MENJAGA KEMENTERIAN AGAMA
MENJAGA KEMENTERIAN AGAMA
Diskusi akhir-akhir ini di media sosial sungguh menarik untuk diikuti. Salah satu diskusi penting di negeri ini pasca pilpres adalah mengenai siapa menteri yang akan menduduki kabinet Indonesia dan kementerian apa saja yang mesti ada dan yang mesti diganti nomenklaturnya.
Di antara perbincangan yang menarik tentu saja adalah tentang nomenklatur kementerian dan berapa jumlah kementerian serta siapa yang akan mengisi kementerian dimaksud. Perbincangan ini tentu sangat ramai sebab menyangkut tentang peran partai politik pendukung yang memang meniscayakan dirinya untuk memperoleh jatah menteri sebagaimana lazimnya.
Sesungguhnya, nomenklatur kementerian bisa diubah kapan saja sesuai dengan visi dan misi presiden. Akan tetapi juga harus mempertimbangkan terhadap program kerja dan sasaran pembangunan bangsa yang sangat urgen dan mendasar.
Perbincangan tentang Kementerian Agama rasanya memang selalu menarik, baik yang positif ataupun yang negatif. Kuatnya respon dan pemikiran tentang Kementerian Agama di Indonesia menandakan bahwa kementerian ini memang memiliki kekhasannya sendiri. Makanya, kala ada yang membincang akan diperlakukannya nomenklatur baru terkait dengan kementerian Agama, maka sontak masyarakat menanggapinya dengan cepat.
Kementerian Agama memang memiliki sejarahnya sendiri. Itulah sebabnya kala membincang tentang Kementerian Agama, maka ingatan sejarah lalu menjadi mengedepan. Ada beberapa hal yang menyebabkannya. Pertama, aspek historis Kementerian Agama. Sebagai lembaga pemerintah, Kementerian Agama memiliki sejarahnya yang panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka. Pada zaman Jepang, Kementerian Agama yang namanya kala itu adalah Shumubu, memiliki kewenangan untuk mengurus urusan agama.
Makanya, kala Indonesia merdeka, maka Kementerian Agama menempati posisi penting sebagai instansi pemerintah yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pemerintahan di bidang agama. Bahkan juga sering dinyatakan bahwa Kementerian Agama merupakan hadiah bagi umat beragama di Indonesia. Disebabkan oleh pentingnya kementerian ini, maka masyarakat juga menganggap bahwa kementerian ini sangat penting keberadaannya.
Kedua, aspek ideologis. Indonesia memang bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Tetapi Indonesia adalah negara dengan “Ketuhanan yang Maha Esa.” Sebagai negara berketuhanan, maka keberadaan Kementerian Agama menjadi sangat penting. Kementerian Agama dapat menjadi pusat untuk menjaga relasi antara masyarakat, negara dan agama. Masyarakat dan negara membutuhkan agama sebagai dasar moralitas, sedangkan agama juga membutuhkan ruang untuk memelihara dan mengembangkan nilai-nilai spiritualitasnya melalui negara.
Di dalam konteks inilah Kementerian Agama menjadi pusat dan juga bingkai bagi pengaturan kehidupan beragama, pendidikan agama dan penyelenggaraan ritual agama-agama. Kementerian agama tidak sebagaimana kementerian lainnya yang mengurus kehidupan yang profane, akan tetapi Kementerian Agama juga mengatur kehidupan yang sacral. Jadi, kementerian ini adalah lembaga pemerintah yang sangat strategis untuk membangun bangsa yang sejahtera lahir dan batin.
Kementerian agama tentu tidak diperlukan di negara sekular, seperti di Amerika Serikat dan Negara Barat lainnya. Agama adalah urusan privat sehingga negara tidak diperlukan kehadirannya. Akan tetapi bagi negara yang menjadikan agama sebagai urusan publik, maka kehadiran Kementerian Agama tentu menjadi sangat urgen. Ada sekian banyak hal yang harus diurus oleh kementerian ini.
Ketiga, fungsi Kementerian Agama yang luas. Kementerian agama bukan hanya mengurus relasi antar agama-agama. Misalnya membangun harmoni antar pemeluk agama dan intern umat beragama. Kementerian agama memiliki fungsi yang lebih luas yaitu sebagai institusi yang memberikan pelayanan tentang pendidikan agama dan keagamaan. Proses transfer pengetahuan dan praksis keberagamaan ini tentu saja menjadi domain kementerian ini. Proses pendidikan agama adalah sebuah proses yang khas. Di dalamnya tidak hanya diajarkan hal-hal yang terkait dengan urusan profane akan tetapi juga urusan sakral.
Oleh karenanya, pendidikan agama akan dapat dijadikan sebagai wahana untuk membangun relasi agama-agama. Dengan kata lain, tidak bisa dipisahkan antara pendidikan agama dengan relasi agama-agama. Di kementerian ini, keduanya harus dimanej dengan benar dan tepat. Relasi agama-agama sebagai sesuatu yang fluid, makanya harus terus menerus dimanej agar tidak terjadi kekisruhan di dalam praksis pengamalan keberagamaannya.
Dengan demikian, tanpa ada rasa untuk mengurangi kehendak bebas dan keinginan untuk mendiskusikan tentang peran Kementerian Agama, maka kiranya tetap diperlukan kearifan tentang nomenklatur Kementerian Agama dengan menetapkannya peran dan fungsinya seperti itu.
Akan lebih penting mendiskusikan bagaimana meningkatkan SDM Kementerian ini agar ke depan lebih responsip dan bertanggung jawab serta memiliki integritas yang tinggi di dalam kerangka pengelolaan kementerian.
Wallahu a’lam bi al shawab.