• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MAKNA HARI RAYA KURBAN

Hari Raya Kurban kali ini  ternyata juga tidak bisa dilakukan secara bersamaan. Pemerintah menentukan hari Raya Kurban jatuh pada hari Ahad, 05/10/2014, sementara Muhammadiyah menentukan Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari Sabtu, 04/10/2014.  Memang sedari semula sudah ada gambaran bahwa hari raya Idul Adha 1435 Hijriyah ini akan berpotensi berbeda.

Pemerintah bersama dengan MABIMS sudah menentukan penentuan tanggal 1 Ramadlan, tanggal 1 Syawal dan tanggal 1 Dzulhijah dengan menggunakan konsep imkanur rukyah, yaitu kala Hilal dengan ketinggian 2 derajat, sementera Muhammadiyah menggunakan konsep wujudul hilal, tidak memperhitungkan apakah hilal bisa atau tidak bisa dirukyat. Selama sudah ada perhitungan posisi hilal lebih dari nol derajat, maka berarti awal bulan sudah diketahui dan ditetapkan.

Namun demikian, masyarakat kita sungguh sudah sangat dewasa di dalam memandang perbedaan untuk melakukan ibadah ini. Makanya, bagi mereka yang merayakan Hari Raya Idul Adha pada hari Sabtu, maka mereka shalat Id pada waktunya dan yang merayakan Hari Raya id hari Ahad juga merayakannya pada saat tersebut. Masyarakat Indonesia sudah benar-benar memahami bahwa perbedaan bukan segala-galanya untuk bertentangan atau saling menyalahkan, akan tetapi perbedaan tersebut hanyalah bagian dari cara pandang dan pendekatan yang berbeda saja.

Sesungguhnya yang sangat penting adalah memahami makna yang terkandung di dalam Idul Adha itu sendiri. Bagi saya, bahwa ada hal penting terkait dengan hari Raya Idul Kurban. Pertama, adalah penjelasan lambang  ketauhidan. Ibadah Haji atau terkait dengan Idul Kurban, sesungguhnya adalah memberikan gambaran secara utuh tentang bagaimana manusia harus mempertahankan akidahnya dan juga memelihara akidahnya. Islam begitu tegas di dalam menjelaskan tentang teologi atau ajaran tentang ketuhanan.

Kurban yang dilambangkan oleh perilaku Ibrahim As., terhadap anaknya, Ismail As., adalah bagaimana agar manusia tidak sekalipun menyekutukan keyakinan dan kecintaannya kepada selain Allah. Manusia harus total tunduk dan patuh serta beribadah hanya kepada Allah semata. Kecintaan terhadap dunia dan isinya tidak boleh mengalahkan kecintaan manusia kepada Allah swt. Islam jelas mengajarkan kalimat tauhid “La ilaha illallah” atau “tidak ada Tuhan selain Allah.” Makanya di dalam doa yang dilantunkan oleh Jamaah Haji adalah “labbaik Allahumma labbaik, labbaika la syarikalaka labbaik”, innal hamda wan ni’mata laka wal mulk la syarikalaka”. Jadi “sesungguhnya semua puja dan puji dan kenikmatan serta kekuasaan hanya milik Allah dan tidak ada kemusyrikan padanya”.

Hakikat semua peribadahan dan kepatuhan kepada Allah adalah totalitas. Allah sebagai pemilik dan penguasa terhadap seluruh jagat raya, makro dan mikro kosmos, adalah Tuhan yang maha Esa, yang monotheis, yang dengan dirinya sendiri segala sesuatu terselenggara, diciptakan, dipelihara  atau dimusnahkan. Segalanya adalah milik Allah seru sekalian alam. Kala Ibrahim As., memberikan cintanya kepada putranya, Ismail As., maka Allah swt., mengingatkannya agar kecintaan dan kepasrahan total hanya miliki Allah swt., dan bukan milik ciptaannya. Melalui peristiwa kurban inilah maka terjadi peneguhan Nabi Ibrahim As., sebagai Bapak Monoteisme yang sebenar-benarnya. Ibrahim As., adalah peletak Millah Ibrahim yang hanif.

Kedua, hari Raya Idul Kurban yang berbarengan dengan perjalanan haji adalah lambang dari kesamaan manusia di hadapan Allah swt. Cobalah kita bayangkan sebanyak lima juta manusia dalam pakaian yang sama, pakaian ihram, berada di satu titik Padang Arafah. Semuanya memuja dan memuji Allah swt dengan suara keras atau lirih dengan lesan atau  hati di mana mereka berdzikir, berdoa dan melantunkan kalimat thayyibah agar mereka memperoleh keridlaan Allah di dalam kehidupannya.

Tidak ada sesuatu pun status yang melekat pada dirinya. Tidak ada raja atau presiden, tidak ada pejabat atau rakyat, tidak ada professor atau rektor, tidak ada dosen atau mahasiswa, tidak ada kyai atau santri, semuanya berada dalam posisi yang sama di hadapan Allah. Tidak ada etnis yang menonjol. Etnis Cina, Eropa, Amerika, Arab, Afrika atau Australia, tidak ada Ras Monggoloid, Kaukasoid, Negroid atau lainnya. Yang ada hanya satu, sebagai Hamba Allah saja. Inilah hakikat manusia di hadapan Allah.

Melalui ibadah haji, sesungguhnya manusia diajarkan agar selalu berada di dalam kesamaan dengan lainnya. Jangan sampai karena jabatan, pangkat atau derajat yang dibedakan oleh Allah lalu manusia merasa lebih unggul dari lainnya. Tidak ada manusia yang paling hebat karena pendidikan atau jabatannya, sebab yang paling hebat adalah ketaqwaannya saja. Firman Allah: “inna akramakum ‘indallah atqakum”. Jadi yang membedakan manusia satu dengan lainnya, hanyalah taqwanya kepada Allah swt.

Ketiga, lambang kebersamaan dalam berkurban. Melalui ibadah kurban, manusia juga diajarkan agar saling merasakan kebersamaan. Antara satu dengan lainnya dijalin oleh konsep dan praksis ukhuwah insaniyah atau persaudaraan berbasis pada kemanusiaan. Manusia agar selalu menjaga relasi sosialnya dengan baik. Di dalam sebah hadits Nabi Muhammad saw., barang siapa yang ingin disayangi yang di atas, maka harus menyayangi yang di bawah”, artinya kalau manusia ingin disayangi oleh Allah swt., maka manusia juga harus menyayangi manusia lainnya.

Sebagai agama yang mengedepankan rahmat bagi seluruh alam, maka sudah sepantasnya jika manusia pemeluk agama ini juga menjadikan kerahmatan tersebut sebagai pedoman di dalam kehidupannya. Jangan sampai pedomannya mengajarkan kerahmatan, akan tetapi manusianya mengedepankan kejahatan. Janganlah kita menjadikan diri kita sebagai anti kerahmatan Tuhan bagi seluruh alam.

Sebagai khalifah di muka bumi, maka manusia sudah diberi seperangkat ajaran yang sangat lengkap tentang bagaimana seharusnya manusia bertingkah laku. Ajaran itu adalah yang terkompilasi di dalam ajaran akhlakul karimah atau akhlak yang mulia. Di antara yang mendasar adalah bagaimana Islam mengajarkan tentang bagaimana membangun relasi yang baik kepada Tuhan, relasi yang baik kepada sesama manusia dan relasi yang baik dengan alam seluruhnya.

Jadi, tradisi kurban sebenarnya adalah ajaran agar manusia selalu berada di dalam kehidupan yang didasari oleh Ketuhanan, kemanusiaan dan juga membangun kebersamaan. Jika manusia bisa berada di dalam tiga koridor ini, maka dunia akan berada di dalam kerahmatan dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

Categories: Opini