• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (3)

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (3)

Siapapun pasti merasakan kegembiraan di tengah perayaan kemerdekaan bangsa yang sudah mencapai angka 70 tahun ini. Bahkan ada di antaranya yang menghitung betapa istimewanya peringatan kemerdekaan bangsa yang 70 tahun ini. Hitungan angka 17 ditambah 8 ditambah 1945 maka menunjukkan angka 70 tahun. Angka 70 lalu menjadi angka keramat sebagaimana hitungan tersebut.

Akan tetapi sebagaimana tulisan saya lainnya, bahwa peringatan kemerdekaan bangsa ini masih berada di dalam nuansa belum “menggembirakan” karena masalah-masalah social yang sedang kita hadapi. Meskipun bukan kemurungan, akan tetapi tampak bawa peringatan kemerdekaan bangsa di tahun ke 70 masih menyisakan problem yang tidak mudah diurai. Artinya, membutuhkan waktu yang relative panjang untuk menyelesaikannya.

Di antara yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat adalah tentang kerukunan umat beragama. Kita bisa bersyukur sebab persoalan Tolikara dengan cepat dapat diselesaikan. Baik dari sisi politik, ideologis maupun social dengan cepat bisa direspon mengenai solusinya. Tentu bukan karena terjadi di tanah Papua yang memang masih menyimpan masalah ideology kebangsaan, akan tetapi tentu karena relasi antar umat beragama lebih bisa dimanej ketimbang menyelesaikan masalah internal umat beragama. Reaksi cepat berbagai kementerian untuk menyelesaikan masalah ini sungguh luar biasa. Menteri Dalam Negeri, aparat keamanan, aparat hokum dan tentu Menteri Agama memberikan reaksi yang sangat dinamis. Tim untuk fact finding juga dating dari mana-mana, tidak hanya Kementerian Agama akan tetapi juga lembaga-lembaga nonpemerintah (NGO).

Yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat adalah mengenai persoalan Syiah dan Ahmadiyah selain masalah pendirian tempat ibadah. Tiga masalah inilah yang susungguhnya membelenggu pemerintah dan masyarakat di tengah perayaan kemerdekaan ini. Persoalan ini yang sesungguhnya layak untuk direnungkan di tengah kemerdekaan bangsa ini. Di tengah hiruk pikuk perayaan kemerdekaan, ternyata masih ada sejumlah orang yang belum merasakan arti sebuah kemerdekaan. Mereka masih harus menjadi “pengungsi” di negerinya sendiri.

Upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini tentu harus diapresiasi. Tetapi upaya ini “rasanya” seperti dilakukan sendirian sebab masyarakat yang bersengketa tidaklah memberikan apresiasi yang semestinya. Ada kendala ideologis (keyakinan keagamaan) yang tidak bisa dikompromikan meskipun berada di dalam keyakinan keagamaan yang sama. Itulah sebabnya saya membuat semacam hipotesis bahwa “menyelesaikan konflik antar umat beragama ternyata lebih bisa diselesaikan ketimbang menyelesaikan masalah internal umat beragama”.

Upaya Pemerintah daerah  Jawa Timur untuk menyelesaikan masalah relasi Syiah di Sampang juga sangat maksimal. Penempatan mereka di kawasan Rusun Jemundo Sidoarjo sebagai solusi sementara juga mesti diparesiasi. Banyak anggaran yang diperuntukkan di dalam kerangka pemberian biaya hidup dan pendidikan bagi mereka. Namun kekerasan mereka untuk “memperthankan” ideology atau keyakinan mereka masing-masing lalu menyebabkan ketiadaan dialog dan kebersamaan.

Kedua kelompok ini terus berada di dalam posisi diametrical. Kaum Syiah di Jemundo bersikeras kembali ke Sampang, sementara masyarakat Sampang berkehendak bahwa untuk kembali harus dengan persyaratan “tobat” atau kembali kepada prinsip keagamaan ahlu sunnah waljamaah. Mereka diminta untuk menanggalkan prinsip Syiah.

Benturan kepentingan inilah yang selama ini tidak bisa diselesaikan, sehingga mereka tetap berada dalam jarak harmoni yang tidak bisa didekatkan. Nyaris empat tahun warga Syiah berada di pengungsian, mereka meninginkan kembali ke tanah kelahirannya, Sampang, sementara itu masyarakat Sampang tidak mau menerima jika mereka akan kembali ke Sampang. Dua perbedaan sikap inilah yang menyebabkan betapa sulitnya menyelesaikan masalah relasi Syiah di Sampang ini.

Upaya pemerintah untuk melakukan relokasi ke tempat lain juga mengalami kegagalan. Mereka yang di pengungsian juga terus berada di dalam “genggaman” aktivis social dan agama. Mereka berada di dalam pendampingan tokoh-tokoh Syiah dan juga LSM yang bergerak di bidang pengungsi.

Tampaknya, makin lama bukan akan semakin luruh sikap mereka ini, akan tetapi semakin mengental jarak sosialnya. Jika sebelumnya hanyalah masalah keluarga dan sangat local, maka sekarang jarak identitas mereka makin menebal. Para pengungsi adalah “kaum Syiah” yang terusir, dan masyarakat Sampang adalah “kaum Sunni” yang akan terus menggenggam otoritasnya atas tanah Sampang sebagai wilayah “kekuasaannya’.

Berbagai upaya tampaknya sia-sia. Oleh karena itu yang diperlukan adalah “kesadaran” untuk “mengalah”. Jika prinsip ini yang dijadikan sebagai rujukan, maka tentu lalu harus ada salah satu pihak yang “mengalah” tersebut. Mungkin bisa Orang Syiah yang bersedia direlokasi ke tempat lain yang disediakan pemerintah, atau Orang Sampang yang harus memberikan peluang rekonsiliasi. Menerima mereka apa adanya dengan konsekuensi bisa hidup berdampingan tanpa saling mencela dan merendahkan, menghina atau melecehkan.

Hanya ini peluang yang bisa menyelesaikan “perseteruan” dua kelompok yang saling bertikai ini. Apakah masih ada jalan “penyelesaian” rasanya hanya takdir Allah yang akan menentukannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (2)

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (2)

Saya merasakan bahwa peringatan Hari Kemerdekaan tetaplah hari yang istimewa. Bukan karena ada upacara bendera dan parayaan lain-lainnya akan tetapi memang ada suasana mistis di tengah upacara bendera di dalam peringatan kemerdekaan tersebut. Lantunan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersamaan pengibaran Bendera Merah Putih dan juga pembacaan teks proklamasi adalah komponen penting di dalam peringatan Hari Kemerdekaan tersebut.

Saya juga merasakan betapa pentingnya kemerdekaan tersebut bagi bangsa Indonesia ini. Makanya, setiap ada upacara tujuhbelasan selalu saja saya menitikkan air mata sebagai ekspressi akan makna pentingnya kemerdekaan itu bagi kita semua. Di dalam batin saya selalu ada gambaran tentang bagaimana teks Proklamasi tersebut dibacakan di tengah nuansa peperangan yang terjadi sebagai akibat keinginan Belanda untuk tetap ,menguasai tanah Indonesia, dan di sisi lain bagaimana rakyat Indonesia kemudian memiliki semangat jihad untuk mempertahankan harga diri dan marwah bangsa.

Peringatan Hari kemerdekaan kita kali ini memang harus menjadi perenungan bagi semuanya. Di antara yang harus direnungkan adalah tentang masih adanya konflik kepentingan di masyarakat kita dengan berbagai penyebabnya, selain tentang jebloknya performance perekomian sebagai akibat dari keadaan perekonomian dunia yang juga berada di dalam posisi runyam. Benturan kepentingan masih banyak mewarnai kehidupan masyarakat hingga sekarang. Meskipun frekuensinya masih dalam batas toleransi, akan tetapi tetap saja harus menjadi perhatian semua kalangan, khususnya pemerintah.

Kita tentu masih ingat tentang kasus Tolikara, yaitu kekerasan social yang terjadi di Papua pada saat terjadi shalat idul Fithri 1436 H. peristiwa ini tentu saja membuat kita semua terhenyak sebab selama ini tidak terjadi kekerasan pada saat umat agama tertentu menjalankan ibadah. Papua sangat dikenal akan toleransi beragamanya. Jika umat Islam membangun masjid atau mushalla maka umat Kristiani membantunya. Demikian pula jika uma Kristiani membangun gereja, maka umat Islam membantunya. Kerukunan antar umat beragama telah terjadi sedemikian baik di tanah Papua ini. Maka ketika terjadi kerusuhan social pada saat pelaksanaan ibadah idul fithri, maka semua pergatian tertuju ke tanah papua ini.

Pertanyaan yang mengedepan adalah ada apa dengan semua ini? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, maka didapati berbagai factor yang saling terkait di dalam kerusuhan social di Tolikara ini. Ada factor ideologis, politik dan juga social yang bertali temali satu dengan lainnya. Factor ideologis bisa dilihat dari keinginan masyarakat beragama Kristen yang tergabung dalam  Kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang menginginkan bahwa Tanah Papua adalah tanahnya dan kelompok lain dalam agama dan persekutuan agama apapun tidak diberi ha katas tanah di Papua. Bahkan persekutuan lain dalam agama Kristen pun dilarangnya. Jadi, ada dimensi ideologis yang terdapat di dalam kerusuhan ini. Selain itu juga ada pemicu lain, misalnya kerjasama dengan Israel yang dilakukan oleh kelompok ini. Kita tidak memahami bagaimana Orang Kristen (GIDI) bisa memiliki kerjasama dengan Israel. Mungkin saja ada kaitannya dengan perjalanan rohani yang memang membutuhkan Israel untuk memfasilitasinya. Tetapi yang aneh adalah bahwa masyarakat yang tidak mengecat rumahnya dengan lambing bendera Israel harus dikenai denda dalam jumlah yang cukup besar. Fakta ini lalu menimbulkan pertanyaan “adakah peran kerja sama ini yang membuat dimensi ideologis mereka menjadi makin mengental”. Memang kala itu sedang dilakukan kegiatan internasional, yaitu Kebaktian Pemuda Internasional yang dilakukan di papua. Kebaktian memang ideologis dapat menjadi penyebab terjadinya kerusuhan. Kala kebaktian kemudian dimaknai sebagai perbedaan yang tidak bisa didialogkan titik kesepahamannya, maka kebaktian atau ibadah dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan social.

Tidak hanya itu, kenyataannya bahwa masyarakat kita juga makin mudah untuk berseteru. Cobalah misalnya kita lihat berbagai perselisihan antar kampong yang sering juga menjadi masalah social. Kerusuhan yang diakibatkan perseteruan antar kampong masih kerap terjadi. Masyarakat mudah tersulut untuk melakukan tindakan kekerasan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman dalam mensikapi masalah. Dan sebenarnya, problem yang menjadi penyebabnya juga sering tidak jelas. Termasuk juga perseteruan antar suku di beberapa wilayah di Indonesia.

Disebabkan oleh kenyataan-kenyataan kekerasan seperti itu, maka peringkat Indonesia di Global Peace Index  (GPI), sebagaimana yang dirilis oleh lembaga internasional juga berada di papan tengah dari seluruh Negara yang dijadikan sebagai obyek penilaian. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura (25), Laos (38),  Malaysia (33) dan Vietnam (45). Sementara Thailand (126), Pilipina (134) dan Kamboja (106) berada di bawah Indonesia. Negara Indonesia berada pada peringkat 54 (2014). Sungguh ini merupakan gambaran masih cukup suramnya indeks perdamaian di Indonesia dibanding dengan Negara-negara lain.

