HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN PESANTREN
HARI SANTRI DAN PENEGUHAN PERAN PESANTREN
Peran pesantren dalam kehidupan bangsa Indonesia tentu tidak bisa diabaikan. Sebagai institusi yang dimiliki umat Islam, maka pesantren telah memberikan sumbangan yang sangat signifikan bagi kemajuan bangsa. Pesantren telah menjadi bagian tidak terpisahkan bagi pengembangan bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Semenjak didirikan pertama kali pada akhir masa pemerintahan Majapahit oleh para penyebar Islam (para wali atau para ulama), maka pesantren telah menunjukkan peran yang sangat besar bagi pemahaman agama bagi masyarakat Indonesia. Para penyebar Islam yang memiliki sumber spiritualitas dari pusat pengembangan Islam (Hadramaut, Gujarat atau Mekkah dan Madinah atau daratan timur tengah lainnya), tentu saja memiliki makna yang sangat penting bagi pengembangan Islam di Indonesia.
Para penyebar Islam tersebut memang memiliki semangat berdakwah yang luar biasa. Mereka adalah para ulama yang dating ke Nusantara dalam kapasitas sebagai penyebar Islam maupun para pedagang yang menjadikan wilayah Nusantara sebagai tujuan antara atau juga tujuan akhir untuk berdagang atau berdakwah. Itulah sebabnya luas wilayah dakwah mereka sangatlah luas. Misalnya, Maulana Ishaq yang selain menyebarkan Islam di Jawa juga di Sulawesi dan Malaka. Beliau adalah ulama dan guru agama Islam yang sangat gigih di dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Demikian pula beberapa Wali yang lain juga menjadikan wilayah Nusantara sebagai tempat untuk berdakwah. Syekh Jumadil Kubro, yang merupakan kakek Sunan Ampel adalah seorang ulama yang berdakwah di Jawa, Sulawesi dan beberapa daratan di Filipina dan Asia Tenggara lainnya. Sebagai penanda tentang aktivitas dakwahnya, maka makamnya juga terdapat di banyak tempat, misalnya di Makam Troloyo di Mojokerto dan Makasar Sulawesi Selatan. Makam dalam artian luas adalah tempat atau tempat persemayaman jenazah. Di dalam konteks ini, maka makam berarti tempat mengajar atau padepokan. Itulah sebabnya banyak makam bagi para ulama atau wali di Nusantara.
Bahkan medan dakwah para wali tersebut juga di dunia internasional, misalnya Syekh Yusuf al Maqassari yang juga menjadi penyebar Islam di Afrika Selatan. Ketika beliau dibuang oleh pemerintah Belanda ke Afrika Selatan dan dimakamkan di sana, maka beliau juga aktif mengembangkan Islam. Banyaknya masyarakat Islam di Wilayah tersebut, tentu karena dakwah yang dilakukannya. Termasuk yang berdakwah di Afrika Selatan adalah Raden Cakraningrat IV yang juga dibuang pemerintah Belanda di tempat itu. Konon katanya, ketika Nelson Mandela di penjara, maka dalam sehari diberi kesempatan untuk berekspresi secara bebas dan kemudian yang dijadikan inspirasi adalah makam Raden Cakraningrat. Di dalam batin Nelson Mandela dinyatakan: “bahwa orang Nusantara saja melawan penjajah Belanda dan rela untuk dibuang di Afrika Selatan, maka sseharusnya orang Afrika Selatan juga harus berjuang untuk bangsanya”.
Inspirasi untuk menjadikan hari santri juga dating dari kenyataan banyaknya santri dan kyai yang berjuang untuk kemerdekaan bangsa. Misalnya, Pangeran Diponegoro, Kyai Mojo dalam perang Diponegoro, Sultan Hasanuddin di Makasar, Imam Bonjol di Sumatera Barat, dan juga para pahlawan Nasional yang berlatar belakang Islam lainnya. Yang tidak kalah penting adalah penerus generasi berikutnya yang juga menjadi pembela kemerdekaan bangsa dari pendudukan para penjajah. Yang sangat monumental adalah peristiwa 10 Nopember 1945, dimana Bung Tomo dengan pekikan Allahu Akbar dapat membangkitkan semangat para pejuang kemerdekaan untuk melucuti para penjajah. Di dalam sejarah tentu tidak bisa dilupakan peristiwa terbunuhnya Jenderal Mallaby dalam perang kemerdekaan di Surabaya.berkat pekikan Allahu Akbar tersebut, maka perebutan bendera di depan Hotel Oranye dapat dimenangkan oleh pejuang kemerdekaan. Maka, kemudian jadilah tanggal 10 Nopember 1945 diperingati sebagai hari kepahlawanan untuk menandai betapa heroiknya perjuangan para pejuang kemerdekaan tersebut dalam mengusir kaum penjajah.
