• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AKHIRNYA RUU-JPH PUN DISAHKAN (2)

Merumuskan undang-undang memang harus dengan kecermatan yang tinggi. Untunglah saya dibantu oleh tim hukum Kementerian Agama, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, lalu Pak Widodo dari Kementerian Perindustrian dan juga Pak Roesdiyanto dari Kementerian PAN&RB, serta Bu Pocut dari Kementerian Hukum dan HAM. Demikan juga Pak Panggah dari Kementerian Pertanian. Semua tentu dengan timnya masing-masing.

Sebenarnya, di pihak pemerintah juga belumlah satu kesatuan pendapat. Di antara yang alot dibicarakan adalah tentang pelaku usaha dan produknya serta sifat pengaturan yang masih terjadi tarik ulur. Di antara pemerintah masih berbeda pendapat tentang apakah sifat pengaturan tersebut wajib atau mandatory atau sukarela atau voluntary.

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan lebih sependapat dengan sifat  pengaturan yang bercorak sukarela. Alasannya adalah faktor pelaksanaan program sertifikasi halal yang membutuhkan waktu lama dan juga jumlah produk yang sulit dideteksi secara pasti keberadaannya dan bahan-bahannya. Jika jumlah pengusaha besar dan menengah bisa dideteksi dengan jelas, maka yang sulit adalah tethadap pengusaha UKM dengan jumlahnya  mencapai jutaan.

Dengan memberikan status wajib, maka akan terjadi kesulitan yang sangat tinggi terkait dengan implementasi undang-undang ini. Namun demikian, akhirnya kedua kementerian ini juga menerima bahwa sifat pengaturan wajib bukanlah serta merta akan terjadi. Tetap saja bahwa akan terjadi proses pentahapan di dalam implementasi sertifikasi halalnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI, misalnya Pak Raehan, Pak Amran dan Kyai Khumaidi adalah beberapa di antara anggota Komisi VIII DPR RI yang sangat keras dengan pendapatnya bahwa sifat pengaturan JPH adalah wajib. Bagi mereka,   para pengusaha wajib menjamin bahwa produknya harus halal jika memang diperuntukkan bagi masyarakat Islam.

Perdebatan inilah yang membutuhkan waktu yang sangat panjang, sebab antar panja pemerintah juga masih bersilang pendapat. Terutama Kementerian Perdagangan dan Perindustrian yang merasa keberatan dengan sifat wajib tersebut. Baginya bahwa sifat pengaturan JPH adalah voluntary. Makanya, Menteri Perdagangan juga berkirim surat kepada Menteri Agama agar pemerintah bertahan dengan sifat voluntary itu.

Sementara Panja Komisi VIII DPR RI sampai pada kesimpulan bahwa wajib tersebut diterapkan kepada pengusaha besar dan menengah, sedangkan untuk pengusaha kecil menjadi kewajiban pemerintah untuk mengadakannya. Perdebatan ini berkisar pada perlakuan undang-undang yang berbeda antara pengusaha yang satu dengan lainnya.  Akhirnya, ditemukan bahwa kewajiban JPH adalah pada produknya, sehingga perdebatan pengusaha besar, kecil dan UKM tidaklah mengedepan.

Secara perlahan tetapi pasti, akhirnya panja pemerintah mengubah keputusannya bahwa wajib sertifikat produk hendaknya dilakukan secara bertahap setelah semua persyaratan untuk pemberlakuan wajib tersebut terpenuhi. Akhirnya ditentukan waktu lima tahun untuk menyiapkan insfrastruktur, auditor, penyelia, Badan, peraturan yang dibutuhkan dan sosialisasi. Setelah lima tahun tersebut, maka pemberlakuan secara efektif terhadap JPH akan bisa dilakukan. Kesepakatan inilah yang diambil oleh Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI.

Ternyata kesepakatan ini pun belum bulat. Di akhir perumusan oleh Timmus, wakil dari Kementerian Perdagangan masih mempertanyakan tentang status wajib setelah lima tahun perjalanan undang-undang ini. Akan tetapi akhirnya kesepakatan bisa diambil melalui penjelasan dan kesepahaman.