Dengan demikian, maka sesungguhnya kita masih berada di dalam nuansa keprihatinan di tengah perayaan kemerdekaan ini. Makanya, seluruh kementerian sebenarnya harus memiliki program yang sinergik di dalam kerangka untuk membangun kerukunan social dan harmoni social dalam bentuk program yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (1)

PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (1)

Hari ini, Senin, 17 Agustus 2015 bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 70. Semua masyarakat Indonesia tentu dengan gegap gempita menyambut peringatan Hari Kemerdekaan ini sebagai pertanda akan ekpressi kegembiraan dan rasa syukur  sebagai warga Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Semua warga negara merayakannya dengan berbagai aktivitas dan kegiatan. Ada yang dengan melakukan upacara di masing-masing instansinya, ada yang dengan melakukan long march, ada juga yang merayakannya di atas gunung yang mampu dipajatnya dan mengibarkan bendera Sang Saka Merah Putih sebagai bendera Kesatuan Negara Republik Indonesia.

Sungguh peringatan Hari Kemerdekaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan bangsa Indonesia. Tidak hanya orang kota yang merayakannya, akan tetapi masyarakat pedesaan juga melakukan hal yang sama. Mereka mengekspressikan kegembiraan, kesenangan dan juga rasa syukur karena bangsa Indonesia telah merdeka semenjak 70 tahun yang lalu.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang peringatan Hari Kemerdekaan ditandai dengan keadaan ekonomi nasional yang baik, maka tahun ini keadaannya agak berbeda. Peringatan kemerdekaan Indonesia tahun ini justru ditandai dengan melemahnya nilau tukar rupiah terhadap dollar Amerika, melemahnya nilai ekspor perdagangan kita, dan juga krisis ekonomi yang melanda banyak negara baik di Eropa maupun Amerika.

Nilai tukar dollar menembus nilai batas psikhologis, yaitu Rp 14.000,00 sehingga tentu membuat panik para pemilik modal dan juga dunia perdagangan, terutama yang bergerak di sektor impor, membuat harga-harga bahan kebutuhan pokok masyarakat juga menjadi naik, dan semakin lesunya perkembangan ekonomi yang seharusnya menjadi lokomotif pembangunan nasional.  Perlambatan pertumbuhan ekonomi tentu berakibat terhadap perkembangan pembangunan yang semestinya bergerak lebih cepat.

Peningkatan nilai tukar dolar, menurunnya harga saham dan juga devaluasi nilai tukar Yuan Cina tentu mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini tentu disebabkan karena krisis ekonomi yang melanda beberapa negara di Asia, Eropa dan juga Amerika. Krisis ini tentu diharapkan semakin cepat berlalu sehingga pertumbuhan ekonomi akan semakin membaik.

Para pedagang terutama yang bergerak di sektor impor sungguh menjerit dengan nilai tukar rupiah yang makin melemah terhadap dolar Amerika. Hal ini tentu disebabkan komponen-komponen barang impor yang hampir seluruhnya menggunakan nilai tukar dolar Amerika menjadi tidak terkendali dan menyebabkan pembayarannya menjadi tak tercapai. Kawan saya yang menjadi agen produk-produk Korea dangan berbagai mereknya menjadi tertatih-tatih dan harus mengurangi nilai impornya dan bahkan karyawannya disebabkan oleh nilai tukar rupiah yang makin melemah. Setiap bertemu saya selalu mengeluhkan perkembangan ekonomi yang makin suram ini.

