera berlaku untuk sertifikasi produk halalnya, sedangkan yang produk pengusaha kecil akan berlaku secara bertahap, seiraman dengan jumlah anggaran dan kesiapan pengusahanya.
Kita tentu berharap bahwa dengan lahirnya Undang-Undang ini maka kepastian makanan, minuman, obat dan bahan-bahan kosmetika akan dapat dijamin, sehingga tidak ada lagi keraguan umat Islam untuk menggunakan produk tersebut.
Wallahu a’lam bi al shawab.