• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEMBANGKAN SDM PENDATAAN

Saya memperoleh kesempatan untuk memberikan bekal pengetahuan dan inspirasi kepada para Pegawai EMIS Ditjen Pendidikan Islam di Makasar, 02 Oktober 2014. Saya diminta oleh Pak Kamaruddin Amin (Sesdirjen Pendis) untuk menghadiri acara ini di dalam kerangka untuk memberikan bekal penguatan bagi para petugas yang selama ini melakukan pendataan untuk pendidikan Islam.

Kesempatan ini saya pergunakan untuk memberikan beberapa kritik dan juga masukan terhadap para petugas atau pegawai Ditjen Pendis yang selama ini memberikan pelayanan pendataan di Kementerian Agama. Pendataan tentu memegang peran penting sebab melalui pendataan yang benar, maka perumusan perencanaan dan kebijakan akan dapat diarahkan pada program yang tepat.

Ada tiga hal yang saya sampaikan di dalam forum yang penting ini: pertama, tentang SDM Pendataan yang harus memiliki kemampuan dan kemauan untuk melakukan updating data. Sesungguhnya kita sudah memiliki sistem informasi yang baik, yaitu EMIS atau Education Management of Information System. Melalui EMIS ini, maka basis data seharusnya sangat tepat dan akurat. Hanya saja bahwa SDM pendataan yang memiliki basis ilmu-ilmu keislaman dan hanya berbasis pada kemauan saja kiranya perlu diperkuat dengan basis keilmuan yang memadai.

Saya membayangkan bahwa alumni program studi keislaman lalu dia harus bergelut dengan pendataan yang berbasis teknologi informasi dan bahkan juga harus mengembangkan atau mengikuti berbagai aplikasi baru. Tentu saja akan memunculkan lack of implementation. Makanya,  mereka seharusnya diperkuat dengan SDM yang memiliki basis keilmuan dalam sistem informasi yang kuat.  Selain harus  memiliki basis keilmuan juga harus memiliki minat untuk terus mengembangkan sistem informasi dimaksud.

Kedua, tentang pendataan sebagai basis perencanaan. Harus diakui bahwa data menjadi sangat penting di era kinerja berbasis perencanaan. Karena perencanaan dirumuskan setahun sebelum program dan kegiatan kementerian atau lembaga dilaksanakan, maka basis data yang sangat kuat menjadi pertaruhan di dalamnya. Kesalahan penyajian data akan berakibat sangat fatal. Coba dibayangkan bahwa pembayaran dana  Bantuan Siswa Miskin (BSM)  atau Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang datanya salah pada waktu perencanaan awal atau pagu sementara, maka akan dapat dipastikan akan salah pula ketika menjadi pagu definitif dan dampak ikutannya adalah akan terjadi kekurangan bayar.

Pendataan menjadi aspek yang sangat penting di era perencanaan program atau kegiatan yang terjadi dewasa ini. Para perencana sangat tergantung kepada kehadiran data yang valid dan kredibel. Validitas  dan kredibilitas data menjadi ukuran bahwa data yang akan menjadi basis perencanaan akan menghasilkan out put program dan kegiatan yang benar. Kesalahan sasaran program atau kegiatan kiranya bisa disebabkan oleh kesalahan pendataan ini.

Ketiga, tentang mentalitas pendataan. Pejabat yang menangani pendataan haruslah memiliki mental yang baik dalam kaitannya dengan penyiapan dan penyajian data. Tidak boleh bagi mereka itu untuk berpikir “yang penting ada datanya”. Jika pikiran ini ada di antara para pengelola data maka disinilah kerusakan di dalam perencanaan program dan kegiatan akan terjadi.

Saya merasakan betapa kehadiran data yang tepat dan penyajian data yang benar menjadi tolok ukur “keberadaan” kementerian. Hampir sebulan sekali ada pertemuan di Kantor Pak Wapres untuk membicarakan tentang kemajuan pendidikan. Di forum ini selalu diminta untuk menyajikan bagaimana perkembangan pendataan yang terkait dengan BOS, BSM, Kurikulum 2013 dan sebagainya. Di dalam forum ini terkadang kita merasakan betapa sistem pendataan kita masih kurang memuaskan. Masih ada celah yang kiranya perlu diperbaiki. Misalnya tentang Data Pokok Pendidikan di Ditjen Pendidikan Islam.

Makanya, ke depan diperlukan kehadiran Tim Pendataan yang kuat, selain juga harus mengembangkan sistem yang lebih baik tentang  pendataan pendidikan Islam. Seharusnya EMIS bisa memberikan jawaban nyata tentang pendataan ini. Hanya saja kiranya diperlukan kemauan keras semua pihak untuk menjadikan EMIS sebagai pusat data komprehensif tentang pendidikan Islam.

Ke depan yang diharapkan adalah menjadikan EMIS sebagai satu-satunya sistem pendataan pendidikan Islam, sehingga kalau ada seseorang yang bertanya tentang data pendidikan Islam, maka jawabannya adalah EMIS.

Untuk bisa sampai ke level ini, maka kiranya diperlukan SDM yang kuat, sistem yang baik dan program pendataan yang bagus, sehingga pendataan pendidikan Islam akan bisa sebagaimana yang diharapkan. Dan saya yakin kita semua bisa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MAKNA HARI RAYA KURBAN

Hari Raya Kurban kali ini  ternyata juga tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Pemerintah menentukan hari Raya Kurban jatuh pada hari Ahad, 05/10/2014, sementara Muhammadiyah menentukan Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, 04/10/2014.  Memang sedari semula sudah ada gambaran bahwa hari raya Idul Adha 1435 Hijriyah ini akan berpotensi berbeda.

Pemerintah bersama dengan MABIMS sudah menentukan penentuan tanggal 1 Ramadlan, tanggal 1 Syawal dan tanggal 1 Dzulhijah dengan menggunakan konsep imkanur rukyah, yaitu kala Hilal dengan ketinggian 2 derajat, sementera Muhammadiyah menggunakan konsep wujudul hilal, tidak memperhitungkan apakah hilal bisa atau tidak bisa dirukyat. Selama sudah ada perhitungan posisi hilal lebih dari nol derajat, maka berarti awal bulan sudah diketahui dan ditetapkan.

Namun demikian, masyarakat kita sungguh sudah sangat dewasa di dalam memandang perbedaan untuk melakukan ibadah ini. Makanya, bagi mereka yang merayakan Hari Raya Idul Adha pada hari Sabtu, maka mereka shalat Id pada waktunya dan yang merayakan Hari Raya id hari Ahad juga merayakannya pada saat tersebut. Masyarakat Indonesia sudah benar-benar memahami bahwa perbedaan bukan segala-galanya untuk bertentangan atau saling menyalahkan, akan tetapi perbedaan tersebut hanyalah bagian dari cara pandang dan pendekatan yang berbeda saja.

Sesungguhnya yang sangat penting adalah memahami makna yang terkandung di dalam Idul Adha itu sendiri. Bagi saya, bahwa ada hal penting terkait dengan hari Raya Idul Kurban. Pertama, adalah penjelasan lambang  ketauhidan. Ibadah Haji atau terkait dengan Idul Kurban, sesungguhnya adalah memberikan gambaran secara utuh tentang bagaimana manusia harus mempertahankan akidahnya dan juga memelihara akidahnya. Islam begitu tegas di dalam menjelaskan tentang teologi atau ajaran tentang ketuhanan.

