• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1)

MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1)

Dalam beberapa kesempatan saya memberikan pembinaan kepada para pejabat di lingkungan Kementerian Agama, di pusat maupun di daerah, maka selalu saya tekankan tentang apa arti pentingnya memahami tantangan Kementerian Agama di era sekarang atau yang akan datang. Demikian pula ketika saya memberikan pengarahan pada seluruh pejabat structural di Kantor Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat (05 September 2015).

Ada empat hal, tentu masih ada yang lain, yang saya jelaskan tentang tantangan Kementerian Agama di era Reformasi Birokrasi yang harus direspon dengan tepat. Empat tantangan ini yang saya kira harus mendapatkan jawaban kongkrit di kalangan pejabat structural maupun fungsional Kementerian Agama.

Pertama, tantangan mempertahankan Opini BPK dengan kriteria Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kita telah empat tahun berturut-turut memperoleh opini WTP dari BPK atas laporan keuangan Kementerian Agama. Meskipun masih ada kata tambahan Dengan Paragraf Penjelasan (DPP), akan tetapi pencapaian ini tentu merupakan langkah besar yang dapat dilakukan oleh Kementeri Agama dalam kerangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar dan bertanggungjawab. Menurut BPK, catatan pada Laporan Keuangan (LK)  tersebut, yaitu pelaksanaan Bantuan Sosial, Aset Kementerian Agama dan Pengadaan Barang dan Jasa.

Asset Kementerian Agama  terhitung sangat banyak. Hal ini tentu terkait dengan banyaknya satuan kerja (satker) Kementerian Agama. Ada sebanyak 4484 satker di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah satker terbanyak di seluruh Kementerian dan Lembaga di Indonesia. Berdasarkan catatan dari Biro Keuangan dan BMN, maka masih ada sejumlah ratusan asset   yang belum terbukukan dengan baik. Ada yang tanahnya adalah tanah wakaf sementara bangunannya adalah milik K ementerian Agama, dan  juga ada asset yang  tanahnya  milik Kementerian Agama, sementara bangunannya  milik pihak ketiga. Itulah sebabnya, maka program tahun 2016 sampai 2018 tentu harus diprioritaskan penyelesaian administrasi asset agar tertata dengan baik.

Kemudian,  mengenai Bansos yang akhirnya dipilih pengalihan akun dari 57 ke 52. Berdasarkan kajian KPK dan BPKP bahwa ada banyak program bantuan social (BOS)  yang tidak sesuai dengan akun 57, misalnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan ke masjid, Vihara, Gereja dan juga bantuan ke Mitra Kementerian Agama, misalnya NU, Muhammadiyah, MUI, Matakin, PGI, KWI, dan sebagainya. Melalui perubahan akun ini, maka diharapkan akan semakin tampak transparansi dan akuntabilitas bantuan social tersebut.

Namun demikian, perubahan ke akun 52 ternyata  mengandung banyak masalah. Memang tidak mudah untuk menyalurkan eks bansos ini ke lembaga mitra Kementerian Agama. Jika dengan akun 57, maka begitu dana sudah dikeluarkan oleh Bank penyalur bansos, maka selesailah sudah pertanggungjawabannya, sebab yang menjadi ukurannya adalah masuknya dana tersebut ke rekening penerima bansos. Akan tetapi dengan akun 52,  maka kemudahan itu tidak didapatkan lagi. Harus ada proses pengajuan proposal dan Rencana Anggaran dan Belanja  (RAB) ke Kementerian Agama, lalu dengan Uang Persediaan (UP) atau Tambahan Uang Persediaan (TUP), maka kegiatan tersebut bisa dibayarkan 40-60 persen. Lembaga pendidikan atau lembaga social keagamaan belum memiliki tradisi untuk pengajuan seperti ini, sehingga terjadi kesulitan pencairan dana eks bansos yang luar biasa. Di sinilah letak kesulitan yang dihadapi oleh penyaluran dana eks bansos ke pihak mitra Kementerian Agama. Di mana-mana lalu berteriak tentang “kesulitan” pembayaran eks bansos dengan akun 52. Tidak kurang Komisi 8 DPR RI juga menyatakan tentang kelambanan dan keterlambatan  pembayaran Eks bansos, dan meminta kepada Kementerian Agama untuk melakukan percepatan.

Mereka yang melakukan kritik dan bahkan saran, terkadang juga belum memahami secara utuh tentang keinginan membangun akuntabilitas Kementerian Agama. Mereka hanya melihat dan mendengarkan teriakan lantang tentang keterlambatan penyaluran eks bansos, tanpa memahami bahwa perubahan tersebut adalah keniscayaan tentang pentingnya kejelasan anggaran bansos untuk siapa dan dimana. Melalui akun 52,  maka penggunaan bansos menjadi transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, pilihan pada akun 52 bukan berarti sama sekali tidak menggunakan logika yang benar sesuai dengan regulasi di bidang keuangan negara.

Melalui perubahan akun tersebut tentu diharapkan akan adanya kejelasan mengenai makna bansos yang bukan semata-mata bantuan terhadap bencana nasional, akan tetapi adalah bantuan operasional bagi lembaga pendidikan atau lembaga dakwah dan  kelembagaan structural maupun non struktural lainnya, yang memang tidak relevan menggunakan akun 57.

Oleh karena itu, kiranya yang harus dipahami adalah mencoba untuk melakukan tindakan yang relevan dengan regulasi sambil melakukan pembenahan secara memadai terhadap berbagai kekurangan yang dirasakan masih menjadi masalah secara internal. Dengan demikian, perubahan-perubahan demi perubahan yang kita lakukan sesungguhnya adalah cara untuk menemukan kebaikan dan kebenaran  dalam peningkatan kualitas laporan keuangan kita. Di situlah sesungguhnya kita semua akan menuju.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

TANTANGAN GENERASI MUDA ISLAM

TANTANGAN GENERASI MUDA ISLAM

Dalam acara halaqah Kebangsaan yang diselenggarakan oleh PB PMII di Pondok Pesantren Nurul Iman Mataram (03/09/2015) saya menyampaikan beberapa hal penting sebagai tantangan para generasi muda Islam. Acara ini diselenggarakan oleh PB PMII bersama dengan pengasuh PP Nurul Iman, Ibu Nyai Hajah Dra. Wati’ah, MPd, serta dihadiri oleh   segenap jajaran Pengurus Wilayah NU NTB, para Tuan Guru se NTB dan  para Pengurus Koordinator Cabang  (korcab) PMII se Indonesia.

Saya memang secara sengaja datang untuk memenuhi undangan Sahabat-sahabat PMII ini dalam kerangka untuk memberikan wawasan yang terkait dengan generasi muda Islam sekarang dan masa yang akan datang. Para generasi muda inilah yang kelak tentu akan menggantikan para seniornya untuk menjadi pemimpin Indonesia. Mereka yang sekarang menjadi aktivis mahasiswa adalah generasi penerus estafeta kepemimpinan bangsa pada saat menjelang tahun Indonesia emas. Keberhasilan mereka untuk menjadi aktivis mahasiswa tentu akan menjadi pengalaman berharga bagi kemajuan Indonesia di masa depan.

Ada sejumlah tantangan yang dihadapi oleh organisasi kemahasiswaan akhir-akhir ini. Tantangan tersebut antara lain adalah: pertama,  semakin menguatnya peran organisasi kepemudaan atau kemahasiswaan yang mengusung program radikalisasi atau fundamentalisasi agama. Mereka ini secara terang-terangan melakukan berbagai macam diskusi dan aksi untuk mengembangkan Gerakan Khilafah Islamiyah di Indonesia. Mereka tidak mengakui terhadap Pancasila sebagai dasar Negara karena dianggapnya sebagai dasar negara yang bercorak secular. Pancasila adalah produk manusia sehingga tidak pantas dijadikan sebagai dasar dan falsafat bangsa. Organisasi kemahasiswaan ini memperoleh back up full dari para seniornya yang memiliki common platform yang sama. Mereka telah memasuki seluruh kawasan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia.

Kedua, tantangan liberalism yang anti agama atau islam-phobia. Ada  gerakan-gerakan yang dapat diidentifikasi sebagai gerakan Islam-phobia ini yang berkembang seirama dangan semangat keterbukaan dan demokratisasi. Gerakan mereka mengusung tema-tema Hak Asasi Manusia dan kebebasan untuk berpendapat dengan menyatakan bahwa manusia memiliki hak asasi untuk beragama atau tidak beragama. Bahkan juga orang bisa beragama apa saja sesuai dengan keyakinan dan kepercayaannya.

Ketiga,  tantangan gerakan komunisme baru di tingkat internasional. Secara factual bahwa komunisme memang sudah tidak ada lagi di Indonesia semenjak Pemberontakan G 30 S/PKI pada tahun 1965. Secara kepartaian mereka sudah dapat ditumpas secara memadai oleh segenap bangsa Indonesia yang tidak sepaham dengan gerakan komunisme. Akan tetapi secara ideologis tentu mereka belum seluruhnya hilang. Di antara mereka sudah memasuki lembaga-lembaga internasional dan kemudian menyuarakan nyanyiannya secara nyaring dari luar negeri. Bahkan juga ada indikasi bahwa gerakan ini sudah terdapat di Indonesia. Bahkan mereka akan melakukan sidang di Mahkamah Internasional mengenai HAM tentang “penumpasan” anggota PKI pada tahun 1965 dimaksud.

Oleh karena itu, PMII haruslah menjadi garda depan di dalam melakukan upaya untuk mengerem laju berbagai aksi yang dilakukan baik oleh kaum “kanan” maupun kaum “kiri” yang tentu akan menjadi penyebab “kekacauan” kehidupan umat manusia, warga Negara dan bangsa Indonesia.

Di dalam kerangka inilah, maka PMII harus mengedepankan beberapa hal yang sangat urgen ke depan. Pertama, menguatkan Gerakan Ideologi Ahli Sunnah wal Jamaah. Sebagaimana diketahui bahwa ideology ahli sunnah wal jamaah sudah teruji bagi bangsa Indonesia untuk menjadi penyangga terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat Indonesia. Ahli sunnah wal jamaah yang mengembangkan pikiran dan praksis pengamalan Islam yang rahmatan lil alamin tentu merupakan landasan yang tepat bagi pembangunan masyarakat yang plural dan multicultural seperti masyarakat Indonesia. Islam wasathan yang menjadi ciri Islam ahli sunnah wal jamaah adalah Islam yang mendayung di antara dua arus ekstrim yang saling berbenturan. Liberalism dan fundamentalism yang tidak akan pernah bertemu. There is no place for eating together.

Kedua, menguatkan Gerakan  Kebangsaan. Para sesepuh NU sudah memberikan gambaran yang sangat nyata bahwa Pancasila, UUD 1945, NKRI dan kebinekaan adalah pilihan yang final. KH. Sahal Mahfudz, (almarhum), Rois Am PBNU sudah menyatakan bahwa pilihan NU terhadap empat pilar bangsa tersebut sudah tidak bisa diubah. Artinya, PMII sebagai organisasi anak muda NU harus terus menjadi penyangga bagi keberlangsungan empat pilar bangsa tersebut bagi masyarakat Indonesia. Tidak boleh ada keraguan bagi anak muda NU untuk berpaling dari pilar bangsa ini. Meskipun gerakan “kiri” dan “kanan” makin kuat, akan tetapi kaki anak-anak muda NU tidak boleh bergeser sedikitpun dari tempat berpijak tersebut. Dengan demikian, PMII harus menghasilkan kader-kader bangsa yang hebat dan memiliki visi kebangsaan yang sangat kuat dan mendalam.

Ketiga, memperkuat gerakan intelektualisme, religiositas dan spiritualitas. Anggota PMII harus kembali kepada habitatnya sebagai oganisasi kader yang memiliki tingkat intelektual hebat ditandai dengan prestasi akademik yang tinggi, sekaligus juga memiliki pengamalan agama sesuai dengan Islam ahli sunnah wal jamaah. Saya senang mendegarkan sambutan Ketua Umum PB PMII, Aminuddin Ma’ruf, yang menyatakan bahwa PMII akan kembali ke masjid, pesantren dan kampus. Sudah cukup lama PMII jauh dari tiga tempat penggemblengan kader PMII itu. Makanya, dalam periode kepemimpinan PMII sekarang, maka seluruh program PMII harus dikonsentrasikan di tiga area umat Islam tersebut.

Saya sungguh sependapat dengan pandangan ini, sebab apapun kenyataanya, bahwa PMII adalah organisasi kader yang kelak akan menghasilkan orang-orang hebat dengan kemampuan intelektual, religiositas dan spiritualitas yang tinggi. Melalui penguatan kembali Islam ahli sunnah wal jamaah di dalam tubuh PMII, maka ke depan akan dihasilkan kembali kepercayaan orang tua untuk meridali putra-putrinya untuk menjadi anggota PMII dan bahkan menjadi pimpinan PMII. Jadikan para orang tua merasa bangga dengan kapasitas organisatoris putra-putrinya melalui PMII.

Melalui program back to basic ini, maka kita berharap bahwa kejayaan PMII akan semakin tampak nyata. Ibaratnya, PMII dengan segala pikiran, atribut dan aksinya adalah sebuah pohon yang tentu memerlukan siraman pupuk yang tepat. Lalu semua isme atau ideologi adalah pupuk itu. Jadikan semua isme atau ideology tersebut sebagai pupuk yang dapat memperkuat keberadaan PMII di tengah perubahan dan  janganlah jadikan  pupuk tersebut  justru akan mematikan pohon PMII karena kesalahan dosis dalam pemupukannya.

Di tengah arus perubahan yang terus terjadi maka segenap warga PMII tentu harus bekerja keras dan cerdas disertai dengan semangat intelektualisme, religiositas dan spiritualitas yang tinggi sehingga mereka akan menjadi kader Islam yang tangguh dan juga pemimpin bangsa yang andal.

Jadikan PMII sebagai wadah untuk menghimpun para aktivis Islam yang memiliki semangat pergerakan yang tetap berada dalam kawasan Islam ahlu sunnah wal jamaah dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Wallahu a’lam bi al shawab.

INDEKS KOMPETISI DAN MEA (2)

INDEKS KOMPETISI DAN MEA (2)

Sebagaimana dipahami bahwa memang terjadi peningkatan kualitas Global Competitiveness Index (GCI)  kita dari tahun ke tahun. Dan sebagaimana saya jelaskan kemarin bahwa hal itu tentu menunjukkan bahwa setidak-tidaknya ada pengaruh yang signifikan dari pendidikan nasional kita. Atau ada sumbangan yang positif dari dunia pendidikan kita dengan peningkatan kualitas kompetisi bangsa.

Meskipun ranking Indonesia belumlah sebagaimana yang diharapkan, akan tetapi dengan kenaikan poin per poin tersebut menggambarkan bahwa ada dinamika dan pergerakan kualitas pendidikan Indonesia. Bagaimanapun keberadaan ranking kualitas manusia Indonesia tersebut menjadi indikasi arah yang benar mengenai strategi pendidikan Indonesia dewasa ini.

Tantangan kualitas manusia Indonesia tentu terkait erat dengan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang dapat dipastikan akan membawa perubahan yang sangat mendasar terutama dalam kaitannya dengan penyiapan tenaga kerja terampil dalam berbagai bidang.

Dengan demikian, suatu hal yang  penting untuk disimak adalah tentang Sumber Daya Manusia (Human Resource Development). Hal ini merupakan aspek penting sebab salah satu ukuran kemajuan yang dihasilkan oleh pembangunan adalah meningkatnya kualitas SDM tersebut.

Berikut ini adalah data tentang Peringkat Human Development Index (HDI) dari berbagai negara di dunia dan mengenai posisi HDI Indonesia.

