• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KUALITAS PENDIDIKAN KITA

KUALITAS PENDIDIKAN KITA

Kita sesungguhnya belumlah bisa sepenuhnya bergembira disebabkan oleh kualitas pendidikan Indonesia yang masih belum mencapai tujuan ideal untuk ukuran besarnya dukungan pemerintah untuk pembangunan pendidikan tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa upaya pemerintah untuk mengembangkan pendidikan saya kira cukup signifikan, terutama semenjak dicanangkan program peningkatan kualitas guru dengan segenap kegiatannya. Bahkan dianggap bahwa pemberian tunjangan profesi bagi guru dan dosen adalah silent revolution terkait dengan perlunya pengembangan SDM Indonesia.

Di antara yang sangat mendasar adalah dengan dicanangkannya penganggaran dan pembayaran tunjangan profesi guru dan dosen dalam kurun 10 tahun yang lalu. Mestinya dengan peningkatan kualitas guru melalui peningkatan kesejahteraannya, maka sejumlah pengaruh signifikan seharusnya  bisa diperoleh.

Selain itu juga peningkatan kualitas guru melalui program pendidikan lanjut atau penyetaraan pendidikan. Perlu diketahui bahwa guru akan bisa memperoleh tunjangan profesi kalau yang bersangkutan telah memenuhi pendidikan minimal strata satu. Jadi, sesungguhnya pemberian tunjangan profesi guru dan dosen juga berimplikasi terhadap peningkatan kualitas guru dan dosen.

Namun demikian, ternyata bahwa pengarusutamaan guru saja belumlah bisa menjadi pengungkit kualitas pendidikan. Memang berdasarkan ukuran Education Development Index, bahwa ada empat ukuran untuk menentukan kualitas pengembangan pendidikan, yaitu: akses, guru, infrastruktur dan out come pendidikan. Jadi jika ingin mengungkit peningkatan kualitas pendidikan, maka empat hal ini harus menjadi prioritas untuk didongkrak ke atas.

Dalam 10 tahun terakhir, sesungguhnya pemerintah telah membuat Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dengan titik tekan pada tiga hal, yaitu: perluasan akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan mutu dan daya saing serta penataan managemen/tata kelola. Tentu meskipun sedikit pastilah bahwa program pemerintah terkait dengan tiga hal ini pastilah memiliki sejumlah pengaruh. Rasanya juga tidak adil jika kita menyatakan bahwa melalui program-program tersebut lalu sama sekali tidak ada pengaruhnya.

Program perluasan akses dan pemerataan pendidikan saya kira telah memiliki sejumlah pengaruh misalnya keberhasilan program  wajib belajar sembilan tahun. Lalu sekarang sudah dikembangkan wajib belajar 12 tahun pada era Kabinet Kerja atau program  Pendidikan Menengah Universal (PMU) pada era Kabinet Indonesia Bersatu. Keberhasilan program ini tentu menjadi pengungkit penting mengenai perluasan akses, sehingga sudah dipastikan bahwa anak-anak usia pendidikan dasar mesti sudah belajar di Sekolah Dasar dan SMP atau Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Sementara anak usia pendidikan menengah juga akan dipastikan sudah sekolah di SMA dan SMK atau Madrasah Aliyah.

Kualitas pendidikan Indonesia dalam tahun-tahun terakhir belumlah bergerak dari peringkat 69 dunia. Berdasarkan perhitungan Education Development Index (EDI) yang bergerak di bidang Education for All (EFA), maka posisi Indonesia berada di kelompok menengah dari 172 negara yang disurvey. Sementara Malaysia berada di peringkat 65 dunia. Jadi dapat dipastikan bahwa peringkat kualitas pendidikan Malaysia lebih baik dibandingkan dengan Indonesia.

Memang harus diakui bahwa mengembangkan pendidikan di Indonesia memiliki kompleksitas yang lebih mendasar. Selain cakupan wilayahnya yang sangat luas,  juga problem pendidikan antar wilayah juga sangat besar,  serta adanya  disparitas kualitas pendidikan antar wilayah yang  sangat lebar. Makanya, membangun pendidikan Indonesia tentulah mengalami tingkat kerumitan lebih besar dibanding dengan membangun pendidikan di Malaysia, Singapura, Thailand atau bahkan Filipna.

Tentu bukan maksud saya  untuk membela diri mengenai kualitas pendidikan Indonesia yang belum maksimal, tetapi hanya ingin memberikan gambaran bahwa meskipun upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas pendidikan tersebut luar biasa, akan tetapi kehadiran variabel-variabel tantangan pendidikan itu haruslah diukur juga untuk menilai laju kemajuan pendidikan Indonesia.

Oleh karena itu, sebaiknya memang segenap pemangku kepentingan pendidikan Indonesia, baik di pusat maupun di daerah haruslah terus menerus berupaya untuk peningkatan kualitas pendidikan ini agar rangkingnya makin menanjak naik dan bukan semakin turun. Anggaran pendidikan yang cukup besar baik yang dikonsentrasikan di pusat maupun daerah haruslah digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan membangun kualitas pendidikan.

Dengan demikian, haruslah ada linearitas antara program pendidikan di pusat, daerah dan juga lembaga-lembaga pendidikan, sehingga ke depan akan dapat dilihat peningkatan rangking pendidikan Indonesia di tengah persaingan atau kompetisi yang makin kompleks.

Wallahu a’’lam bi al shawab.

VISA HAJI DAN TANTANGAN KEARIFAN KITA (3)

VISA HAJI DAN TANTANGAN KEARIFAN KITA (3)

Semua yang terlibat di dalam pengurusan haji tentu merasa terhenyak dengan pemberitaan besar-besaran dari media mengenai isu gagal berangkat haji karena keterlambatan penyelesaian visa calon jamaah haji. Karena peluberan berita tersebut, maka rasanya dunia ini berputar lebih cepat. Pusing Tujuh keliling, kata orang-orang di sekeliling kita.

Memang harus diakui bahwa penyelenggaraan haji memang selalu memiliki persoalan, baik yang besar maupun yang kecil. Dan anehnya semua memang menyoroti “masalah” tersebut sebagai bahan pemberitaan yang sangat seksi dan mencengangkan. Bahkan begitu dahsyatnya pemberitaan visa haji,  maka seolah-oleh bisa mengalihkan pandangan masyarakat di seputar kenaikan nilai dolar Amerika Serikat yang sudah mencapai tahap “mengkhawatirkan”. Nilai tukar dolar US dengan mata uang rupiah sudah sampai batas “psikhologis” ketakutan.

Hampir seluruh media memburu sumber berita tentang “kegagalan berangkat” yang diintrodusir oleh media. Saya yang biasanya tidak ikut terlibat di dalam proyek berita tentang visa haji pun harus terlibat menjadi corong Kementerian Agama di dalam memperkuat argumen bahwa yang terjadi hanyalah keterlambatan berangkat dan bukan kegagalan berangkat haji.

Munculnya “kegaduhan” mengenai visa haji tentu lalu banyak dikaitkan dengan peran Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji. Bahkan yang lebih serius menyatakan bahwa Kementerian Agama tidak layak sebagai penyelenggara haji Indonesia. Mereka membandingkan dengan penyelenggaraan Haji  Malaysia oleh Badan khusus, Tabung Haji,  yang konon katanya sangat baik, sangat istimewa dan luar biasa.    Mereka selalu membandingkan dengan penyelenggaraan haji Malaysaia yang sesungguhnya hanya memberangkatkan sebanyak 23.000 jemaah haji. Artinya itu hanya kira-kira 13 % saja dari jumlah jamaah haji Indnonesia yang mencapai angka 168.800. bahkan jika sudah tidak ada lagi pemotongan jumlah jamaah haji karena renovasi masjid Haram di Mekkah, maka jumlah Jemaah haji kita mencapai angka 211.000 jemaah haji.

Jemaah haji kita adalah yang terbesar di dunia. Mereka adalah jemaah haji dengan varian pengetahuan, pendidikan, keahlian di bidang agama, usia, suku, kultur dan tradisi yang sangat tinggi. Ada yang buta huruf dan ada sebagian kecil yang sangat terpelajar. Bahkan juga mayoritas mereka belum pernah ke kota selain kotanya atau daerahnya sendiri. Kepergian ke Mekkah dan Madinah adalah kepergian pertama di dalam hidupnya dengan pesawat terbang. Makanya, banyak di antara mereka yang tidak memahami bagaimana caranya untuk bepergian dengan pesawat terbang. Ada yang menahan ke toilet sampai berjam-berjam karena tidak memahami bagaimana menggunakan toilet. Meskipun sudah diajari dengan maksimal mengenai tata cara hidup di dalam pesawat , akan tetapi karena kebanyakan di antara mereka adalah buta huruf, maka jadilah kenyataan-kenyataan yang seperti itu.

Memang penyelenggaraan ibadah haji adalah hal yang sangat unik. Di Indonesia, kebanyakan Jemaah haji adalah orang tua dengan usia dalam kisaran 70-an  sampai 80-an. Bisa dibayangkan seseorang dengan usaia seperti itu, maka tentunya lalu ada banyak di antara mereka yang beresiko tinggi dalam perjalanan ibadah haji. Tanpa bermaksud mengesampingkan bahwa ada di antara mereka yang tetap prima kesehatannya, akan tetapi tentu secara empiris juga banyak di antara mereka yang kesulitan di dalam menjalankan ibadah hajinya.

Selain hal ini tentu juga ada hal yang sangat urgen untuk dipahami bahwa menyelenggarakan ibadah haji bukan hanya domain Kementerian Agama akan tetapi juga domain pemerintah Arab Saudi. Itulah sebabnya bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan ibadah lintas batas kewilayahan yang tentu saja juga harus menggunakan regulasi-regulasi yang harus dipahami oleh kedua belah pihak. Contoh di dalam penyelesaian visa calon Jemaah haji, maka kedua pemerintahan haruslah memiliki kesepahaman akan bagaimana implikasi penggunaan system baru E-Hajj. Manakala kemudian terjadi ketidaksinkronan data antara Siskohat dengan E-Hajj, maka pastilah akan terjadi penundaan penyelesaian visa dimaksud.

Oleh karena itu, tanpa bermaksud mengurangi hak bicara siapapun, maka sebaiknya kita memahami bahwa penyelesaian visa haji mestilah dilakukan dengan pandangan-pandangan yang lebih arif. Jangan sampai maksud kita baik, yaitu mengingatkan agar pelaksanaan haji makin baik, akan tetapi yang terjadi justru kotraproduktif. Jangan sampai Kedutaan Besar Arab Saudi merasa dipojokkan karena keterlambatan penyelesaian visa ini.  Dan saya kira Kementerian Agama juga sudah berusaha maksimal agar visa bisa lebih cepat diselesaikan, misalnya dengan menambah aparat kementerian untuk menyelesaikan hal ini.

Bahkan kunjungan Menteri Agama RI ke Kedutaan Besar Arab Saudi beberapa hari yang lalu (26/08/2015)  juga mengindikasikan agar penyelesaian visa bisa dilakukan dengan cepat dan melupakan berbagai komentar dan pandangan yang seakan-akan menyalahkan semuanya. Sebagai bagian dari keinginan untuk melihat penyelenggaraan haji yang lebih baik, maka memang haruslah dipahami bahwa semuanya sudah berkerja keras agar pelaksanaan ibadah haji makin solid dan baik.

Di dalam konteks ini, maka kiranya juga harus disampaikan ucapan terima kasih atas semua kritik dan saran yang diberikan oleh semuanya kepada Kementerian Agama yang memang memperoleh mandate Negara sebagai penyelenggara ibadah haji. Semuanya tentu berhendak agar pelaksanaan ibadah haji semakin baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

VISA HAJI DAN TANTANGANNYA KE DEPAN (2)

VISA HAJI DAN TANTANGANNYA KE DEPAN (2)

Sebagai bukti bahwa seluruh jajaran Kementerian Agama dan Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia sungguh-sungguh sangat serius menangani persoalan keterlambatan Visa Haji Indonesia adalah dengan perkembangan penyelesaian visa haji yang bisa dihasilkannya dalam tiga hari terakhir.

Pada tanggal 24 Agustus 2015, jumlah visa yang belum diselesaikan adalah sebanyak  6563 buah atau kira-kira 4 persen. Jadi, yang diselesaikan sebanyak 148.637 visa. Dalam waktu sehari berikutnya, ternyata visa yang belum bisa diselesaikan adalah sebanyak 4.149 visa. Artinya, dalam sehari bisa diselesaikan sebanyak 1414 visa. Akan tetapi yang lebih membanggakan karena laporan pada waktu jam 20,00 WIB ternyata visa yang tersisa hanya tinggal 1707 buah. Artinya bahwa dalam rentang waktu yang sangat pendek bisa diselesaikan proses penyelesaian visa sebanyak 2665 buah. Hal ini tentu luar biasa.

Hanya saja pada hari-hari berikutnya terjadi pelambatan di dalam penyelesaian visa ini. Yaitu hanya dapat diselesaikan sebanyak 871 visa. Artinya masih kurang sebanyak 1109 visa. Kemudian malam harinya bisa lagi diselesaikan sebanyak  366 visa, sehingga masih tersisa sebanyak 743 visa. Lalu keluar lagi visa sebanyak 571, sehingga total visa pada tanggal 27 Agustus 2015 adalah sebanyak 192 buah. Jika tidak ada aral yang melintang, maka dapat dipastikan bahwa visa akan bisa diselesaikan hari ini (28 Agustus 2015).

Sebagaimana tulisan saya kemarin, bahwa memang ada masalah yang terkait dengan pendataan dan matching data antara system E-Hajj dengan system Siskohat, sehingga dalam banyak hal kemudian terjadi penolakan entri data sehingga terjadi keterlambatan penyelesaian visa. Namun demikian, tidak berarti bahwa upaya untuk melakukan perubahan cepat tidak dilakukan. Maka selain melakukan upaya entri data melalui system elektronik, maka seluruh Kantor wilayah Kementerian Agama juga mengirimkan tenaga entri data ke Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia. Kanwil Jawa Timur, misalnya mengirim dua tenaga IT-nya untuk membantu entri data ke dalam system E-Hajj ini. Itulah sebabnya kemudian terjadi lonjakan penyelesaian visa sebagaimana data di atas.

Di tengah carut marut persoalan visa ini tentu kita tetap bisa bersyukur karena antisipasi untuk penyelesaian visa bisa dilakukan. Jadi keterlambatan visa bukan berarti menggagalkan seluruh proses haji yang sedang dilakukan. Tidak sebagaimana berita di media elektronik maupun cetak yang seakan-akan memvonis bahwa ada kegagalan pelaksanaan haji tahun ini, akan tetapi sesungguhnya bahwa upaya untuk menyelesaikan masalah visa ini bukanlah sesuatu yang luar biasa sulitnya sebagaimana eksegerasi di dalam media-media Indonesia. Ada persoalan keterlambatan visa memang harus diakui, akan tetapi hal itu tidak menggagalkan proses penyelenggaraan haji tahun ini.

Makanya dengan tegas saya nyatakan dalam acara dialog di iNews TV baik dalam acara  dialog dengan Dr. Saleh Daulay siang hari maupun pada waktu acara dialog malam hari dengan Mustakim dan Choirul Umam Wiranu dari Komisi 8, saya nyatakan bahwa tidak ada istilah “gagal berangkat”, yang ada adalah istilah “terlambat berangkat”.

Hal ini saya lakukan untuk menegaskan bahwa sebagaimana yang diungkapkan oleh Menteri Agama RI, Lukman Hakim Saifuddin, bahwa memang ada masalah yang terkait dengan penyelesaian visa,  akan tetapi kita harus yakin bahwa tidak ada istilah gagal berangkat haji bagi Jemaah Calon Haji yang sudah melunasi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Penegasan Menteri Agama ini juga memberikan penjelasan seputar isu gagal haji tahun 2015 bagi mereka yang belum selesai viasanya.

Oleh karena itu kiranya memang harus dipahami dengan kearifan bahwa “keterlambatan penyelesaian visa bagi calon Jemaah haji Indonesia tahun ini merupakan bagian dari keharusan yang mesti terjadi karena bisa jadi factor kekurangsiapan kita di dalam mencandra pelaksanaan E-Hajj yang memang membutuhkan kecermatan dan ketelitian, sehingga akhirnya terdapat beberap kesalahan yang memberikan peluang keterlambatan penyelesaian visa haji dimaksud.

Tanpa bermaksud untuk membela diri, akan tetapi semua harus diyakini sebagai bagian dari ketentuan Tuhan, man proposes God disposes. Kita sudah merencanakan bahwa tahun 2015 akan menjadi tahun pengelolaan Jemaah haji terbaik, akan tetapi cita-cita dan upaya tersebut belumlah menuai keberhasilan secara maksimal. Pastilah hal ini akan menjadi pelajaran yang paling baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

VISA HAJI DAN TANTANGAN KE DEPAN (1)

VISA HAJI DAN TANTANGAN KE DEPAN (1)

Pelaksanaan haji tahun 2015 ternyata masih juga bermasalah. Memang rasanya belum dikaruniakan kemulusan penyelenggaraan haji di Indonesia meskipun pengalaman menyelenggarakan haji tersebut telah dilakukan bertahun-tahun. Saya menyebut sebagai “belum dikaruniakan” sebab upaya untuk membenahi pelaksanaan haji sudah dilakukan secara maksimal. Sebagai bagian dari Kementerian Agama tentu tidak ada lain –sebagaimana Pak Menteri Agama—saya juga menyatakan: mohon maaf atas ketidaknyamanan di dalam pengurusan visa sehingga banyak jamaah haji kita yang belum bisa  berangkat pada waktunya.

Sebagaimana wawancara saya dengan Dr. Saleh Pertaonan Daulay (Ketua Komisi 8 DPR RI) di iNews TV, bahwa bertahun-tahun penyelenggaraan haji hampir tidak pernah terjadi masalah dalam pengurusan visa, sehingga kita juga tidak berasumsi bahwa akan ada masalah terkait dengan visa ini. Dalam tahun-tahun terakhir, konsentrasi pembenahan penyelenggaraan haji berada pada persoalan: catering, transportasi dan akomodasi di Tanah Suci. Ketiga aspek ini yang memang sering ber masalah di dalam penyelenggaraan haji.

Tahun lalu, misalnya masih terdapat kelemahan di dalam pemondokan yaitu dengan ditempatkannya sejumlah jamaah haji Indonesia di luar markaziah. Dan sebagai akibatnya, maka pemerintah Indonesia menuntut ganti rugi terhadap pengelola pemondokan di Tanah suci, sehingga setiap jamaah haji yang ditempatkan di luar Markaziah memperoleh ganti rugi sebesar 300 real. Upaya ini dilakukan dalam kerangka memberikan pelayanan yang maksimal kepada para jamaah. Demikian pula terhadap catering dan transportasi.

Makanya, seluruh konsentrasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) juga berkisar pada pembenahan di tiga aspek tersebut. Seluruh konsentrasi ditujukan untuk perbaikan tiga hal ini.  Direktur Jenderal PHU, Prof. Abdul Jamil dan jajarannya, maupun Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Dr, M. Yasin dan jajarannya berada dalam upaya membenahinya. Pembenahan yang dilakukan saya kira telah menghasilkan produk kerja yang sangat baik, yaitu dengan adanya peningkatan kualitas pemondokan yang seperti Hotel bintang 3 dan 4, penggantian karpet di Mina dan Arafah, layanan transportasi Bus Shalawat yang beroperasi selama 24 jam nonstop dan juga tambahan makanan  siang hari selama di Makkah. Semua ini dilakukan di dalam kerangka perbaikan layanan bagi jamaah haji.

Ketika harapan kita membubung tinggi bahwa layanan jamaah haji tahun ini akan menjadi lebih baik, maka kemudian terdapat masalah “visa” yang kemudian menjadi masalah nasional. Persoalan visa juga menjadi headline berbagai media baik TV, koran maupun radio. Bahkan juga menjadi trending topic di media social: twitter, facebook, instragram dan sebagainya. Semua berkomentar meskipun tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.

Sebagaimana pembicaraan saya di iNews TV, bahwa yang menjadi persoalan dalam pengurusan visa adalah perubahan ke dalam system E-Hajj yang secara nasional dilakukan serentak tahun ini. Perubahan ini belum diantisipasi secara memadai, sehingga program pendataan untuk memadukan antara system electronik Siskohat yang dimiliki oleh Kementerian Agama dengan system E-Hajj yang dimiliki oleh Kementerian Haji Kerajaan Saudi Arabia belumlah secara utuh match. System E-Hajj tentu sangat rinci datanya, mulai dari nama, kloter bahkan sampai tempat pemondokan harus tersedia datanya dengan benar. Jika ada yang salah koma, atau titik bahkan satu huruf saja, maka system tersebut secara otomatis akan menolak terhadap masukan data untuk proses visa.