Inilah beberapa catatan dari aspek ekonomi yang menjadi tantangan kita saat menghadapi peringatan kemerdekaan bangsa Indonesia di tahun ini. Itulah sebabnya banyak yang merenung tentang bagaimana perkembangan ekonomi nasional pada tahun-tahun berikutnya. Melalui pidato Presiden Jokowi di depan anggota DPR/DPD maka pemerintah akan berupaya agar pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5 persen lebih pada tahun 2016. Namun demikian banyak keraguan sebagaimana dilontarkan oleh ahli-ahli ekonomi bahwa pertumbuhan dengan persentase seperti itu agak berat untuk dicapai. Dengan indikator makro ekonomi berupa semakin menurunnya harga minyak dunia, rendahnya surplus perdagangan, lesunya perdagangan dalam negeri dan juga fluktuasi nilai tukar rupiah di semester ini dan juga semester berikutnya, maka pertumbuhan ekonomi 5 persen agak sulit dicapai.

Namun demikian kita tetap saja harus bersyukur, sebab kemerdekaan bangsa ini telah tercapai. Setidak-tidaknya bahwa pembangunan nasional masih terus berlanjut, keamanan dalam negeri kita  tetap terjaga dan fondasi ekonomi kita tetap stabil. Dengan variabel-variabel seperti ini, kiranya kita tetap memiliki suatu keyakinan bahwa kesejahteraan masayarakat Indonesia akan semakin baik.

Jadi rasanya kita juga harus tetap bersyukur atas kemerdekaan bangsa kita. Sekali merdeka tetap merdeka.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN PESANTREN

HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN PESANTREN

Peran pesantren dalam kehidupan bangsa Indonesia tentu tidak bisa diabaikan. Sebagai institusi yang dimiliki umat Islam, maka pesantren telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi kemajuan bangsa. Pesantren telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi pengembangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Semenjak didirikan pertama kali pada akhir masa pemerintahan Majapahit oleh para penyebar Islam (para wali atau para ulama), maka pesantren telah  menunjukkan peran yang sangat besar bagi pemahaman agama bagi masyarakat Indonesia. Para penyebar Islam yang memiliki sumber spiritualitas dari pusat pengembangan Islam (Hadramaut, Gujarat atau Mekkah dan Madinah atau daratan timur tengah lainnya), tentu saja memiliki makna yang sangat penting bagi pengembangan Islam di Indonesia.

Para penyebar Islam tersebut memang memiliki semangat berdakwah yang luar biasa. Mereka adalah para ulama yang dating ke Nusantara dalam kapasitas sebagai penyebar Islam maupun para pedagang yang menjadikan wilayah Nusantara sebagai tujuan antara atau juga tujuan akhir untuk berdagang atau berdakwah. Itulah sebabnya luas wilayah dakwah mereka sangatlah luas. Misalnya, Maulana Ishaq yang selain menyebarkan Islam di Jawa juga di Sulawesi dan Malaka. Beliau adalah ulama dan guru agama Islam yang sangat gigih di dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Demikian pula beberapa Wali yang lain juga menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat untuk berdakwah. Syekh Jumadil Kubro, yang merupakan kakek Sunan Ampel adalah seorang ulama yang berdakwah di Jawa, Sulawesi dan beberapa daratan di Filipina dan Asia Tenggara lainnya. Sebagai penanda tentang aktivitas dakwahnya, maka makamnya juga terdapat di banyak tempat, misalnya di Makam Troloyo di Mojokerto dan Makasar Sulawesi Selatan. Makam dalam artian luas adalah tempat atau tempat persemayaman jenazah. Di dalam konteks ini, maka makam berarti tempat mengajar atau padepokan. Itulah sebabnya banyak makam bagi para ulama atau wali di Nusantara.

