• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEMBANGKAN SPIRITUALISASI KERJA (1)

MENGEMBANGKAN SPIRITUALISASI KERJA (1)

Saya bersyukur sebab bisa menghadiri acara yang diselenggarakan oleh Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Palangkaraya dan juga memberikan pembekalan kepada para pejabat di lingkungan Kementerian Agama Provinsi Kalimantan Tengah. Mereka sengaja dikumpulkan oleh Pak Kakanwil Kalteng untuk memperoleh pembinaan tentang kepegawaian.

Rasa syukur saya juga membuncah, sebab dua hari sebelumnya ternyata kabut tebal memaksa pesawat udara untuk mendarat di Banjarmasin dan baru bisa terbang ke Palangkaraya kala kabut tipis dan pesawat bisa mendarat. Makanya, acara di dua tempat ini bisa berjalan lancar sebab cuaca hari ini sangat cerah dan kabut seakan pergi begitu saja.

Hadir di dalam acara ini adalah Ketua STAHN Palangkaraya, Prof. Dr. I Ketut Subagiasta, para wakil Ketua, Direktur Pascasarjana, para dosen, ketua Jurusan, dan para mahasiswa program SI, dan S2 STAHN, Ketua STAIN Palangkaraya, Dr. Ibnu, Kepala Kanwil Kementerian Agama Provinsi Palangkaraya yang diwakili oleh Kabag Umum dan seluruh sivitas akademika STAHN Palangkaraya.

Saya memberikan beberapa hal yang terkait dengan “Strategi Pengembangan SDM dalam Pembangunan Bangsa.”  Di  dalam pengembangan SDM untuk pembangunan bangsa ternyata masih terdapat sejumlah tantangan yang tidak ringan. Pertama, adalah tantangan rendahnya kualitas SDM Indonesia yang disebabkan oleh disparitas pendidikan di Indonesia. Sebagaimana diketahui bahwa pendidikan hinga hari ini tetap dianggap sebagai satu-satunya instrument untuk mengembangkan kualitas SDM yang andal. Peringkat Indeks Pengembangan SDM (Human Development Index) kita hingga hari ini masih berada di level 128 dari seluruh Negara di dunia. Hal ini menggambarkan bahwa kualitas SDM kita sungguh belumlah memberikan gambaran kemajuan yang memadai.

Di sejumlah daerah di Jawa, misalnya, sudah memberikan gambaran yang maju, akan tetapi di beberapa wilayah di luar Jawa, khususnya di Indonesia Timur, masih menggambarkan ketertinggalan dalam pengembangan SDM. Dengan menggunakan ukuran pendidikan sebagai indicator utama pengembangan SDM, maka dapat diketahui dengan jelas bagaimana kualitas SDM kita tersebut. Kala kemampuan baca dan tulis, penguasaan sains dan teknologi kita rendah, maka dapat dipastikan bahwa SDM kita juga rendah. Dari seluruh Negara yang tergabung di dalam OECD, maka kita berada dalam peringkat 49 dari 50 negara yang disurvey. Jadi, kualitas SDM kita memang masih compang-camping.

Kedua, sebagai dampak ikutan rendahnya kualitas pendidikan, maka kesiapan tenaga kerja bangsa kita juga rendah. Lembaga pendidikan belum mampu menjadi katalisator bagi kemajuan tenaga kerja kita. Ada kesenjangan antara apa yang diberikan oleh lembaga pendidikan dengan tuntutan kerja dan ketenagakerjaan di sekeliling kita. Pendidikan semestinya memberikan solusi terhadap kebutuhan akan tuntutan dunia kerja dan bukan sebaliknya untuk membebani terhadap ketenagakerjaan.

Lembaga pendidikan seharusnya memberikan tidak hanya kemampuan “hard skilled” akan tetapi juga “soft skilled” agar terdapat kesiapan alumni lembaga pendidikan untuk memasuki dan bersaing dengan tenaga asing yang secara pasti akan memasuki “kawasan” negeri kita. Bayangkan dengan AFTA saja kita akan bisa menjadi kedodoran jika tidak disiapkan secara memadai tentang bagaimana kualitas pendidikan kita. Makanya, peningkatan kualitas pendidikan merupakan hal mutlak jika kita ingin bisa bersaing dengan negara lain di era kebebasan ini.

Kita pernah memiliki rencana strategis yang sangat baik, yaitu nation’s  competitiveness. Daya saing bangsa harus terus dipicu dan dipacu. Dan sebagai pengungkit terbesarnya adalah pendidikan. Pendidikan harus memiliki roh untuk memajukan bangsa. Pendidikan yang tidak memiliki visi untuk kemajuan bangsa,  maka akan menjadikan pendidikan hanya sebagai kegiatan rutin untuk mencerdaskan kehidupan bangsa,  akan tetapi terlepas dari spirit untuk membangun peradaban manusia.

Dunia pendidikan haruslah menjadi leverage bagi pengembangan kehidupan bangsa untuk terus maju dan berkemampuan untuk berkompetisi dengan negara dan masyarakat lain. Pendidikan harus membebaskan manusia dari ketergantungan dan keterkungkungan. Melalui pendidikan yang membebaskan maka pendidikan akan dapat menjadi instrument untuk memperoleh dan menciptakan pekerjaan.

Jadi pendidikan bukan menciptakan generasi yang tidak berdaya menghadapi persaingan atau kompetisi,  akan tetapi menghasilkan generasi yang berani menatap masa depan dengan tangan terkepal dan maju ke muka.

Pendidikan yang benar menurut saya bukan hanya menghasilkan manusia dengan kemampuan professional-material, akan tetapi juga menghasilkan kemampouan professional-spiritual. Yaitu menghasilkan manusia yang memiliki elan vital untuk maju dengan tetap berpegang teguh pada dimensi spiritual yang mendasari kerjanya tersebut.

Pendidikan akan menghasilkan teknokrat dan birokrat yang unggul dalam profesinya,  akan tetapi juga mendasarkan semua kemajuan dan keahliannya tersebut pada koridor tetap mengedepankan spiritualitas yang adiluhung. Jadi, pendidikan tidak tercerabut dari akar budaya dan spiritualitas bangsanya yang selama ini menjadi kekuatannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN PERADABAN

PENDIDIKAN DAN PEMBANGUNAN PERADABAN

Satu hal yang membuat saya optimis tentang pengembangan pendidikan di Luar Jawa adalah keterlibatan kepala daerah di dalam ikut serta dan konsern untuk pengembangannya. Hampir setiap kunjungan saya ke beberapa daerah di luar Jawa, seperti Bengkulu, Lampung, dan juga kemarin di Kabupaten Aceh Tengah.

Dalam kunjungan sehari tersebut, saya tiga kali menghadiri acara. Yaitu kunjungan ke Rumah Dinas Bupati Aceh Tengah. Hadir di sini seluruh pejabat di Kabupaten Aceh Tengah. Bupati Aceh Tengah, Ir. H. Nasaruddin, MM, Wakil Bupati, Ketua DPRD, Kepala Kejaksaan Negeri, Kapolres, Dandim, Ketua STAIN Gajah Putih dan jajarannya, bahkan juga Ketua Musyawarah Ulama Aceh. Pada acara ini, saya mengucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Pak Bupati dan segenap jajarannya. Sambutan balasan ini saya sampaikan setelah Pak Bupati memberikan ucapan selamat datang dan memberikan penjelasan tentang perkembangan pendidikan di Aceh Tengah, khususnya pendidikan tinggi. Di sini, ada Universitas Gajah Putih dan juga STAIN Gajah Putih. Dulu, keduanya adalah lembaga pendidikan swasta, kemudian yang STAIS berubah menjadi STAIN.

Acara lainnya adalah menghadiri upacara ground breaking pembangunan Gedung Biro di kampus STAIN Gajah Putih Takengon. Di sinilah saya mendengarkan pidato singkat Pak Bupati yang sangat mendasar yaitu pembangunan lembaga pendidikan sesungguhnya adalah pembangunan peradaban manusia. Saya mengamini terhadap pemikiran Pak Bupati ini. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan merupakan kunci utama bagi pengembangan manusia seutuhnya, pembangunan manusia paripurna dan pembangunan peradaban manusia.