Kerikil kecil di dalam Raker dengan Menteri Agama dan lainnya, juga masih ada. Masih ada  sedikit perbedaan tentang sifat pengaturan dalam pandangan mini fraksi. Meskipun akhirnya semua setuju untuk melanjutkan pembahasan pada tingkat II atau Paripurna DPR RI. Kita semua tentu bersyukur bahwa akhirnya DPR RI secara bulat menyetujui agar RUU-JPH bisa dijadikan sebagai UU-JPH.

Melalui penjelasan dan komunikasi yang harmonis, maka perbedaan pun bisa disatukan dan ternyata begitulah memang adanya. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan tentang implemetasi undang-undang ini, namun endingnya  semua sepakat bahwa undang-undang ini penting untuk menjamin kepastian hokum.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Jual Nastar at 11:32 on 11 December 2017
Wow, this article is good, my sikster is analyzing these things, so I am going to let know…
Nur Syam at 13:18 on 26 October 2018
thanks for your comment.

AKHIRNYA RUU JPH DIUNDANGKAN (1)

Ada kebahagiaan yang membuncah setelah proses panjang penyusunan RUU Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) bisa diselesaikan dalam Raker Menteri dengan Komisi VIII DPR RI, tanggal 22/09/2014. Kegembiraan tersebut tentunya mengingat perjalanan panjang RUU-JPH yang sudah cukup lama. Menurut informasi sudah digagas pada waktu periode DPR RI tahun 2005-2009 yang lalu dan kemudian dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014.

Lalu, pada tanggal 26/09/2014 RUU tersebut dapat disetujui untuk diundangkan dalam sidang  Paripurna DPR RI dan yang menarik adalah persetujuan didapatkan dari semua fraksi di DPR RI. Semua fraksi menyatakan setuju dengan naskah RUU tersebut untuk diangkat menjadi undang-undang. Penyusunan RUU-JPH yang membutuhkan waktu lama tersebut akhirnya disahkan menjadi undang-undang pada saat yang tepat.

Perjalanan panjang perumusan RUU-JPH tentu terkait dengan tarik menarik kepentingan yang terus mengedepan dan belum bisa didamaikan. Tarikan kepentingan tersebut menyangkut dua hal yang sangat mendasar, yaitu tentang peranan MUI di dalam JPH ini dan juga sifat pengaturan  JPH apakah voluntary atau mandatory. Dua hal ini saja yang menyita perhatian dan tidak bisa diselesaikan selama bertahun-tahun.

Untunglah bahwa di akhir masa jabatan DPR RI ternyata bisa ditemukan solusi yang sedikit bisa menjadi jalan keluar. Dua kepentingan yang berbeda, bahwa MUI berkeinginan untuk  mengelola seluruh pemeriksaan jaminan halal versus organisasi sosial keagamaan yang tentunya menganggap tidak boleh ada diskriminasi dan kemutlakan penyelenggaraan jaminan produk halal menempel pada satu organisasi tertentu.

Keduanya tentu memiliki alasan yang sama kuat. MUI dengan pengalaman dan penunjukan yang diberikan oleh Kementerian Agama sebagai penyelenggara pemeriksaan produk halal dan telah bekerja selama 25 tahun tentu merasa bahwa pemeriksaan produk halal adalah kewenangannya. Sementara itu organisasi sosial keagamaan lain, menganggap bahwa di dalam undang-undang tidak boleh ada perbedaan perlakuan terhadap semua elemen organisasi sosial keagamaan. Undang-undang  harus menempatkan dirinya untuk semua komponen bangsa dan bukan hanya untuk segelintir atau sekelompok orang.

Perdebatan inilah yang membuat perumusan RUU-JPH terkendala. Namun akhirnya kesepakatan pun bisa didapatkan melalui usulan saya bahwa peran MUI bisa ditampung di dalam proses pemeriksaan halal, melalui kerjasama antara Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan pihak lain. Jadi bukan penyerahan pemeriksaan produk halal kepada MUI tetapi juga tidak meninggalkan MUI sebagai lembaga yang memiliki pengalaman dan pernah memiliki kewenangan untuk pemeriksaan produk halal.

