• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBANGUN INDONESIA KE DEPAN (4)

Salah satu yang menonjol di dalam perbincangan kampanye calon Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2014-2019 adalah tentang kedaulatan pangan. Issu ini sangat mengedepan di tengah keinginan untuk menjadikan Indonesia memiliki kemandirian dalam pemenuhan  pangan.

Ada sebuah kegalauan bahwa Indonesia yang merupakan negara agraris, akan  tetapi ternyata harus banyak mengimpor beras, bawang, garam, gula, kedelai dan lainnya. Ada pertanyaan yang belum terjawab bagaimana Indonesia bisa berswasembada pangan sebagaimana pada era Orde Baru, tahun 80-an.

Memang harus diakui bahwa sesuai dengan konsep developmentalisme bahwa jika impor barang atau produk dari luar negeri ternyata  harganya lebih kompetitif, maka  akan lebih mudah untuk mengimpor barang atau produk dari pada memproduk sendiri barang atau produk  tersebut. Seirama dengan teori ini, maka pemerintah lebih suka untuk mengimpor berbagai produk yang harganya memang lebih  kompetitif.

Makanya, didatangkanlah garam dan bawang dari Vietnam, produk pertanian dari Thailand, gula dan produk lainnya dari India, daging dari Australia, kedelai dan lain sebagainya. Impor barang ini tentu lebih mudah dan juga menjadikan harga lebih kompetitif. Sehingga  dengan konsep import ini, maka ada banyak produk lokal yang kalah bersaing harganya dengan barang impor.

Saya teringat ketika Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, melarang pengiriman daging Australia ke Jawa Timur dan juga gula impor. Tindakan ini dilakukan dalam kerangka melindungi produk daging dan gula dalam negeri yang memerlukan “proteksi” dari serangan gula dan daging impor. Kita tentu ingat bagaimana masalah daging sapi impor yang melibatkan Kementerian Pertanian yang lalu. Ternyata bahwa impor tersebut menjadi ladang korupsi para pejabat publik.

Semua tentu mengamini upaya untuk melakukan kedaulatan pangan. Hal ini tentu menjadi harapan para petani, peternak, produk gula, garam dan sebagainya. Dengan memberi peluang kepada para petani untuk mengembangkan pertanian, perkebunan, perikanan dan produk usaha agrobisnis lainnya. Namun tetap saja ada pertanyaan mendasar, bagaimana usaha untuk kedaulatan pangan tersebut dapat dilakukan di tengah dunia global dan perdagangan bebas ini?

Dunia pertanian kita sungguh tidak kompetitif di tengah serbuan produk pertanian dari negara lain. Sementara negara lain sudah jauh mengembangkan budi daya pertaniannya, sedangkan kita masih melakukan pertanian konvensional. Misalnya kelapa sawit, maka Malaysia lebih unggul dalam pembudidayaannya. Untuk garam maka Vietnam juga sudah lebih dulu maju. Peternakan, maka kita tidak akan mengalahkan Australia yang sudah maju dalam bidang ini.

Namun demikian, sesungguhnya kita memiliki potensi pertanian yang luar biasa. Dengan wilayah yang terbentang dari Aceh sampai Merauke, maka potensi areal pertanian sungguh luar biasa. Hanya sayangnya bahwa pengembangan pertanian seakan terbenam oleh industrialisasi sektor lainnya. Belum lagi persaingan harga yang selalu tidak sehat terhadap komoditas pertanian, perkebunan, perikanan  dan lainnya.

Yang seharusnya diperhatikan adalah pengembangan lahan pertanian di berbagai wilayah di Indonesia. Wilayah Indonesia yang basah dan lahan subur sebenarnya bisa dimanfaatlan secara memadai untuk mengembangkan kuantitas lahan pertanian. Jika terdapat problem SDM petani yang makin langka, maka yang diperlukan adalah mengembangkan SDM petani agar lebih banyak.

Berikan kebijakan yang menggembirakan bagi para petani agar mereka terus bekerja di sektor ini. Janganlah para petani  dipinggirkan  dari kebijakan yang tidak memihak kepadanya. Subsidi pupuk yang berimbang kiranya perlu menjadi perhatian pemerintah. Tanpa subsidi mereka akan sulit untuk berkembang. Sekaligus juga memperkaya varian pupuk organic maupun nonorganik  yang akan diperuntukkan bagi petani.

Di dalam kerangka untuk meningkatkan penggunaan produk perkebunan baik untuk impor maupun untuk kepentingan sendiri, kiranya harus ada kebijakan yang memihak terhadap pengembangan perkebunan. Kelapa sawit, kakao, kopi, cengkeh dan produk perkebunan yang sangat luas kiranya menjadi potensi yang perlu digairahkan produksinya. Indonesia adalah lahan kopi, cengkeh, kelapa sawit dan kakao terbaik di dunia. Semestinya, kita menjadi negara produsen yang aktif dalam dunia perdagangan produk perkebunan dimaksud.

Penanganan terhadap produk perkebunan tidak bisa dilakukan dengan birokrasi yang kurang memihak kepada program kewirausahaan. Birokrasi administrative tentang produk pertanian, perkebunan, perikanan dan lainnya haruslah diubah dengan menggunakan konsep reinventing government. Menangani program membangun kedaulatan pangan tidak bisa dengan business as usual, akan tetapi harus dengan out of the box. Harus dengan pemikiran lateral bukan pikiran horizontal.

Di Malaysia, Kementerian Luar Bandar memiliki kebijakan hulu hilir untuk mengembangkan wilayah Luar Bandar. Dengan otonomisasi seperti ini, maka kebijakan akan menjadi makin komprehensif dan lebih efektif dan effisien. Kebijakan riset, pembibitan, penanaman, pemupukan, dan produk serta pasca produksi menjadi tanggung jawab secara keseluruhan kementerian ini. Melalui kebijakan ini, maka secara komprehensif penanganan wilayah Luar Bandar menjadi sistemik dan komprehensif.

Dengan demikian, kedaulatan pangan bukan berarti hanya berkepentingan dengan pertanian semata, akan tetapi juga dalam kaitannya dengan perkebunan, perikanan dan sektor lain yang terkait. Apakah sebaiknya, kementerian ini disatukan dalam satu wadah tentu harus ada logika yang mendasar.

Namun demikian yang lebih penting adalah perubahan mindset birokrat dan teknokratnya untuk mengembangkan visi dan misi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara agraris modern yang didukung oleh industri dalam berbagai variannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

Categories: Opini