Saya sampaikan bahwa nama STAIN ini tentu harus menjadi semangat bagi segenap pejabat baik struktural dan fungsional di lembaga pendidikan ini. Raja hutan sebenarnya bukanlah harimau, singa atau macan akan tetapi adalah gajah. Jika raja hutan itu adalah singa atau harimau, maka raja dirajanya adalah gajah. Gajah memiliki kekuatan yang tangguh dan kekuatan berkelompok yang sangat baik. Dengan merespon falasafah pada kekuatan gajah tersebut, maka yang diharapkan adalah terus berkembangnya semangat yang membara untuk mengembangkan lembaga pendidikan ini. Tidak boleh sedikitpun mengendor atau stagnan. Semangat itu harus terus tumbuh dengan subur di segenap jajaran pejabat di STAIN Gajah Putih. Dengan kekuatan dorongan dari pimpinan daerah, maka pimpinan STAIN harus bisa menjawab dengan kerja keras dan berhasil guna.

Acara berikutnya adalah menghadiri seminar nasional yang diselenggarakan oleh STAIN Gajah Putih. Seminar nasional yang diberi tajuk “Strategi Pengembangan Pendidikan Islam” tersebut juga dihadiri oleh Rektor UIN Ar Raniri Aceh, Prof. Dr. Farid Wajdi, dan Prof. Dr. Yusnadi, dari Unimed, keduanya sebagai nara sumber seminar ini. Saya menyampaikan beberapa hal di dalam acara ini. Yaitu: pertama, tantangan yang harus dihadapi oleh aparat di daerah terkait dengan pembangunan pendidikan. Tidak bisa dipungkiri bahwa ada kesenjangan kualitas pendidikan di berbagai wilayah di Indonesia. Secara umum orang sering menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia Barat dan Timur terhadi gap yang sangat menganga. Kualitas pendidikan di  Indonesia Barat dinyatakan sudah maju sementara di Indonesia Timur masih  rendah.

Namun demikian,  jika dilihat lebih jauh, maka kesenjangan pendidikan tersebut bukan hanya terjadi di wilayah barat dan timur saja, akan tetapi juga antar wilayah di masing-masing region. Misalnya, pengembangan pendidikan di kota dan desa serta  pedalaman sungguh sangat mencolok. Sementara pendidikan di kota sudah maju, akan tetapi di daerah pedesaan dan pedalaman tentu masih terbelakang. Khususnya pendidikan untuk masyarakat pedalaman, maka bisa digambarkan masih sangat tertinggal.

Itulah sebabnya diperlukan percepatan pembangunan di wilayah yang masih terbelakang ini. Untuk kepentingan tersebut, Ditjen Pendidikan Islam sudah melakukan uji coba untuk mengembangkan pendidikan di daerah pedalaman melalui program Madrasah Pedalaman. Kerja sama antara Ditjen Pendis dengan Pemerintah Kabupaten Kaur, Bengkulu ini diharapkan dapat menjadi role model bagi pengembangan pendidikan di daerah pedalaman. Dalam keadaan apapun tentu  negara harus hadir untuk mendidik bangsanya.

Kedua, tantangan pengembangan karakter yang berpedoman pada ajaran Islam. Sebagaimana yang sering diungkapkan  bahwa  pendidikan di Indonesia itu  minus karakter. Para pelaku pendidikan mestilah menjawab terhadap tantangan ini. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Pak Bupati, bahwa pendidikan adalah media pembangunan peradaban manusia. Makanya, semua komponen pendidikan haruslah bekerja untuk mencari solusi dan memberikan aksi bagi pengembangan pendidikan agar pendidikan dapat mencerdaskan bangsa secara sistemik.

Pendidikan tidak hanya menghasilkan manusia cerdas intelektualnya saja, akan tetapi juga cerdas spiritual dan emosionalnya. Pendidikan yang sistemik ini tentu tidak bisa dilakukan hanya dengan easy going saja, akan tetapi harus dirancang dengan design yang benar. Pendidikan akhlak yang menyatu dengan segenap jenjang, jalur dan subject matter mata pelajaran atau kuliah merupakan  kewajiban kita semua untuk merealisasikannya.