Jauh sebelum hal itu terjadi, maka yang tidak kalah monumental adalah “Resolusi Jihad”yang dikumandangkan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Makanya, tanggal 22 Oktober 1945 dikenal sebagai peristiwa jihad para santri dan kyai dalam melawan para penjajah. Seruan jihad ini menjadi momentum penting di dalam sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia, sebab di sinilah para kyai pesantren melakukan ajakan untuk mengangkat senjata terhadap para penjajah dan juga kewajiban untuk menyediakan peralatan perang apa adanya dan konsumsi bagi para pejuang bangsa. Melalui seruan jihad tersebut, maka segenap pemuda dan para lelaki lalu turut serta mengangkat senjata, meskipun hanya bamboo runcing, untuk melakukan perlawanan secara massif terhadap kaum belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia. Pesantren dengan kyai dan santrinya telah terbukti turut serta secara aktif untuk menjalankan fungsinya sebagai warga Negara di dalam mempertahankan kemerdekaan yang diidamkannya. Mati syahid di dalam perang mempertahankan Negara bangsa adalah idaman bagi kaum santri dan kyai yang kala itu terlibat di dalam perang kemedekaan.
Peran pesantren di dalam membangun kehidupan kebangsaan dan kenegaraan tentu tidak berhenti di era perang kemerdekaan. Bahkan perannya makin menonjol di era pembangunan bangsa. Pesantren telah menghasilkan puluhan juta santri yang memiliki pemahaman dan pengamalan agama yang relevan dengan dunia social masyarakat Indonesia. Pesantren baik skala besar atau kecil lalu memiliki peran yang sangat signifikan di dalam kerangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Para kyai menjadi sosok yang sangat andal di dalam membina akhlakul karimah sebagai titik tolak bagi kaum agamawan. Melalui pembelajaran selama 24 jam di pesantren, maka para santri dapat menjadi sosok manusia yang memiliki keunggulan spiritual tetapi juga tidak melupakan kehidupan duniawinya. Pesantren dengan kyai dan santri bisa menyelaraskan kehidupan duniawi yang serba materi dengan kehidupan akherat yang serba spiritual. Makanya, ketika ditanyakan di mana pembelajaran untuk menyongsong kehidupan yang utuh, maka jawabannya dapat dipastikan di dalam pesantren.
Melalui tiga alasan, yaitu: peran pesantren di era pra-kemerdekaan, kemerdekaan dan pos-kemerdekaan tersebut, maka sudah selayaknya jika harus ada Hari Khusus, yang diperuntukkan bagi kaum santri sebagai momentum untuk mengapresiasi, menghargai dan memberikan penghormatan atas jasa para santri yang telah turut serta di dalam kehidupan nusa dan bangsa. Para santri sarungan tersebut selalu tampil pada saat krisis. Misalnya kala penjajahan Jepang dan Belanda ingin menguasai negeri ini, kala terjadi kekacauan politik di masa komunisme ingin menguasai negeri ini, maka para santri juga tampil di medan laga untuk mempertahankan ideology Negara Pancasila. Kala terdapat silang sengketa tentang menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi kehidupan social dan politik, maka para santri tampil untuk menyelamatkannya.
Di era pembangunan bangsa, maka para santri dan segenap kyainya juga terlibat di dalam derap pembangunan masyarakat melalui peran sentralnya. Misalnya pemberdayaan ekonomi, kesehatan, organisasi dan sebagainya. Dengan demikian, kiranya sudahlah tepat kala terdapat keinginan untuk menjadikan Hari Santri sebagai bagian dari perjalanan sejarah bangsa ini.
Jika persyaratan administrative, akademis dan momentumnya sudah tepat, maka kiranya menempatkan Hari Santri pada tanggal 22 Oktober tentu bukanlah sesuatu yang tidak tepat. Jadi, dari aspek momentum sudah tepat, dari aspek akademik juga sudah relevan, lalu dari aspek historis dan politis juga sudah memadai, maka tidak ada kata lain kecuali presiden menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Hari Santri.
Wallahu a’lam bi al shawab.