Oleh karena itu saya sampaikan bahwa ada tiga kendala mengapa terjadi proses pengurusan visa yang terlambat tersebut. Pertama, persoalan waktu atau jarak antara pelunasan tahap akhir (10 Agustus 2015) dengan pemberangkatan  Kloter awal sangatlah dekat. Hanya 11 hari saja. Sementara itu sesuai dengan hasil qur’ah (undian) mengenai kloter dan pemondokannya sudah ditentukan sebelumnya, sehingga bisa terjadi yang bersangkutan masuk dalam kloter awal tetapi proses visanya belum selesai. Makanya kemudian terjadi kekosongan seat atau penundaan pemberangkatan Jemaah haji.

Kedua, integrasi antara system E-Hajj dengan Siskohat yang belum sepenuhnya memadai dan berhasil. Sebagaimana system baru tentu harus terjadi proses penyesuaian agar system tersebut dapat berjalan sebagaimana ekspektasinya. Seharusnya system informasi justru akan memberikan kemudahan di dalam proses pelaksanaan pekerjaan, namun jika persiapan pendataannya tidak memadai dan tidak link and match, maka tentu akan menyebabkan terjadinya penolakan terhadap input data yang dilakukan.

Ketiga, pendataan yang akurat. Sebagaimana system informasi yang lain, maka E-Hajj tentu juga membutuhkan akurasi data yang prima. Oleh karena itu, maka validitas data akan sangat menentukan terhadap kemudahan dalam prosesing visa. Pemaduan dua system informasi, E-Hajj dengan Siskohat tentu membutuhkan waktu yang memadai sehingga jika terjadi error akan dapat dideteksi lebih dini.

Ke depan, tiga hambatan ini harus dipetakan secara lebih memadai sehingga keterlambatan pengurusan visa tidak akan terjadi lagi. Saya yakin bahwa tim Ditjen PHU dan bahkan Tim E-Hajj tentu sudah belajar banyak dari peristiwa ini, sehingga masalah ini akan tidak terulang lagi.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PERAYAAN KEMERDEKAAN DITENGAH TANTANGAN BANGSA (4)

PERAYAAN KEMERDEKAAN DITENGAH TANTANGAN BANGSA (4)

Satu hal yang masih menyisakan persoalan terkait dengan tantangan bangsa adalah tentang kerukunan interen umat beragama. Yang masih menyisakan masalah adalah tentang relasi antara Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat Islam di sekelilingnya. Kita tentu masih teringat bagaimana terjadi kerusuhan social terkait dengan Jemaat Ahmadiyah ini di Jawa Tengah dan juga Jawa Barat. Banyak rumah Jemaah Ahmadiyah yang rusak dan bahkan terdapat korban jiwa. Semua tentu masih ingat di dalam benak masing-masing Jemaah Ahmadiyah yang menjadi korban dari kekerasan social ini.

Di dalam teori social terdapat konsep yang disebut sebagai siklus kekerasan, yaitu suatu pengalaman traumatic dan menjadi archetype yang tidak mudah dilupakan. Dan biasanya akan dialami oleh mereka yang mengalami kekerasan social yang mengakibatkan terjadinya kehancuran fisikal dan bahkan jiwa. Saya berkeyakinan bahwa peristiwa kerusuhan atau peperangan akan selalu menghasilkan pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan ini. Trauma kekerasan akan terus hidup dalam jangka waktu yang lama dan akan membayangi kehidupan yang bersangkutan.

Saya meyakini bahwa memang ada masalah yang terkait dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Ada kalangan yang tidak memahami bahwa ada dua aliran Jemaah Ahmadiyah yang berkembang di Indonesia dan memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Jemaah Ahmadiyah Qadian yang menganggap secara ideologis bahwa ada Nabi lain (Mirza Ghulam Ahmad) setelah Nabi Muhammad, saw dengan segala konsekuensinya, dan sementara Jemaah Lahore beranggapan bahwa Nabi Penutup adalah Nabi Muhammad saw, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid, sebagaimana mujaddid lain di dalam konteks pemahaman umat Islam pada umumnya. Pengakuan adanya Nabi Lain setelah Muhammad saw inilah yang dianggap sebagai penyimpangan terhadap ajaran Islam, sehingga Jemaah Ahmadiyah Qadian lalu dianggap sebagai aliran sesat.

