PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (3)
PERAYAAN KEMERDEKAAN DI TENGAH TANTANGAN BANGSA (3)
Siapapun pasti merasakan kegembiraan di tengah perayaan kemerdekaan bangsa yang sudah mencapai angka 70 tahun ini. Bahkan ada di antaranya yang menghitung betapa istimewanya peringatan kemerdekaan bangsa yang 70 tahun ini. Hitungan angka 17 ditambah 8 ditambah 1945 maka menunjukkan angka 70 tahun. Angka 70 lalu menjadi angka keramat sebagaimana hitungan tersebut.
Akan tetapi sebagaimana tulisan saya lainnya, bahwa peringatan kemerdekaan bangsa ini masih berada di dalam nuansa belum “menggembirakan” karena masalah-masalah social yang sedang kita hadapi. Meskipun bukan kemurungan, akan tetapi tampak bawa peringatan kemerdekaan bangsa di tahun ke 70 masih menyisakan problem yang tidak mudah diurai. Artinya, membutuhkan waktu yang relative panjang untuk menyelesaikannya.
Di antara yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat adalah tentang kerukunan umat beragama. Kita bisa bersyukur sebab persoalan Tolikara dengan cepat dapat diselesaikan. Baik dari sisi politik, ideologis maupun social dengan cepat bisa direspon mengenai solusinya. Tentu bukan karena terjadi di tanah Papua yang memang masih menyimpan masalah ideology kebangsaan, akan tetapi tentu karena relasi antar umat beragama lebih bisa dimanej ketimbang menyelesaikan masalah internal umat beragama. Reaksi cepat berbagai kementerian untuk menyelesaikan masalah ini sungguh luar biasa. Menteri Dalam Negeri, aparat keamanan, aparat hokum dan tentu Menteri Agama memberikan reaksi yang sangat dinamis. Tim untuk fact finding juga dating dari mana-mana, tidak hanya Kementerian Agama akan tetapi juga lembaga-lembaga nonpemerintah (NGO).
Yang masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah dan masyarakat adalah mengenai persoalan Syiah dan Ahmadiyah selain masalah pendirian tempat ibadah. Tiga masalah inilah yang susungguhnya membelenggu pemerintah dan masyarakat di tengah perayaan kemerdekaan ini. Persoalan ini yang sesungguhnya layak untuk direnungkan di tengah kemerdekaan bangsa ini. Di tengah hiruk pikuk perayaan kemerdekaan, ternyata masih ada sejumlah orang yang belum merasakan arti sebuah kemerdekaan. Mereka masih harus menjadi “pengungsi” di negerinya sendiri.
Upaya pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini tentu harus diapresiasi. Tetapi upaya ini “rasanya” seperti dilakukan sendirian sebab masyarakat yang bersengketa tidaklah memberikan apresiasi yang semestinya. Ada kendala ideologis (keyakinan keagamaan) yang tidak bisa dikompromikan meskipun berada di dalam keyakinan keagamaan yang sama. Itulah sebabnya saya membuat semacam hipotesis bahwa “menyelesaikan konflik antar umat beragama ternyata lebih bisa diselesaikan ketimbang menyelesaikan masalah internal umat beragama”.
Upaya Pemerintah daerah Jawa Timur untuk menyelesaikan masalah relasi Syiah di Sampang juga sangat maksimal. Penempatan mereka di kawasan Rusun Jemundo Sidoarjo sebagai solusi sementara juga mesti diparesiasi. Banyak anggaran yang diperuntukkan di dalam kerangka pemberian biaya hidup dan pendidikan bagi mereka. Namun kekerasan mereka untuk “memperthankan” ideology atau keyakinan mereka masing-masing lalu menyebabkan ketiadaan dialog dan kebersamaan.
Kedua kelompok ini terus berada di dalam posisi diametrical. Kaum Syiah di Jemundo bersikeras kembali ke Sampang, sementara masyarakat Sampang berkehendak bahwa untuk kembali harus dengan persyaratan “tobat” atau kembali kepada prinsip keagamaan ahlu sunnah waljamaah. Mereka diminta untuk menanggalkan prinsip Syiah.
Benturan kepentingan inilah yang selama ini tidak bisa diselesaikan, sehingga mereka tetap berada dalam jarak harmoni yang tidak bisa didekatkan. Nyaris empat tahun warga Syiah berada di pengungsian, mereka meninginkan kembali ke tanah kelahirannya, Sampang, sementara itu masyarakat Sampang tidak mau menerima jika mereka akan kembali ke Sampang. Dua perbedaan sikap inilah yang menyebabkan betapa sulitnya menyelesaikan masalah relasi Syiah di Sampang ini.
Upaya pemerintah untuk melakukan relokasi ke tempat lain juga mengalami kegagalan. Mereka yang di pengungsian juga terus berada di dalam “genggaman” aktivis social dan agama. Mereka berada di dalam pendampingan tokoh-tokoh Syiah dan juga LSM yang bergerak di bidang pengungsi.
Tampaknya, makin lama bukan akan semakin luruh sikap mereka ini, akan tetapi semakin mengental jarak sosialnya. Jika sebelumnya hanyalah masalah keluarga dan sangat local, maka sekarang jarak identitas mereka makin menebal. Para pengungsi adalah “kaum Syiah” yang terusir, dan masyarakat Sampang adalah “kaum Sunni” yang akan terus menggenggam otoritasnya atas tanah Sampang sebagai wilayah “kekuasaannya’.
Berbagai upaya tampaknya sia-sia. Oleh karena itu yang diperlukan adalah “kesadaran” untuk “mengalah”. Jika prinsip ini yang dijadikan sebagai rujukan, maka tentu lalu harus ada salah satu pihak yang “mengalah” tersebut. Mungkin bisa Orang Syiah yang bersedia direlokasi ke tempat lain yang disediakan pemerintah, atau Orang Sampang yang harus memberikan peluang rekonsiliasi. Menerima mereka apa adanya dengan konsekuensi bisa hidup berdampingan tanpa saling mencela dan merendahkan, menghina atau melecehkan.
Hanya ini peluang yang bisa menyelesaikan “perseteruan” dua kelompok yang saling bertikai ini. Apakah masih ada jalan “penyelesaian” rasanya hanya takdir Allah yang akan menentukannya.
Wallahu a’lam bi al shawab.