VISA HAJI DAN TANTANGAN KE DEPAN (1)
VISA HAJI DAN TANTANGAN KE DEPAN (1)
Pelaksanaan haji tahun 2015 ternyata masih juga bermasalah. Memang rasanya belum dikaruniakan kemulusan penyelenggaraan haji di Indonesia meskipun pengalaman menyelenggarakan haji tersebut telah dilakukan bertahun-tahun. Saya menyebut sebagai “belum dikaruniakan” sebab upaya untuk membenahi pelaksanaan haji sudah dilakukan secara maksimal. Sebagai bagian dari Kementerian Agama tentu tidak ada lain –sebagaimana Pak Menteri Agama—saya juga menyatakan: mohon maaf atas ketidaknyamanan di dalam pengurusan visa sehingga banyak jamaah haji kita yang belum bisa berangkat pada waktunya.
Sebagaimana wawancara saya dengan Dr. Saleh Pertaonan Daulay (Ketua Komisi 8 DPR RI) di iNews TV, bahwa bertahun-tahun penyelenggaraan haji hampir tidak pernah terjadi masalah dalam pengurusan visa, sehingga kita juga tidak berasumsi bahwa akan ada masalah terkait dengan visa ini. Dalam tahun-tahun terakhir, konsentrasi pembenahan penyelenggaraan haji berada pada persoalan: catering, transportasi dan akomodasi di Tanah Suci. Ketiga aspek ini yang memang sering ber masalah di dalam penyelenggaraan haji.
Tahun lalu, misalnya masih terdapat kelemahan di dalam pemondokan yaitu dengan ditempatkannya sejumlah jamaah haji Indonesia di luar markaziah. Dan sebagai akibatnya, maka pemerintah Indonesia menuntut ganti rugi terhadap pengelola pemondokan di Tanah suci, sehingga setiap jamaah haji yang ditempatkan di luar Markaziah memperoleh ganti rugi sebesar 300 real. Upaya ini dilakukan dalam kerangka memberikan pelayanan yang maksimal kepada para jamaah. Demikian pula terhadap catering dan transportasi.
Makanya, seluruh konsentrasi Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Ditjen PHU) juga berkisar pada pembenahan di tiga aspek tersebut. Seluruh konsentrasi ditujukan untuk perbaikan tiga hal ini. Direktur Jenderal PHU, Prof. Abdul Jamil dan jajarannya, maupun Inspektur Jenderal Kementerian Agama, Dr, M. Yasin dan jajarannya berada dalam upaya membenahinya. Pembenahan yang dilakukan saya kira telah menghasilkan produk kerja yang sangat baik, yaitu dengan adanya peningkatan kualitas pemondokan yang seperti Hotel bintang 3 dan 4, penggantian karpet di Mina dan Arafah, layanan transportasi Bus Shalawat yang beroperasi selama 24 jam nonstop dan juga tambahan makanan siang hari selama di Makkah. Semua ini dilakukan di dalam kerangka perbaikan layanan bagi jamaah haji.
Ketika harapan kita membubung tinggi bahwa layanan jamaah haji tahun ini akan menjadi lebih baik, maka kemudian terdapat masalah “visa” yang kemudian menjadi masalah nasional. Persoalan visa juga menjadi headline berbagai media baik TV, koran maupun radio. Bahkan juga menjadi trending topic di media social: twitter, facebook, instragram dan sebagainya. Semua berkomentar meskipun tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi.
Sebagaimana pembicaraan saya di iNews TV, bahwa yang menjadi persoalan dalam pengurusan visa adalah perubahan ke dalam system E-Hajj yang secara nasional dilakukan serentak tahun ini. Perubahan ini belum diantisipasi secara memadai, sehingga program pendataan untuk memadukan antara system electronik Siskohat yang dimiliki oleh Kementerian Agama dengan system E-Hajj yang dimiliki oleh Kementerian Haji Kerajaan Saudi Arabia belumlah secara utuh match. System E-Hajj tentu sangat rinci datanya, mulai dari nama, kloter bahkan sampai tempat pemondokan harus tersedia datanya dengan benar. Jika ada yang salah koma, atau titik bahkan satu huruf saja, maka system tersebut secara otomatis akan menolak terhadap masukan data untuk proses visa.
Oleh karena itu saya sampaikan bahwa ada tiga kendala mengapa terjadi proses pengurusan visa yang terlambat tersebut. Pertama, persoalan waktu atau jarak antara pelunasan tahap akhir (10 Agustus 2015) dengan pemberangkatan Kloter awal sangatlah dekat. Hanya 11 hari saja. Sementara itu sesuai dengan hasil qur’ah (undian) mengenai kloter dan pemondokannya sudah ditentukan sebelumnya, sehingga bisa terjadi yang bersangkutan masuk dalam kloter awal tetapi proses visanya belum selesai. Makanya kemudian terjadi kekosongan seat atau penundaan pemberangkatan Jemaah haji.
Kedua, integrasi antara system E-Hajj dengan Siskohat yang belum sepenuhnya memadai dan berhasil. Sebagaimana system baru tentu harus terjadi proses penyesuaian agar system tersebut dapat berjalan sebagaimana ekspektasinya. Seharusnya system informasi justru akan memberikan kemudahan di dalam proses pelaksanaan pekerjaan, namun jika persiapan pendataannya tidak memadai dan tidak link and match, maka tentu akan menyebabkan terjadinya penolakan terhadap input data yang dilakukan.
Ketiga, pendataan yang akurat. Sebagaimana system informasi yang lain, maka E-Hajj tentu juga membutuhkan akurasi data yang prima. Oleh karena itu, maka validitas data akan sangat menentukan terhadap kemudahan dalam prosesing visa. Pemaduan dua system informasi, E-Hajj dengan Siskohat tentu membutuhkan waktu yang memadai sehingga jika terjadi error akan dapat dideteksi lebih dini.
Ke depan, tiga hambatan ini harus dipetakan secara lebih memadai sehingga keterlambatan pengurusan visa tidak akan terjadi lagi. Saya yakin bahwa tim Ditjen PHU dan bahkan Tim E-Hajj tentu sudah belajar banyak dari peristiwa ini, sehingga masalah ini akan tidak terulang lagi.
Wallahu a’lam bi al shawab.