• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

DIALOG BERAGAMA KAUM MINORITAS

DIALOG BERAGAMA KAUM MINORITAS

Langkah yang dilakukan oleh Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin untuk berbuka bersama dan dialog dengan tokoh lintas agama dan kepercayaan kaum minoritas sungguh perlu diapresiasi. Hal tersebut dilakukan di Perumahan Dinas Menteri Agama, Widya Candra, 14 Juli 2014.

Di dalam kata sambutannya, Menteri Agama menekankan bahwa acara ini digelar di dalam kerangka silaturrahim dan sekaligus juga ingin mendengarkan suara dan keinginan kaum agama dan keyakinan minoritas terutama dalam kaitannya dengan hak-hak apa yang sesungguhnya harus diperhatikan oleh Negara. Melalui dialog semacam ini, maka akan diketahui dan dipahami apa yang selama ini menjadi ganjalan atau hambatan relasi antara pemerintah dan kaum beragama dan berkeyakinan minoritas.

Hampir seluruh undangan hadir di forum ini. Kedatangan mereka saja sudah merupakan berkah tersendiri, sebab selama ini memang pemerintah, Kementerian Agama,  jarang memperhatikan terhadap kehadiran mereka. Itulah sebabnya mereka sering kali harus melakukan unjuk rasa agar keberadaan dan keinginan mereka diperhatikan oleh masyarakat lainnya atau bahkan pemerintah.

Mereka sesungguhnya juga mengapresiasi terhadap undangan ini. Hampir seluruh peserta dialog mengungkapkan rasa apresiasinya terhadap forum ini. Melalui forum ini, maka sesungguhnya mereka dapat menyatakan suara  mereka dalam keadaan setara dengan yang lain. Bahkan di antara penggiat HAM dan kebebasan beragama juga menyatakan hal yang sama.

Hampir seluruh utusan organisasi keagamaan dan kepercayaan dapat menyatakan pendapatnya. Misalnya komunitas Ahlul Bait Indonesia. Dia menyatakan bahwa sebagai bagian dari umat Islam, Syiah sudah menjadi madzab tersendiri semenjak sejarah Islam masa lalu. Tidak ada yang berbeda dengan keyakinan umat Islam lainnya. Al Qurannya sama, prinsip-prinsip dasar keislamannya sama. Dan pengakuan terhadap Syiah di dunia internasional juga sama. Akan  tetapi akhir-akhir ini terdapat gerakan untuk menghancurkan umat Syiah. Iran yang menyatakan Syiah sebagai madzab resmi Negara juga menjadi anggota Organisasi Konferensi Islam   (OKI). Tetapi keadaan kaum Syiah di tanah air sungguh mengenaskan. Mereka diusir dari tanahnya sendiri. Mereka dianggap bukan sebagai umat Islam. Rumah mereka dibakar, kehidupan mereka dalam ancaman. Sekarang juga terbit buku yang merusak umat Syiah. Buku yang menyesatkan Syiah sudah dicetak dalam jutaan eksemplar dan dibagikan secara gratis di mana-mana. Itulah sebabnya Kaum Syiah lalu menerbitkan buku Putih tentang Syiah sebagai pembelaan dan pelurusan tentang Syiah. Di Sampang nasib kaum Syiah juga belum jelas. Padahal yang menolak juga hanya beberapa kyai. Di sinilah sebenarnya pemerintah dengan kekuasaannya tidak boleh mengabaikan kehidupan kaum minoritas tersebut. Negara harus tampil sebagai pembela kaum minoritas.

Dari Permalim juga menyatakan bahwa sebagai agama lokal, mereka menginginkan agar kehidupan warga Parmalim diperhatikan. Misalnya dalam kependudukan, maka Parmalim menginginkan agar agama mereka dicantumkan di akta nikah, akta lahir, dan juga mendapatkan perlindungan akan kepercayaannya tersebut. Parmalin tidak menuntut agar tempat ibadahnya dapat didirikan di mana saja, sebab agama yang lebih besar saja juga sulit mendirikan tempat ibadah. Akan tetapi hendaknya Parmalim dikenal dan diakui dengan perilakunya yang baik, akhlaknya yang baik dan juga hubungan dengan sesama manusia yang baik. Mereka membutuhkan pelayanan pemerintah terhadapnya.

Kalangan aktivis seperti Interfidei juga menyatakan bahwa mereka menginginkan agar pemenuhan hak atas kaum minoritas dalam agama dan kepercayaan memperoleh  tempat di negeri ini. Sebagai penggiat atas dialog antar iman, Interfidei tidak hanya melakukan aktivitas pendampingan saja, akan tetapi juga melakukan berbagai penelitian tentang kaum minoritas. Juga menggalang jaringan antar iman dan dialog antar iman. Oleh karena itu, maka Interfidei sangat konsern dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan agama. Interfeidei selalu memfasilitasi terhadap tema-tema “perbedaan, kesetaraan dan kedamaian” dalam dialog-dialog yang bermanfaat. Negara harus mendukung dan memberi perlindungan terhadap upaya-upaya semacam ini.