Saya ungkapkan bahwa MUI bisa bersama dengan BPJPH untuk terlibat di dalam pemeriksaan produk, mendiskusikan hasil pemeriksaan lembaga Pemeriksa Halal (LPH) dan juga mengeluarkan surat keputusan bahwa suatu produk halal atau tidak halal. Pikiran ini akhirnya diakomodasi oleh seluruh Panja DPR dan juga Panja Pemerintah. Melalui konsep ini, maka peran MUI akan tetap terakomodir di dalam pemeriksaan produk halal tetapi juga tidak gigantic dan powerfull.

Organisasi lain diberi keleluasaan untuk membuat LPH. Selama yang bersangkutan adalah lembaga yang berbadan hukum, maka dipastikan melalui undang-undang ini akan  bisa menjadi lembaga pemeriksa halal asalkan sudah memenuhi persyaratan sebagaimana tertuang di dalam undang-undang. Dengan diundangkannya Jaminan Produk Halal, maka kepastian hukum untuk mengonsumsi produk halal bukan lagi sebagai sebuah impian di negara berpenduduk mayoritas muslim ini, akan tetapi akan dapat menjadi kenyataan.

Perdebatan demi perdebatan yang menjadi ciri khas di dalam perumusan perundang-undangan terasa menjadi bumbu penyedap di dalamnya. Ada logika, ada tekanan, ada juga penjelasan yang terkadang sulit dipahami dan juga terkadang ada jalan keluar yang secara tiba-tiba muncul. Semua itu menggambarkan dinamika perumusan perundang-undangan yang terjadi. Melalui jalan berliku yang seperti itu, akhirnya RUU-JPH ini disepakati.

Saya sungguh berharap bahwa semua kalangan dapat menerima kompromi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR RI ini. MUI tentu diharapkan dapat memahami bahwa undang-undang ini harus berlaku dan bermanfaat bagi semua kalangan masyarakat, sehingga tidak ada diskriminasi dan juga peminggiran bagi yang lain. Makanya format kerja sama antara BPJPH dengan MUI dan juga kalangan professional lainnya yang terlibat di dalam proses pemeriksaan produk halal akan sangat berguna.

Di sisi lain, organisasi sosial keagamaan dan masyarakat juga memahami bahwa undang-undang ini harus menjadi pedoman bagi semua pengusaha dan masyarakat dalam memperlakukan produk. Semuanya diberi peluang untuk menjadi lembaga pemeriksa halal. BPJPH yang nanti akan diisi oleh orang professional tentu dipastikan akan bekerja secara professional, sehingga hasil kerja mereka tentu akan dapat dipertanggungjawabkan secara transparan dan pasti.

Oleh karena itu tentu yang diharapkan adalah kearifan semua kalangan untuk memastikan bahwa undang-undang ini akan berlaku efektif semenjak lima tahun yang akan datang. Waktu sela inilah yang diharapkan akan menjadi wahana untuk melakukan persiapan bagi pelaksanaan undang-undang ini.

Kita harus melakukan sosialisasi, membuat peraturan-peraturan di bawahnya, merumuskan pedomannya, membentuk BPJPH, memperbanyak auditor halal, memperbanyak jumlah penyelia halal, melengkapi infrastruktur hingga menyiapkan lembaga pemeriksa halal. Semua harus dilakukan secara simultan agar kala nanti undang-undang ini berlaku efektif, maka semuanya sudah siap.

Melalui undang-undang ini diharapkan ke depan akan lahir “Gerakan Nasional Cinta Produk Halal” atau “Gerakan Masyarakat Halal Indonesia” yang akan menjadi betapa pentingnya makanan, minuman, kosmetik, obat, produk kimia, biologi dan juga barang gunaan memiliki kepastian halalnya bagi umat Islam.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MENJAGA KEMENTERIAN AGAMA

MENJAGA KEMENTERIAN AGAMA

Diskusi akhir-akhir ini di media sosial sungguh menarik untuk diikuti. Salah satu diskusi penting di negeri ini pasca pilpres adalah mengenai siapa menteri yang akan menduduki kabinet Indonesia dan kementerian apa saja yang mesti ada dan yang mesti diganti nomenklaturnya.

Di antara perbincangan yang menarik tentu saja adalah tentang nomenklatur kementerian dan berapa jumlah kementerian serta siapa yang akan mengisi kementerian dimaksud. Perbincangan ini tentu sangat ramai sebab menyangkut tentang peran partai politik pendukung yang memang meniscayakan dirinya untuk memperoleh jatah menteri sebagaimana lazimnya.