Bahkan medan dakwah para wali tersebut juga di dunia internasional, misalnya Syekh Yusuf al Maqassari yang juga menjadi penyebar Islam di Afrika Selatan. Ketika beliau dibuang oleh pemerintah Belanda ke Afrika Selatan dan dimakamkan di sana, maka beliau juga aktif mengembangkan Islam. Banyaknya masyarakat Islam di Wilayah tersebut, tentu karena dakwah yang dilakukannya. Termasuk yang berdakwah di Afrika Selatan adalah Raden Cakraningrat IV yang juga dibuang pemerintah Belanda di tempat itu. Konon katanya, ketika Nelson Mandela di penjara, maka dalam sehari diberi kesempatan untuk berekspresi secara bebas dan kemudian yang dijadikan inspirasi adalah makam Raden Cakraningrat. Di dalam batin Nelson Mandela dinyatakan: “bahwa orang Nusantara saja melawan penjajah Belanda dan rela untuk dibuang di Afrika Selatan, maka sseharusnya orang Afrika Selatan juga harus berjuang untuk bangsanya”.

Inspirasi untuk menjadikan hari santri juga dating dari kenyataan banyaknya santri dan kyai yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Misalnya, Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo dalam perang Diponegoro, Sultan Hasanuddin di Makasar, Imam Bonjol di Sumatera Barat, dan juga para pahlawan Nasional yang berlatar belakang Islam lainnya. Yang tidak kalah penting adalah penerus generasi berikutnya yang juga menjadi pembela kemerdekaan bangsa dari pendudukan para penjajah. Yang sangat monumental adalah peristiwa 10 Nopember 1945, dimana Bung Tomo dengan pekikan Allahu Akbar dapat membangkitkan semangat para pejuang kemerdekaan untuk melucuti para penjajah. Di dalam sejarah tentu tidak bisa dilupakan peristiwa terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam perang kemerdekaan di Surabaya.berkat pekikan Allahu Akbar tersebut, maka perebutan bendera di depan Hotel Oranye dapat dimenangkan oleh pejuang kemerdekaan. Maka, kemudian jadilah tanggal 10 Nopember 1945 diperingati sebagai hari kepahlawanan untuk menandai betapa heroiknya perjuangan para pejuang kemerdekaan tersebut dalam mengusir kaum penjajah.

Jauh sebelum hal itu terjadi, maka yang tidak kalah monumental adalah “Resolusi Jihad”yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Makanya, tanggal 22 Oktober 1945 dikenal sebagai peristiwa jihad para santri dan kyai dalam melawan para penjajah. Seruan jihad ini menjadi momentum penting di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebab di sinilah para kyai pesantren melakukan ajakan untuk mengangkat senjata terhadap para penjajah dan juga kewajiban untuk menyediakan peralatan perang apa adanya dan konsumsi bagi para pejuang bangsa. Melalui seruan jihad tersebut, maka segenap pemuda dan para lelaki lalu turut serta mengangkat senjata, meskipun hanya bamboo runcing, untuk melakukan perlawanan secara massif terhadap kaum belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Pesantren dengan kyai dan santrinya telah terbukti turut serta secara aktif untuk menjalankan fungsinya sebagai warga Negara di dalam mempertahankan kemerdekaan yang diidamkannya. Mati syahid di dalam perang mempertahankan Negara bangsa adalah idaman bagi kaum santri dan kyai yang kala itu terlibat di dalam perang kemedekaan.

Peran pesantren di dalam membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tentu tidak berhenti di era perang kemerdekaan. Bahkan perannya makin menonjol di era pembangunan bangsa. Pesantren telah menghasilkan puluhan juta santri yang memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang relevan dengan dunia social masyarakat Indonesia. Pesantren baik skala besar atau kecil lalu memiliki peran yang sangat signifikan di dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Para kyai menjadi sosok yang sangat andal di dalam membina akhlakul karimah sebagai titik tolak bagi kaum agamawan. Melalui pembelajaran selama 24 jam di pesantren, maka para santri dapat menjadi sosok manusia yang memiliki keunggulan spiritual tetapi juga tidak melupakan kehidupan duniawinya. Pesantren dengan kyai dan santri bisa menyelaraskan kehidupan duniawi yang serba materi dengan kehidupan akherat yang serba spiritual. Makanya, ketika ditanyakan di mana pembelajaran untuk menyongsong kehidupan yang utuh, maka jawabannya dapat dipastikan di dalam pesantren.