Kurban yang dilambangkan oleh perilaku Ibrahim As., terhadap anaknya, Ismail As., adalah bagaimana agar manusia tidak sekalipun menyekutukan keyakinan dan kecintaannya kepada selain Allah. Manusia harus total tunduk dan patuh serta beribadah hanya kepada Allah semata. Kecintaan terhadap dunia dan isinya tidak boleh mengalahkan kecintaan manusia kepada Allah swt. Islam jelas mengajarkan kalimat tauhid “La ilaha illallah” atau “tidak ada Tuhan selain Allah.” Makanya di dalam doa yang dilantunkan oleh Jamaah Haji adalah “labbaik Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik”, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarikalaka”. Jadi “sesungguhnya semua puja dan puji dan kenikmatan serta kekuasaan hanya milik Allah dan tidak ada kemusyrikan padanya”.

Hakikat semua peribadahan dan kepatuhan kepada Allah adalah totalitas. Allah sebagai pemilik dan penguasa terhadap seluruh jagat raya, makro dan mikro kosmos, adalah Tuhan yang maha Esa, yang monotheis, yang dengan dirinya sendiri segala sesuatu terselenggara, diciptakan, dipelihara  atau dimusnahkan. Segalanya adalah milik Allah seru sekalian alam. Kala Ibrahim As., memberikan cintanya kepada putranya, Ismail As., maka Allah swt., mengingatkannya agar kecintaan dan kepasrahan total hanya miliki Allah swt., dan bukan milik ciptaannya. Melalui peristiwa kurban inilah maka terjadi peneguhan Nabi Ibrahim As., sebagai Bapak Monoteisme yang sebenar-benarnya. Ibrahim As., adalah peletak Millah Ibrahim yang hanif.

Kedua, hari Raya Idul Kurban yang berbarengan dengan perjalanan haji adalah lambang dari kesamaan manusia di hadapan Allah swt. Cobalah kita bayangkan sebanyak lima juta manusia dalam pakaian yang sama, pakaian ihram, berada di satu titik Padang Arafah. Semuanya memuja dan memuji Allah swt dengan suara keras atau lirih dengan lesan atau  hati di mana mereka berdzikir, berdoa dan melantunkan kalimat thayyibah agar mereka memperoleh keridlaan Allah di dalam kehidupannya.

Tidak ada sesuatu pun status yang melekat pada dirinya. Tidak ada raja atau presiden, tidak ada pejabat atau rakyat, tidak ada professor atau rektor, tidak ada dosen atau mahasiswa, tidak ada kyai atau santri, semuanya berada dalam posisi yang sama di hadapan Allah. Tidak ada etnis yang menonjol. Etnis Cina, Eropa, Amerika, Arab, Afrika atau Australia, tidak ada Ras Monggoloid, Kaukasoid, Negroid atau lainnya. Yang ada hanya satu, sebagai Hamba Allah saja. Inilah hakikat manusia di hadapan Allah.

Melalui ibadah haji, sesungguhnya manusia diajarkan agar selalu berada di dalam kesamaan dengan lainnya. Jangan sampai karena jabatan, pangkat atau derajat yang dibedakan oleh Allah lalu manusia merasa lebih unggul dari lainnya. Tidak ada manusia yang paling hebat karena pendidikan atau jabatannya, sebab yang paling hebat adalah ketaqwaannya saja. Firman Allah: “inna akramakum ‘indallah atqakum”. Jadi yang membedakan manusia satu dengan lainnya, hanyalah taqwanya kepada Allah swt.

Ketiga, lambang kebersamaan dalam berkurban. Melalui ibadah kurban, manusia juga diajarkan agar saling merasakan kebersamaan. Antara satu dengan lainnya dijalin oleh konsep dan praksis ukhuwah insaniyah atau persaudaraan berbasis pada kemanusiaan. Manusia agar selalu menjaga relasi sosialnya dengan baik. Di dalam sebah hadits Nabi Muhammad saw., barang siapa yang ingin disayangi yang di atas, maka harus menyayangi yang di bawah”, artinya kalau manusia ingin disayangi oleh Allah swt., maka manusia juga harus menyayangi manusia lainnya.