  1. Singapore peringkat 9
  2. Korea Selatan peringkat 15
  3. Malaysia peringkat 62
  4. Thailand peringkat 89
  5. Indonesia peringkat 108
  6. Filipina peringkat 117
  7. Vietnam peringkat 121

Perlu dipahami bahwa posisi Indonesia dalam HDI memberikan gambaran yang nyata tentang indicator pembangunan ekonomi (kesejahteraan), pendidikan dan kesehatan yang belum seutuhnya menggembirakan. Kita belum pernah berada pada level di bawah 100. Peringkat kita selalu dalam kisaran di atas 100.  Jika dibandingkan dengan Singapore, Malaysia, Thailand kita berada di bawahnya. Kita hanya berada di atas Filipina dan Vietnam. Posisi kita tentu lebih baik dibanding tahun lalu, namun juga harus disadari bahwa negara lain juga berpacu di dalam pengembangan SDM-nya. Pengembangan SDM yang masih dalam kisaran 100 tersebut membuktikan bahwa pembangunan manusia di Indonesia belumlah berhasil secara maksimal.

Di tengah kenyataan masih belum maksimalnya pembangunan SDM tersebut, di hadapan kita terbentang pertarungan SDM dalam bentuk kompetisi yang akan semakin kompleks. Era MEA akan memberikan pelajaran yang sangat penting bagaimana pertarungan SDM tersebut akan terjadi. Pertarungan tersebut tidak hanya terjadi pada level tenaga ekspert yang berbasis pada keahlian tertentu, akan tetapi juga pada tenaga kerja kelas rendahan.

Berdasarkan laporan Tempo, (31Agustus-6 September 2015)  bahwa akhir-akhir ini terjadi peluberan tenaga kerja Cina yang bekerja pada beberapa proyek pembangunan di Indonesia. Di Bali, Banten dan Manokwari. Mereka memang bekerja pada proyek yang dilaksanakan oleh perusahaan Cina yang melakukan investasi di Indonesia. Salah satu persyaratan di dalam investasi tersebut adalah dengan kebijakan memberikan kelonggaran bagi pekerja Cina untuk bekerja di Indonesia.

Kehadiran para pekerja Cina ini tentu memantik reaksi dari banyak kalangan. Selain gajinya yang jauh lebih tinggi juga dapat mengancam posisi tenaga kerja Indonesia yang juga sangat banyak jumlahnya. Tentu ada sejumlah kekhawatiran bahwa para tenaga kerja Indonesia justru akan menjadi penonton di negaranya sendiri.

Memang harus diketahui bahwa kehadiran tenaga kerja asing akan terus terjadi di era yang akan datang. Sebagai bagian dari warga dunia di era global, maka kita tidak bisa menampik kehadiran tenaga kerja asing untuk bekerja di suatu wilayah negara kita. Sama halnya negara lain juga tidak bisa menolak kehadiran tenaga kerja Indonesia untuk bekerja di sebuah negara lain.

Di sinilah ruang kompetisi itu terbuka lebar. Siapa yang kompetitif, maka dialah yang akan memenangkan pertarungan tersebut. Agar bangsa  Indonesia bisa bertarung secara kompetitif dengan bangsa lain di dalam kerangka memperebutkan sumber daya kehidupan, maka tentu haruslah ada persiapan yang memadai. Dan di antara persiapan tersebut adalah pendidikan yang berkualitas. Sejauh yang kita pahami bahwa instrumen terbaik untuk peningkatan SDM suatu bangsa adalah kualitas dan keterjangkaun pendidikan.

Makanya, rencana strategik pendidikan Indonesia adalah bagaimana memperluas akses dan pemerataan pendidikan, peningkatan kualitas serta relevansi dan daya saing, serta penataan manajemen dan tata kelola pendidikan. Hingga tahun 2019 renstra ini masih diberlakukan. Hal  itu berarti bahwa pemerintah Indonesia tetap memproritaskan pendidikan yang terjangkau, berkualitas dan dikelola secara baik. Kita semua tentu berharap semoga melalui pendidikan yang bersearah dengan peningkatan kompetisi bangsa dan kualitas SDM Indonesia, maka akan didapati kesejahteraan masyarakat  di era yang akan datang.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

INDEKS KOMPETISI DAN TANTANGAN MEA (1)

INDEKS KOMPETISI DAN TANTANGAN MEA (1)

Tantangan ke depan masyarakat Indonesia adalah bagaimana masyarakat Indonesia menghadapi masyarakat global yang makin nyata dan terutama adalah Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sudah di pelupuk mata. Sesuai dengan kesepahaman bersama Negara-negara Asean, maka akhir tahun 2015 adalah tahun akan diberlakukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Makanya, tantangan terbesar bangsa Indonesia di era tersebut adalah bagaimana mereka akan berkompetisi dengan bangsa lain, khususnya di Asean.

Pertanyaan yang sering mengedepan adalah apakah kita sudah siap menghadapi hal ini? Jawaban normatifnya adalah kita harus siap menghadapi persaingan atau kompetisi tersebut. Tidak boleh menyatakan tidak siap. Masyarakat Indonesia harus siap menghadapi MEA yang tidak bisa ditolak dan dihindari.

Tantangan terbesar bagi masyarakat Indonesia terkait dengan MEA adalah mengenai ketenagakerjaan. Pasti tidak bisa dihindari mengenai  free of labor dan juga free of capital dan free of trade. Salah satu kata kunci penting di era ini adalah dunia tanpa proteksi. Artinya bahwa keluar masuknya tenaga kerja tidak akan diproteksi oleh negara.

Di dalam MEA akan terjadi arus pekerja yang tidak bisa  dihalangi karena telah terdapat kesepahaman akan terjadinya pertukaran tenaga kerja. Selain itu juga akan terjadi pertukaran modal atau capital yang tidak bisa dihalangi disebabkan adanya kesepahaman mengenai pasar bersama dan single products. Juga akan terjadi pertukaran barang produksi yang tidak bisa dihalangi karena pasar bersama dan single products tersebut. Kemudian juga tidak akan terjadi kepemilikan tanah sebagai akibat dari kesepahaman tentang kebersamaan dalam pasar dan produk barang. Tentu saja untuk kepemilikan tanah akan terjadi perdebatan kebolehan atau tidaknya.

Sebagai akibat dari single product dan pasar bersama, maka akan terjadi semakin banyaknya pekerja asing yang akan bekerja di suatu negara. Contohnya: pekerja asing China sekarang sudah berdatangan ke Indonesia karena perjanjian kerja sama capital dengan ketentuan diperbolehkannya tenaga kerja China bekerja di Indonesia. Kemudian juga dokter-dokter asing yang sudah bekerja banyak di Indonesia. Di beberapa Rumah Sakit ssudah makin banyak mempekerjakan tenaga kerja asing. Tidak kalah penting adalah di sektor bisnis fashion makin banyak model-model asing yang bekerja di Indonesia. Indonesia sebagai batu lompatan untuk fashion di Singapore, Thailand dan sebagainya

Di tengah arus perkembangan dunia yang makin cepat di era MEA tersebut, maka posisi Human Resource Development (HRD) kita menggambarkan, yaitu:

Peringkat Global Competitiveness Index (GCI):

  1. Singapore ranking 2
  2. Jepang ranking 6
  3. Malaysia ranking 20
  4. China ranking 28
  5. Thailand ranking 31
  6. Indonesia ranking 34
  7. Filipina ranking 52
  8. Vietnam ranking  68

Memang harus diakui bahwa indeks kompetisi masyarakat Indonesia makin meningkat. Dari 144 negara yang disurvey ternyata posisi Indonesia makin baik. Pada tahun sebelumnya di peringkat 39 (2013), lalu peringkat 44 (pada tahun 2012). Artinya bahwa ada peningkatan kualitas GCI meskipun posisinya masih berada dibawah Malaysia, Thailand apalagi Singapore dan Jepang.

Peningkatan GCI tentu merupakan hasil dari intervensi pembangunan manusia Indonesia melalui program pendidikan dan pelatihan.  Memang harus diakui bahwa indeks kompetisi masyarakat Indonesia makin meningkat. Dari 144 negara yang disurvey ternyata posisi Indonesia makin baik. Pada tahun sebelumnya di peringkat 39 (2013), lalu peringkat 44 (pada tahun 2012). Artinya bahwa ada peningkatan kualitas GCI meskipun posisinya masih berada dibawah Malaysia, Thailand apalagi Singapore dan Jepang.

Apapun harus disyukuri bahwa meskipun tidak terjadi lompatan peringkat GCI untuk Indonesia, akan tetapi peningkatan GCI tersebut menjadi indikasi bahwa pembangunan pendidikan di Indonesia memiliki sejumlah pengaruh positif, yaitu meingkatnya daya saing bangsa.

Oleh karena itu, para pelaku pendidikan tentu harus semakin bekerja keras agar intervensi pembangunan pendidikan sebagaimana dirancang di dalam rencana strategik jangka menengah dan panjang akan dapat dicapai.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MEMBANGUN INTEGRITAS

MEMBANGUN INTEGRITAS

Kementerian Agama sering diidentikkan dengan Kementerian yang tidak hanya mengurus persoalan duniawi belaka tetapi juga mengurus persoalan keakheratan. Kementerian Agama memanggul tugas yang sangat mendasar sebagai kementerian yang bergelut dengan religiositas, spiritiualitas dan juga moralitas. Jika kementerian lain hanya  berurusan dengan urusan yang profane saja, maka Kementerian Agama mengurus urusan profane dan juga mengurus persoalan sacral. Agama sering dikaitkan dengan sesuatu yang sacral.

Sebagaimana diketahui bahwa negara ini—terutama di tangan para founding fathers—di masa lalu memang memilih relasi agama dan negara  dalam coraknya yang simbiosis mutualisme. Agama dan Negara saling membutuhkan. Itulah sebabnya maka agama tidak hanya menjadi urusan private, akan tetapi sungguh-sungguh menjadi urusan public. Dalam kata lain disebut sebagai public religion. Dengan posisi agama sebagai public religion, maka peran Kementerian Agama menjadi sangat strategis.

Kementerian Agama memang memanggul tugas yang sangat mulia bagi bangsa ini, yaitu sebagai institusi penyangga religiositas, spiritualitas dan moralitas bangsa. Jika dilihat dari visi Kementerian Agama adalah untuk mengembangkan peningkatan kualitas kehidupan keberagamaan, kerukunan beragama, pendidikan agama dan keagamaan serta pengembangan tata kelola institusi, maka jelaslah bahwa tugas Kementerian Agama tentunya sangat strategis. Itulah sebabnya, keberadaan Kementerian Agama akan sangat menentukan arah ke depan di dalam membangun bangsa yang utuh, material-fisikal dan immaterial-spiritual.

Di dalam konsep sebagai pengemban misi profetik tersebut, maka Kementerian Agama dituntut oleh public untuk menjadi institusi negara dan dengan segenap aparatnya untuk berbuat yang lebih baik dalam berbagai aspek dan dimensinya. Integritas lalu menjadi kata kunci  Kementerian Agama di dalam menjalankan seluruh misi kementerian ini.

Untuk membangun integritas aparat Kementerian Agama tentu menjadi kewajiban dari seluruh jajaran ASN pada Kementerian Agama baik pada level pejabat structural maupun fungsional. Tidak bisa dilakukan secara sendiri-sendiri saja, tetapi juga secara kolektif kolegial. Di dalam kerangka ini, maka Kementerian Agama dapat menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk membangun dan mengembangkan tunas integritas yang dimulai dari atas. Makanya, pejabat eselon dua yang menjadi kunci berbagai kegiatan dalam semua apseknya haruslah menjadi motor bagi pengembangan tunas integritas tersebut.

Beberapa hari yang lalu, tepatnya di Hotel Marbela, kawasan Dago Bandung (29/08/2015-02/09/2015) diselenggarakan acara Training of Trainers (ToT) para pejabat eselon dua Kementerian Agama yang diinisiasi oleh Biro Organisasi dan Tata Kelola (ortala). Di dalam kesempatan memberikan sambutan saya sampaikan tiga hal mendasar terkait dengan mengapa perlu ToT bagi para pejabat structural Kementerian Agama ini.

Pertama, bahwa integritas adalah kata  kunci untuk membangun Kementerian Agama yang berwibawa dan dipercaya oleh public. Tanpa integritas ini, maka jangan pernah diharapkan akan muncul trust dari masyarakat mengenai peran Kementerian Agama di tengah masyarakat luas. Proposisinya menyatakan bahwa semakin besar dan kuat integritas tersebut terdapat di dalam Kementerian Agama, maka akan semakin besar pula kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan berbagai urusan public di dalamnya.

Kedua, ada empat hal yang menjadi makna dari pelaksanaan ToT terkait dengan pengembangan tunas integritas ini, yaitu: 1) sebagai penyebar (komunikator) integritas di tengah jajaran komunitas Kementerian Agama. Mereka yang ditraining diharapkan akan dapat menjadi penyebar Gerakan Anti KKN di dalam diri birokrasi Kementerian Agama maupun bagi masyarakat luas. 2) sebagai penggerak (motor dan dinamisator) bagi terciptanya integritas di dalam Zona Integritas (ZI) untuk menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dalam kerangka menciptakan Wilayah Birokrasi Yang Bersih dan Melayani (WBBM). Kementerian Agama sudah melakukan berbagai upaya dengan mengembangkan percontohan tentang instansi atau Satuan Kerja (satker) yang diharapkan menjadi motor untuk Gerakan Anti Korupsi. Terdapat sebanyak 117 satker di seluruh Indonesia yang dijadikan sebagai pilot project bagi gerakan ini. 3) sebagai evaluator, pemonitor dan coordinator bagi terselenggaranya Zona Integritas dengan bekerja sama dengan berbagai organisasi maupun kementerian/lembaga untuk terselenggaranya Gerakan Anti Korupsi ini. Makanya, Kementerian Agama haruslah menjadi mitra KPK di dalam gerakan untuk memberantas KKN yang cenderung makin menguat akhir-akhir ini. 4) sebagai role model bagi Gerakan Anti Korupsi. Mereka yang ditraining diharapkan dapat menjadi imam bagi Gerakan Indonesia Bersih dari KKN.

Ketiga, sebagai wujud nyata pergerakan membangun ZI menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM), maka sudah dilakukan berbagai upaya, misalnya dengan terbitnya berbagai aturan atau PMA yang secara khusus diperlukan untuk mengembangkan gerakan ini. Misalnya dengan diterbitkannya PMA No. 24/2015 tentang Pengendalian Gratifikasi dan sudah  disosialisasikan tentang upaya membentuk Unit Pengendali Gratifikasi (UPG) dan juga ToT Tunas Integritas yang dilakukan secara berjenjang. Upaya untuk menerbitkan PMA  tentang Whistle Blowing System sebagai kerangka regulasi untuk mengatur tentang bagaimana system pelaporan mengenai penyalahgunaan wewenang, dan tindakan koruptif, kolutif dan nepotisme, dan juga KMA No. 126/2015 tentang Laporan Harta Kekayaan Aparat Sipil Negara (LKHASN). Melalui pelaporan harta kekayaan para pejabat negara ini, maka akan dapat diketahui kewajaran harta kekayaan yang dimiliki oleh aparat sipil negara, sehingga akan dapat menjadi takaran bagi berkurangnya tindakan koruptif.

Melalui berbagai upaya ini, maka ada satu hal yang sangat penting ingin dicapai adalah terciptanya iklim birokrasi yang bersih dan anti KKN, sehingga ke depan akan muncul trsust dari masyarakat akan peran dan fungsi Kementerian Agama yang makin baik.

Wallahu a’lam bi al shawab.