Sesungguhnya,  nomenklatur kementerian bisa diubah kapan saja sesuai dengan visi dan misi presiden. Akan  tetapi juga harus mempertimbangkan terhadap program kerja dan sasaran pembangunan bangsa yang sangat urgen dan mendasar.

Perbincangan tentang Kementerian Agama rasanya memang selalu menarik, baik yang positif ataupun yang negatif. Kuatnya respon dan pemikiran tentang Kementerian Agama di Indonesia menandakan bahwa kementerian ini memang memiliki kekhasannya sendiri. Makanya, kala ada yang membincang akan diperlakukannya nomenklatur baru terkait dengan kementerian Agama, maka sontak masyarakat menanggapinya dengan cepat.

Kementerian Agama memang memiliki sejarahnya sendiri. Itulah sebabnya kala membincang tentang Kementerian Agama, maka ingatan sejarah lalu menjadi mengedepan. Ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, aspek historis Kementerian Agama. Sebagai lembaga pemerintah, Kementerian Agama memiliki sejarahnya yang panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman Jepang, Kementerian Agama yang namanya kala itu adalah Shumubu, memiliki kewenangan untuk mengurus urusan agama.

Makanya, kala Indonesia merdeka, maka Kementerian Agama menempati posisi penting sebagai instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang agama. Bahkan juga sering dinyatakan bahwa Kementerian Agama merupakan hadiah bagi umat beragama di Indonesia. Disebabkan oleh pentingnya kementerian ini, maka masyarakat juga menganggap bahwa kementerian ini sangat penting keberadaannya.

Kedua, aspek ideologis. Indonesia memang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Tetapi Indonesia adalah negara dengan “Ketuhanan yang Maha Esa.” Sebagai negara berketuhanan, maka keberadaan Kementerian Agama menjadi sangat penting. Kementerian Agama dapat menjadi pusat untuk  menjaga relasi antara masyarakat, negara dan agama. Masyarakat dan negara membutuhkan agama sebagai dasar moralitas, sedangkan agama juga membutuhkan ruang untuk  memelihara dan mengembangkan nilai-nilai spiritualitasnya melalui negara.

Di dalam konteks inilah Kementerian Agama menjadi pusat dan juga bingkai bagi pengaturan kehidupan beragama, pendidikan agama dan penyelenggaraan ritual agama-agama. Kementerian agama tidak sebagaimana kementerian lainnya yang mengurus kehidupan yang profane, akan tetapi Kementerian Agama juga mengatur kehidupan yang sacral. Jadi, kementerian ini adalah lembaga pemerintah yang sangat strategis untuk membangun bangsa yang sejahtera lahir dan batin.

 

Kementerian agama tentu tidak diperlukan di negara sekular, seperti di Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya. Agama adalah urusan privat sehingga negara tidak diperlukan kehadirannya. Akan tetapi bagi negara yang menjadikan agama sebagai urusan publik, maka kehadiran Kementerian Agama tentu menjadi sangat urgen. Ada sekian banyak hal yang harus diurus oleh kementerian ini.

Ketiga, fungsi Kementerian Agama yang luas. Kementerian agama bukan hanya mengurus relasi antar agama-agama. Misalnya membangun harmoni antar pemeluk agama dan intern umat beragama. Kementerian agama memiliki fungsi yang lebih luas yaitu sebagai institusi yang memberikan pelayanan tentang pendidikan agama dan keagamaan. Proses transfer pengetahuan dan praksis keberagamaan ini tentu saja menjadi domain kementerian ini. Proses pendidikan agama adalah sebuah proses yang khas. Di dalamnya tidak hanya diajarkan hal-hal yang terkait dengan urusan profane akan tetapi juga urusan sakral.

Oleh karenanya, pendidikan agama akan dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun relasi agama-agama. Dengan kata lain, tidak bisa dipisahkan antara pendidikan agama dengan relasi agama-agama. Di kementerian ini, keduanya harus dimanej dengan benar dan tepat. Relasi agama-agama sebagai sesuatu yang fluid, makanya harus terus menerus dimanej agar tidak terjadi kekisruhan di dalam praksis pengamalan keberagamaannya.