Sebagai agama yang mengedepankan rahmat bagi seluruh alam, maka sudah sepantasnya jika manusia pemeluk agama ini juga menjadikan kerahmatan tersebut sebagai pedoman di dalam kehidupannya. Jangan sampai pedomannya mengajarkan kerahmatan, akan tetapi manusianya mengedepankan kejahatan. Janganlah kita menjadikan diri kita sebagai anti kerahmatan Tuhan bagi seluruh alam.

Sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia sudah diberi seperangkat ajaran yang sangat lengkap tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Ajaran itu adalah yang terkompilasi di dalam ajaran akhlakul karimah atau akhlak yang mulia. Di antara yang mendasar adalah bagaimana Islam mengajarkan tentang bagaimana membangun relasi yang baik kepada Tuhan, relasi yang baik kepada sesama manusia dan relasi yang baik dengan alam seluruhnya.

Jadi, tradisi kurban sebenarnya adalah ajaran agar manusia selalu berada di dalam kehidupan yang didasari oleh Ketuhanan, kemanusiaan dan juga membangun kebersamaan. Jika manusia bisa berada di dalam tiga koridor ini, maka dunia akan berada di dalam kerahmatan dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMPERBAIKI KUALITAS PELAYANAN HAJI

Saya kira memang tidak mudah untuk memanej jamaah haji dengan jumlah yang sangat jumbo sebagaimana jamaah haji asal Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa Kementerian Agama harus melayani dan melindungi jamaah haji yang jumlahnya enam kali lipat dibandingkan dengan jamaah haji asal Malaysia. Jika tidak mengalami pengurangan kuota, maka yang diberangkatkan haji oleh Kementerian Agama adalah sebanyak 212.000 jamaah haji. Akan tetapi karena pengurangan kuota sehingga Kementerian Agama hanya mengirim jamaah haji sebanyak 168.000 jamaah haji.

Jumlah jamaah haji yang banyak dan diikuti dengan tingkat usia yang tua, dan pendidikan yang rendah tentu menjadi variabel yang memerlukan aktivitas dan manajemen ekstra untuk melayani dan melindungi jamaah haji Indonesia. Saya kira Kementerian Agama sudah melakukan banyak hal terkait dengan pelayanan jamaah haji ini, akan tetapi ternyata memang masih didapati beberapa hal yang menjadi constrain di dalam implementasinya.

Selalu masih ada masalah yang terkait dengan pelayanan haji dimaksud. Pada pelaksanaan pelayanan haji tahun ini ternyata juga terdapat masalah berkaitan dengan pemondokan di Madinah dan transprotasi di Mekkah. Untuk mengurus pemondokan di Madinah sudah dilakukan MoU dengan sejumlah Majmuah atau asosiasi pemondokan di Madinah. Di dalam MoU itu tentu saja sudah disepakti bahwa penempatan pemondokan jamaah haji Indonesia akan ditempatkan di dalam wilayah Markaziyah, yang jarak tempuh dengan Masjid Nabawi adalah kurang dari tiga kilo meter.

Namun kenyataannya bahwa Majmuah tersebut wanprestasi sebab mereka menempatkan jamaah haji Indonesia di luar wilayah Markaziyah yang jarak tempuhnya tiga sampai empat kilo meter. Jamaah haji Indonesia yang kebanyakan berusia tua, maka jarak tempuh dengan Masjid Nabawi akan membawa konsekuensi ketidaklancaran dalam melakukan shalat arbain, yang sangat dipentingkan oleh jamaah haji Indonesia. Tuntutan Kementerian Agama untuk melayani jamaah haji Indonesia dengan Bus Shalawat sebagai kompensasi wanprestasi juga tidak bisa menyelesaikan masalah.