Persoalan inilah yang memicu berbagai aktivitas untuk menolak keberadaan Jemaah Ahmadiyah di berbagai wilayah, khususnya di Jawa barat. Tentu saja dalam konteks ajaran Islam yang “murni” bahwa kebaradaan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi Akhiriz zaman adalah ketentuan teologis yang tidak bisa diganggu gugat. Jika ada sekelompok manusia yang menyatakan sebaliknya maka hal itu dianggap sebagai kesesatan. Ahmadiyah Qadian yang meyakini berbeda terhadap ajaran Islam mainstream ini tentu saja dianggap sebagai bukan Islam atau ajaran yang sesat.

Masyarakat Indonesia –kebanyakan—tidak bisa membedakan antara mana yang Jemaah Ahmadiyah Lahore dan mana yang Jemaah Ahmadiyah Qadian. Semua dianggap bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat tanpa melihat bahwa ada faksi atau penggolongan yang berbeda di dalam aliran Ahmadiyah sendiri. Disebabkan oleh kenyataan ini, maka semua disamaratakan sebagai aliran yang sesat tersebut.

Pemerintah sesungguhnya sudah membuat kesepakatan dengan pimpinan Jemaah Ahmadiyah ini, baik yang Lahore maupun yang Qadian, dalam bentuk kesepakatan untuk membangun kehidupan beragama yang damai dan tidak ada penistaan atau penyelewengan ajaran Islam. Jika mereka mengakui sebagai pemeluk Islam, maka dipersyaratkan agar kembali kepada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir –la nabiyya ba’dahu—dan serangkaian ajaran-ajaran pokok Islam lainnya. Hanya saja bahwa kesepakatan ini belumlah dilakukan oleh Jemaah Ahmadiyah hingga sekarang, sehingga sering terjadi tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan di dalam kerangka membangun kehidupan agama yang damai dan aman.

Oleh sebagian pemganut Islam “puris” atau Islam “hard line” bahwa penyelewengan ajaran seperti itu adalah kesalahan fatal dan harus diluruskan dengan “pemaksaan” atau bahkan “kekerasan”. Makanya, sering kali mereka menjadi incaran dan subyek kekerasan social bernuansa agama. Seandainya mereka mematuhi terhadap kesepakatan untuk meyakini sebagaimana keyakinan umat Islam lainnya, maka tentunya mereka akan berada di dalam nuansa “keamanan”. Keberadaan mereka yang tetap dalam keyakinan semula itulah yang menyebabkan mereka sering menerima perlakuan yang bercorak kekerasan.

Memang harus dipahami bahwa perubahan keyakinan bukanlah seperti membalik tangan. Keyakinan merupakan inti kehidupan, sehingga menjadi amat sulit untuk mengubah keyakinan seseorang ke dalam system keyakinan lain yang berbeda. Bagitu pula mengubah keyakinan Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat ini. Ibaratnya bukan seperti gunung es yang bisa meleleh karena factor waktu dan cuaca, akan tetapi seperti gunung batu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Makanya, perubahan keyakinan ini juga tampak sangat lambat dan nyaris tidak bergerak.

Disebabkan oleh keyakinan ini, maka tampaknya bahwa kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai angka 70 tahun lalu tidak memiliki makna apa-apa. Sama denga  hari kemarin dan juga bahkan hari-hari yang akan datang. Bagi mereka, mungkin Negara dianggapnya tidak hadir. Bagi mereka dianggapnya bahwa Negara absen untuk memberikan perlindungan.

Tugas pemerintah –Kementerian Agama—memang  menfasilitasi terhadap terciptanya peluang untuk rukun. Dan kenyataannya bahwa fasilitasi tersebut sudah dilakukan dalam bentuk terbitnya kesepakatan antara Jemaah Ahmadiyah, Pemerintah dan majelis-majelis agama di Indonesia. Maka berikutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengimplementasikan kesepakatan tersebut di dalam hal-hal yang kongkrit. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pastilah bahwa akan terus terjadi siklus kekerasan sebagaimana yang terlihat secara empiris. Jadi, rasanya memang masih butuh waktu untuk menyelesaikan persoalan ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.