Hal ini sangat disadari oleh pengambil kebijakan kala membicarakan Perubahan Kurikulum 2013. Untuk menghasilkan manusia yang utuh atau paripurna, maka yang perlu ditekankan adalah membangun manusia yang bisa menyelaraskan antara iptek, iman dan taqwa. Melalui basis pemikiran “kompetensi inti” untuk mencetak manusia yang beriman dan bertaqwa, maka hal ini akan menjadi landasan bagi pengembangan karakter keilmuan bagi mitra belajar.

Jika kurikulum ini bisa dilakukan dengan benar dan disiapkan dengan baik, maka saya berkeyakinan bahwa pendidikan akan bisa menjadi jembatan emas untuk merenda generasi masa depan yang merupakan generasi unggul untuk Indonesia emas. Integrasi iptek, iman dan taqwa bukan sebuah kemustahilan akan tetapi merupakan keniscayaan.

Jadi mengembangkan pendidikan hakikatnya adalah membangun peradaban manusia yang adiluhung dan paripurna. Di dalam konsepsi Islam disebut sebagai insan kamil.

Wallahu a’lam bis shawab.

PENDIDIKAN UNTUK MENCETAK MANUSIA PARIPURNA

PENDIDIKAN UNTUK MENCETAK MANUSIA PARIPURNA

Saya sangat senang dengan kunjungan ke Aceh pada hari Sabtu dan Ahad, 13-14 September 2014. Senang sebab bisa melakukan dua kujungan, yaitu  ke STAIN Malikus Saleh di Lokseumawe dan ke STAIN Gajah Putih Takengon di Aceh Tengah. Meskipun dalam perjalanan panjang, akan tetapi rasanya nikmat juga bisa mengunjungi dua tempat yang memang belum pernah saya jamah wilayahnya ini.

Saya hampir saja ragu untuk mendatangi acara ini, sebab menjelang keberangkatan saya jam 4 pagi, ternyata perut saya sakit. Maagnya kumat. Ternyata penyebabnya adalah saya makan supermie saja tanpa nasi pada sore harinya. Tetapi Alhamdulillah berkat keteguhan hati untuk berangkat akhirnya sampai juga di Lokseumawe dan Takengon di Aceh.

Acara wisuda sarjana di STAIN Malikus Saleh Lokseumawe tentu saja berjalan lancar. Meskipun harus berjalan sangat lama. Maklumlah acara dikemas dengan banyak pidato. Tentu sambil menunggu kedatangan saya. Kira-kira jam  12 saya sampai di lokasi. Maka acara yang ditunggu adalah pidato wisuda yang disampaikan oleh Prof. Imam Suprayogo, mantan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang.

Dengan gaya pidatonya yang motivatif beliau mengajak agar PTAIN menjadi sumber pendalaman al Qur’an dan kemudian dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. Al Qur’an adalah sumber inspirasi bagi pengkajian ilmu pengetahuan. Semenjak ayat al Fatihah sampai al Nas adalah sumber inspirasi untuk dan berisi tentang bagaimana seharusnya al Qur’an diberlakukan di dalam kehidupan.

Ada  beberapa hal yang saya sampaikan terkait dengan pengembangan pendidikan tinggi Islam yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Pertama, bahwa pendidikan tinggi Islam adalah lembaga pendidikan yang mengusung tentang bagaimana mempelajari ilmu pengetahuan dengan berbasis pada teks agama Islam. Lembaga pendidikan Islam memiliki peran sangat penting terkait dengan bagaimana menyiapkan generasi ke depan yang tidak hanya memiliki kemampuan ilmu sebagaimana hard science-nya, akan tetapi juga memahami tentang bagaimana ajaran Islam tersebut disebarkan kepada masyarakat sesuai dengan prinsip Islam, yaitu Islam yang rahmatan lil alamin. Al qur’an menjelaskan “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil alamin”.