Demikian pula pelayanan transportasi di Mekkah. Masih juga terdapat masalah terkait dengan ketepatan waktu dan jumlah bus yang seharusnya melayani jamaah haji Indonesia. Jika dikaji, sesungguhnya semuanya sudah dilakukan persiapan yang sangat baik. Akan tetapi masih ada kendala yang seperti ini. Ternyata bahwa mengurus jamaah haji yang banyak   dalam waktu bersamaan dan dalam suasana yang crowded tentu juga menjadi variabel yang bisa saja menggagalkan perencanaan yang sangat baik tersebut.

Berbagai masalah yang dihadapi oleh Kementerian Agama dewasa ini, kiranya menjadi perhatian semua elemen pejabat di Kementerian Agama. Maknya berbagai perbaikan juga sudah diupayakan. Di antara perbaikan yang mendasar adalah mengenai sisa kuota yang pernah menjadi masalah. Pada masa lalu, kuota yang tersisa diberikan kepada jamaah yang siap membayar dalam waktu yang terbatas tanpa melihat apakah mereka berada dalam urutan berangkat ataukan tidak.

Pada tahun ini, sisa kuota bisa diminimalisasikan. Di antara strategi yang digunakan adalah dengan memperpanjang waktu pelunasan. Melalui perpanjangan waktu pelunasan dan terkait dengan percepatan penyelesaian visa di Arab Saudi, maka problem sisa kuota bisa diatasi dengan baik. Dengan hanya sebanyak sembilan orang quota jamaah yang tidak terisi tentu bisa memberikan gambaran bahwa masalah sisa kuota  nyaris tidak ada masalah.

Selain itu juga terdapat penghematan yang cukup besar. Berdasarkan renegosiasi antara Kementerian Agama dengan Majmuah di Madinah, maka terdapat pengurangan anggaran penyewaan pemondokan sebesar Rp140 milyar. Meskipun kemudian ada masalah terkait dengan pemondokan di Madinah karena wanprestasi para majmuah, akan tetapi secara umum bahwa pelaksanaan pemondokan tahun ini tentu jauh lebih baik.

Melalui berbagai upaya untuk mengembangkan pelayanan setarap lebih baik, maka terhadap yang ditempatkan di pemondokan yang berada di luar Markaziyah dengan jarak tiga kilometer sampai empat kilometer, maka Menteri Agama sudah membuat PMA tentang keharusan untuk memberikan ganti rugi bagi para jamaah haji dimaksud. Melalui PMA ini, maka para jamaah haji akan merasa diperhatikan oleh pemerintah. Hal ini dilakukan dalam kerangka memberikan pelayanan dan perlindungan yang lebih baik bagi jamaah haji.

Sebagaimana yang sering saya ungkapkan bahwa perbaikan pelayanan haji terus ditingkatkan dari tahun ke tahun. Dan melalui upaya ini semoga kepuasan pelanggan jamaah haji juga akan meningkat. Mereka akan merasakan bagaimana pemerintah memberi perlindungan dan melayani kaum jamaah haji.

Lalu, semuanya tentu dikembalikan kepada Allah jika usaha yang sudah dilakukan sangat baik, dan ternyata ada kendala di lapangan. Semoga jamaah haji kita tetap memiliki kesabaran yang ternyata sangat dianjurkan di dalam pelaksamaam ibadah haji.

Wallau a’lam bi al shawab.

 

RUU PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI DISAHKAN

Saya merasakan bahwa perumusan Undang-Undang Pengelolaan Keuangan Haji (UU-PKH) merupakan salah satu solusi yang cerdas di dalam kerangka memperbaiki citra Kementerian Agama di dalam melaksanakan tugas negara untuk mengirim jamaah haji ke tanah suci.

Dengan keberadaan Badan khusus yang mengelola keuangan haji, maka Kementerian Agama tentu berperan untuk melaksanakan tugas atau menjalankan  amanah ibadah haji bagi masyarakat. Saya tidak sependapat jika dinyatakan bahwa badan khusus sebagai operator pelaksanaan ibadah haji dan Kementerian Agama sebagai regulator pelaksanaan ibadah haji. Menurut saya hal  ini kiranya merupakan pemikiran yang kurang tepat.

