• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

KOMODIFIKASI PERJALANAN IBADAH UMRAH

KOMODIFIKASI PERJALANAN IBADAH UMRAH

Suatu fenomena yang menarik untuk dicermati belakangan ini adalah makin banyaknya orang yang beribadah umrah. Kalau kita sedang berada di berbagai Bandara Udara, maka fenomena yang kita lihat adalah banyaknya orang yang akan pergi umrah.

Sekali waktu jika kita berada di Bandara Internasional Juanda atau Soekarno Hatta, maka akan dijumpai ratusan jamaah yang sedang menunggu boarding di bandara tersebut. Mereka beratribut sesuai dengan  Biro Travel perjalanan Umrah dan Haji. Semua berada dalam satu tujuan melaksanakan ibadah umrah yang diyakininya sangat penting. Ibadah umrah telah menjadi ibadah yang sangat diminati oleh umat Islam.

Untuk melaksanakan umrah, mau tidak mau mereka harus mendaftarkan diri di Biro perjalanan Umrah dan Haji. Makanya, semua atribut yang terkait dengan perjalanan Umrah juga menjadi tanggungjawab biro travel tersebut. Mulai dari paspor, visa, vaksin, hotel, pesawat terbang, dan berbagai asesori perjalanan umrah menjadi hak dari biro travel untuk membelajakannya.

Di dalam perjalanan umrah atau haji sepertinya pantang seseorang menawar atau bahkan menolak apa yang menjadi kewajiban yang disampaikan oleh  Biro Travelnya. Makanya, berapapun harga yang ditawarkan oleh Biro Travel pasti akan dibayarnya. Bayangkan untuk vaksin yang seharusnya hanya Rp. 300.000,- bisa saja Biro Travel menentukan dua atau tiga kali lipat. Semua pasti dibayar sesuai dengan apa yang ditentukan oleh biro perjalanan umrahnya. Demikian pula biaya pengurusan paspor, visa dan sebagainya. Prinsipnya, semua dijawab “ya dibayar”. Tanpa  ada sedikitpun penolakan. Dan hal itu dianggap sebagai “keikhlasan”.

Itulah sebabnya ada yang menyatakan bahwa ibadah haji dan umrah sudah menjadi komodifikasi. Yaitu ibadah yang dikomersialkan sebagai komoditas lainnya. Bagi para pelaku atau penyelenggara perjalanan ibadah haji atau umrah, maka para jamaah haji atau umrah ibaratnya adalah sasaran bisnis yang menjanjikan. Penyelenggara perjalanan ibadah haji atau umrah yang saya maksud adalah biro Travel Haji dan Umrah yang menyelenggarakan perjalanan ibadah haji dan umrah.

Fenomena ini terjadi di tengah semakin lamanya masa tunggu haji, yang kisarannya antara delapan sampai 20 tahun. Semakin membludaknya orang yang antri pergi haji, maka akan menyebabkan semakin lamanya masa tunggu tersebut. Makanya, banyak orang yang mengalihkan keinginannya untuk pergi haji dengan pergi umrah.

Terkait dengan semakin banyaknya orang yang berminat umrah, maka juga bermunculan berbagai Biro Travel Perjalanan Haji dan Umrah dan juga merebaknya KBIH yang jumlahnya makin lama makin banyak. Di mana-mana lalu muncul KBIH dan Biro Travel yang akan mengurus perjalanan haji dan umrah.

Sayangnya bahwa keberadaan mereka itu memiliki dua sisi yang saling berbeda secara distingtif. Ada yang memang memberikan pelayanan memadai terhadap para tamu Allah, yaitu para jamaah umrah dan ada pula yang sebaliknya justru tidak memberikan pelayanan yang memadai bagi para jamaah umrah. Ada banyak masalah yang terjadi terkait dengan pelayanan umrah ini.

