• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (6)

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (6)

Saya masih akan membahas tentang tantangan Kementerian Agama dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terus terjadi. Keenam, tantangan penerapan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2015 tentang PNBP Nikah dan Rujuk. Hal ini saya pandang penting untuk dipahami mengingat bahwa persoalan pernikahan yang dilakukan oleh para penghulu juga masih menyisakan persoalan.

Rasanya, bagaikan disambar petir di siang bolong ketika kita mendengar  bahwa ada gratifikasi sampai trilyunan rupiah di Kantor Urusan Agama (KUA). Kita semua  tersentak ketika merebak berita bahwa di Kementerian Agama terjadi gratifikasi besar-besaran terkait dengan pelaksanaan pernikahan di luar kantor. Bahkan ada di antara Kepala KUA kita yang harus berurusan dengan aparat hukum terkait dengan tindakan yang dinilai sebagai gratifikasi ini. Pemberitaan tentang gratifikasi ini bahkan menghiasi halaman-halaman surat kabar dan bahkan juga menjadi bahan diskusi di media televisi dan media social lainnya.

Memang harus diakui bahwa anggaran untuk operasional KUA hanya sebesar  tiga juta rupiah pertahun. Anggaran operasional ini tentu hanya cukup untuk membayar listrik dan telpun. Biaya untuk operasional lainnya tentu tidak ada lagi. Makanya, ketika terjadi pernikahan di luar kantor,  maka kemudian para penghulu itu menerima pemberian, meskipun tidak tentu jumlahnya, sebagai pengganti transportasi dan honor bagi pelaksanaan pernikahan tersebut.

Hampir tidak dijumpai penetapan tarif oleh Kepala KUA terhadap pernikahan di luar kantor ini. Semua dilakukan atas inisiatif yang mengundangnya. Maka jumlahnya juga bervariasi sesuai dengan kemampuan si empunya hajad. Bahkan juga ada yang sekedar memberi oleh-oleh atau berkatan (bahasa Jawa) sebagai buah tangan dari perhelatan tersebut.

Menikahkan anak atau keluarga di rumah adalah tradisi yang sudah melembaga di republik ini. Biasanya menjadi rangkaian dengan hajadan yang diselenggarakan di rumah. Pernikahan adalah peristiwa agama, budaya dan social sekaligus. Makanya selalu diselenggarakan dengan cara-cara yang relevan dengan pedoman kebudayaannya. Tidak kurang tidak lebih. Jadi, memberikan buah tangan, memberikan uang juga dianggap sebagai bagian dari budaya yang sudah dianggap sebagai kebiasaan.

Dari rangkaian persoalan inilah kemudian pemerintah berinisiatif untuk melakukan perubahan terutama terkait dengan bagaimana membangun transparansi di dalam pelaksanaan pernikahan di daerah-daerah. Melalui terbitnya Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2014 dan kemudian direvisi dengan Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2015, maka diharapkan bahwa pelaksanaan pernikahan di luar kantor akan bisa diselesaikan. Melalui regulasi,  pernikahan di luar kantor dikenai biaya Rp600.000,- sementara pernikahan di kantor tidak dikenai biaya. Melalui penerbitan Peraturan Pemerintah ini, maka diharapkan bahwa problem gratifikasi akan bisa diselesaikan.

Namun ternyata keluarnya PP tersebut belum bisa menyelesaikan problem itu. Hal ini disebabkan proses pencairan dana PNBP ini terkendala dengan prosesnya yang rumit. Makanya di beberapa daerah terdapat masalah pencairan dana PNBP NR ini. Di dalam salah satu kunjungan saya ke Propinsi Kalimantan Selatan, diperoleh gambaran bahwa pembayaran transportasi dan honor bagi KUA/para penghulu terkendala proses pencairan yang tidak bisa dilakukan.

Oleh karena itu berdasarkan pertemuan internal Kementerian Agama, maka diputuskan bahwa sebaiknya untuk pembayaran tersebut dipakai Uang Persedian (UP) atau Tambahan Uang Persediaan (TUP). Khusus untuk  kepentingan ini, maka terdapat kesepahaman dengan Ditjen Perbendaharaan, bahwa untuk pembayaran PNBP NR dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Jadi, jika diperlukan tambahan uang persediaan tentunya bisa diperkenankan. Bahkan dengan catatan berapapun jumlahnya sesuai dengan kebutuhan.

Melalui skema ini, maka pembayaran transportasi dan honor penghulu mulai bisa dilakukan. Meskipun belum maksimal dibayarkan,  akan tetapi telah terdapat solusi yang relative memadai. Hanya saja sayangnya,  bahwa uang honor dan transportasi yang jumlahnya milyaran tersebut belum bisa dimasukkan dalam serapan anggaran karena pertanggungjawabannya yang belum diselesaikan.

Selain persoalan yang terkait dengan penyerapan anggaran tersebut, satu masalah yang masih mengganjal adalah tentang panjangnya rantai birokrasi untuk penyelenggaraan pernikahan. Yaitu adanya  keterlibatan RT/RW dan kantor kelurahan atau kantor desa. Jika kelak bisa disederhanakan melalui satu pintu, yaitu penggunaan single identity card (KTP Elektronik) untuk pendaftaran pernikahan di KUA, maka mata rantai birokrasi yang panjang akan bisa disederhanakan dan juga akan menihilkan berbagai pungutan yang sering diidentifikasi sebagai perlakuan KUA. Makanya, MoU dengan Kementerian Dalam Negeri untuk kepentingan data E-Card tersebut mutlak diperlukan.

Lalu, sesuai dengan pertemuan yang digelar di KPK yang dihadiri oleh Menteri Agama, Irjen Kemenag, Sekjen dan juga Dirjen Perbendaharaan dan jajarannya disepakati bahwa jalan keluar yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan uang muka perjalanan dan biaya transportasi. Melalui skema ini, maka serapan anggaran untuk pembayaran honorarium dan transportasi tentunya juga akan lebih bisa didayagunakan.

Upaya-upaya perbaikan penerimaan dan penyaluran PNBP NR ini dilakukan sebenarnya juga mengandung maksud agar Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tentang penyelenggaraan pernikahan bisa diminimalisir. Jika pada tahun 2014  masih merah, karena masih belum mencapai standart minimal  angka enam, maka diharapkan tahun 2015  akan menjadi lebih baik. Dengan perbaikan yang dilakukan ini, maka IPK  Kementerian Agama akan dapat didapatkan lebih baik.

Sungguh akan menjadi kebanggaan,  jika masalah PNBP NR bisa diperbaiki penerimaan dan penyerapannya, sehingga ke depan tidak akan ada lagi isu gratifikasi yang diidentifikasi dilakukan oleh para penghulu. Kita semua yakin bahwa hal ini bisa dilakukan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (5)

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (5)

Saya masih akan melanjutkan pembahasan tentang tantangan Kementerian Agama di tengah perubahan yang akan terus terjadi. Kelima, tantangan perubahan akuntansi berbasis akrual. Tantangan perubahan ini tentu harus disikapi dengan respon yang tinggi, mengingat bahwa perubahan ke akuntansi akrual merupakan keharusan bagi semua instansi pemerintah.

Kementerian Agama termasuk  lima instansi pemerintah yang melakukan deklarasi penerapan Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA) pada tahun 2014 dan kemudian ditindak lanjuti dengan implementasinya di tahun 2015. Saya tentu masih ingat ketika terlibat dengan lima instansi pemerintah yang menandatangani penerapan SAIBA pada awal tahun 2015. Sampai sekarang saya masih ingat bagaimana semua undangan harus meneriakkan slogan: “Go Akrual, Go WTP”.

Mengapa implementasi SAIBA kita anggap sebagai tantangan di tengah perubahan demi perubahan termasuk perubahan sistem akuntansi itu. Salah satu alasan yang sangat mendasar adalah kebanyakan pendidikan ASN Kementerian Agama adalah lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam atau sejenisnya. Jarang para bendahara di unit-unit atau satker-satker Kementerian Agama adalah lulusan pendidikan akuntan atau sekurang-kurang lulusan program studi ekonomi sehingga pekerjaan yang dilakukannya banyak yang berdasar pada pengalaman saja.

Pengalamanlah yang mengantarkan yang bersangkutan sebagai bendahara satkernya masing-masing. Tentu saja ada di antara mereka yang mengikuti pendidikan dan pelatihan bendahara, akan tetapi tentu saja dengan jumlah jam dan kesempatan yang terbatas. Dengan demikian, sesungguhnya mereka tidak memiliki basis ilmu yang memadai untuk menjadi bendahara, apalagi dengan basis akuntansi

akrual.

Namun demikian ada pepatah yang menyatakan bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik. Dengan pepatah ini,  maka masih sangat besar peluang untuk memperoleh bendahara yang baik berdasarkan atas pengalamannya dalam mengelola anggaran, khususnya sebagai bendahara satkernya masing-masing. Melalui pengalaman itulah selama ini  pengelolaan keuangan dan laporan keuangan ditangani dan dilaksanakan. Meskipun hanya bertumpu pada pengalaman membukukan dan melaporkan tata laksana anggaran, akan tetapi ternyata  terbukti bahwa laporan keuangan Kementerian Agama memperoleh opini yang menggembirakan. Bahkan Menteri Agama memperoleh penghargaan karena selama tiga tahun berturut-turut memperoleh opini WTP.

Tantangan penerapan sistem akrual inilah yang harus dihadapi kehadirannya. Kita tidak boleh mundur meskipun hanya selangkah. Tidak boleh seperti Senam Poco-poco. Maju selangkah mundur selangkah. Kita harus maju terus dengan segenap kemampuan yang kita miliki. Dan kita menjadi gembira bahwa Laporan Keuangan Semester pertama 2015 bisa kita lakukan dengan sangat memadai. Berdasarkan laporan Kepala Biro Keuangan dan BMN, bahwa laporan keuangan kita dengan sistem akrual sudah diserahkan tepat pada waktunya.

Melalui kerja sama dengan Dirjen Perbendaharaan, bahwa seluruh Kepala Kantor Keuangan di daerah sudah memahami akan adanya kesulitan di dalam implementasi sistem akuntansi akrual. Makanya, juga diedarkan surat Dirjen perbendaharaan agar terus membantu kementerian/lembaga yang sedang mengalami kesulitan implementasi SAIBA. Makanya, koordinasi dan konsultasi mengenai sistem akuntansi berbasis akrual harus terus dilakukan. Tidak hanya ketika menghadapi kesulitan implementasinya, akan tetapi juga membangun kerja sama yang baik tentang laporan keuangan yang relevan dengan regulasinya.

Tahun ini sudah diancangkan bahwa serapan anggaran hingga akhir tahun adalah sebesar 93 persen. Itu artinya patokan yang sangat tinggi di tengah kesulitan pencairan dana eks bansos dimaksud. Serapan anggaran Kementerian Agama sampai akhir bulan Agustus adalah 40,9 persen dari sejumlah anggaran sebanyak 61,3 trilyun. Serapan ini tentu tergolong sudah di atas rata-rata nasional yang baru mencapai 34 persen. Dalam rentang waktu yang tersisa, aparat  Kementerian Agama harus bekerja keras agar target pencapaian dalam Renstra Kementerian Agama dapat dicapai.

Di dalam setiap kesempatan selalu saya sampaikan bahwa jika terdapat kesulitan dalam implementasi SAIBA agar segera melakukan koordinasi dan konsultasi dengan KPN setempat, sehingga akan didapatkan solusi yang tepat sesuai dengan permasalahan yang dihadapi. Dirjen Perbendaharaan sudah menginstruksikan agar mereka selalu siap untuk membantu jika terjadi permasalahan di daerah.

Kita semua yakin bahwa melalui kerja sama yang baik di antara para pemangku kepentingan, maka berbagai kerumitan akan bisa diselesaikan. Jika hidup itu adalah rangkaian masalah, maka Allah sudah memberikan kepada kita kemampuan untuk saling berbagi untuk menyelesaikannya.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (4)

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (4)

Saya masih akan melanjutkan pembahasan mengenai tantangan Kementerian Agama. Keempat, tantangan penyelenggaraan haji yang makin baik. Rasanya di Kementerian Agama ini,  haji merupakan tema  yang paling menarik minat untuk dibicarakan. Pernah saya menyatakan bahwa apapun kegiatan Kementerian Agama, maka hajilah beritanya.

Pelayanan haji memang selalu menuai persoalan. Kita sungguh tidak menduga, bahwa problem pelayanan haji yang paling mutakhir (2015) adalah mengenai visa yang selama ini nyaris tidak terdengar. Problem pastilah ada, sebab urusan visa itu tidak hanya urusan dalam negeri,  akan tetapi melibatkan pemerintah negara lain, Arab Saudi. Jadi  pastilah ada satu dua persoalan visa yang kurang memuaskan penyelesaiannya. Pasti ada yang tercecer dari sejumlah 211.000 orang calon jamaah haji, jika tidak terkena potongan quota, atau 268.800 orang jika terkena pemotongan kuota calon jamaah haji. Dengan logika apapun rasanya tidak mungkin semuanya mulus tanpa hambatan.

Hanya saja memang tahun ini, 2015, terasa sangat fantastis karena jumlah yang belum selesai sampai masa pemberangkatan kloter pertama masih cukup besar. Kira-kira 4  persen. Tidak seperti tahun lalu yang relative lancar, maka tahun ini memang menyisakan persoalan yang lumayan mendasar. Apalagi yang bermasalah adalah visa sebagai persyaratan untuk keberangkatan calon jamaah haji.

Tetapi rasanya, terasa sangat berlebihan komentar-komentar yang disampaikan oleh para pengamat dan pemerhati masalah haji ini. Bahkan ada yang berkomentar haji tahun ini mengalami kegagalan. Saya tidak tahu apa ada penyebab tertentu sehingga komentar tersebut seakan-akan menggambarkan betapa bobroknya penyelenggaraan haji oleh Kementerian Agama.

Saya ingin memberikan penjelasan sebagai orang yang ikut serta terlibat di dalam penyusunan kebijakan mengenai haji. Ada banyak variabel yang terkait dengan penyelenggaraan haji, misalnya transportasi haji dari Indonesia ke tanah suci, pelayanan PPIH, Pelayanan Petugas kloter, pelayanan kesehatan jamaah haji, transportasi Armina, Katering, Pemondokan, pelayanan panitia ibadah haji dalam negeri, pelayanan panitia ibadah haji luar negeri,  dan sejumlah variabel lain. Jika kita cermati maka persoalan visa adalah sebagian masalah saja dalam pelayanan jamaah haji dalam negeri. Oleh karena itu  justifikasi keterlambatan visa sebagai kegagalan penyelenggaraan haji adalah sesuatu yang berlebihan.

Tentu bukanlah keinginan saya untuk membela terhadap persoalan yang dianggap ruwet tadi, akan tetapi marilah kita berpikir proporsional tentang penyelenggaraan haji ini sehingga akan menghasilkan justifikasi yang memadai dan tepat. Harus diakui bahwa memang ada keterlambatan penyelesaian visa haji, akan tetapi janganlah hal itu lantas dinilai sebagai kegagalan Kementerian Agama dalam penyelenggaraan haji.

Memang harus diakui bahwa sudah sangat santer adanya gagasan untuk menceraikan penyelenggaraan haji dari Kementerian Agama dan kemudian dibentuk suatu badan khusus yang akan menyelenggarakan ibadah haji. Gagasan ini pernah mencuat beberapa tahun yang lalu, dan sekarang sedang memperoleh momentumnya.

Penyelenggaraan haji oleh Kementerian   Agama sebenarnya berdasarkan atas Undang-Undang No 13 Tahun 2008, yang mengamanatkan bahwa penyelenggaraan haji dilakukan oleh negara dan dilaksanakan oleh Kementerian Agama. Dalam konteks ini maka keberadaan penyelenggaraan ibadah haji tentu sesuai dengan regulasi yang mengamanahkannya.

Di tengah keinginan untuk memisahkan penyelenggaraan haji dimaksud, maka upaya yang dilakukan tentunya adalah dengan merevisi terhadap UU No 13 Tahun 2008 dengan menganulir beberapa pasal dan ayat yang dianggap tidak relevan dan menambahkannya dengan pasal dan ayat yang diperlukan.

Kita tentu belum bisa memprediksi terhadap babak final dari semua persoalan yang menghimpit penyelenggaraan haji dan dengan berbagai kepentingan yang terdapat di dalamnya. Akan tetapi kita tentu bisa mencandra bahwa ke depan akan terdapat perdebatan yang cukup “menegangkan” antara yang Pro Pemerintah (baca: Kementerian Agama) sebagai Penyelenggara haji dan yang Pro pada Badan Khusus Penyelenggara Haji.

Membikin Badan apapun namanya tentulah mudah, apalagi jika sudah ada Undang-Undang yang mengamanahkan. Akan tetapi menyiapkan SDM yang andal sampai ke desa-desa tentu bukan perkara gampang. Merumuskan konsep di atas kertas juga tidaklah sulit, akan tetapi merumuskan kebijakan yang terkait dengan penyelenggaraan haji yang tidak hanya urusan dalam negeri, akan tetapi juga luar negeri tentu bukan hal sederhana.  Di dalam hal ini membutuhkan negosiasi yang panjang dan berbelit-belit.

Saya rasa sudah banyak contoh tentang penyelenggaraan umrah yang bermasalah, sudah banyak juga kegagalan penyelenggaraan haji karena penyelenggaraannya adalah pihak swasta. Bagi saya, yang penting adalah siapapun penyelenggaranya yang penting bukan didesain oleh orang yang hanya mementingkan bisnis dan untung saja, akan tetapi karena pengabdiannya pada Allah semata.

Wallahu a’lam bi alshawab.

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (3)

MEMAHAMI TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (3)

Sebagaimana yang saya jelaskan kemarin, maka sekarang saya juga akan memberikan penjelasan mengenai tantangan Kementerian Agama yang saya kira cukup mendasar, terutama dalam kerangka reformasi birokrasi, yaitu transparansi dan akuntabilitas. Ketiga, tantangan menciptakan Zona Integritas (ZI) menuju Wilayah Bebas Korupsi (WBK) dan Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM).

Di antara yang sangat mendasar di dalam dunia Birokrasi dan bahkan sempat menggoyahkan kepercayaan masyarakat adalah mengenai rendahnya integritas. Bahkan nyaris merontokkan fondasi pelayanan masyarakat di masa lalu. Di era Orde Baru, birokrasi digambarkan sebagai wilayah pelayanan masyarakat yang sangat korup. Saking jeleknya image tersebut, maka tidak ada lagi rasanya orang yang percaya terhadap para Aparat Sipil Negara (ASN). Sungguh merupakan kenyataan yang ironis.

Semenjak digulirkan reformasi birokrasi, maka pemerintah sudah berusaha secara maksimal untuk membenahi pelayanan masyarakat oleh lembaga pemerintah ini. Namun demikian, kenyataannya bahwa lembaga-lembaga pemerintah ini belum memadai di dalam mencegah praktik terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Masih sangat banyak tindakan koruptif yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Bahkan ada sebuah proposisi yang menyatakan bahwa birokrasi kita sebenarnya makin efektif dan efisien, akan tetapi tindakan koruptif juga makin menggejala. Seharusnya secara konseptual bahwa semakin efektif dan efisien birokrasi, maka seharusnya tindakan koruptif makin kecil. Jadi kelihatannya ada yang sangat paradoks.

Di era reformasi birokrasi ini, justru makin banyak pejabat yang berurusan dengan aparat hukum, apakah tindakan tersebut disengaja atau karena ketidaktahuan. Modus dan caranya juga makin variatif sesuai dengan kepentingannya. Dan bahkan yang menyedihkan adalah satu lembaga pemerintah sesungguhnya mulai membaik,  akan tetapi terkadang harus berurusan dengan lembaga pemerintah lain yang masih tetap berpola lama. Jadi, perubahan mindset anti KKN belumlah menjadi milik semua aparat negara.

Kementerian Agama sebanarnya termasuk instansi pemerintah yang mula-mula menandatangai ZI dalam rangka menciptakan WBK dan WBBM. Makanya, secara organisasional maupun individual, ASN Kementerian Agama tentu terkait dengan upaya untuk membersihkan instansinya sendiri dalam kerangka membangun good governance dan clean government. Semua ini dilakukan dalam kerangka untuk kembali menciptakan rasa percaya dan trust masyarakat terhadap Kementerian Agama.

Untuk kepentingan ini, maka Kementerian Agama sudah merumuskan berbagai regulasi terkait dengan mencegah terjadinya KKN. Misalnya, PMA tentang Pencegahan Gratifikasi, Laporan Harta Kekayaan Aparat Sipil Negara, PMA tentang Whistle  Blowing  System, PMA tentang Benturan Kepentingan dan sebagainya. Selain itu juga telah melakukan sosialisasi atas semua regulasi dimaksud. Dan yang tidak kalah penting adalah upaya untuk membuat Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dan juga Training of Trainers (TOT) Tunas Integritas.

Semua upaya ini dilakukan untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap Kementerian Agama di dalam pelayanannya yang berupaya untuk memuaskan pelanggannya.

Kita juga bersyukur bahwa Menteri Agama, Pak Lukman Hakim Saifuddin, yang juga tidak henti-hentinya mengumandangkan keinginannya untuk memperbaiki Kementerian Agama. Sebagai menteri yang rajin sambang ke berbagai media baik cetak maupun elektronik, beliau selalu mengedepankan keinginannya untuk menjdikan kementerian Agama sebagai institusi pemerintah yang mengedepankan integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan.

Lima nilai inilah yang sangat diyakininya untuk mendongkrak kembali semangat pelayanan aparatnya, agar ke depan Kementerian Agama akan menjadi leading dalam pelayanan berbasis kepuasan customernya. Kita semua tentu mendukung terhadap upaya-upaya seperti ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

MEMBACA TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA (2)

Sebagaimana tulisan kemarin, maka hari ini saya akan menguraikan kembali tentang tantangan Kementerian Agama. Kedua, tantangan kinerja aparat Kementerian Agama. Jika kita menggunakan ukuran kinerja aparat Kementerian Agama, yaitu Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), maka kita belumlah mencapai target memuaskan. Sebab LAKIP kita masih memiliki nilai CC dan itu sudah berlangsung selama empat tahun berturut-turut. Tahun lalu saya kira LAKIP Kementerian Agama sudah B tetapi ternyata belum.

Itulah sebabnya pada akhir-akhir ini kita sering melakukan pertemuan formal dengan Kementerian PAN & RB dalam rangka untuk mencermati mengapa LAKIP Kementerian Agama masih berstatus seperti itu. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh Tim Kemenpan & RB., maka di antara yang masih memerlukan penyempurnaan adalah mengenai keterkaitan antara RPJMN, Renstra, Program dan kegiatan yang dilakukan oleh Kementerian Agama. Masih ada kesenjangan  di antara hal-hal tersebut.

Kementerian Agama memiliki banyak program sebagaimana tupoksi kementerian ini. Program tersebut seharusnya dikaitkan dengan visi dan misi Kementerian Agama. Visi Kementerian Agama meliputi: Meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan beragama, Meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama, Meningkatkan Kualitas pendidikan agama dan keagamaan, Meningkatkan kualitas penyelenggaraan ibadah haji dan umrah, dan meningkatkan kualitas manajemen dan tata kelola.

Oleh karena semua aparat Kementerian Agama harus mewujudkan program-program tersebut dalam kegiatan-kegiatan di lapangan. Hanya  sayangnya bahwa kebanyakan program Kementerian Agama adalah untuk memperkuat Rencana Kerja Pemerintah (RKP), sehingga program-program Rencana Kerja Kementerian hanya memperoleh porsi anggaran yang sangat sedikit. Selain kendala ini tentu adalah belanja pegawai yang angkanya cukup besar, sebab mengambil porsi lebih dari 50 persen. Karena itu, maka sebagian besar anggaran kita adalah untuk RKP dan pemenuhan gaji dan tunjangan kinerja pegawai. Itulah sebabnya visi Kementerian Agama dalam banyak hal tidaklah memperoleh dukungan anggaran. Jika mengambil contoh untuk anggaran pendidikan di Kementerian Agama, maka dapat diketahui bahwa yang paling banyak adalah untuk mendukung RKP wajar pendidikan 12 tahun dalam segala aspeknya.

Sisi lain yang perlu untuk ditingkatkan adalah tentang kinerja aparat Kementerian Agama. Dengan tunjangan kinerja sebesar 40 persen, maka sebenarnya yang menjadi focus kinerja adalah pada dimensi kehadiran atau presensi. Makanya ke depan harus ditingkatkan kualitas aparat melalui penilaian kinerja yang sebenarnya. Yaitu dengan melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap SKP, Pakta Integritas, dan performance kinerjanya sendiri. Jika mengacu pada banyaknya jam kerja ASN di Indonesia, sebenarnya kalah jauh dibanding Jepang dan Korea Selatan. Jepang dengan 48 jam per pekan, sedangkan Korea Selatan 52 jam perminggu. Sedangkan ASN di Indonesia hanya 37,5 jam perminggu. Oleh karena itu,  tingkat produktivitas kerja kita juga sangat jauh dibanding dengan dua negara tersebut. Reformasi birokrasi hakikatnya adalah upaya untuk peningkatan performance kinerja ASN agar tujuan birokrasi yaitu untuk memberikan pelayanan yang memuaskan bagi masyarakat akan dapat dicapai.

Reformasi birokrasi sesungguhnya  merupakan  upaya untuk mengubah mindset ASN yang bercorak business as usual. Melalui program reformasi birokrasi yang salah satunya adalah  pemberian tunjangan kinerja, pada hakikatnya adalah sebuah solusi bagi ASN agar kinerjanya meningkat.

Di antara indicator keberhasilan reformasi birokrasi adalah jika performance anggaran dan kinerja makin berkorelasi. Misalnya, dengan kenaikan belanja pegawai yang terkait dengan pembayaran tunjangan kinerja, maka tampilan kinerja ASN juga makin baik.  Dengan demikian, para ASN diharapkan mengubah mindsetnya agar berkinerja baik dan terus meningkat,

Birokrasi Kementerian Agama harus makin efektif dan efisien. Untuk kepentingan membangun efektivitas dan efisiensi birokrasi maka ukuran yang sangat realistis adalah melalui pemenuhan terhadap Standart Operation Procedure (SOP) dan Standart Pelayanan Minimal (SPM). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa pemenuhan SOP dan SPM bisa dipenuhi oleh ASN Kementerian Agama. Jika makin tinggi pemenuhan SOP dan SPM oleh ASN Kementerian Agama, maka semakin berkualitas kinerjanya dan akan berakibat pada kepuasan masyarakat terhadap pelayanan ASN Kementerian Agama.

Wallahu a’lam bi alshawab.