Tugas pemerintah adalah penyelenggara ibadah haji dan memberikan perlindungan terhadap jamaah haji. Makanya pemerintah sesuai dengan fungsinya adalah sebagai operator sebagaimana pemerintah sebagai operator seluruh program negara yang dibebankan kepadanya. Makanya yang dibutuhkan adalah siapa yang sesungguhnya menjadi operator keuangan haji, sehingga keuangan haji dapat dimanej dengan akuntabel dan transparan.

Lahirnya UU-PKH saya kira adalah bagian untuk menempatkan fungsi masing-masing di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Kementerian Agama dengan segenap jajaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) adalah sebagai penyelenggara ibadahnya, sedangkan BPKH adalah pengelola keuangannya. Dengan pembagian seperti ini, maka masing-masing akan berfokus di dalam perannya masing-masing.

Saya tentu sangat bergembira dengan selesainya perumusan RUU-PKH yang melalui jalan berliku. Meskipun pembahasannya alot, akan tetapi akhirnya menemui jalan yang mulus di dalam pembahasan tingkat I (Raker menteri dengan DPR) sebab tidak ada dissenting opinion dari Mini Fraksi di Komisi VIII DPR RI. Bahkan di dalam pembahasan Tingkat II (Paripurna DPR RI), akhirnya semua fraksi juga secara bulat menyatakan bahwa RUU-PKH dapat diputuskan menjadi UU-PKH.

Melalui undang-undang ini tentu ada perubahan yang sangat mendasar. Perubahan tersebut misalnya terletak pada penggunaan Rekening BPKH QQ Calon Jamaah Haji. Dengan memberikan QQ pada rekening tersebut, maka keuangan haji dapat dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan kemudian juga Virtual Account yang menjamin bahwa calon jamaah haji akan dapat melihat seberapa besaran nilai manfaat dari uang setoran awal calon jamaah haji.

Selain itu, keuangan haji juga dapat diinvestasikan untuk kepentingan pengembangan dananya, misalnya dapat diinvestasikan di dalam maupun luar negeri. Jadi, misalnya dapat diinvestasikan untuk mendirikan hotel, emas, dan investasi lain yang sesuai dengan syariat Islam. Akan tetapi harus ada sejumlah dua kali lipat dana haji yang terus menerus dapat didayagunakan untuk pembiayaan haji. Dana ini harus berada dalam nuansa on call. Jika dibutuhkan maka dapat didayagunakan.

Kita sungguh berharap bahwa dengan disahkannya UU-PKH, tanggal 26/10/2014, maka akan dapat menjadi jembatan emas penyelenggaraan Ibadah Haji yang akuntabel dan transparan. Jika selama ini, Kementerian Agama selalu menjadi sasaran tembak bagi mereka yang menginginkan swastanisasi haji atau pemisahan pengelolaan haji dari Kementerian Agama atau adanya keinginan untuk memBUMNkan ibadah haji, maka dengan lahirnya UU-PKH, maka diharapkan bahwa pengelolaan haji akan lebih terjamin.

Kita sungguh merasakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh Kementerian Agama sesungguhnya merupakan problem akuntabilitas dan transparansi yang kemudian mengakumulasi pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Bahkan meskipun hasil survey BPS menyatakan bahwa kepuasan pelanggan jamaah haji meningkat dari tahun ke tahun, akan tetapi tetap saja bahwa masyarakat tidak mempercayai perbaikan demi perbaikan yang dilakukan di dalam pelaksanaan haji.

Saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa dengan pembahasan RUU-PKH menjadi UU-PKH. Berkat kerja sama yang sangat baik antara Panja pemerintah yang terdiri dari berbagai kementerian dan juga Panja Komisi VIII DPR RI, maka RUU-PKH dapat diselesaikan tepat pada waktunya.  Kepada Pak Lukman Hakim Saefuddin (Menteri Agama), Pak Moh. Yasin (Irjen Kemenag),  Pak Ramadlan, Pak Hasan, Pak Gunaryo, Pak Roesdiyanto, Bu Pocut, Pak Adi Kresna, Pak Sahlan dan segenap jajaran Kementerian Keuangan, Kementerian PAN & RB, Kementerian Hukum dan HAM dan Kemenko Kesra serta Kementerian Agama, tentu semua memiliki sumbangan yang tidak kecil.

Saya berkeyakinan dengan pengelolaan keuangan haji yang professional, transparan dan akuntabel, maka citra keberhasilan penyelenggaraan ibadah haji akan dapat ditingkatkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MERUMUSKAN RUU PENGELOLAAN KEUANGAN HAJI

Dalam rentang waktu yang nyaris bersamaan, sebagai Ketua Panja Pemerintah, saya  bersama tim dari kementerian-kementerian lain harus membahas dua undang-undang sekaligus, yaitu RUU-JPH dan RUU-PKH. Rencana Undang-Undang  Pengelolaan Keuangan Haji (RUU-PKH) sesungguhnya juga sudah lama dibicarakan. Bahkan naskahnya sudah ditandatangani oleh tiga menteri, yaitu Menteri Agama, Menteri PAN&RB dan Menteri Keuangan. Naskah ini tentunya dianggap sudah final. Namun akhirnya harus dibongkar  disebabkan ada hal-hal baru yang harus diadaptasi di dalam RUU ini.

RUU-PKH ini nyaris dianggap selesai sebab sudah ada kesepakatan Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI untuk memasukkannya di dalam pembicaraan tingkat II di Paripurna DPR RI. Namun demikian,  kesepakatan tersebut harus direvisi ulang sehubungan dengan terjadinya berbagai masalah yang terkait dengan pengelolaan keuangan haji dan juga penyelenggaraan haji.

Bahkan Komisi VIII DPR RI juga sudah mengajukan pembahasan atau revisi terhadap Undang-Undang Penyelenggaraan Haji, Nomor 13 Tahun 2008. Atas inisiatif Komisi VIII, maka UU No 13 tahun 2008 harus dibenahi karena dianggap sudah tidak lagi sesuai dengan tuntutan masyarakat terkait dengan penyelenggaraan haji. Di antara tuntutan tersebut adalah keinginan untuk memisahkan regulator dengan operator.

Saya tidak tahu berasal dari mana istilah regulator dan operator penyelenggaraan ibadah haji tersebut, akan tetapi yang jelas ada tuntutan agar Kementerian Agama tidak lagi menjadi penyelenggara ibadah haji, dan penyelenggaranya adalah sebuah Badan Khusus yang memiliki kemampuan untuk menjadi operator pelaksanaan haji, sementara Kementerian Agama hanya sebagai regulator pelaksanaan ibadah haji.

Bahkan kalau saya baca selintas tentang naskah akademis untuk perubahan UU No 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Haji, maka dapat diketahui bahwa hampir seluruh nara sumber yang dijadikan sebagai informan untuk perubahan terhadap undang-undang ini juga menghendaki adanya pemisahan regulator dan operator tersebut. Dan hanya sedikit yang menyatakan sebaliknya. Jadi memang kelihatan ada skenario untuk pemisahan tersebut. Yang lebih transparan juga beberapa media yang menyatakan bahwa Kementerian Agama tidak lagi layak untuk menyelenggarakan ibadah haji. Harus ada semacam BUMN atau Badan yang mengelola penyelenggaraan ibadah haji.

Di tengah gerakan pemikiran yang simpang siur ini, maka pembahasan  RUU-PKH kembali mencuat. Alasannya adalah disebabkan Surpres untuk Revisi UU No. 13 Tahun 2008 belum keluar, sehingga lebih baik membahas RUU-PKH yang sudah nyaris selesai. Dengan pemikiran seperti ini, maka peluang untuk membahas RUU-PKH kembali dapat dipastikan.