Animo masyarakat yang demikian tinggi menyebabkan biro travel dan juga KBIH berlomba-lomba untuk menarik minat bagi calon jamaah umrah ini. Sayangnya bahwa ada sebagian di antara mereka yang menyalahgunakan kepercayaan umat ini. Ada di antara mereka yang menelantarkan jamaah haji di negara lain, sampai yang tidak bisa berangkat karena ditipu. Bahkan juga ada kyai atau tokoh agama yang harus berurusan dengan kepolisian karena perilaku orang lain yang tidak bertanggungjawab itu. Ada kyai atau ulama yang posisi sebenarnya sebagai perantara,  akan tetapi akhirnya mereka yang harus berurusan dengan aparat hukum. Itulah sebabnya Direktur Jenderal PHU sudah mencanangkan “Program Lima Pasti Umrah”, yaitu pasti biro travelnya, pasti visanya, pasti pesawatnya, pasti hotelnya, pasti berangkatnya.

Oleh karena itu, penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah  yang diamanahkan kepada Kementerian Agama saya kira sudahlah tepat. Tentu sudah ada berbagai pengalaman yang menjadikan pandangan seperti ini memiliki rasionalitasnya. Kementerian Agama tentu tidak memiliki kepentingan ekonomi terhadap perjalanan ibadah haji. Tidak ada konflik of interest terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Saya kira tidak ada pertanyaan, “Anda dari golongan mana?, Anda madzabnya apa?,  Anda mau apa saja di sana? Dan sederet pertanyaan lain, yang mengesankan ada benturan kepentingan.

Melalui Kementerian Agama sebagai penyelenggara ibadah haji dan Umrah, maka komodifikasi ibadah tersebut tidak terjadi, sebab prinsip pemerintah justru memberikan pelayanan yang maksimal. Jika masih ada yang kurang tentu menjadi bahan evaluasi bagi semuanya. Bayangkan tidak ada sebuah peristiwa apapun di dunia ini yang melibatkan sedemikian banyak pengawasan. Ada Inspektorat Jenderal (irjen), ada Badan Pemeriksa Keuangan Pembangunan (BPKP), Badan Pemeriksa  Keuangan (BPK), Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), aparat hukum lainnya dan juga LSM. Bayangkan kalau yang menyelenggarakan ibadah haji ini adalah swasta, apakah pengawasan akan berlangsung seperti itu.

Dengan demikian, yang diperlukan sekarang adalah bagaimana agar pelaksanaan Umrah akan dapat dilakukan dengan pelayanan yang optimal. Itulah sebabnya Kementerian Agama sudah mengancangkan menambah Direktorat Pelayanan Umrah, sehingga pelayanan umrah akan dapat diketahui, dikontrol dan dilayani secara lebih maksimal. Melalui direktorat ini, diharapkan tidak terjadi lagi penelantaran jamaah umrah, gagal berangkat umrah dan juga tipu menipu dalam penyelenggaraan umrah.

Masyarakat harus dilindungi dalam penyelenggaraan umrah. Dan hal itu menandakan bahwa negara hadir dan tidak absen di dalam penyelenggaraan umrah. Saya kira masih ada jalan terbaik untuk menyelenggarakan umrah yang jauh dari komodifikasi dimaksud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

DIPERLUKAN PIMPINAN PTKIN YANG PRO KEWIRAUSAHAAN

DIPERLUKAN PIMPINAN PTKIN YANG PRO KEWIRAUSAHAAN

Saya mengapresiasi terhadap kegiatan meeting para Wakil Rektor II, Kabiro PTKIN, Kabag Perencanaan dan Kabag Keuangan PTKIN serta jajaran Biro Keuangan Kementerian Agama RI. Acara yang diselenggarakan pada Hari Selasa (15/09/2015) merupakan acara penting untuk melihat lebih lanjut apa yang dilakukan oleh PTKIN yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU).

Acara ini dianggap penting dalam kaitannya dengan upaya untuk mendinamisasi peran lebih PTKIN yang menerapkan PK-BLU, terutama dalam peningkatan pendapatan atau Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan juga bagaimana mendayagunakan pendapatan tersebut untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan dan juga kesejahteraan para pengelola lembaga pendidikan tersebut.