Dengan demikian, tanpa ada rasa untuk mengurangi kehendak bebas dan keinginan untuk mendiskusikan tentang peran Kementerian Agama, maka kiranya tetap diperlukan kearifan tentang nomenklatur Kementerian Agama dengan menetapkannya peran dan fungsinya seperti itu.

Akan lebih penting mendiskusikan bagaimana meningkatkan SDM Kementerian ini agar ke depan lebih responsip dan bertanggung jawab serta memiliki integritas yang tinggi di dalam kerangka pengelolaan kementerian.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI PUSAT ARSIP

PENDIDIKAN TINGGI SEBAGAI PUSAT ARSIP

Selama ini, yang dianggap sebagai pusat arsip, naskah dan dokumen lainnya hanyalah Kantor Arsip Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Nasional, dan Museum. Ketiganya inilah yang menyandang label sebagai lembaga yang menyelenggarakam layanan kearsipan, baik yang berupa buku, naskah administratif, lukisan, gambar, patung, relief dan sebagainya.

Saya berkesempatan untuk berbicara di dalam forum pertemuan para peserta konsultasi tentang kearsipan dari perguruan tinggi Islam se Indonesia di Surabaya, tepatnya di Hotel Aston Premiere. Ada sebanyak 40 orang yang mengikuti acara penting ini dan juga sejumlah panitia lainnya.

Perguruan tinggi merupakan lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi pusat arsip, sebab perguruan tinggi merupakan pusat belajar yang paling penting dalam kerangka pengembangan SDM. Di tempat inilah akan dihasilkan para intelektual atau akademisi yang seharusnya memiliki pengetahuan yang komprehensif tentang disiplin keilmuannya. Dan bidang lain yang diminatinya.

Beberapa perguruan tinggi di luar negeri, seperti Leiden University tentu sangat terkenal karena pusat arsipnya yang mendunia. Jika kita ingin tahu tentang naskah-naskah kuno yang berasal dari berbagai negara, maka datanglah ke universitas ini. Naskah-naskah yang dikumpulkan bersamaan dengan masa penjajahan, ternyata menjadi kekayaan yang tidak ternilai harganya.

Itulah sebabnya kala seseorang akan menulis sejarah Indonesia dan dunia masa lalu yang terjadi di Nusantara, maka yang bersangkutan tidak bisa meninggalkan kajian literature di beberapa universitas di Belanda. Naskah-naskah yang ditulis oleh ulama Nusantara di masa lalu, seperti tulisan Syamsudin Sumaterani atau Nuruddin Ar Raniri, tulisan Sunan Bonang atau Sunan Kudus, tulisan para pujangga di masa lalu, maka harus melakukan pelacakan di sini.

Sungguh dunia kearsipan sudah menjadi perhatian mereka di kala masyarakat kita sedang berjuang untuk membebaskan diri dari kaum penjajah ini. Para professor di Belanda, Inggris dan Perancis sudah memiliki kesadaran akan arti pentingnya arsip, sementara kita memperlakukannya masih sebagai barang berharga yang bernilai magis. Ada perbedaan perlakuan antara masyarakat kita di masa lalu dengan para penjajah dalam memandang arsip.

Kita tidak bisa menduga berapa banyaknya arsip dari negeri kita yang diusung ke Belanda dan juga Inggris. Saya kira banyak sekali naskah-naskah bernilai sejarah yang telah menjadi kekayaan intelektual di negeri orang tersebut. Bahkan di era sekarang juga banyak naskah kuno yang diperjualbelikan ke negara tetangga untuk dijadikan sebagai kazanah intelektual di kalangan mereka.

Berdasar atas kenyataan ini, maka saya berpikir bahwa seharusnya PTAIN dapat menjadi pusat arsip. Ada tiga hal yang mendasari pemikiran ini. Pertama,  lembaga pendidikan adalah pusat penelitian dan pengabdian masyarakat. Sebagai pusat kajian, maka PTAIN harus menjadikan hasil kajian dalam bentuk laporan penelitian atau laporan pengabdian masyarakat sebagai kekayaan intelektual penting.  Ada banyak riset yang outstanding yang semestinya bisa menjadi kekayaan intelektual di PTAIN. Demikian pula dengan laporan pengabdian masyarakat dan sebagainya. Skripsi, tesis dan disertasi tentu juga menjadi bagian kekayaan intelektual yang sangat berharga.

