VISA HAJI DAN TANTANGAN KEARIFAN KITA (3)
VISA HAJI DAN TANTANGAN KEARIFAN KITA (3)
Semua yang terlibat di dalam pengurusan haji tentu merasa terhenyak dengan pemberitaan besar-besaran dari media mengenai isu gagal berangkat haji karena keterlambatan penyelesaian visa calon jamaah haji. Karena peluberan berita tersebut, maka rasanya dunia ini berputar lebih cepat. Pusing Tujuh keliling, kata orang-orang di sekeliling kita.
Memang harus diakui bahwa penyelenggaraan haji memang selalu memiliki persoalan, baik yang besar maupun yang kecil. Dan anehnya semua memang menyoroti “masalah” tersebut sebagai bahan pemberitaan yang sangat seksi dan mencengangkan. Bahkan begitu dahsyatnya pemberitaan visa haji, maka seolah-oleh bisa mengalihkan pandangan masyarakat di seputar kenaikan nilai dolar Amerika Serikat yang sudah mencapai tahap “mengkhawatirkan”. Nilai tukar dolar US dengan mata uang rupiah sudah sampai batas “psikhologis” ketakutan.
Hampir seluruh media memburu sumber berita tentang “kegagalan berangkat” yang diintrodusir oleh media. Saya yang biasanya tidak ikut terlibat di dalam proyek berita tentang visa haji pun harus terlibat menjadi corong Kementerian Agama di dalam memperkuat argumen bahwa yang terjadi hanyalah keterlambatan berangkat dan bukan kegagalan berangkat haji.
Munculnya “kegaduhan” mengenai visa haji tentu lalu banyak dikaitkan dengan peran Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji. Bahkan yang lebih serius menyatakan bahwa Kementerian Agama tidak layak sebagai penyelenggara haji Indonesia. Mereka membandingkan dengan penyelenggaraan Haji Malaysia oleh Badan khusus, Tabung Haji, yang konon katanya sangat baik, sangat istimewa dan luar biasa. Mereka selalu membandingkan dengan penyelenggaraan haji Malaysaia yang sesungguhnya hanya memberangkatkan sebanyak 23.000 jemaah haji. Artinya itu hanya kira-kira 13 % saja dari jumlah jamaah haji Indnonesia yang mencapai angka 168.800. bahkan jika sudah tidak ada lagi pemotongan jumlah jamaah haji karena renovasi masjid Haram di Mekkah, maka jumlah Jemaah haji kita mencapai angka 211.000 jemaah haji.
Jemaah haji kita adalah yang terbesar di dunia. Mereka adalah jemaah haji dengan varian pengetahuan, pendidikan, keahlian di bidang agama, usia, suku, kultur dan tradisi yang sangat tinggi. Ada yang buta huruf dan ada sebagian kecil yang sangat terpelajar. Bahkan juga mayoritas mereka belum pernah ke kota selain kotanya atau daerahnya sendiri. Kepergian ke Mekkah dan Madinah adalah kepergian pertama di dalam hidupnya dengan pesawat terbang. Makanya, banyak di antara mereka yang tidak memahami bagaimana caranya untuk bepergian dengan pesawat terbang. Ada yang menahan ke toilet sampai berjam-berjam karena tidak memahami bagaimana menggunakan toilet. Meskipun sudah diajari dengan maksimal mengenai tata cara hidup di dalam pesawat , akan tetapi karena kebanyakan di antara mereka adalah buta huruf, maka jadilah kenyataan-kenyataan yang seperti itu.
Memang penyelenggaraan ibadah haji adalah hal yang sangat unik. Di Indonesia, kebanyakan Jemaah haji adalah orang tua dengan usia dalam kisaran 70-an sampai 80-an. Bisa dibayangkan seseorang dengan usaia seperti itu, maka tentunya lalu ada banyak di antara mereka yang beresiko tinggi dalam perjalanan ibadah haji. Tanpa bermaksud mengesampingkan bahwa ada di antara mereka yang tetap prima kesehatannya, akan tetapi tentu secara empiris juga banyak di antara mereka yang kesulitan di dalam menjalankan ibadah hajinya.
Selain hal ini tentu juga ada hal yang sangat urgen untuk dipahami bahwa menyelenggarakan ibadah haji bukan hanya domain Kementerian Agama akan tetapi juga domain pemerintah Arab Saudi. Itulah sebabnya bahwa penyelenggaraan ibadah haji merupakan ibadah lintas batas kewilayahan yang tentu saja juga harus menggunakan regulasi-regulasi yang harus dipahami oleh kedua belah pihak. Contoh di dalam penyelesaian visa calon Jemaah haji, maka kedua pemerintahan haruslah memiliki kesepahaman akan bagaimana implikasi penggunaan system baru E-Hajj. Manakala kemudian terjadi ketidaksinkronan data antara Siskohat dengan E-Hajj, maka pastilah akan terjadi penundaan penyelesaian visa dimaksud.
Oleh karena itu, tanpa bermaksud mengurangi hak bicara siapapun, maka sebaiknya kita memahami bahwa penyelesaian visa haji mestilah dilakukan dengan pandangan-pandangan yang lebih arif. Jangan sampai maksud kita baik, yaitu mengingatkan agar pelaksanaan haji makin baik, akan tetapi yang terjadi justru kotraproduktif. Jangan sampai Kedutaan Besar Arab Saudi merasa dipojokkan karena keterlambatan penyelesaian visa ini. Dan saya kira Kementerian Agama juga sudah berusaha maksimal agar visa bisa lebih cepat diselesaikan, misalnya dengan menambah aparat kementerian untuk menyelesaikan hal ini.
Bahkan kunjungan Menteri Agama RI ke Kedutaan Besar Arab Saudi beberapa hari yang lalu (26/08/2015) juga mengindikasikan agar penyelesaian visa bisa dilakukan dengan cepat dan melupakan berbagai komentar dan pandangan yang seakan-akan menyalahkan semuanya. Sebagai bagian dari keinginan untuk melihat penyelenggaraan haji yang lebih baik, maka memang haruslah dipahami bahwa semuanya sudah berkerja keras agar pelaksanaan ibadah haji makin solid dan baik.
Di dalam konteks ini, maka kiranya juga harus disampaikan ucapan terima kasih atas semua kritik dan saran yang diberikan oleh semuanya kepada Kementerian Agama yang memang memperoleh mandate Negara sebagai penyelenggara ibadah haji. Semuanya tentu berhendak agar pelaksanaan ibadah haji semakin baik.
Wallahu a’lam bi al shawab.