Alumni PTAIN haruslah menjadi agen bagi pengembangan Islam yang sesuai dengan namanya, untuk menyelamatkan dunia dari berbagai tindakan kemungkaran, penyalahgunaan kekuasaan, meminggirkan “the other”, bahkan kebiadaban. Islam seharusnya menyelamatkan manusia dan kemanusiaan. Islam tidak mengajarkan kekerasan secara sistemik dan massal. Islam mengajarkan agar di dalam mengajak kepada Islam dilakukan dengan cara-cara yang bijaksana atau dengan hikmah, yang di dalam teks Islam disebut dengan “bi alhikmati,” dengan kebajikan dan kebijakan.

Sebagai agen pengembangan Islam di dalam berbagai perannya, bisa sebagai pendidik, penyuluh masyarakat Islam, pengembang ekonomi umat atau apapun, maka prinsip yang harus dipegang teguh adalah bagaimana mengembangkan semua itu dengan prinsip tawasuth, tawazun, tasamuh dan ta’awun yang sudah menjadi prinsip relasi sosial di dalam Islam.   Tidak mengambil jalan ekstrim di dalam penyebaran Islam karena memegang prinsip tawasuth dan tawazun. Selalu memberikan yang terbaik dan pertolongan karena prinsip tasamuh dan ta’awun. Inilah prinsip yang diajarkan Islam di dalam membangun jaringan dengan manusia atau kelompok lain di era masyarakat modern sekarang.

Kedua, agar para alumni PTAIN menjadi yang terbaik. Ukuran menjadi yang terbaik adalah karena peran yang dimainkan di masyarakat. Semakin besar peran yang dapat dilakukan di tengah kehidupan masyarakat, maka semakin besar peluangnya menjadi yang terbaik tersebut. Islam mengajarkan bahwa manusia yang terbaik bukan mereka yang kaya atau miskin. Akan tetapi Islam mengajarkan bahwa menjadi manusia yang terbaik adalah yang paling besar manfaatnya bagi umat.

Agar menjadi yang terbaik, maka sarjana harus menguasai ilmu yang dipelajarinya dan menjadikannya sebagai sumber untuk melakukan kebaikan bagi masyarakat. Sebagai agen pengembangan masyarakat Islam, maka semua bentuk tindakannya harus mencerminkan tindakan dan prilaku yang berpedoman kepada ajaran Islam. Islam mengukur kebaikan seseorang bukanlah dari parasnya, badannya, etnisnya dan sebagainya akan tetapi mengukur kebaikan seseorang berdasar atas kemanfaatannya bagi manusia lain, bahkan kebaikannya bagi alam seluruhnya dan hal ini mencerminkan dari ketaqwaannya.

Itulah sebabnya sering saya nyatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang sarat dengan karakter unggul. Keunggulan karakter tersebut diindikatori dengan bagaimana yang bersangkutan memiliki kedekatan spiritual kepada Allah, ritual yang baik kepada Allah, lalu relasi sosial yang baik dengan sesamanya, dengan tidak membedakan antara satu dengan lainnya. Berlaku baik kepada kaum elit dan juga kepada rakyat jelata. Tidak dibedakan berdasar atas status sosialnya. Ibaratnya, status sosial hanyalah pakaian luarnya saja, akan tetapi yang penting adalah dimensi mendalamnya: kebaikannya dan akhlaknya.

Sarjana paripurna adalah sarjana yang mengusai hard skillednya, akan tetapi juga soft skillednya. Kemampuan intelektual, emosional dan spiritual yang ditunjang dengan kemampuan bergaul atau komunikasi yang baik dan relasi sosial yang luas merupakan faktor penting untuk menjadi orang yang sukses.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMBANGUN INDONESIA KE DEPAN (5)

Yang tidak kalah menarik  adalah mengenai pembangunan kehidupan beragama agar masyarakat menjadi semakin harmonis. Sesungguhnya kita telah memiliki panduan kehidupan beragama sebagaimana yang pernah digagas dan diaplikasikan oleh Menteri Agama, H. Alamsyah Prawiranegara, yang dikonsepsikan sebagai Tri Kerukunan Umat Beragama, yaitu: kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

Semua Menteri Agama pasca Beliau juga menjadikan tri kerukunan umat beragama tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari visi dan misi pembangunan umat beragama di Indonesia. Bahkan di era Menteri Agama Suryadharma Ali, maka ada upaya untuk menjadikan Hari Amal Bakti Kementerian Agama, tanggal 03 Januari sebagai hari Kerukunan Nasional.