Kedua, banyaknya seminar, simposium, diskusi dan sebagainya yang diselenggarakan oleh PTAIN tentu juga bisa menjadi bagian dari kekayaan intelektual yang tidak bisa diabaikan. Saya tentu berharap bahwa hasil seminar atau diskusi akan dapat dijadikan sebagai bahan naskah penting untuk menggambarkan keberadaan dan perkembangan pemikiran intelektual yang terjadi. Jika ada orang yang mengkaji sejarah dinamika pemikiran di dalam lembaga pendidikan, maka arsip-arsip tersebut yang berbicara.

Tidak hanya laporan seminar, akan tetapi karya mahasiswa juga menjadi penting untuk diarsipkan. Para dosen memiliki kewajiban untuk mengarsipkan seluruh karya mahasiswa di dalam lingkup PTAIN. Kehebatan dari Universitas Petra Surabaya sebagai lembaga pendidikan tinggi dengan rich files terlengkap adalah karena kemauan para dosen dan mahasiswa untuk mendokumentasikan karya-karyanya di dalam websites PTU tersebut.

Ketiga, perpustakaan PTAIN juga sangat penting untuk mendokumentasikan seluruh naskah yang terdapat di PTAIN dan juga naskah dari luar yang didapatkannya. Kalau kita lihat Perpustakaan Nasional Melbourne atau Perpustakaan Alexandria di Mesir dan juga Perpustakaan di Iran, maka bisa menggambarkan betapa perpustakaan bisa menjadi center of archives. Perpustakaan menjadi pusat segala informasi yang terkait dengan pendidikan dan dunia sosial lainnya. Di perpustakaan Alexandria, misalnya didapati Surat-Surat Nabi Muhammad SAW kepada Raja Habsyi, Raja Iran dan sebagainya.

Makanya, perpustakaan hakikatnya adalah sumber informasi yang utama bagi insan akademis. Oleh karena itu sering saya nyatakan bahwa salah satu pilar dan kekuatan PTAIN adalah kelengkapan perpustakaannya. Bukan sekedar koleksinya yang hebat dan lengkap akan tetapi juga sistem pelayanannya.

Ke depan sungguh kita berharap agar para pustakawan dan arsiparis benar-benar menjadi motor bagi “Gerakan Menjadikan PTAIN sebagai Pusat Arsip” atau bisa disingkat GP3A. Kiranya bukan sesuatu yang mustahil.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MENGEMBANGKAN SPIRITUALITAS KERJA (2)

MENGEMBANGKAN SPIRITUALITAS KERJA (2)

Istilah ini tentu saja muncul spontanitas kala saya menjawab pertanyaan dari Ketua Jurusan Filsafat Agama Hindu, Dr. Tiwi Etika, yang merupakan doktor lulusan universitas di India.  Ada pertanyaan yang sangat menarik darinya terkait dengan pendidikan ke depan. Baginya, bahwa pendidikan di Indonesia perlu direkonstruksi agar tidak kalah dengan pendidikan di Malaysia dan juga India yang selangkah lebih maju dibanding pendidikan kita.

Ketika saya menjawab pertanyaan ini, saya teringat dengan ungkapan Pak Daoed Joesoef, Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Era Orde Baru. Beliau tampaknya gerah dengan perbincangan di media sosial, bahwa pendidikan akan dipisahkan dengan kebudayaan. Bahkan adanya issue akan menjadikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjadi Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah.    Makanya, sebagai pengantar tulisan Beliau di Kompas, “Jangan Mempermainkan Pendidikan” (17/09/2014) dinyatakannya bahwa “jangan main-main dengan pendidikan”. Pernyataan ini menurut saya sangat keras. Beliau tidak hanya mewanti-wanti agar kita hati-hati, akan tetapi sudah merupakan peringatan keras bagi mereka yang miring memandang pendidikan.

Pendidikan memang tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan. Melakuan pemisahan di antara keduanya, sama dengan mengamputasi antara kepala dangan badan. Kebudayaan adalah badan dengan hati di dalamnya, karena dia adalah pedoman yang menjadi acuan  semua tindakan, sedangkan badan adalah kepala dengan otak dan intelektualitasnya. Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh. Tidak bisa dipisahkan.

