PERAYAAN KEMERDEKAAN DITENGAH TANTANGAN BANGSA (4)
PERAYAAN KEMERDEKAAN DITENGAH TANTANGAN BANGSA (4)
Satu hal yang masih menyisakan persoalan terkait dengan tantangan bangsa adalah tentang kerukunan interen umat beragama. Yang masih menyisakan masalah adalah tentang relasi antara Jemaat Ahmadiyah dengan masyarakat Islam di sekelilingnya. Kita tentu masih teringat bagaimana terjadi kerusuhan social terkait dengan Jemaat Ahmadiyah ini di Jawa Tengah dan juga Jawa Barat. Banyak rumah Jemaah Ahmadiyah yang rusak dan bahkan terdapat korban jiwa. Semua tentu masih ingat di dalam benak masing-masing Jemaah Ahmadiyah yang menjadi korban dari kekerasan social ini.
Di dalam teori social terdapat konsep yang disebut sebagai siklus kekerasan, yaitu suatu pengalaman traumatic dan menjadi archetype yang tidak mudah dilupakan. Dan biasanya akan dialami oleh mereka yang mengalami kekerasan social yang mengakibatkan terjadinya kehancuran fisikal dan bahkan jiwa. Saya berkeyakinan bahwa peristiwa kerusuhan atau peperangan akan selalu menghasilkan pengalaman-pengalaman yang tidak mengenakkan ini. Trauma kekerasan akan terus hidup dalam jangka waktu yang lama dan akan membayangi kehidupan yang bersangkutan.
Saya meyakini bahwa memang ada masalah yang terkait dengan keberadaan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia. Ada kalangan yang tidak memahami bahwa ada dua aliran Jemaah Ahmadiyah yang berkembang di Indonesia dan memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Jemaah Ahmadiyah Qadian yang menganggap secara ideologis bahwa ada Nabi lain (Mirza Ghulam Ahmad) setelah Nabi Muhammad, saw dengan segala konsekuensinya, dan sementara Jemaah Lahore beranggapan bahwa Nabi Penutup adalah Nabi Muhammad saw, sedangkan Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid, sebagaimana mujaddid lain di dalam konteks pemahaman umat Islam pada umumnya. Pengakuan adanya Nabi Lain setelah Muhammad saw inilah yang dianggap sebagai penyimpangan terhadap ajaran Islam, sehingga Jemaah Ahmadiyah Qadian lalu dianggap sebagai aliran sesat.
Persoalan inilah yang memicu berbagai aktivitas untuk menolak keberadaan Jemaah Ahmadiyah di berbagai wilayah, khususnya di Jawa barat. Tentu saja dalam konteks ajaran Islam yang “murni” bahwa kebaradaan Nabi Muhammad saw sebagai Nabi Akhiriz zaman adalah ketentuan teologis yang tidak bisa diganggu gugat. Jika ada sekelompok manusia yang menyatakan sebaliknya maka hal itu dianggap sebagai kesesatan. Ahmadiyah Qadian yang meyakini berbeda terhadap ajaran Islam mainstream ini tentu saja dianggap sebagai bukan Islam atau ajaran yang sesat.
Masyarakat Indonesia –kebanyakan—tidak bisa membedakan antara mana yang Jemaah Ahmadiyah Lahore dan mana yang Jemaah Ahmadiyah Qadian. Semua dianggap bahwa Ahmadiyah adalah ajaran yang sesat tanpa melihat bahwa ada faksi atau penggolongan yang berbeda di dalam aliran Ahmadiyah sendiri. Disebabkan oleh kenyataan ini, maka semua disamaratakan sebagai aliran yang sesat tersebut.
Pemerintah sesungguhnya sudah membuat kesepakatan dengan pimpinan Jemaah Ahmadiyah ini, baik yang Lahore maupun yang Qadian, dalam bentuk kesepakatan untuk membangun kehidupan beragama yang damai dan tidak ada penistaan atau penyelewengan ajaran Islam. Jika mereka mengakui sebagai pemeluk Islam, maka dipersyaratkan agar kembali kepada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir –la nabiyya ba’dahu—dan serangkaian ajaran-ajaran pokok Islam lainnya. Hanya saja bahwa kesepakatan ini belumlah dilakukan oleh Jemaah Ahmadiyah hingga sekarang, sehingga sering terjadi tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan di dalam kerangka membangun kehidupan agama yang damai dan aman.
Oleh sebagian pemganut Islam “puris” atau Islam “hard line” bahwa penyelewengan ajaran seperti itu adalah kesalahan fatal dan harus diluruskan dengan “pemaksaan” atau bahkan “kekerasan”. Makanya, sering kali mereka menjadi incaran dan subyek kekerasan social bernuansa agama. Seandainya mereka mematuhi terhadap kesepakatan untuk meyakini sebagaimana keyakinan umat Islam lainnya, maka tentunya mereka akan berada di dalam nuansa “keamanan”. Keberadaan mereka yang tetap dalam keyakinan semula itulah yang menyebabkan mereka sering menerima perlakuan yang bercorak kekerasan.
Memang harus dipahami bahwa perubahan keyakinan bukanlah seperti membalik tangan. Keyakinan merupakan inti kehidupan, sehingga menjadi amat sulit untuk mengubah keyakinan seseorang ke dalam system keyakinan lain yang berbeda. Bagitu pula mengubah keyakinan Jemaah Ahmadiyah di Jawa Barat ini. Ibaratnya bukan seperti gunung es yang bisa meleleh karena factor waktu dan cuaca, akan tetapi seperti gunung batu yang tidak lekang oleh panas dan tidak lapuk oleh hujan. Makanya, perubahan keyakinan ini juga tampak sangat lambat dan nyaris tidak bergerak.
Disebabkan oleh keyakinan ini, maka tampaknya bahwa kemerdekaan Indonesia yang sudah mencapai angka 70 tahun lalu tidak memiliki makna apa-apa. Sama denga hari kemarin dan juga bahkan hari-hari yang akan datang. Bagi mereka, mungkin Negara dianggapnya tidak hadir. Bagi mereka dianggapnya bahwa Negara absen untuk memberikan perlindungan.
Tugas pemerintah –Kementerian Agama—memang menfasilitasi terhadap terciptanya peluang untuk rukun. Dan kenyataannya bahwa fasilitasi tersebut sudah dilakukan dalam bentuk terbitnya kesepakatan antara Jemaah Ahmadiyah, Pemerintah dan majelis-majelis agama di Indonesia. Maka berikutnya yang harus dilakukan adalah bagaimana mengimplementasikan kesepakatan tersebut di dalam hal-hal yang kongkrit. Jika hal ini tidak dilakukan, maka pastilah bahwa akan terus terjadi siklus kekerasan sebagaimana yang terlihat secara empiris. Jadi, rasanya memang masih butuh waktu untuk menyelesaikan persoalan ini.
Wallahu a’lam bi al shawab.