Secara umum tentu bisa dinyatakan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya berada di dalam situasi yang sangat normal. Tidak didapatkan konflik horizontal yang menyebabkan kerukunan menjadi tercabik-cabik. Masyarakat sudah memiliki kesadaran yang sebenarnya tentang arti pluralitas dan multikulturalitas. Di mana-mana terjadi peningkatan pemahaman beragama dalam konteksnya yang lebih bercorak keindonesiaan. Hanya saja masih ada tantangan di dalam pembangunan kehidupan umat beragama ke depan.

Pertama, munculnya radikalisme yang intoleran terhadap kebinekaan. Radikalisme yang juga tumbuh di negeri ini, saya kira haruslah menjadi perhatian semua masyarakat Indonesia. Berbagai kekalutan di masyarakat yang diakibatkan oleh gerakan terror yang mengatasnamakan agama, tentu harus diwaspadai. Keterlibatan sebagian kecil masyarakat yang mendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah bagian dari gerakan Islam radikal yang berkeinginan kuat untuk mendirikan Negara Islam dalam satu kekhalifahan dunia.

Gerakan radikalisme agama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyaakat Indonesia. Mereka ada di sekitar kita. Mereka sudah masuk di dalam berbagai kelompok keagamaan, lembaga pemerintah dan lainnya. Mereka sesungguhnya sudah eksis di tengah kancah kehidupan masyarakat Indonesia. Gerakan ini juga memiliki daya tarik bagi kawula muda dan orang pinggiran. Mereka dapat mengambil hati mereka yang belum memperoleh  kue hasil pembangunan. Mereka inilah yang menjadi sasaran untuk dijadikan sebagai pengantin dalam bom bunuh diri, menjadi pengikut setia dan pengemban amanah yang kuat untuk memperluas jaringan radikalisme.

Kedua, kelompok minoritas yang belum memperoleh layanan secara memadai dari pemerintah atau Kementerian Agama. Memang harus diakui bahwa untuk melayani terhadap kelompok minoritas bukanlah persoalan sederhana. Ada banyak factor yang harus dipertimbangkan. Di antaranya adalah SDM dan anggaran. Selama ini pelayanan secara memadai diberikan kepada enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara yang lainnya belum memperoleh tempat yang memadai. Eksistensi mereka sebagai sebuah keyakinan tentu sudah dipahami sebagai hal yang wajar. Akan tetapi keberadaan mereka untuk disamakan dengan enam agama lainnya, masih mengandung pro dan kontra.

Akhir-akhir ini memang ada tuntutan yang kuat agar mereka diakui oleh negara, misalnya kaum Baha’i. Namun demikian, masih terdapat kendala yang harus didiskusikan dengan sangat mendasar mengenai “pengakuan” tersebut. Tentu saja harus ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh agama-agama minoritas tersebut jika kemudian ingin memperoleh “pengakuan” yang memadai. Pengakuan tersebut tentu bukan berasal dari Kementerian Agama, yang memang tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya. Kementerian Agama memiliki kewenangan untuk melakukan bimbingan dan pengembangan kehidupan beragama.

Ketiga, munculnya aliran-aliran baru yang mengatasnamakan agama namun mencederai agama lainnya. Akhir-akhir ini banyak dijumpai munculnya pengakuan orang dengan mendeklarasikan yang disebutnya sebagai agama baru. Mereka mengaku sebagai nabi atau utusan Tuhan dan mendeklarasikan cara beribadah yang terkadang menodai agama tertentu. Ada yang syahadatnya dibuat berbeda dan ada juga yang cara ibadahnya yang berbeda. Misalnya shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia dan sebagainya.

Munculnya keyakinan baru ini tentu bisa merusak terhadap harmoni umat beragama. Manakala mereka melakukan penodaan terhadap agama, maka mestinya dapat dihukum dengan menggunakan pasal penodaan dan penistaan agama. Terhadap hal semacam ini, maka mestilah ada ketegasan dari negara untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan.

