PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (2)
PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (2)
Saya merasakan bahwa peringatan Hari Kemerdekaan tetaplah hari yang istimewa. Bukan karena ada upacara bendera dan parayaan lain-lainnya akan tetapi memang ada suasana mistis di tengah upacara bendera di dalam peringatan kemerdekaan tersebut. Lantunan lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan bersamaan pengibaran Bendera Merah Putih dan juga pembacaan teks proklamasi adalah komponen penting di dalam peringatan Hari Kemerdekaan tersebut.
Saya juga merasakan betapa pentingnya kemerdekaan tersebut bagi bangsa Indonesia ini. Makanya, setiap ada upacara tujuhbelasan selalu saja saya menitikkan air mata sebagai ekspressi akan makna pentingnya kemerdekaan itu bagi kita semua. Di dalam batin saya selalu ada gambaran tentang bagaimana teks Proklamasi tersebut dibacakan di tengah nuansa peperangan yang terjadi sebagai akibat keinginan Belanda untuk tetap ,menguasai tanah Indonesia, dan di sisi lain bagaimana rakyat Indonesia kemudian memiliki semangat jihad untuk mempertahankan harga diri dan marwah bangsa.
Peringatan Hari kemerdekaan kita kali ini memang harus menjadi perenungan bagi semuanya. Di antara yang harus direnungkan adalah tentang masih adanya konflik kepentingan di masyarakat kita dengan berbagai penyebabnya, selain tentang jebloknya performance perekomian sebagai akibat dari keadaan perekonomian dunia yang juga berada di dalam posisi runyam. Benturan kepentingan masih banyak mewarnai kehidupan masyarakat hingga sekarang. Meskipun frekuensinya masih dalam batas toleransi, akan tetapi tetap saja harus menjadi perhatian semua kalangan, khususnya pemerintah.
Kita tentu masih ingat tentang kasus Tolikara, yaitu kekerasan social yang terjadi di Papua pada saat terjadi shalat idul Fithri 1436 H. peristiwa ini tentu saja membuat kita semua terhenyak sebab selama ini tidak terjadi kekerasan pada saat umat agama tertentu menjalankan ibadah. Papua sangat dikenal akan toleransi beragamanya. Jika umat Islam membangun masjid atau mushalla maka umat Kristiani membantunya. Demikian pula jika uma Kristiani membangun gereja, maka umat Islam membantunya. Kerukunan antar umat beragama telah terjadi sedemikian baik di tanah Papua ini. Maka ketika terjadi kerusuhan social pada saat pelaksanaan ibadah idul fithri, maka semua pergatian tertuju ke tanah papua ini.
Pertanyaan yang mengedepan adalah ada apa dengan semua ini? Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama, maka didapati berbagai factor yang saling terkait di dalam kerusuhan social di Tolikara ini. Ada factor ideologis, politik dan juga social yang bertali temali satu dengan lainnya. Factor ideologis bisa dilihat dari keinginan masyarakat beragama Kristen yang tergabung dalam Kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang menginginkan bahwa Tanah Papua adalah tanahnya dan kelompok lain dalam agama dan persekutuan agama apapun tidak diberi ha katas tanah di Papua. Bahkan persekutuan lain dalam agama Kristen pun dilarangnya. Jadi, ada dimensi ideologis yang terdapat di dalam kerusuhan ini. Selain itu juga ada pemicu lain, misalnya kerjasama dengan Israel yang dilakukan oleh kelompok ini. Kita tidak memahami bagaimana Orang Kristen (GIDI) bisa memiliki kerjasama dengan Israel. Mungkin saja ada kaitannya dengan perjalanan rohani yang memang membutuhkan Israel untuk memfasilitasinya. Tetapi yang aneh adalah bahwa masyarakat yang tidak mengecat rumahnya dengan lambing bendera Israel harus dikenai denda dalam jumlah yang cukup besar. Fakta ini lalu menimbulkan pertanyaan “adakah peran kerja sama ini yang membuat dimensi ideologis mereka menjadi makin mengental”. Memang kala itu sedang dilakukan kegiatan internasional, yaitu Kebaktian Pemuda Internasional yang dilakukan di papua. Kebaktian memang ideologis dapat menjadi penyebab terjadinya kerusuhan. Kala kebaktian kemudian dimaknai sebagai perbedaan yang tidak bisa didialogkan titik kesepahamannya, maka kebaktian atau ibadah dapat menjadi penyebab ketidakharmonisan social.
Tidak hanya itu, kenyataannya bahwa masyarakat kita juga makin mudah untuk berseteru. Cobalah misalnya kita lihat berbagai perselisihan antar kampong yang sering juga menjadi masalah social. Kerusuhan yang diakibatkan perseteruan antar kampong masih kerap terjadi. Masyarakat mudah tersulut untuk melakukan tindakan kekerasan yang diakibatkan oleh kesalahpahaman dalam mensikapi masalah. Dan sebenarnya, problem yang menjadi penyebabnya juga sering tidak jelas. Termasuk juga perseteruan antar suku di beberapa wilayah di Indonesia.
Disebabkan oleh kenyataan-kenyataan kekerasan seperti itu, maka peringkat Indonesia di Global Peace Index (GPI), sebagaimana yang dirilis oleh lembaga internasional juga berada di papan tengah dari seluruh Negara yang dijadikan sebagai obyek penilaian. Peringkat Indonesia berada di bawah Singapura (25), Laos (38), Malaysia (33) dan Vietnam (45). Sementara Thailand (126), Pilipina (134) dan Kamboja (106) berada di bawah Indonesia. Negara Indonesia berada pada peringkat 54 (2014). Sungguh ini merupakan gambaran masih cukup suramnya indeks perdamaian di Indonesia dibanding dengan Negara-negara lain.
Dengan demikian, maka sesungguhnya kita masih berada di dalam nuansa keprihatinan di tengah perayaan kemerdekaan ini. Makanya, seluruh kementerian sebenarnya harus memiliki program yang sinergik di dalam kerangka untuk membangun kerukunan social dan harmoni social dalam bentuk program yang langsung dirasakan oleh masyarakat.
Wallahu a’lam bi al shawab.