DIPERLUKAN PIMPINAN PTKIN YANG PRO KEWIRAUSAHAAN
DIPERLUKAN PIMPINAN PTKIN YANG PRO KEWIRAUSAHAAN
Saya mengapresiasi terhadap kegiatan meeting para Wakil Rektor II, Kabiro PTKIN, Kabag Perencanaan dan Kabag Keuangan PTKIN serta jajaran Biro Keuangan Kementerian Agama RI. Acara yang diselenggarakan pada Hari Selasa (15/09/2015) merupakan acara penting untuk melihat lebih lanjut apa yang dilakukan oleh PTKIN yang menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PK-BLU).
Acara ini dianggap penting dalam kaitannya dengan upaya untuk mendinamisasi peran lebih PTKIN yang menerapkan PK-BLU, terutama dalam peningkatan pendapatan atau Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan juga bagaimana mendayagunakan pendapatan tersebut untuk peningkatan kualitas lembaga pendidikan dan juga kesejahteraan para pengelola lembaga pendidikan tersebut.
Di dalam kesempatan ini, saya kemukakan ada tiga tantangan yang harus dijawab oleh PTKIN PK-BLU. Yaitu: pertama, tantangan kemudahan dalam penggunaan anggaran. Mungkin suatu hal yang aneh bahwa kemudahan justru menjadi tantangan. Memang kemudahan diberikan kepada lembaga pemerintah yang menerapkan PK-BLU di dalam rangka penggunaan anggarannya, dengan sistem out-in. Kebanyakan pimpinan perguruan tinggi lalu hanya berpikir kemudahan pengeluaran anggaran tanpa harus memasukkannya terlebih dahulu ke Kas Negara. Hanya kemudahan ini saja yang dijadikan sebagai alasan kenapa harus berubah dari Satker Biasa ke Satker BLU. Padahal, sesungguhnya yang diinginkan oleh sistem PK-BLU tidak hanya kemudahan pengelolaan PNBP saja, akan tetapi juga bagaimana mendrive pengembangan pendapatannya.
Kedua, tantangan peningkatan anggaran PNBP. Beberapa Perguruan Tinggi Umum (PTU), seperti UGM, ITB, UI, IPB, UA dan lainnya tentu dapat memperoleh manfaat yang cukup besar terkait dengan pendapatan dari berbagai usaha perguruan tingginya. Mereka kebanyakan memang memiliki varian-varian usaha yang terkait dengan program pendidikannya. Melalui program riset yang menghasilkan paten, maka merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan generate incomenya.
Secara empiris, PTKIN di Kementerian Agama belum bisa memanfaatkan kemudahan mendapatkan tambahan PNBP dari PK-BLU. Sepertinya masih berada dalam taraf “yang penting bisa mudah membelajakan” hasil PNBP tanpa terlebih dahulu masuk ke Kas Negara. Padahal sesungguhnya dengan penerapan PK-BLU, maka PTKIN diharuskan untuk melakukan berbagai langkah untuk mengembangkan kewirausahaan kampus. Semua potensi kampus yang yang bisa dikerjasamakan untuk kepentingan membangun potensi bisnis haruslah dioptimalkan.
Secara umum, baru ada dua PTKIN yang pendapatan PNBP-nya meningkat pasca menjadi satker BLU. Yaitu UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta dan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. UIN Jakarta sudah memiliki hotel universitas, Rumah sakit dan usaha-usaha lainnya. Sementara itu, UIN Yogyakarta juga memiliki University INN dan juga unit usaha lainnya. Yang semestinya memiliki potensi amal usaha yang kuat juga UIN Surabaya. Sudah ada fasilitas hotel, dan beberapa usaha lainnya. Akan tetapi hingg sekarang belum menunjukkan kemajuan anggaran dari sektor PNBP terkait dengan anggarannya. Hotel GreenSA belum bisa dimanfaatkan sebab masih digunakan untuk ruang perkuliahan, sebab banyak ruang yang dirobohkan karena pembangunan IDB, sementara pembangunan ruang baru belum selesai. Jadi memang dibutuhkan mental businessman untuk menjadi pimpinan PK-BLU. Dengan demikian, Rektor dan Wakil Rektor II, seharusnya adalah orang yang secara akademis sangat luar biasa, akan tetapi jiwa entrepreuner, sehingga akan memandang lembaganya dapat memerankan fungsi yang baik. Untuk PK-BLU dibutuhkan inovasi yang mantap di bidang kewirausahaan ini. Tentu saja bukan dengan menjual SPP mahal, akan tetapi dengan memantapkan peran para dosen yang “gila” dunia akademis dan juga memandang dengan mata terbuka bahwa peningkatan pendapatan lembaga juga mendasar.
Ada beberapa dimensi pendidikan yang bisa “dijual”, misalnya reputasi akademik, reputasi penelitian, reputasi pengabdian masyarakat, sarana prasarana pendidikan (laboratorium, perpustakaan, hall, hotel, dan sebagainya). Di dalam konteks inilah, maka dibutuhkan pimpinan PTKIN yang memiliki “mata hati” kewirausahaan. Mereka tidak hanya memiliki reputasi akademik, akan tetapi juga reputasi enterprener. Itulah sebabnya ke depan harus dipikirkan perubahan mindset pimpinan pendidikan yang responsive terhadap perubahan dunia pendidikan yang makin bercorak kewirausahaan.
Ketiga, tantangan peningkatan kesejahteraan. Salah satu tujuan diterbitkannya regulasi tentang PK-BLU adalah untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai di PTKIN. Ketika para pimpinan PTKIN menandatangani kesepakatan untuk menjadi satker BLU, maka dipundaknya terbentang tantangan untuk meningkatkan PNBP dan kemudian didayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya. Tidak ada alasan bagi PTKIN untuk tidak memenuhi tantangan ini. Menjadi PK-BLU artinya berkomitmen untuk mensejahterakan pegawainya.
Kita bersyukur bahwa sekarang sudah ada beberapa PTKIN yang berkomitmen untuk melakukan remunerasi. Di antara yang sudah remunerasi adalah UIN Jakarta, dan kemudian menyusul UIN Surabaya, UIN Jogyakarta, UIN Sumatera Utara, dan beberapa IAIN Lainnya. Meskipun lambat bahwa kesadaran untuk melakukan remunerasi sudah menjadi bagian tidak terpisahkan dari pimpinan PTKIN.
Oleh karena itu, yang sesungguhnya diperlukan adalah bagaimana meningkatkan PNBP PTKIN dan kemudian akan dapat dijadikan sebagai instrument untuk menyejahterakan warganya. Kesejahteraan pegawai PTKIN akan menjadi faktor pengungkit terhadap peningkatan kinerjanya dan kemudian dapat dipastikan akan mendongkrak terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Wallahu a’lam bi al shawab.