Keempat, kekerasan terhadap kelompok umat beragama. Harus diakui bahwa masih ada kekerasan yang dianggap sebagai kekerasan agama, misalnya terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah. Terhadap kelompok ini memang masih terdapat konflik yang belum bisa dituntaskan. Seperti kaum Syiah di Sampang dan juga Ahmadiyah di Jawa barat. Konflik yang disebabkan oleh perebutan sumber daya penganut beragama ini memang terjadi dengan kekerasan yang tinggi. Kaum Syiah yang harus mengungsi dan kaum Ahmadiyah yang juga harus kehilangan rumah bahkan nyawa.

Kekerasan ini memang bercorak lokalitas, sebab kaum Syiah di tempat lain tidak mengalami masalah seperti itu. Demikian pula kaum Ahmadiyah. Kaum Ahmadiyah Lahore yang intensif di dalam pendidikan tentu berbeda dengan kaum Ahmadiyah Qadiyan. Ada perbedaan yang cukup mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu harus dipahami agar tidak terjadi generalisasi yang salah kaprah.

Makanya, penyelesaian terhadap konflik tersebut juga seharusnya bercorak lokalitas sesuai dengan lokus dan tradisi mereka sendiri. Konflik yang bernuansa agama memang terjadi di lokal-lokal tertentu. Oleh sebab itu solusi yang bercorak kewilayahan menjadi mengedepan untuk dikembangkan.

Menurut saya, bahwa kerja sama antarelit agama, elit lokal, dan juga pemerintah sangat diperlukan untuk merekonstruksi relasi antar umat beragama dalam wilayah tertentu. Ada banyak yang menyatakan bahwa di dalam sebuah konflik sosial seringkali agama dijadikan sebagai penguat. Agama menjadi nuansa.

Jadi bukan konflik agama sesungguhnya,  akan tetapi konflik sosial dari berbagai faktor yang menjadi penyebabnya lalu agama dijadikan sebagai penguatnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBANGUN INDONESIA KE DEPAN (4)

Salah satu yang menonjol di dalam perbincangan kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019 adalah tentang kedaulatan pangan. Issu ini sangat mengedepan di tengah keinginan untuk menjadikan Indonesia memiliki kemandirian dalam pemenuhan  pangan.

Ada sebuah kegalauan bahwa Indonesia yang merupakan negara agraris, akan  tetapi ternyata harus banyak mengimpor beras, bawang, garam, gula, kedelai dan lainnya. Ada pertanyaan yang belum terjawab bagaimana Indonesia bisa berswasembada pangan sebagaimana pada era Orde Baru, tahun 80-an.

Memang harus diakui bahwa sesuai dengan konsep developmentalisme bahwa jika impor barang atau produk dari luar negeri ternyata  harganya lebih kompetitif, maka  akan lebih mudah untuk mengimpor barang atau produk dari pada memproduk sendiri barang atau produk  tersebut. Seirama dengan teori ini, maka pemerintah lebih suka untuk mengimpor berbagai produk yang harganya memang lebih  kompetitif.

Makanya, didatangkanlah garam dan bawang dari Vietnam, produk pertanian dari Thailand, gula dan produk lainnya dari India, daging dari Australia, kedelai dan lain sebagainya. Impor barang ini tentu lebih mudah dan juga menjadikan harga lebih kompetitif. Sehingga  dengan konsep import ini, maka ada banyak produk lokal yang kalah bersaing harganya dengan barang impor.

Saya teringat ketika Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, melarang pengiriman daging Australia ke Jawa Timur dan juga gula impor. Tindakan ini dilakukan dalam kerangka melindungi produk daging dan gula dalam negeri yang memerlukan “proteksi” dari serangan gula dan daging impor. Kita tentu ingat bagaimana masalah daging sapi impor yang melibatkan Kementerian Pertanian yang lalu. Ternyata bahwa impor tersebut menjadi ladang korupsi para pejabat publik.