Kaum Baha’i yang secara konsisten menginginkan adanya pengakuan bahwa mereka adalah kaum beragama juga menyatakan bahwa ada hak-hak kaum Baha’i yang tidak dipenuhi oleh Negara. Meskipun sudah berdiri semenjak tahun 1885 dan memiliki umat di 28 provinsi, akan tetapi pengakuan terhadap baha’i sebagai agama tidak didapatkan. Makanya mereka menuntuk agar hak-hak sipil kaum Baha’i dapat dipenuhi oleh Negara

Dari Sunda Wiwitan, menyatakan bahwa masih terus ada diskriminasi dari umat mayoritas kepada  umat minoritas. Contoh yang paling anyar adalah pemaksaan anak-anak Sunda Wiwitan untuk berbusana Muslim di bulan Puasa. Bagi kaum Sunda Wiwitan bahwa mereka adalah penerus tradisi leluhur bangsa. Itulah sebabnya bahwa mereka harus diakui dan dilindungi. Jangan didiskriminasikan. Pemerintah jangan hanya mengakui terhadap enam agama saja, sebab meskipun lokal, akan tetapi Sunda Wiwitan memenuhi syarat sebagai agama. Jika ingin membangun kerukunan umat beragama, maka toleransi harus dibangun di atas tradisi dan kearifan lokal.

Bagi Jamaah Ahmadiyah di Indonesia (JAI), mereka menyatakan diri sebagai umat Islam. Sebab baginya tidak ada perbedaan dengan umat Islam lainnya. Jika ada perbedaan sesungguhnya hanyalah pada aspek furuiyahnya saja. Sayangnya bahwa kaum Ahmadiyah selalu menjadi bidikan kekerasan. Kehidupan mereka dirusak dan keamanan mereka selalu diganggu. Jika ingin ada kesatuan dan persatuan bangsa, maka seharusnya pemerintah juga memberikan perlindungan kepada Jamaah Ahmadiyah ini.

Dari Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI), menyatakan bahwa di antara JAI dan GAI ada yang menyamakan dan ada yang membedakan. Baginya bukan persoalan perbedaan atau kesamaan, sebab yang penting adalah bagaimana GAI bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Mereka prihatin terhadap banyaknya kekerasan agama di Indonesia, padahal kalau menggunakan Pancasila sebagai koridor bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka seharusnya tidak saling merusak dan menghancurkan. Inilah sebabnya, GAI lebih menekankan programnya pada pengembangan pendidikan dan kegiatan sosial lainnya.

Wakil dari Kontras, juga menyatakan bahwa Negara semestinya tidak mengabaikan terhadap kepentingan dan kebutuhan kaum minoritas. Negara harus memberi pelayanan terhadap semua warga Negara. Jangan sampai hak-hak dasar warga Negara direduksi sedemikian rupa. Eksistensi mereka harus diakui. Melalui pengakuan akan eksistensi tersebut maka mereka tentu akan memperoleh perlindungan dan pemenuhan hak-hak mereka.

Dari Setara Institut juga memyampaikan bahwa memang ada peningkatan kekerasan atas nama agama. Di dalam survey tentang hal ini, maka ketika ditanya tentang apakah Ahmadiyah saudara seiman? Maka jawabannya ternyata mayoritas menyatakan tidak seiman, tetapi ketika ditanya apakah Ahmadiyah saudara sebangsa, mereka menyatakan masih sebagai sebangsa. Artinya, bahwa memang ada masalah dengan relasi antar mereka. Makanya, kiranya ada masalah yang terkait dengan tata kelola keberagamaan dan bukan masalah agama saja. Oleh karena itu, kiranya diperlukan tata kelola yang benar dalam relasi antar umat beragama. Di dalam hal inilah Kementerian Agama seharusnya memperoleh tempat yang strategis sebagai jembatan antar umat beragama.

Bagi ANBTI, bahwa terjadinya kekerasan umat beragama masalahnya dipicu antara lain oleh pendirian tempat ibadah dan SKB tentang kerukunan umat beragama. ANBTI tentu menginginkan agar kekerasan agama dapat direduksi melalui kewenangan Kementerian Agama. Di dalam kiprahnya, ANBTI lebih bersearah dengan pemberdayaan perempuan sebab kebanyakan di dalam berbagai kekerasan tersebut yang sering menderita lebih banyak adalah kaum perempuan. Oleh karena itu, program ANBTI yang dominan adalah pendampingan terhadap kaum perempuan yang dianggap sebagai korban dari kekerasan atas nama agama atau lainnya.

Di dalam kesempatan memberikan respon terhadap semua yang disampaikan oleh peserta dialog, Prof. Machasin memberikan jawaban bahwa sesungguhnya Negara tidak memiliki hak untuk memberikan pengakuan terhadap agama. Negara memang berwenang untuk memberikan pelayanan dan memberikan perlindungan terhadap umat beragama. Oleh karena itu, sesuai dengan Undang-undang, bahwa Negara seharusnya memberikan pelayanan hak-hak dasar umat beragama atas kenyataan bahwa memang sebuah keyakinan bisa dinyatakan sebagai agama.

Senada dengan hal ini, Pak Lukman Hakim Saifuddin juga menyatakan bahwa ke depan memang perlu dirancang untuk memetakan masalah-masalah yang dihadapi oleh komunitas agama minoritas ini, dan kemudian dianalisis dari mana mengurai benang kusutnya. Pemerintah memang harus memberikan perlindungan dan pelayanan terhadap hak-hak dasar sebagai warga Negara, misalnya kependudukan, pernikahan dan sebagainya. Akan tetapi tentu harus dilalui dengan upaya bersama untuk menentukan mana prioritasnya, sehingga akan diketahui mana yang didahulukan.

Ke depan memang harus ada upaya untuk memperbanyak dialog dan juga aksi untuk kepentingan kerukunan umat beragama agar kehidupan berbangsa dan bernegara akan menjadi semakin baik.

Wallahu a’lam bi al shawab

Categories: Opini