PENDIDIKAN BERBASIS MULTIKULTURALISME
Dalam acara saya di Makasar, 02/10/2014, saya beruntung bertemu dengan para guru agama dari berbagai guru lintas agama. Ada guru Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan juga tokoh agama Konghucu. Acara ini digelar oleh Pusat Pendidikan Keagamaan Balitbang Kementerian Agama RI.
Sesungguhnya, saya harus mengisi acara ini pada malam hari sebelumnya, akan tetapi karena masih ada acara malam tersebut di Jakarta, maka saya terpaksa memundurkannya pada siang harinya. Syukurlah bahwa para peserta workshop tidak kecewa dengan kedatangan saya pada siang hari. Andaikan saya datang malam harinya, maka tentu sekedar membuka acara saja, akan tetapi dengan saya datang siang hari, maka pembicaraan jauh lebih mendasar, sebab ada sessi tanya jawab antara saya dengan peserta workshop.
Ada tiga hal yang saya ungkapkan di dalam acara ini. Pertama, masih adanya prejudice tentang hubungan antar agama-agama. Syakwasangka ini sesungguhnya dipicu oleh pandangan bahwa hanya agamanya saja yang benar, sementara yang lain salah dan harus dinihilkan. Konsep inilah yang disebut sebagai religion’s way of knowing. Kala seseorang menyatakan bahwa hanya agamanya saja yang benar dan yang lain harus dihilangkan, maka dapat dipastikan bahwa pasti akan terjadi kekacauan.
Bukannya penganut agama tidak boleh untuk menyatakan agamanya saja yang benar, karena itu adalah ajaran agamanya yang benar. Akan tetapi kala yang bersangkutan kemudian berkeyakinan bahwa agama lain harus dihilangkan, maka di sinilah sumber masalahnya. Jadi yang mesti dilakukan adalah tetap berkeyakinan agamanya saja yang benar, tetapi harus mengakui bahwa ada agama lain yang juga harus hidup di negara ini.
Kedua, ada keinginan dari sekelompok kecil masyarakat Indonesia yang menginginkan agar ada penyatuan agama-agama. Kita tentu saja tidak bisa mengikuti cara pandang seperti ini. Kita tidak bisa berpikir “pluralisme teologis”. Sejauh yang bisa dilakukan adalah “pluralisme sosiologis”
Kita berharap bahwa para guru agama akan dapat menjadi agen untuk mengembangkan pikiran keagamaan dalam konteks pluralisme sosiologis dan bukan mengajarkan tentang pluralisme teologis. Kita tidak boleh terjebak pada pikiran yang menyatakan bahwa semua agama sama. Agama selalu memiliki ajaran yang khas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Selalu ada yang berbeda di dalam agama-agama dan pasti juga ada yang sama. Pasti tidak akan sama dalam aspek teologis dan ritual. Setiap agama memiliki dimensi keyakinan yang berbeda dan tidak mungkin sama, demikian pula dalam aspek ritualnya. Pasti ada yang berbeda. Namun demikian tetap ada pesan universal yang sama di dalam agama-agama tersebut.
Ketiga, masih ada keengganan untuk membangun proeksistensi. Memang harus diakui bahwa bangunan koeksistensi sudah semakin membaik. Di mana-mana sudah tidak ada social prejudice yang disebabkan oleh relasi agama-agama. Bangunan relasi agama-agama sudah menjadi kesatuan di dalam kehidupan umat beragama di Indonesia. Sudah ada beberapa contoh tentang bagaimana membangun proeksistensi, misalnya dalam program pembelajaran di Pondok Pesantren Walisongo di Ende, di mana setiap calon Imam di dalam Katolik harus melakukan pengabdian masyarakat melalui pesantren. Program ini sudah berlangsung selama 15 tahun. Artinya bahwa bangunan proeksistensi tersebut sudah berurat dan berakar di kalangan pesantren dan kependetaan tersebut.
Jika ada konflik di dalam masyarakat, sebenarnya bukan murni karena factor agama akan tetapi bisa juga karena factor ekonomi politik. Agama biasanya dijadikan sebagai penguat agar konflik menjadi lebih keras. Dalam kasus kekerasan agama di Situbondo, sekian tahun yang lalu, maka yang menjadi penyebab adalah faktor ekonomi politik dan bukan agama. Kesenjangan ekonomi antara etnis Cina dan Jawa yang ketepatan berbeda agama menjadi faktor pemicunya.
Lalu di mana urgensi pendidikan agama di dalam membangun proeksistensi agama-agama. Guru adalah kata kuncinya. Bagi saya bahwa guru adalah kunci sukses membangun pendidikan, termasuk membangun pendidikan berbasis pada multikulturalitas. Guru yang memiliki kesadaran dan pemahaman multikulturalitas yang baik tentu akan berpengaruh kepada anak didiknya. Apapun kurikulumnya jika gurunya baik, pasti akan dihasilkan anak yang baik. Sekali lagi, kurikulum hanyalah instrument saja, dan penentu keberhasilan pendidikan adalah para guru.
Pendidikan berbasis pada multikulturalisme hanya akan didapatkan pada lembaga pendidikan yang di dalamnya juga menggunakan pedoman beragama yang rahmatan lil alamin. Jika lembaganya mendukung terhadap upaya untuk menghadirkan pendidikan berbasis multikultural, maka kita semua berkeyakinan bahwa akan juga melahirkan siswa-siswa yang berpaham seperti itu. Agama yang rahmatan lil alamin hanya akan muncul dan tumbuh dengan subur jika para pengelola pendidikannya berpaham dan melakukan tindakan yang relevan dengan ajaran suci agama yang memberi rahmat tersebut.
Saya selalu mengharapkan bahwa ke depan akan terdapat lembaga pendidikan dengan atribut pendidikan berbasis multikulturalisme ini. Makanya, forum ini kiranya bisa menjadi salah satu instrumen untuk membangun jaringan pendidikan berbasis multikulturalisme. Jika ada lembaga pendidikan yang sudah seperti itu, maka dapat menyebarkannya kepada yang lain agar terjadi disseminasi yang cerdas.
Kiranya pendidikan seperti itu akan lahir dari kita semua yang memang memiliki kesadaran akan arti pentingnya pendidikan yang selalu mengembangkan sikap beragama yang menyejukkan, memberi perlindungan dan bisa bekerja sama secara memadai. Tentu bukan hal yang mustahil untuk dilakukan.
Wallahu a’lam bi al shawab.