Di dalam kesempatan ini,  saya kemukakan ada tiga  tantangan yang harus dijawab oleh PTKIN PK-BLU. Yaitu: pertama, tantangan kemudahan dalam penggunaan anggaran. Mungkin suatu hal yang aneh bahwa kemudahan justru menjadi tantangan. Memang kemudahan diberikan kepada lembaga pemerintah yang menerapkan PK-BLU di dalam rangka penggunaan anggarannya, dengan sistem out-in. Kebanyakan pimpinan perguruan tinggi lalu hanya berpikir kemudahan pengeluaran anggaran tanpa harus memasukkannya terlebih dahulu ke Kas Negara. Hanya kemudahan ini saja yang dijadikan sebagai alasan kenapa harus berubah dari Satker Biasa ke Satker BLU. Padahal, sesungguhnya yang diinginkan oleh sistem PK-BLU tidak hanya kemudahan pengelolaan PNBP saja,  akan tetapi juga bagaimana mendrive pengembangan pendapatannya.

Kedua, tantangan peningkatan anggaran PNBP. Beberapa Perguruan Tinggi Umum (PTU), seperti UGM, ITB, UI, IPB, UA dan lainnya tentu dapat memperoleh manfaat yang cukup besar terkait dengan pendapatan dari berbagai usaha perguruan tingginya. Mereka kebanyakan memang memiliki varian-varian usaha yang terkait dengan program pendidikannya. Melalui program riset yang menghasilkan paten, maka merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan generate incomenya.

Secara empiris, PTKIN di Kementerian Agama belum bisa memanfaatkan kemudahan mendapatkan tambahan PNBP dari PK-BLU. Sepertinya masih berada dalam taraf “yang penting bisa mudah membelajakan” hasil PNBP tanpa terlebih dahulu masuk ke Kas Negara. Padahal sesungguhnya dengan penerapan PK-BLU, maka PTKIN diharuskan untuk melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan kewirausahaan kampus. Semua potensi kampus yang yang bisa dikerjasamakan untuk kepentingan membangun potensi bisnis haruslah dioptimalkan.

Secara umum, baru ada dua PTKIN yang pendapatan PNBP-nya meningkat pasca menjadi satker BLU. Yaitu UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. UIN Jakarta sudah memiliki hotel universitas, Rumah sakit dan usaha-usaha lainnya. Sementara itu, UIN Yogyakarta juga memiliki University INN dan juga unit usaha lainnya. Yang semestinya memiliki potensi amal usaha yang kuat juga UIN Surabaya. Sudah ada fasilitas hotel, dan beberapa usaha lainnya. Akan tetapi hingg sekarang belum menunjukkan kemajuan anggaran dari sektor PNBP terkait dengan anggarannya. Hotel GreenSA belum bisa dimanfaatkan sebab masih digunakan untuk ruang perkuliahan, sebab banyak ruang yang dirobohkan karena pembangunan IDB, sementara pembangunan ruang baru belum selesai.  Jadi memang dibutuhkan mental businessman untuk menjadi pimpinan PK-BLU. Dengan demikian, Rektor dan Wakil Rektor II, seharusnya adalah orang yang secara akademis sangat luar biasa, akan tetapi jiwa entrepreuner, sehingga akan memandang lembaganya dapat memerankan fungsi yang baik. Untuk PK-BLU dibutuhkan inovasi yang mantap di bidang kewirausahaan ini. Tentu  saja bukan dengan menjual SPP mahal, akan tetapi dengan memantapkan peran para dosen yang “gila” dunia akademis dan juga memandang dengan mata terbuka bahwa peningkatan pendapatan lembaga juga mendasar.

Ada beberapa dimensi pendidikan yang bisa “dijual”, misalnya reputasi akademik, reputasi penelitian, reputasi pengabdian masyarakat, sarana prasarana pendidikan (laboratorium, perpustakaan, hall, hotel, dan sebagainya). Di dalam konteks inilah,  maka dibutuhkan pimpinan PTKIN yang memiliki “mata hati” kewirausahaan. Mereka tidak hanya memiliki reputasi akademik, akan tetapi juga reputasi enterprener. Itulah sebabnya ke depan harus dipikirkan perubahan mindset pimpinan pendidikan yang responsive terhadap perubahan dunia pendidikan yang makin bercorak kewirausahaan.