Pendidikan tentu akan menghasilkan manusia Indonesia yang cerdas, berkualitas dan professional, sedangkan kebudayaan merupakan bagaimana manusia menghargai terhadap tindakan untuk menemukan sesuatu yang baik, yang momot nilai atau value laden. Dengan Kebudayaan akan membantu manusia untuk menemukan jati dirinya dan bukan sekedar menemukan kemampuan intelektualnya.

Pendidikan yang hanya menghasilkan manusia pintar dan cerdas intelektualitasnya, maka tentu telah tercerabut dari nilai kebudayaan yang sesungguhnya. Bukankah kebudayaan mengajarkan kepada kita agar kita memiliki integritas,  spiritualitas dan juga berbagai nilai kebaikan. Tidak ada satupun kebudayaan di dunia ini yang tidak mengajarkan tentang hal tersebut. Mungkin hanya kebudayaan material dan atheis saja yang tidak mengajarkan akan arti pentingnya Tuhan, agama dan spiritualitas.

Kebudayaan mengajarkan  ketidakterpisahan antara materialitas dan spiritualitas. Kemenyatuan body and soul, kemenyatuan antara materi dan immateri, kemenyatuan antara jasmani dan rohani. Di dalam diri manusia terdapat unsur “spiritualitasnya.” Dengan demikian, manusia merupakan suatu makhluk yang utuh dengan sifat kemanusiaannya.

Tugas  lembaga pendidikan  adalah untuk  menyatukan dua hal sekaligus, yaitu tugas pendidikan dan kebudayaan. Di dalam hal ini, maka tugas institusi pendidikan adalah untuk mengembangkan perilaku yang didasari oleh pendidikan yang berada di dalam koridor kebudayaan. Kebudayaan sebagai pedoman bagi tindakan tentu menjadi basis dari proses untuk mengubah perilaku manusia yang melalui  pendidikan.

Di antara wujud nyata dari relasi antara pendidikan dan kebudayaan di dalam praktik sehari-hari adalah pendidikan karakter. Kita sungguh bersyukur bahwa melalui pendidikan karakter tersebut, maka kiranya generasi yang akan datang akan dapat menjadi generasi unggulan bangsa. Tanpa peandidikan karakter yang benar bisa saja generasi yang akan datang akan dapat menjadi generasi the losser.

Lembaga pendidikan tentu tidak hanya menghasilkan orang yang professional di dalam pekerjaannya. Akan tetapi juga memiliki spirit untuk menjaga harkat dan martabat kemanusiaannya. Di dalam kerangka ini maka pendidikan yang utuh dan unggul adalah lembaga pendidikan yang selain bisa menghasilkan orang yang professional di dalam kerjanya juga yang memiliki kesadaran untuk menjadi bagian dari umat manusia secara utuh.

Pendidikan diharapkan akan menghasilkan manusia yang utuh dan sempurna dengan kekuatan profesionalnya dan juga keagungan karakter atau akhlaknya. Di dalam konteks inilah maka lembaga pendidikan akan menghasilkan  yang saya sebut sebagai spiritualisasi kerja.   Orang yang memiliki etos kerja tinggi, professional dan pekerja keras,  akan tetapi juga memiliki karakter sebagai dasar pijak di dalam menjalankan profesinya.

Lembaga pendidikan seperti ini akan terbentuk manakala segenap komponen lembaga pendidikan tersebut memiliki kesadaran untuk menyeimbangkan antara kemampuan intelektual, emosional dan spiritual. Jika diambil salah satunya, maka akan menghasilkan pendidikan yang timpang dan tidak utuh.

Oleh karena itu, kembali kepada peringatan Pak Daoed Joesoef, maka pendidikan jangan dipisahkan dari kebudayaan, sebab keduanya akan bisa menghasilkan manusia teladan, manusia paripurna yang tidak hanya menguasai kemampuan profesinya, akan tetapi juga karakter unggul atau akhlak al karimah.

Kiranya memang tetap dibutuhkan kebijakan yang tidak memandang pendidikan hanya sebagai proses mencetak tukang, akan tetapi mencetak manusia unggul yang pasti akan berguna bagi nusa, bangsa dan agama.

Wallahu a’lam bi al shawab.