Melalui tiga alasan, yaitu: peran pesantren di era pra-kemerdekaan, kemerdekaan dan pos-kemerdekaan tersebut, maka sudah selayaknya jika harus ada Hari Khusus, yang diperuntukkan bagi kaum santri sebagai momentum untuk mengapresiasi, menghargai dan memberikan penghormatan atas jasa para santri yang telah turut serta di dalam kehidupan nusa dan bangsa. Para santri sarungan tersebut selalu tampil pada saat krisis. Misalnya kala penjajahan Jepang dan Belanda ingin menguasai negeri ini, kala terjadi kekacauan politik di masa komunisme ingin menguasai negeri ini, maka para santri juga tampil di medan laga untuk mempertahankan ideology Negara Pancasila. Kala terdapat silang sengketa tentang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan social dan politik, maka para santri tampil untuk menyelamatkannya.

Di era pembangunan bangsa, maka para santri dan segenap kyainya juga terlibat di dalam derap pembangunan masyarakat melalui peran sentralnya. Misalnya pemberdayaan ekonomi, kesehatan, organisasi dan sebagainya. Dengan demikian, kiranya sudahlah tepat kala terdapat keinginan untuk menjadikan Hari Santri sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini.

Jika persyaratan administrative, akademis dan momentumnya sudah tepat, maka kiranya menempatkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober tentu bukanlah sesuatu yang tidak tepat. Jadi, dari aspek momentum sudah tepat, dari aspek akademik juga sudah relevan, lalu dari aspek historis dan politis juga sudah memadai, maka tidak ada kata lain kecuali presiden menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Hari Santri.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURALISME

Dalam acara saya di Makasar, 02/10/2014, saya beruntung bertemu dengan para guru agama dari berbagai guru lintas agama. Ada guru Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga tokoh agama Konghucu. Acara ini digelar oleh Pusat Pendidikan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI.

Sesungguhnya,  saya harus mengisi acara ini pada malam hari sebelumnya, akan tetapi karena masih ada acara malam tersebut di Jakarta, maka saya terpaksa memundurkannya pada siang harinya. Syukurlah bahwa para peserta workshop tidak kecewa dengan kedatangan saya pada siang hari. Andaikan saya datang malam harinya, maka tentu sekedar membuka acara saja, akan tetapi dengan saya datang siang hari, maka pembicaraan jauh lebih mendasar, sebab ada sessi tanya jawab antara saya dengan peserta workshop.

Ada tiga hal yang saya ungkapkan di dalam acara ini. Pertama, masih adanya prejudice tentang hubungan antar agama-agama. Syakwasangka ini sesungguhnya dipicu oleh pandangan bahwa hanya agamanya saja yang benar,  sementara yang lain salah dan harus dinihilkan. Konsep inilah yang disebut sebagai religion’s way of knowing. Kala seseorang  menyatakan bahwa hanya agamanya saja yang benar   dan yang lain harus dihilangkan, maka dapat dipastikan bahwa pasti akan terjadi kekacauan.

Bukannya penganut agama tidak boleh untuk menyatakan agamanya saja yang benar, karena itu adalah ajaran agamanya yang benar. Akan tetapi kala yang bersangkutan kemudian berkeyakinan bahwa agama lain harus dihilangkan, maka di sinilah sumber masalahnya. Jadi yang mesti dilakukan adalah tetap berkeyakinan agamanya saja yang benar, tetapi harus mengakui bahwa ada agama lain yang juga harus hidup di negara ini.

Kedua, ada keinginan dari sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang menginginkan agar ada penyatuan agama-agama. Kita tentu saja tidak bisa mengikuti cara pandang seperti ini. Kita tidak bisa berpikir “pluralisme teologis”. Sejauh yang bisa dilakukan adalah “pluralisme sosiologis”

Kita berharap bahwa para guru agama akan dapat menjadi agen untuk mengembangkan pikiran keagamaan dalam konteks pluralisme sosiologis dan bukan mengajarkan tentang pluralisme teologis. Kita tidak boleh terjebak pada pikiran yang menyatakan bahwa semua agama sama. Agama selalu memiliki ajaran yang khas yang membedakan antara satu dengan lainnya.