Ketiga, tantangan peningkatan kesejahteraan. Salah satu tujuan diterbitkannya regulasi tentang PK-BLU adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai di PTKIN. Ketika para pimpinan PTKIN menandatangani kesepakatan untuk menjadi satker BLU, maka dipundaknya terbentang tantangan untuk meningkatkan PNBP dan kemudian didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Tidak ada alasan bagi PTKIN untuk tidak memenuhi tantangan ini. Menjadi PK-BLU artinya berkomitmen untuk mensejahterakan pegawainya.

Kita bersyukur bahwa sekarang sudah ada beberapa PTKIN yang berkomitmen untuk melakukan remunerasi. Di antara yang sudah remunerasi adalah UIN Jakarta, dan kemudian menyusul UIN Surabaya, UIN Jogyakarta, UIN Sumatera Utara, dan beberapa IAIN Lainnya. Meskipun lambat bahwa kesadaran untuk melakukan remunerasi sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pimpinan PTKIN.

Oleh karena itu, yang sesungguhnya diperlukan adalah bagaimana meningkatkan PNBP PTKIN dan kemudian akan dapat dijadikan sebagai instrument untuk menyejahterakan warganya. Kesejahteraan pegawai PTKIN akan menjadi faktor pengungkit terhadap peningkatan kinerjanya dan kemudian dapat dipastikan akan mendongkrak terhadap peningkatan kualitas pendidikan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

TAFSIR SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (2)

TAFSIR  SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (2)

Tragedi kemanusiaan dalam  ibadah haji bukan  sekali ini saja terjadi. Berdasarkan catatan Republika (13/09/2015) ternyata memang terjadi beberapa kali. misalnya, 200 jamaah haji wafat ketika sebuah pipa gas meledak di tenda (1975). Lalu 153 jamaah wafat ketika tentara Perancis membebaskan Masjidil Haram yang disandera sekelompk militan (1979). Juga sebanyak 402 jamaah haji wafat kebanyakan dari Iran yang melakukan demonstrasi (1987).

Kemudian,  sebanyak  270 jamaah haji wafat karena terinjak-injak  saat melempar jumrah di Mina (1994).  juga sebanyak 340 jamaah haji wafat karenma kebakaran tenda di Mina (1997).  Lalu sebanyak 180 jamaah haji wafat akibat berdesak-desakan di jumrah Mina (1998). Kemudian sebanyak 35 jamaah haji wafat pada hari terakhir pelaksanaan haji (2001). Kemudian sebanyak  244 jamaah haji wafat pada hari terakhir pelaksanaan haji. Dan  yang sangat fenomenal karena sebanyak 1426 jamaah haji yang meninggal karena terinjak-injak lainnya di terowongan (1990).

Saya tentu yakin, bahwa musibah yang terjadi di Masjidil Haram bukanlah siksaan sebab tidak ada korelasi antara apa yang dilakukan oleh para jamaah haji dengan siksaan Allah tersebut. Maka penafsiran yang tepat adalah sebagai cobaan bagi umat Islam. Musibah dalam makna siksa hanya akan diberikan terhadap perilaku manusia yang memiliki korelasi dengan musibah tersebut.

Namun demikian, ternyata juga terdapat pertanyaan yang seringkali dikaitkan dengan adanya musibah. Pertanyaan inilah yang tentu saja membutuhkan jawaban yang lebih mendasar dan memerlukan kejernihan hati untuk meresponnya.  Dengan demikian,  setiap peristiwa yang terjadi lalu ada keterkaitannya dengan fenomena alami yang dilakukan atau dirasakan oleh umat manusia.