Semua tentu mengamini upaya untuk melakukan kedaulatan pangan. Hal ini tentu menjadi harapan para petani, peternak, produk gula, garam dan sebagainya. Dengan memberi peluang kepada para petani untuk mengembangkan pertanian, perkebunan, perikanan dan produk usaha agrobisnis lainnya. Namun tetap saja ada pertanyaan mendasar, bagaimana usaha untuk kedaulatan pangan tersebut dapat dilakukan di tengah dunia global dan perdagangan bebas ini?

Dunia pertanian kita sungguh tidak kompetitif di tengah serbuan produk pertanian dari negara lain. Sementara negara lain sudah jauh mengembangkan budi daya pertaniannya, sedangkan kita masih melakukan pertanian konvensional. Misalnya kelapa sawit, maka Malaysia lebih unggul dalam pembudidayaannya. Untuk garam maka Vietnam juga sudah lebih dulu maju. Peternakan, maka kita tidak akan mengalahkan Australia yang sudah maju dalam bidang ini.

Namun demikian, sesungguhnya kita memiliki potensi pertanian yang luar biasa. Dengan wilayah yang terbentang dari Aceh sampai Merauke, maka potensi areal pertanian sungguh luar biasa. Hanya sayangnya bahwa pengembangan pertanian seakan terbenam oleh industrialisasi sektor lainnya. Belum lagi persaingan harga yang selalu tidak sehat terhadap komoditas pertanian, perkebunan, perikanan  dan lainnya.

Yang seharusnya diperhatikan adalah pengembangan lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia yang basah dan lahan subur sebenarnya bisa dimanfaatlan secara memadai untuk mengembangkan kuantitas lahan pertanian. Jika terdapat problem SDM petani yang makin langka, maka yang diperlukan adalah mengembangkan SDM petani agar lebih banyak.

Berikan kebijakan yang menggembirakan bagi para petani agar mereka terus bekerja di sektor ini. Janganlah para petani  dipinggirkan  dari kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Subsidi pupuk yang berimbang kiranya perlu menjadi perhatian pemerintah. Tanpa subsidi mereka akan sulit untuk berkembang. Sekaligus juga memperkaya varian pupuk organic maupun nonorganik  yang akan diperuntukkan bagi petani.

Di dalam kerangka untuk meningkatkan penggunaan produk perkebunan baik untuk impor maupun untuk kepentingan sendiri, kiranya harus ada kebijakan yang memihak terhadap pengembangan perkebunan. Kelapa sawit, kakao, kopi, cengkeh dan produk perkebunan yang sangat luas kiranya menjadi potensi yang perlu digairahkan produksinya. Indonesia adalah lahan kopi, cengkeh, kelapa sawit dan kakao terbaik di dunia. Semestinya, kita menjadi negara produsen yang aktif dalam dunia perdagangan produk perkebunan dimaksud.

Penanganan terhadap produk perkebunan tidak bisa dilakukan dengan birokrasi yang kurang memihak kepada program kewirausahaan. Birokrasi administrative tentang produk pertanian, perkebunan, perikanan dan lainnya haruslah diubah dengan menggunakan konsep reinventing government. Menangani program membangun kedaulatan pangan tidak bisa dengan business as usual, akan tetapi harus dengan out of the box. Harus dengan pemikiran lateral bukan pikiran horizontal.

Di Malaysia, Kementerian Luar Bandar memiliki kebijakan hulu hilir untuk mengembangkan wilayah Luar Bandar. Dengan otonomisasi seperti ini, maka kebijakan akan menjadi makin komprehensif dan lebih efektif dan effisien. Kebijakan riset, pembibitan, penanaman, pemupukan, dan produk serta pasca produksi menjadi tanggung jawab secara keseluruhan kementerian ini. Melalui kebijakan ini, maka secara komprehensif penanganan wilayah Luar Bandar menjadi sistemik dan komprehensif.

Dengan demikian, kedaulatan pangan bukan berarti hanya berkepentingan dengan pertanian semata, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan perkebunan, perikanan dan sektor lain yang terkait. Apakah sebaiknya, kementerian ini disatukan dalam satu wadah tentu harus ada logika yang mendasar.

Namun demikian yang lebih penting adalah perubahan mindset birokrat dan teknokratnya untuk mengembangkan visi dan misi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agraris modern yang didukung oleh industri dalam berbagai variannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.