MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1)
MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (1)
Dalam beberapa kesempatan saya memberikan pembinaan kepada para pejabat di lingkungan Kementerian Agama, di pusat maupun di daerah, maka selalu saya tekankan tentang apa arti pentingnya memahami tantangan Kementerian Agama di era sekarang atau yang akan datang. Demikian pula ketika saya memberikan pengarahan pada seluruh pejabat structural di Kantor Kementerian Agama Nusa Tenggara Barat (05 September 2015).
Ada empat hal, tentu masih ada yang lain, yang saya jelaskan tentang tantangan Kementerian Agama di era Reformasi Birokrasi yang harus direspon dengan tepat. Empat tantangan ini yang saya kira harus mendapatkan jawaban kongkrit di kalangan pejabat structural maupun fungsional Kementerian Agama.
Pertama, tantangan mempertahankan Opini BPK dengan kriteria Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Kita telah empat tahun berturut-turut memperoleh opini WTP dari BPK atas laporan keuangan Kementerian Agama. Meskipun masih ada kata tambahan Dengan Paragraf Penjelasan (DPP), akan tetapi pencapaian ini tentu merupakan langkah besar yang dapat dilakukan oleh Kementeri Agama dalam kerangka menghasilkan laporan keuangan yang wajar dan bertanggungjawab. Menurut BPK, catatan pada Laporan Keuangan (LK) tersebut, yaitu pelaksanaan Bantuan Sosial, Aset Kementerian Agama dan Pengadaan Barang dan Jasa.
Asset Kementerian Agama terhitung sangat banyak. Hal ini tentu terkait dengan banyaknya satuan kerja (satker) Kementerian Agama. Ada sebanyak 4484 satker di seluruh wilayah Indonesia. Jumlah satker terbanyak di seluruh Kementerian dan Lembaga di Indonesia. Berdasarkan catatan dari Biro Keuangan dan BMN, maka masih ada sejumlah ratusan asset yang belum terbukukan dengan baik. Ada yang tanahnya adalah tanah wakaf sementara bangunannya adalah milik K ementerian Agama, dan juga ada asset yang tanahnya milik Kementerian Agama, sementara bangunannya milik pihak ketiga. Itulah sebabnya, maka program tahun 2016 sampai 2018 tentu harus diprioritaskan penyelesaian administrasi asset agar tertata dengan baik.
Kemudian, mengenai Bansos yang akhirnya dipilih pengalihan akun dari 57 ke 52. Berdasarkan kajian KPK dan BPKP bahwa ada banyak program bantuan social (BOS) yang tidak sesuai dengan akun 57, misalnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bantuan ke masjid, Vihara, Gereja dan juga bantuan ke Mitra Kementerian Agama, misalnya NU, Muhammadiyah, MUI, Matakin, PGI, KWI, dan sebagainya. Melalui perubahan akun ini, maka diharapkan akan semakin tampak transparansi dan akuntabilitas bantuan social tersebut.
Namun demikian, perubahan ke akun 52 ternyata mengandung banyak masalah. Memang tidak mudah untuk menyalurkan eks bansos ini ke lembaga mitra Kementerian Agama. Jika dengan akun 57, maka begitu dana sudah dikeluarkan oleh Bank penyalur bansos, maka selesailah sudah pertanggungjawabannya, sebab yang menjadi ukurannya adalah masuknya dana tersebut ke rekening penerima bansos. Akan tetapi dengan akun 52, maka kemudahan itu tidak didapatkan lagi. Harus ada proses pengajuan proposal dan Rencana Anggaran dan Belanja (RAB) ke Kementerian Agama, lalu dengan Uang Persediaan (UP) atau Tambahan Uang Persediaan (TUP), maka kegiatan tersebut bisa dibayarkan 40-60 persen. Lembaga pendidikan atau lembaga social keagamaan belum memiliki tradisi untuk pengajuan seperti ini, sehingga terjadi kesulitan pencairan dana eks bansos yang luar biasa. Di sinilah letak kesulitan yang dihadapi oleh penyaluran dana eks bansos ke pihak mitra Kementerian Agama. Di mana-mana lalu berteriak tentang “kesulitan” pembayaran eks bansos dengan akun 52. Tidak kurang Komisi 8 DPR RI juga menyatakan tentang kelambanan dan keterlambatan pembayaran Eks bansos, dan meminta kepada Kementerian Agama untuk melakukan percepatan.
Mereka yang melakukan kritik dan bahkan saran, terkadang juga belum memahami secara utuh tentang keinginan membangun akuntabilitas Kementerian Agama. Mereka hanya melihat dan mendengarkan teriakan lantang tentang keterlambatan penyaluran eks bansos, tanpa memahami bahwa perubahan tersebut adalah keniscayaan tentang pentingnya kejelasan anggaran bansos untuk siapa dan dimana. Melalui akun 52, maka penggunaan bansos menjadi transparan dan akuntabel. Oleh karena itu, pilihan pada akun 52 bukan berarti sama sekali tidak menggunakan logika yang benar sesuai dengan regulasi di bidang keuangan negara.
Melalui perubahan akun tersebut tentu diharapkan akan adanya kejelasan mengenai makna bansos yang bukan semata-mata bantuan terhadap bencana nasional, akan tetapi adalah bantuan operasional bagi lembaga pendidikan atau lembaga dakwah dan kelembagaan structural maupun non struktural lainnya, yang memang tidak relevan menggunakan akun 57.
Oleh karena itu, kiranya yang harus dipahami adalah mencoba untuk melakukan tindakan yang relevan dengan regulasi sambil melakukan pembenahan secara memadai terhadap berbagai kekurangan yang dirasakan masih menjadi masalah secara internal. Dengan demikian, perubahan-perubahan demi perubahan yang kita lakukan sesungguhnya adalah cara untuk menemukan kebaikan dan kebenaran dalam peningkatan kualitas laporan keuangan kita. Di situlah sesungguhnya kita semua akan menuju.
Wallahu a’lam bi al shawab.