Akhirnya, pembahasan pun diteruskan. Yang menarik bahwa pembahasan  RUU ini tentu tidak dimulai dari awal. Ada pasal atau ayat yang sudah disepakati, ada pasal atau ayat yang hanya membutuhkan perubahan redaksi dan ada pasal atau ayat yang membutuhkan perubahan substansi. Dua yang di depan tentu tidak usah dibicarakan lagi, sebab tinggal menunggu kerja tim teknis Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI untuk mengerjakannya.

Yang dibahas adalah pasal atau ayat yang membutuhkan perubahan substansial, dan jumlahnya cukup banyak yaitu 44 Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Ternyata tidak juga mudah untuk menyelesaikannya. Perbedatannya sangat panjang. Ada empat hal yang sangat krusial untuk dibahas terkait dengan substansi ini. Pertama, tentang bentuk lembaganya. Bentuk lembaga ini sangat spesifik sebab berada di antara BPJPS baik Jaminan Sosial Kesehatan maupun Jaminan Sosial Tenaga Kerja dengan  Komisi atau Badan yang berada di bawah pemerintahan.

Kedua, struktur kelembagaan dan persyaratannya. Sebagai badan yang bertanggungjawab kepada Presiden, maka lembaga ini memiliki dua struktur yaitu Badan Pelaksana dan Dewan pengawas. Keduanya apakah sejajar ataukah perlu ada pimpinan yang mengendalikan keduanya. Lalu, juga persyaratan yang melekat pada proses rekruitmennya, dan juga persyaratan profesionalitas sebagai lembaga non pemerintah yang mengelola jumlah uang yang sangat besar dan harus menginvestasikannya di dunia bisnis maupun lainnya.

Ketiga, pendayagunaan dana awal setoran haji serta pemanfaatannya untuk kegiatan bisnis dan bagaimana seharusnya memperlakukan nilai manfaat dari dana setoran awal tersebut. Selama ini dana setoran awal tersebut disimpan di Bank pemerintah dan juga Bank Syariah yang ditunjuk oleh pemerintah. Lalu, nilai manfaat dana tersebut digunakan untuk pembiayaan haji atau subsidi bagi jamaah haji yang sudah waktunya berangkat. Jika dihitung, bahwa Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) perorang adalah sebesar Rp53 juta, sedangkan pembayaran yang dilakukan oleh jamaah haji adalah sebesar Rp36 juta, sehingga pemerintah memberikan subsidi haji sebesar Rp17 juta  perorang. Dana subsidi tersebut diperoleh dari nilai manfaat dana setoran awal tersebut.

Keempat, pemikiran tentang perlunya untuk memberikan dana nilai manfaat setoran awal tersebut untuk calon jamaah haji. Ada banyak pertanyaan tentang ke mana larinya uang nilai manfaat dana setoran awal calon jamaah haji yang bertahun-tahun tersebut. Jika jamaah haji menyetorkan dana setoran awal sebesar Rp25 juta, apakah dalam waktu 15 tahun juga akan tetap pada nilai Rp25 juta ataukah seharusnya bertambah. Perdebatan ini yang memakan waktu cukup panjang dan harus menghadirkan praktisi perbankan untuk memberikan gambaran secara mendalam.

Kelima, perdebatan tentang bagaimana seharusnya mengelola keuangan haji untuk ditasarufkan bagi investasi. Perdebatan ini sangat penting mengingat bahwa di dalam RUU-PKH ini diinginkan bahwa BPKH adalah lembaga independen yang memiliki kewenangan untuk menginvestasikan keuangan haji dari berbagai macam sumbernya untuk sebesar-besar kemanfaatan bagi masyarakat Islam. Meskipun alot, akan tetapi pembahasan RUU-PKH terus dilaksanakan dengan berbagai macam upaya untuk menyelesaikannya. Dan melalui upaya keras, maka  pembahasan demi pembahasan pun mencapai titik keberhasilannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.