Selalu ada yang berbeda di dalam agama-agama dan pasti juga ada yang sama. Pasti tidak akan sama dalam aspek teologis dan ritual. Setiap agama memiliki dimensi keyakinan yang berbeda dan tidak mungkin sama, demikian pula dalam aspek ritualnya. Pasti ada yang berbeda. Namun demikian tetap ada pesan universal yang sama di dalam agama-agama tersebut.

Ketiga, masih ada keengganan untuk membangun proeksistensi. Memang harus diakui bahwa bangunan koeksistensi sudah semakin membaik. Di mana-mana sudah tidak ada social prejudice yang disebabkan oleh relasi agama-agama. Bangunan relasi agama-agama sudah menjadi kesatuan di dalam kehidupan umat beragama di Indonesia. Sudah ada beberapa contoh tentang bagaimana membangun proeksistensi, misalnya dalam program pembelajaran di Pondok Pesantren Walisongo di Ende, di mana setiap calon Imam di dalam Katolik harus melakukan pengabdian masyarakat melalui pesantren. Program ini sudah berlangsung selama 15 tahun. Artinya bahwa bangunan proeksistensi tersebut sudah berurat dan berakar di kalangan pesantren dan kependetaan tersebut.

Jika ada konflik di dalam masyarakat, sebenarnya bukan murni karena factor agama akan tetapi bisa juga karena factor ekonomi politik. Agama biasanya dijadikan sebagai penguat agar konflik menjadi lebih keras. Dalam kasus kekerasan agama di Situbondo, sekian tahun yang lalu, maka yang menjadi penyebab adalah faktor ekonomi politik dan bukan agama. Kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan Jawa yang ketepatan berbeda agama menjadi faktor pemicunya.

Lalu di mana urgensi pendidikan agama di dalam membangun proeksistensi agama-agama. Guru adalah kata kuncinya. Bagi saya bahwa guru adalah kunci sukses membangun pendidikan, termasuk membangun pendidikan berbasis pada multikulturalitas. Guru yang memiliki kesadaran dan pemahaman multikulturalitas yang baik tentu akan berpengaruh kepada anak didiknya. Apapun kurikulumnya jika gurunya baik, pasti akan dihasilkan anak yang baik. Sekali lagi, kurikulum hanyalah instrument saja, dan penentu keberhasilan pendidikan adalah para guru.

Pendidikan berbasis pada multikulturalisme hanya akan didapatkan pada lembaga pendidikan yang di dalamnya juga menggunakan pedoman beragama yang rahmatan lil alamin. Jika lembaganya mendukung terhadap upaya untuk menghadirkan pendidikan berbasis multikultural, maka kita semua berkeyakinan bahwa akan juga melahirkan siswa-siswa yang berpaham seperti itu. Agama yang rahmatan lil alamin hanya akan muncul dan tumbuh dengan subur jika para pengelola pendidikannya berpaham dan melakukan tindakan yang relevan dengan ajaran suci agama yang memberi rahmat tersebut.

Saya selalu mengharapkan bahwa ke depan akan terdapat lembaga pendidikan dengan atribut pendidikan berbasis multikulturalisme ini. Makanya, forum ini kiranya bisa menjadi salah satu instrumen untuk membangun jaringan pendidikan berbasis multikulturalisme. Jika ada lembaga pendidikan yang sudah seperti itu, maka dapat menyebarkannya kepada yang lain agar terjadi disseminasi yang cerdas.

Kiranya pendidikan seperti itu akan lahir dari kita semua yang memang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan yang selalu mengembangkan sikap beragama yang menyejukkan,  memberi perlindungan dan bisa bekerja sama secara memadai. Tentu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.