• January 2025
    M T W T F S S
    « Dec    
     12345
    6789101112
    13141516171819
    20212223242526
    2728293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

WARTAWAN SEBAGAI HUMAS KEMENAG RI

WARTAWAN SEBAGAI HUMAS KEMENAG RI

Pada bulan Ramadlan ini, ada kegiatan yang sangat baik yang diselenggarakan sebagai acara  kehumasan Kementerian Agama adalah kegiatan Pelantikan Koordinator Wartawan Unit Kementerian Agama. Acara ini diselengarakan di Operation Room Kementerian Agama Jalan Lapangan Banteng 3-4 Jakarta (18/07/2014). Hadir di dalam acara ini adalah Kapinmas, Zubaidi, Karo Umum, Burhanuddin, Sesdirjen Bimas Islam, Prof. Muhammadiyah Amin, Sekretaris Litbang, Dr. Hamdar Arraiyah, dan sejumlah pejabat lainnya.

Acara ini sangat unik sebab pelantikan tersebut dilakukan dengan cara yang sangat sederhana, tanpa ritual yang sulit dan berwibawa. Acaranya juga hanya sambutan dan berbuka bersama. Meskipun demikian, acara ini juga cukup hikmat dan penuh tanggung jawab.

Tidak sebagaimana acara pelantikan jabatan yang rumit dan berwibawa, maka acara pelantikan ini diselenggarakan dengan simple dan mudah. Ketua PWI Provinsi DKI (Kamsul Hasan)  yang melantik pejabat Koordinator Wartawan Unit Kementerian Agama baru (Muhammad Iskandar) dan disaksikan oleh pejabat lama yang sudah mengakhir jabatannya (Hartono Harimurti). Lafadz pelantikan pun dirumuskan dengan sederhana dan mudah.

Saya tentu merasa sangat senang dengan pelantikan ini sebab bagaimanapun juga para wartawan adalah humas Kementerian Agama yang sudah memberikan kerja terbaiknya untuk menyebarkan informasi kepada khalayak ramai. Para wartawan inilah yang sehari-hari mangkal di Kementerian Agama untuk mengakses berita, menulis berita dan menginformasikannya kepada masyarakat.

Saya sampaikan bahwa ada dua jenis humas di sebuah lembaga pemerintah. Pertama, adalah humas structural, yaitu Humas yang dipimpin oleh pejabat kehumasan dengan sejumlah staf dengan tupoksinya masing-masing. Para pelaksana humas ini secara structural bertanggungjawab kepada pimpinan yang lebih tinggi di dalam profesi kerjanya.

Kedua, ada humas kultural yaitu para pelaku humas yang tidak terikat dengan struktur jabatan dan sekat-sekat ruang struktur, akan tetapi mereka secara riil melaksanakan tugas kehumasan yang tidak kalah pentingnya dengan para pelaku humas structural. Mereka adalah para wartawan dan juga aparat lainnya, baik pejabat structural atau pejabat fungsional yang dengan kesadaran dirinya sendiri merasa dan menjadi pelaku humas kementerian. Keduanya tentu saling bahu membahu untuk menjadi pelaku humas yang bermanfaat bagi penyebaran informasi kepada public dalam berbagai varian media yang digunakannya.

Kitas sekarang sedang hidup di tengah kebebasan pers yang luar biasa. Tidak ada era yang melebihi kebebasan pers sebagaimana sekarang. Kita sudah nyaris sama dengan pers di Negara-negara liberal, seperti Amerika Serikat, Inggris dan lainnya. Apapun bisa diberitakan dan apapun fit to print atau fit to inform. Semuanya menjadi well informed. Semuanya dianggap sebagai informasi yang baik. Itulah sebabnya, saya membagi ada dua jenis pers dewasa ini, yaitu: pers  konstruktif dan pers dekonstruktif.

Pers konstruktif adalah pers yang menjunjung tinggi etika pers dengan mengdepankan etika pemberitaan yang bernilai positif berbasis pada kebenaran. Pers yang semacam ini akan menghasilkan citra positif terhadap apapun yang diberitakannya. Di dalam beritanya ada nilai kepatutan dan kepantasan. Mereka tidak melakukan pembunuhan karakter dan juga menjunjung tinggi nilai kebebasan yang bertanggungjawab. Filsafat dasarnya adalah pers berbasis pada sistem pertanggungjawaban social.

Di sisi lain ada pers yang saya sebut sebagai dekonstruktif.  Di beberapa negara lain disebut sebagai pers kuning. Pers yang memberitakan hal-hal yang tidak memiliki nilai manfaat yang memadai bagi pemberdayaan dan pengembangan institusi atau masyarakat. Pers seperti ini lebih banyak memberitakan sisi negative pemberitaannya. Di dalam konteks ini, maka pers lebih banyak memberikan informasi tentang isu atau sensasi yang tentu saja belum memperoleh justifikasi kebenaran dari sumber beritanya. Karya jurnalistiknya lebih menggambarkan tentang sisi negative ketimbang sisi positif. Di tengah kebebasan pers yang luar biasa, seringkali pemberitaan lebih mengarah kepada hal-hal yang memojokkan, menuduh dan bahkan memfitnah. Falsafah dasarnya adalah freedom of speech atau libertarian mutlak.

Sebagai masyarakat dengan takaran religious yang tinggi, saya kira peran pemberitaan adalah to educate meskipun juga ada to entertain. Setiap yang mendidik pasti basisnya adalah etika dan moralitas. Jadi pers yang diharapkan oleh lembaga atau organisasi adalah pers yang mendidik agar menjadi lebih baik.

Disinilah arti pentingnya agen-agen informasi yang bisa berperan di dalam kerangka untuk menjadi mitra para wartawan di dalam memberitakan aktivitas atau apapun di sebuah kementerian. Menurut Pak Zubaidi, bahwa di Kementerian Agama sudah ada penghubung atau mediator yang berperan untuk manjadi penghubung kegiatan atau aktivitas di kementerian dengan wartawan.

Hanya saja yang perlu kita kembangkan lebih jauh adalah bagaimana para agen tersebut dapat lebih berperan maksimal sehingga aktivitas yang outstanding dapat diinformasikan ke luar. Saya kira memang perlu ada pelatihan-pelatihan untuk membangun kepekaan jurnalistik, sehingga mereka lebih care terhadap pemberitaan aktivitas kita.

Jadi ke depan harus ada budaya berita atau news culture di setiap lini birokrasi, sehingga akan lebih banyak aktivitas kita yang terekspose melalui media, apapun medianya tersebut.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini