• December 2024
    M T W T F S S
    « Nov    
     1
    2345678
    9101112131415
    16171819202122
    23242526272829
    3031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

AKHIRNYA RUU-JPH PUN DISAHKAN (2)

Merumuskan undang-undang memang harus dengan kecermatan yang tinggi. Untunglah saya dibantu oleh tim hukum Kementerian Agama, yang dipimpin oleh Prof. Dr. Ahmad Gunaryo, lalu Pak Widodo dari Kementerian Perindustrian dan juga Pak Roesdiyanto dari Kementerian PAN&RB, serta Bu Pocut dari Kementerian Hukum dan HAM. Demikan juga Pak Panggah dari Kementerian Pertanian. Semua tentu dengan timnya masing-masing.

Sebenarnya, di pihak pemerintah juga belumlah satu kesatuan pendapat. Di antara yang alot dibicarakan adalah tentang pelaku usaha dan produknya serta sifat pengaturan yang masih terjadi tarik ulur. Di antara pemerintah masih berbeda pendapat tentang apakah sifat pengaturan tersebut wajib atau mandatory atau sukarela atau voluntary.

Kementerian Perindustrian dan Perdagangan lebih sependapat dengan sifat  pengaturan yang bercorak sukarela. Alasannya adalah faktor pelaksanaan program sertifikasi halal yang membutuhkan waktu lama dan juga jumlah produk yang sulit dideteksi secara pasti keberadaannya dan bahan-bahannya. Jika jumlah pengusaha besar dan menengah bisa dideteksi dengan jelas, maka yang sulit adalah tethadap pengusaha UKM dengan jumlahnya  mencapai jutaan.

Dengan memberikan status wajib, maka akan terjadi kesulitan yang sangat tinggi terkait dengan implementasi undang-undang ini. Namun demikian, akhirnya kedua kementerian ini juga menerima bahwa sifat pengaturan wajib bukanlah serta merta akan terjadi. Tetap saja bahwa akan terjadi proses pentahapan di dalam implementasi sertifikasi halalnya.

Anggota Komisi VIII DPR RI, misalnya Pak Raehan, Pak Amran dan Kyai Khumaidi adalah beberapa di antara anggota Komisi VIII DPR RI yang sangat keras dengan pendapatnya bahwa sifat pengaturan JPH adalah wajib. Bagi mereka,   para pengusaha wajib menjamin bahwa produknya harus halal jika memang diperuntukkan bagi masyarakat Islam.

Perdebatan inilah yang membutuhkan waktu yang sangat panjang, sebab antar panja pemerintah juga masih bersilang pendapat. Terutama Kementerian Perdagangan dan Perindustrian yang merasa keberatan dengan sifat wajib tersebut. Baginya bahwa sifat pengaturan JPH adalah voluntary. Makanya, Menteri Perdagangan juga berkirim surat kepada Menteri Agama agar pemerintah bertahan dengan sifat voluntary itu.

Sementara Panja Komisi VIII DPR RI sampai pada kesimpulan bahwa wajib tersebut diterapkan kepada pengusaha besar dan menengah, sedangkan untuk pengusaha kecil menjadi kewajiban pemerintah untuk mengadakannya. Perdebatan ini berkisar pada perlakuan undang-undang yang berbeda antara pengusaha yang satu dengan lainnya.  Akhirnya, ditemukan bahwa kewajiban JPH adalah pada produknya, sehingga perdebatan pengusaha besar, kecil dan UKM tidaklah mengedepan.

Secara perlahan tetapi pasti, akhirnya panja pemerintah mengubah keputusannya bahwa wajib sertifikat produk hendaknya dilakukan secara bertahap setelah semua persyaratan untuk pemberlakuan wajib tersebut terpenuhi. Akhirnya ditentukan waktu lima tahun untuk menyiapkan insfrastruktur, auditor, penyelia, Badan, peraturan yang dibutuhkan dan sosialisasi. Setelah lima tahun tersebut, maka pemberlakuan secara efektif terhadap JPH akan bisa dilakukan. Kesepakatan inilah yang diambil oleh Panja Pemerintah dan Panja Komisi VIII DPR RI.

Ternyata kesepakatan ini pun belum bulat. Di akhir perumusan oleh Timmus, wakil dari Kementerian Perdagangan masih mempertanyakan tentang status wajib setelah lima tahun perjalanan undang-undang ini. Akan tetapi akhirnya kesepakatan bisa diambil melalui penjelasan dan kesepahaman.

Kerikil kecil di dalam Raker dengan Menteri Agama dan lainnya, juga masih ada. Masih ada  sedikit perbedaan tentang sifat pengaturan dalam pandangan mini fraksi. Meskipun akhirnya semua setuju untuk melanjutkan pembahasan pada tingkat II atau Paripurna DPR RI. Kita semua tentu bersyukur bahwa akhirnya DPR RI secara bulat menyetujui agar RUU-JPH bisa dijadikan sebagai UU-JPH.

Melalui penjelasan dan komunikasi yang harmonis, maka perbedaan pun bisa disatukan dan ternyata begitulah memang adanya. Dengan demikian, meskipun ada perbedaan tentang implemetasi undang-undang ini, namun endingnya  semua sepakat bahwa undang-undang ini penting untuk menjamin kepastian hokum.

Wallahu a’lam bi al shawab.

Categories: Opini
Jual Nastar at 11:32 on 11 December 2017

Wow, this article is good, my sikster is analyzing
these things, so I am going to let know her.

Nur Syam at 13:18 on 26 October 2018

thanks for your comment.