Lalu, bagaimana menjawab terhadap pertanyaan spiritual di atas? Jawabannya adalah pemahaman terhadap apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada umat Islam dewasa ini. Harus dipahami bahwa Negara-Negara Teluk sekarang ini sedang dilanda oleh konflik berkepanjangan. Semenjak Arab Spring tahun lalu, maka keadaan politik di Timur Tengah menjadi tercabik-cabik. Iraq, Syria, Yaman, Mesir, Libanon, dan beberapa Negara lainnya berada di dalam nuansa konflik politik yang tidak kunjung selesai. Perpecahan dalam faksi-faksi di berbagai Negara Timur Tengah juga makin runyam. Islamic State of Iraq and Syria, juga mengacaubalaukan pemerintahan di sana. Pertentangan antara yang menyatakan Sunni dengan Syiah juga tidak ada kata berhenti.

Sungguh kita melihat panggung sejarah umat Islam yang bercerai berai. Meskipun ada sebagian yang menyatakan di sana itu perang agama atau jihad, akan tetapi saya beranggapan bahwa yang terjadi adalah fenomena perebutan kekuasaan. Jadi bukan perang agama sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh sekelompok pendukung ISIS. Sungguh ini merupakan konflik politik yang diberi baju agama. Agama dijadikan sebagai “penguat” untuk menempatkan konflik agar menjadi lebih keras.

Peperangan di Iraq yang menghasilkan terbunuhnya Saddam Hussein rasanya baru saja terjadi. Kemudian negeri ini tercabik-cabik dalam perang saudara yang melibatkan banyak faksi di dalamnya. Mereka dalam kemelut, apalagi setelah hadirnya kelompok ISIS yang menggaungkan “jihad Islam” meskipun sebenarnya adalah “jihad kekuasaan”. Lalu belum selesai juga persoalan yang menghimpit Syria, Mesir, dan juga krisis politik yang membelit beberapa Negara timur Tengah ini. Bahkan kemudian juga merebak ke Yaman, dan sekitarnya. Semua ini adalah tindakan-tindakan manusia yang “berjihad” dalam konteks kekuasaan, meskipun seringkali dikaitkan dengan “agama”.

Makanya, Negara-negara di Timur Tengah ini lalu memperoleh penilaian rendah dalam kaitannya dengan Global Peace Index (GPI). Coba kita lihat, misalnya Yordania (71), Oman (74), Tunisia (76), Yaman (147), Israel (148), Lybia (149), Mesir (137), Iran (138), Iraq (161), Syria (162), Sudan (156). Berdasarkan catatan Global Peace Index ini, maka dapat diketahui bahwa tingkat perdamaian di Negara-negara Timur Tengah tergolong rendah. Dengan bahasa lain, maka sebenarnya dapat dinyatakan bahwa tingkat keamanan Negara-negara di Timur Tengah juga rawan. Beberapa negara bahkan dinyatakan sebagai Risk Country.

Sungguh kita juga tidak tahu, apakah Allah memberikan cobaan dan memberikan gambaran serta peringatan agar umat Islam melihat kembali apa yang sesungguhnya terjadi. Mungkin Allah mengingatkan umat Islam agar merajut dan membangun kembali kebersamaan. Jika crane itu diibaratkan sebagai kekuatan eksternal, maka Allah memberikan gambaran agar umat Islam tidak lagi tercabik-cabik oleh kekuatan eksternal itu. Jika misalnya bahwa kekuatan umat Islam itu sesungguhnya hebat, lalu jangan sampai kekuatan di luar Islam membuat kekuatan Islam tersebut tereduksi sedemikian rupa.

Mungkin saja, penggambaran dan pengkorelasian atas  peristiwa tragedi crane dengan situasi politik di Timur Tengah juga kurang atau bahkan tidak relevan, akan tetapi  sesungguhnya bahwa setiap yang dijadikan Allah sebagai simbol pada peristiwa alam di dalam kehidupan masyarakat adalah peringatan kepada kita semuanya agar  melakukan introspeksi diri. Negara-negara Islam rasanya juga perlu introspeksi bahwa egoisme  atas nama apapun sebenarnya tidak menguntungkan kebersamaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

TAFSIR SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (1)

TAFSIR SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (1)

Sungguh merupakan sesuatu yang sangat tidak terduga bahwa crane  untuk merenovasi Masjidil Haram roboh. Kaum agamawan pastilah segera mengambil kesimpulan bahwa inilah takdir Yang Maha Kuasa yang tentu tidak bisa diundurkan atau dimajukan, dan juga tidak bisa dihindari atau digagalkan. Takdir adalah kata “terakhir” untuk menjelaskan berbagai hal yang tidak masuk akal dan seringkali terjadi di luar kemampuan akal manusia untuk menjawabnya. Takdir adalah ketentuan Tuhan yang harus terjadi kapanpun, dan tidak diketahui kapan hal itu akan terjadi.

Berbeda dengan sesuatu yang bukan takdir, maka biasanya bisa diprediksi atau dicandra berdasarkan atas data atau fakta yang terjadi sebelumnya. Akan  tetapi takdir memang berada di luar kuasa manusia untuk mengantisipasinya dan bahkan memprediksi kapan hal itu akan terjadi. Hanya yang bisa menjadi pertanyaan spiritual adalah mengapa peristiwa ini terjadi di saat “manusia” sedang beribadah kepada Allah di tempat yang sangat disucikan oleh mereka. Tentu hanya Allah saja yang bisa menjawabnya secara tepat.

Musibah seringkali dimaknai sebagai cobaan atau sebagai ujian atau bahkan sebagai siksaan. Musibah lalu dikaitkan dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan dilakukan oleh manusia. Tentu secara historis, melalui penggambaran Kitab Suci Al Qur’an, bahwa cobaan atau ujian selalu diberikan oleh Allah kepada hambanya yang beriman agar imannya semakin menjadi kuat. Jadi, memang ada bedanya dengan siksaan, yang di dalam teks-teks suci hanya diberikan kepada hamba Allah yang durhaka, mengingkari nikmat Allah dan bahkan menyekutukannya. Siksaan di dalam cerita kitab Suci Al Qur’an pernah diberikan kepada umat Nabi Nuh, umat Nabi Ya’kup, umat Nabi Ilyas dan sebagainya. Dengan demikian, tragedy Crane Masjidil Haram pastilah bukan siksaan akan tetapi adalah cobaan saja.

Secara rasional tentu bisa digambarkan bahwa crane yang digunakan untuk merenovasi Masjidil Haram tentu sudah sangat terukur kekuatannya. Sudah teruji.  Sebagai  sarana renovasi bangunan, crane tentu sudah teruji kualifikasi kekuatannya, sebab pastilah terjamin standart mutu kualitasnya. Alat ini juga sudah digunakan berbulan-bulan dengan kekuatan yang memadai. Jadi secara normative, bahwa alat ini sudah teruji.

Namun demikian, yang tidak teruji adalah kejadian hujan dan badai  saat itu dan ketidakcepatan mengambil keputusan untuk menurunkan crane di Masjidil Haram. Bukankah jumlah crane untuk renovasi masjidil haram sangat banyak. Jadi, tidak mungkin menurunkan secara serentak crane dimaksud. Itulah sebabnya keputusan untuk menurunkan crane juga tidak dilakukan oleh otoritas pembangunan Masjidil Haram.

Yang saya maksud adalah bahwa hujan dan badai yang terjadi sungguh bukanlah rekayasa manusia, demikian pula robohnya crane dimaksud. Hujan dan badai adalah rekayasa Allah swt yang memang sebagai penguasa segala sesuatu yang bercorak makro dan mikro kosmos. Tuhan yang mengadakannya dan Tuhan yang mengetahui betapa hujan dan badai tersebut  bisa menghancurkan sesuatu yang memang berkekuatan di bawahnya, seperti crane itu.

Peristiwa robohnya crane di Masjidil haram, sebagai akibat hujan dan badai yang terjadi pada pukul 17.10-18.05 WAS tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari takdir Allah atas makhluknya. Di dalam musibah ini terdapat 111 orang tewas, 10 di antaranya adalah  WNI yang sedang haji wafat dan ada 42 orang Jamaah haji Indonesia lainnya yang terluka. Tentu mereka yang terluka sudah memperoleh perawatan yang memadai dari pemerintah Arab Saudi. Dan yang meninggal tentu juga sudah dikuburkan sesuai dengan tradisi Islam.

Sebagaimana musibah-musibah yang lain, maka manusia tidak bisa melakukan antisipasi terhadap akan terjadinya musibah dimaksud. Katakanlah, misalnya otoritas Pemerintah tentu sudah memprediksi bahwa akan terjadi hujan dan badai yang akan mengguyur kota Mekkah dengan kekuatan angin yang tentu predictable. Makanya, pemerintah tentu sudah memiliki sejumlah data tentang apa yang akan terjadi dengan kekuatan hujan dan badai yang akan berlangsung. Sehingga tidak ada alasan bahwa perisitwa tumbangnya crane tersebut disebabkan oleh kelalaian pemerintah memberikan informasi tentang cuaca dan segala dampak ikutannya. Oleh karena itu, maka di sinilah takdir atau kepastian Tuhan tersebut  berlaku.

Memang sedikitnya ada peran manusia terkait dengan tragedy ini. Misalnya, mengapa ketika dikabarkan bahwa ada terjadi hujan lebat dan angina kencang pihak otoritas pembangunan Masjidil Haram tidak mempertimbangkan menurunkan crane yang digunakan untuk renovasi tersebut. Inilah sesungguhnya keterlibatan manusia di dalam tragedy ini. Jadi, sebenarnya juga terdapat peran manusia yang tidak sigap membaca masalah atau memprediksi akan terjadi masalah ketika akan terjadi peristiwa alam dimaksud.

Dalam konteks inilah maka sesungguhnya terjadinya musibah merupakan urusan Tuhan dan manusia hanya sebagai obyek yang tidak menentukan. Jadi, kalau kemudian terjadi musibah, maka yang pantas diucapkan adalah inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Semua akan kembali kepada Allah, karena semuanya adalah milik Allah. Man proposes God disposes.

Wallahu a’lam bi alshawab.

FESTIVAL PESANTREN UNTUK LAUNCHING HARI SANTRI

FESTIVAL PESANTREN UNTUK LAUNCHING HARI SANTRI

Membicarakan pesantren, saya kira tidak ada habisnya. Memang ada keunikan pesantren sebagai lembaga pendidikan. Di antara keunikannya adalah pesantren memiliki kontinuitas yang sangat memadai sebagai lembaga untuk mempertahankan dan mengembangkan ilmu keislaman semenjak dahulu hingga sekarang. Melalui cirinya seperti itu, maka sesungguhnya kita tidak khawatir bahwa pengembangan ilmu keislaman akan hilang dari persada Nusantara ini di masa depan.

Kemarin, 14/09/2015, Kementerian Agama menyelenggarakan pertemuan untuk membahas mengenai penyelenggaraan Festival Pesantren dalam kaitannya dengan momentum sejarah penetapan Hari Santri yang diperkirakan akan dilaunching oleh Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Pertemuan ini dianggap penting sebagai wahana untuk memastikan bahwa keinginan untuk menjadikan momentum Hari Santri sebagai ikon pesantren untuk Indonesia akan bisa dilakukan.

Ada beberapa hal yang saya sampaikan terkait dengan Festival Pesantren ini. Pertama, kita ingin pesantren menjadi ikon nasional dan sekaligus juga menjadi ikon internasional. Jika di Mesir ada Universitas Al Azhar yang menjadi perbincangan hampir semua orang yang datang di Mesir, maka kita ingin pesantren menjadi perbincangan juga dalam dunia internasional. Pesantren yang sudah memiliki peran historis dan sosiologis yang luar biasa tentu menjadi modal social untuk dikembangkan seperti itu.

Kita bisa menyaksikan, misalnya Festival Ramayana yang dipagelarkan lintas negara. Cerita Epos Ramayana ternyata tidak hanya menjadi milik Indonesia, akan tetapi juga menjadi milik Thailand, India, Malaysia dan juga beberapa Negara Asia lainnya. Di dalam pagelaran Ramayana antar Negara tersebut, lalu kita bisa memahami bagaimana persepsi negara-negara yang melakonkan epos tersebut. Unik dan menarik,  tentu.

Kita memang sudah memiliki banyak even terkait dengan pesantren, misalnya ada Kompetisi Qiraatil Kutub, Kompetisi Pospenas, Pesantren Expo dan sebagainya. Namun semua itu diselenggarakan dalam even nasional. Ke depan, saya kira perlu ada satu even internasional yang bisa dikaitkan dengan dunia pesantren, sehingga kita bisa mengetahui bahwa pengakuan akan peran pesantren juga makin besar.

Kedua, terkait dengan conten acara Festival. Saya berpikir bahwa yang namanya festival pastilah merupakan kegiatan yang semarak dan ramai dikunjungi orang atau melibatkan banyak orang. Jawaban yang kita terima dari forum ini adalah festival ini merupakan puncak dari serangkaian acara yang digelar dari dan untuk pesantren. Misalnya ada acara Gebyar Pesantren di Palu sebagai bagian tidak terpisahkan dari keterlibatan Kementerian Agama dalam program Sail Tomini, 2015, seminar, khalaqah, kompetisi penulisan pesantren, lomba karikatur, lomba penulisan scenario sinema pesantren dan sebagainya.

Berdasarkan kesepahaman, maka akan dihadirkan sebanyak 100.000 santri dan masyarakat yang akan menjadi saksi bagi launching Hari Santri. Menghadirkan orang dalam jumlah besar seperti itu tentu harus diimbangi dengan acara yang juga menarik. Sebagaimana yang diancangkan oleh Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren, Dr. Mohzen, bahwa akan hadir Penyanyi Opick dan Fatin serta Dwiki Darmawan. Kita tentu bersetuju bahwa meraka akan mewakili kelompok santri yang juga memiliki sensitivitas seni (music). Akan tetapi yang jelas memiliki nuansa religious yang tinggi dan akan memiliki gema yang hebat adalah jika dihadirkan juga, dzikiran ala Habib Syekh. Maka tajuk pentingnya adalah Dzikiran Pesantren untuk Bangsa.

Saya kira bangsa ini membutuhkan ruwatan. Yaitu serangkaian upacara agar segera terlepas dari berbagai masalah yang datang silih berganti. Maka dengan lantunan dzikir dari ratusan ribu orang tentu gaungnya akan sampai ke arasy, dan siapa tahu lalu Allah menurunkan cahaya penyelesaian untuk masalah bangsa ini. Dengan demikian, maka semua akan merasa memiliki terhadap acara ini, tidak hanya pesantren,  NU, Muhammadiyah dan organisasi lainnya, akan tetapi juga masyarakat Islam secara utuh.

Ketiga, image building. Salah satu yang penting terkait dengan implementasi program adalah untuk membangun image bahwa Kementerian Agama itu eksis. Pemberitaan melalui media tentu sangat penting. Makanya, menjalin kerjasama dengan berbagai media untuk memberitakan mengenai pesantren yang menjadi iconic program Kementerian Agama juga dirasa sangat diperlukan. Bagi saya, pemberitaan itu, apapun kontennya, adalah bagian dari upaya untuk menyatakan bahwa kita sesungguhnya eksis di dalam program pelayanan masyarakat. Kita memang tidak hanya bisa bekerja dalam kesunyian, tapa hingar bingar media. Dengan demikian keberadaan media bagi sebuah lembaga –apapun lembaganya—tentu menjadi bagian dari humasnya lembaga tersebut.

Di dalam konteks iniliah maka acara festival ini akan dilakukan di Gelora Bung Karno, di Jakarta, karena hingga sekarang kita masih berasumsi bahwa Jakarta adalah pusat berita, Jakarta adalah pusat aktivitas. Oleh karena itu, menjadikan Jakarta sebagai tempat untuk penyelenggaraan momentum launching Hari Santri tentu sangatlah tepat.

Kita semua tentu berharap bahwa menjadikan tanggal 22 Oktober sebagai hari santri tidak hanya sekedar symbol eksistensi pesantren, akan tetapi akan menjadikan peran pesantren makin moncer di masa depan.

Wallahu a’lam bi al shawab.