TAFSIR SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (1)
TAFSIR SPIRITUAL TRAGEDI CRANE DI MEKKAH (1)
Sungguh merupakan sesuatu yang sangat tidak terduga bahwa crane untuk merenovasi Masjidil Haram roboh. Kaum agamawan pastilah segera mengambil kesimpulan bahwa inilah takdir Yang Maha Kuasa yang tentu tidak bisa diundurkan atau dimajukan, dan juga tidak bisa dihindari atau digagalkan. Takdir adalah kata “terakhir” untuk menjelaskan berbagai hal yang tidak masuk akal dan seringkali terjadi di luar kemampuan akal manusia untuk menjawabnya. Takdir adalah ketentuan Tuhan yang harus terjadi kapanpun, dan tidak diketahui kapan hal itu akan terjadi.
Berbeda dengan sesuatu yang bukan takdir, maka biasanya bisa diprediksi atau dicandra berdasarkan atas data atau fakta yang terjadi sebelumnya. Akan tetapi takdir memang berada di luar kuasa manusia untuk mengantisipasinya dan bahkan memprediksi kapan hal itu akan terjadi. Hanya yang bisa menjadi pertanyaan spiritual adalah mengapa peristiwa ini terjadi di saat “manusia” sedang beribadah kepada Allah di tempat yang sangat disucikan oleh mereka. Tentu hanya Allah saja yang bisa menjawabnya secara tepat.
Musibah seringkali dimaknai sebagai cobaan atau sebagai ujian atau bahkan sebagai siksaan. Musibah lalu dikaitkan dengan apa yang sesungguhnya sedang terjadi dan dilakukan oleh manusia. Tentu secara historis, melalui penggambaran Kitab Suci Al Qur’an, bahwa cobaan atau ujian selalu diberikan oleh Allah kepada hambanya yang beriman agar imannya semakin menjadi kuat. Jadi, memang ada bedanya dengan siksaan, yang di dalam teks-teks suci hanya diberikan kepada hamba Allah yang durhaka, mengingkari nikmat Allah dan bahkan menyekutukannya. Siksaan di dalam cerita kitab Suci Al Qur’an pernah diberikan kepada umat Nabi Nuh, umat Nabi Ya’kup, umat Nabi Ilyas dan sebagainya. Dengan demikian, tragedy Crane Masjidil Haram pastilah bukan siksaan akan tetapi adalah cobaan saja.
Secara rasional tentu bisa digambarkan bahwa crane yang digunakan untuk merenovasi Masjidil Haram tentu sudah sangat terukur kekuatannya. Sudah teruji. Sebagai sarana renovasi bangunan, crane tentu sudah teruji kualifikasi kekuatannya, sebab pastilah terjamin standart mutu kualitasnya. Alat ini juga sudah digunakan berbulan-bulan dengan kekuatan yang memadai. Jadi secara normative, bahwa alat ini sudah teruji.
Namun demikian, yang tidak teruji adalah kejadian hujan dan badai saat itu dan ketidakcepatan mengambil keputusan untuk menurunkan crane di Masjidil Haram. Bukankah jumlah crane untuk renovasi masjidil haram sangat banyak. Jadi, tidak mungkin menurunkan secara serentak crane dimaksud. Itulah sebabnya keputusan untuk menurunkan crane juga tidak dilakukan oleh otoritas pembangunan Masjidil Haram.
Yang saya maksud adalah bahwa hujan dan badai yang terjadi sungguh bukanlah rekayasa manusia, demikian pula robohnya crane dimaksud. Hujan dan badai adalah rekayasa Allah swt yang memang sebagai penguasa segala sesuatu yang bercorak makro dan mikro kosmos. Tuhan yang mengadakannya dan Tuhan yang mengetahui betapa hujan dan badai tersebut bisa menghancurkan sesuatu yang memang berkekuatan di bawahnya, seperti crane itu.
Peristiwa robohnya crane di Masjidil haram, sebagai akibat hujan dan badai yang terjadi pada pukul 17.10-18.05 WAS tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari takdir Allah atas makhluknya. Di dalam musibah ini terdapat 111 orang tewas, 10 di antaranya adalah WNI yang sedang haji wafat dan ada 42 orang Jamaah haji Indonesia lainnya yang terluka. Tentu mereka yang terluka sudah memperoleh perawatan yang memadai dari pemerintah Arab Saudi. Dan yang meninggal tentu juga sudah dikuburkan sesuai dengan tradisi Islam.
Sebagaimana musibah-musibah yang lain, maka manusia tidak bisa melakukan antisipasi terhadap akan terjadinya musibah dimaksud. Katakanlah, misalnya otoritas Pemerintah tentu sudah memprediksi bahwa akan terjadi hujan dan badai yang akan mengguyur kota Mekkah dengan kekuatan angin yang tentu predictable. Makanya, pemerintah tentu sudah memiliki sejumlah data tentang apa yang akan terjadi dengan kekuatan hujan dan badai yang akan berlangsung. Sehingga tidak ada alasan bahwa perisitwa tumbangnya crane tersebut disebabkan oleh kelalaian pemerintah memberikan informasi tentang cuaca dan segala dampak ikutannya. Oleh karena itu, maka di sinilah takdir atau kepastian Tuhan tersebut berlaku.
Memang sedikitnya ada peran manusia terkait dengan tragedy ini. Misalnya, mengapa ketika dikabarkan bahwa ada terjadi hujan lebat dan angina kencang pihak otoritas pembangunan Masjidil Haram tidak mempertimbangkan menurunkan crane yang digunakan untuk renovasi tersebut. Inilah sesungguhnya keterlibatan manusia di dalam tragedy ini. Jadi, sebenarnya juga terdapat peran manusia yang tidak sigap membaca masalah atau memprediksi akan terjadi masalah ketika akan terjadi peristiwa alam dimaksud.
Dalam konteks inilah maka sesungguhnya terjadinya musibah merupakan urusan Tuhan dan manusia hanya sebagai obyek yang tidak menentukan. Jadi, kalau kemudian terjadi musibah, maka yang pantas diucapkan adalah inna lillahi wainna ilaihi raji’un. Semua akan kembali kepada Allah, karena semuanya adalah milik Allah. Man proposes God disposes.
Wallahu a’lam bi alshawab.