• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN INDONESIA KE DEPAN (5)

Yang tidak kalah menarik  adalah mengenai pembangunan kehidupan beragama agar masyarakat menjadi semakin harmonis. Sesungguhnya kita telah memiliki panduan kehidupan beragama sebagaimana yang pernah digagas dan diaplikasikan oleh Menteri Agama, H. Alamsyah Prawiranegara, yang dikonsepsikan sebagai Tri Kerukunan Umat Beragama, yaitu: kerukunan antar umat beragama, kerukunan intern umat beragama dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

Semua Menteri Agama pasca Beliau juga menjadikan tri kerukunan umat beragama tersebut sebagai bagian tidak terpisahkan dari visi dan misi pembangunan umat beragama di Indonesia. Bahkan di era Menteri Agama Suryadharma Ali, maka ada upaya untuk menjadikan Hari Amal Bakti Kementerian Agama, tanggal 03 Januari sebagai hari Kerukunan Nasional.

Secara umum tentu bisa dinyatakan bahwa kerukunan umat beragama di Indonesia sesungguhnya berada di dalam situasi yang sangat normal. Tidak didapatkan konflik horizontal yang menyebabkan kerukunan menjadi tercabik-cabik. Masyarakat sudah memiliki kesadaran yang sebenarnya tentang arti pluralitas dan multikulturalitas. Di mana-mana terjadi peningkatan pemahaman beragama dalam konteksnya yang lebih bercorak keindonesiaan. Hanya saja masih ada tantangan di dalam pembangunan kehidupan umat beragama ke depan.

Pertama, munculnya radikalisme yang intoleran terhadap kebinekaan. Radikalisme yang juga tumbuh di negeri ini, saya kira haruslah menjadi perhatian semua masyarakat Indonesia. Berbagai kekalutan di masyarakat yang diakibatkan oleh gerakan terror yang mengatasnamakan agama, tentu harus diwaspadai. Keterlibatan sebagian kecil masyarakat yang mendukung Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) adalah bagian dari gerakan Islam radikal yang berkeinginan kuat untuk mendirikan Negara Islam dalam satu kekhalifahan dunia.

Gerakan radikalisme agama ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyaakat Indonesia. Mereka ada di sekitar kita. Mereka sudah masuk di dalam berbagai kelompok keagamaan, lembaga pemerintah dan lainnya. Mereka sesungguhnya sudah eksis di tengah kancah kehidupan masyarakat Indonesia. Gerakan ini juga memiliki daya tarik bagi kawula muda dan orang pinggiran. Mereka dapat mengambil hati mereka yang belum memperoleh  kue hasil pembangunan. Mereka inilah yang menjadi sasaran untuk dijadikan sebagai pengantin dalam bom bunuh diri, menjadi pengikut setia dan pengemban amanah yang kuat untuk memperluas jaringan radikalisme.

Kedua, kelompok minoritas yang belum memperoleh layanan secara memadai dari pemerintah atau Kementerian Agama. Memang harus diakui bahwa untuk melayani terhadap kelompok minoritas bukanlah persoalan sederhana. Ada banyak factor yang harus dipertimbangkan. Di antaranya adalah SDM dan anggaran. Selama ini pelayanan secara memadai diberikan kepada enam agama, yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Sementara yang lainnya belum memperoleh tempat yang memadai. Eksistensi mereka sebagai sebuah keyakinan tentu sudah dipahami sebagai hal yang wajar. Akan tetapi keberadaan mereka untuk disamakan dengan enam agama lainnya, masih mengandung pro dan kontra.

Akhir-akhir ini memang ada tuntutan yang kuat agar mereka diakui oleh negara, misalnya kaum Baha’i. Namun demikian, masih terdapat kendala yang harus didiskusikan dengan sangat mendasar mengenai “pengakuan” tersebut. Tentu saja harus ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh agama-agama minoritas tersebut jika kemudian ingin memperoleh “pengakuan” yang memadai. Pengakuan tersebut tentu bukan berasal dari Kementerian Agama, yang memang tidak memiliki kewenangan untuk melakukannya. Kementerian Agama memiliki kewenangan untuk melakukan bimbingan dan pengembangan kehidupan beragama.

Ketiga, munculnya aliran-aliran baru yang mengatasnamakan agama namun mencederai agama lainnya. Akhir-akhir ini banyak dijumpai munculnya pengakuan orang dengan mendeklarasikan yang disebutnya sebagai agama baru. Mereka mengaku sebagai nabi atau utusan Tuhan dan mendeklarasikan cara beribadah yang terkadang menodai agama tertentu. Ada yang syahadatnya dibuat berbeda dan ada juga yang cara ibadahnya yang berbeda. Misalnya shalat dengan menggunakan bahasa Indonesia dan sebagainya.

Munculnya keyakinan baru ini tentu bisa merusak terhadap harmoni umat beragama. Manakala mereka melakukan penodaan terhadap agama, maka mestinya dapat dihukum dengan menggunakan pasal penodaan dan penistaan agama. Terhadap hal semacam ini, maka mestilah ada ketegasan dari negara untuk menentukan apa yang seharusnya dilakukan.

Keempat, kekerasan terhadap kelompok umat beragama. Harus diakui bahwa masih ada kekerasan yang dianggap sebagai kekerasan agama, misalnya terhadap kaum Syiah dan Ahmadiyah. Terhadap kelompok ini memang masih terdapat konflik yang belum bisa dituntaskan. Seperti kaum Syiah di Sampang dan juga Ahmadiyah di Jawa barat. Konflik yang disebabkan oleh perebutan sumber daya penganut beragama ini memang terjadi dengan kekerasan yang tinggi. Kaum Syiah yang harus mengungsi dan kaum Ahmadiyah yang juga harus kehilangan rumah bahkan nyawa.

Kekerasan ini memang bercorak lokalitas, sebab kaum Syiah di tempat lain tidak mengalami masalah seperti itu. Demikian pula kaum Ahmadiyah. Kaum Ahmadiyah Lahore yang intensif di dalam pendidikan tentu berbeda dengan kaum Ahmadiyah Qadiyan. Ada perbedaan yang cukup mendasar di antara keduanya. Perbedaan itu harus dipahami agar tidak terjadi generalisasi yang salah kaprah.

Makanya, penyelesaian terhadap konflik tersebut juga seharusnya bercorak lokalitas sesuai dengan lokus dan tradisi mereka sendiri. Konflik yang bernuansa agama memang terjadi di lokal-lokal tertentu. Oleh sebab itu solusi yang bercorak kewilayahan menjadi mengedepan untuk dikembangkan.

Menurut saya, bahwa kerja sama antarelit agama, elit lokal, dan juga pemerintah sangat diperlukan untuk merekonstruksi relasi antar umat beragama dalam wilayah tertentu. Ada banyak yang menyatakan bahwa di dalam sebuah konflik sosial seringkali agama dijadikan sebagai penguat. Agama menjadi nuansa.

Jadi bukan konflik agama sesungguhnya,  akan tetapi konflik sosial dari berbagai faktor yang menjadi penyebabnya lalu agama dijadikan sebagai penguatnya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini