• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MENGEDEPANKAN PROFESIONALITAS DALAM REFORMASI BIROKRASI

MENGEDEPANKAN PROFESIONALITAS DALAM REFORMASI BIROKRASI

Saya merasa sangat senang sebab di hampir seluruh Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) yang saya datangi,  maka disitu dapat dipastikan terdapat program sosialisasi Lima Budaya Kerja yang sudah dilaunching oleh Menteri Agama, Bapak Lukman  Hakim Saifuddin. Hal ini menandakan bahwa sesungguhnya Nilai Budaya Kerja itu sudah share di kalangan Aparat Sipil Negara  (ASN) di Kementerian Agama. Bahkan juga bukan hanya di Kanwil Kemenag saja spanduk atau Baliho Lima Budaya Kerja tersebut dipampang, akan tetapi juga di Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota (Kankemenag Kab/Kota).

Akhir-akhir ini saya memang konsern untuk mendatangi acara-acara yang diselenggarakan oleh Kanwil Kemenag RI terutama dalam acara-acara pembinaan ASN di daerah. Tujuan utama pembinaan ini adalah memberikan masukan tentang tantangan yang dihadapi oleh Kemenag RI dalam kaitannya dengan perubahan demi perubahan yang terus terjadi. Melalui pembinaan secara langsung ini, maka diharapkan akan terjadi perubahan mindset agar cepat tanggap atau cepat merespon terhadap perubahan dimaksud.

Jika waktu memungkinkan, maka saya usahakan untuk dapat hadir di acara-acara pembinaan ASN itu. Saya datang di Kanwil Padang, Jambi, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sumatera Utara, Maluku Utara,  Nusa Tenggara Barat, Bali, Maluku, Jawa Barat, Jawa Timur dan sebagainya. Tema-tema yang selalu saya bicarakan adalah tentang tantangan Kemenag di era Kabinet Kerja, 2015-2019.

Di era ini, maka tantangan terbesar adalah mengenai Reformasi Birokrasi. Reformasi Birokrasi harus di artikan tidak hanya perubahan struktur kelembagaan, struktur penggajian, struktur personal ASN, akan tetapi yang lebih penting adalah perubahan pada mindset dan budaya kerja. Tantangan mindset dan budaya kerja inilah yang sesungguhnya menjadi tantangan terbesar Sumber Daya Manusia (SDM) Kemenag, akan tetapi juga seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) di negeri ini.

Makanya, seluruh K/L lalu beramai-ramai merumuskan dan menyepakati terhadap nilai-nilai budaya kerja, yang intinya akan dijadikan sebagai norma yang ditaati bersama atau menjadi pattern for behavior di kalangan mereka. Kata kuncinya adalah integritas,  profesionalitas dan tanggungjawab serta kemudian beberapa nilai lain yang dianggap sebagai kata kunci untuk membangun Reformasi Birokrasi.

Dari sisi Struktur Organisai atau Satuan Organisasi dan Tata Kelola (SOTK), maka langkah yang diambil oleh Pemerintahan Presiden Joko Widodo, adalah dengan melakukan merger K/L yang dianggap bisa dijadikan sebagai percepatan pembangunan  bangsa. Ada yag memang benar-benar dimerger, misalnya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan ada pula yang hanya sebagian kecil fungsinya dialihkan ke K/L lain, seperti Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi yang lalu dimasukkan ke dalam Kementerian Riset dan Teknologi.

Perubahan struktur organisasi ini, memang mengalami pro-kontra. Seperti biasa bahwa setiap perubahan –dalam skala apapun—akan selalu membawa dampak pada kerumitan pada tahap awal. Namun demikian, melalui kerja yang efektif dan efisien akhirnya dapat pula diselesaikan. Saya kira sekarang semuanya sudah running on the track di dalam mengemban tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pada masing-masing K/L.

Sebagaimana diketahui bahwa key word untuk menjadikan performance birokrasi kita makin baik adalah melalui mengembangkan profesionalitas ASN. Tanpa adanya profesionalitas, maka jangan pernah berharap akan menghasilkan pelayanan yang memuaskan pelanggan apalagi membuat loyalitas pelanggan. Untuk mencapai keduanya mutlak harus terdapat profesionalitas ASN dimaksud.

Berdasarkan DenMiracle.blogspot.co.id., Sabtu 12 November 2011, dinyatakan bahwa ada tujuh strategi untuk  mengembangkan profesionalitas di dalam kerja, yaitu: kembangkan keahlian, mahir membangun hubungan, tingkatkan kemampuan komunikasi, hasilkan yang terbaik, berpenampilan menarik, kehidupan yang seimbang, dan memiliki nilai moral yang tinggi.

Pertama, mengembangkan keahlian. Artinya, bahwa ASN harus terus menerus mengembangkan kehliannya. To be professional. Orang yang profesional ditandai dengan kemampuannya untuk mengerjakan apa yang menjadi tugas pokok dan fungsinya sesuai dengan Standart Pelayanan Minimal (SPM)dan Standart  operating procedure (SOP). Jadi yang bersangkutan harus menguasai kompetensi dasar dan kompetensi bidang sebagai persyaratan untuk disebut professional.

Kedua, membangun relasi atau jejaring. Di dalam capacity building, maka yang sesungguhnya diutamakan bukan hanya peningkatan kualitas pengetahuan dan keterampilan terkait dengan profesinya, akan tetapi juga peningkatan kemampuan membangun jejaring. Jadi orang professional juga akan dilihat dari seberapa yang bersangkutan akan dapat mengembangkan jejaringnya di tengah persaingan atau kompetisi yang makin keras dan kuat.

Ketiga, kemampuan komunikasi. Seorang professional, haruslah memiliki kemampuan melakukan komunikasi dengan memadai. Yang bersangkutan harus dapat mengutarakan apa yang menjadi ide atau gagasannya yang tentu harus didukung oleh seperangkat fakta atau data dan juga logika yang memadai. Kemampuan komunikasi adalah soft skilled yang sebenarnya juga bisa dipelajari. Di era sekarang, siapa yang memiliki kemampuan komunikasi yang baik, maka dia akan dapat menguasai blantika perkembangan yang terus terjadi.

Keempat, menghasilkan produk kerja yang baik. Salah satu ukuran kinerja adalah apakah kinerja tersebut menghasilkan produk yang berkualitas. Tidak hanya memenuhi standart yang sudah dibakukan, akan tetapi selayaknya menghasilkan produk unggulan atau menghasilkan produk yang ekselen. Jika ukurannya pada pemenuhan SOP dan SPM, maka tentu banyak orang yang bisa melakukannya, akan tetapi yang justru penting adalah produk unggulan yang melebihi kapasitas SOP dan SPM.

Kelima, menampilkan diri yang menarik. Kemenarikan performance bukan terletak pada keindahan dan kerapian tampilan luar saja, akan tetapi yang lebih penting adalah performance yang muncul dari dalam hati. Orang menyebut sebagai inner beauty. Tutur kata yang baik, mimik muka yang menyenangkan, senyum yang menawan dan tentu juga raut muka yang menyejukkan. Prinsip yang digunakan adalah senyum, salam, sapa.

Keenam, keseimbangan kehidupan. Menyeimbangankan kehidupan ternyata penting. Di dalam hal ini,  maka yang seseorang harus memilih mana hal-hal yang dinggap sebagai urgen dan penting. Yang urgen harus diselesaikan dulu, dan yang penting menyusul kemudian. Artinya seseorang harus memilih untuk menentukan mana yang harus dipilih dan mana yang harus ditinggalkan atau ditunda dulu. Jadi, tidaklah semua dikerjakan dan semuanya diselesaikan. Harus ada prioritas-prioritas rasional yang menjadi ketentuan untuk diselesaikan.

Ketujuh, memiliki moral yang tinggi. Seseorang yang professional hanya akan dapat dinyatakan sebagai professional jika dia memiliki kejujuran atau dalam bahasa lain disebut memiliki integritas. Kata kunci profesionalitas adalah pada kepemilikan integritas ini. Tanpa integritas jangan pernah berharap seseorang menjadi kaum profesional. Oleh karena itu, integritas menjadi kata kunci yang mendasari terhadap  strategi dimaksud.

Menjadi professional adalah pilihan. Tetapi saya kira tidak ada seorangpun yang tidak ingin menjadi bagian dari kaum professional di manapun yang bersangkutan bekerja. Tak terkecuali menjadi Aparat Sipil Negara.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMPERKUAT INTEGRITAS DI ERA REFORMASI BIROKRASI

MEMPERKUAT INTEGRITAS DI ERA REFORMASI BIROKRASI

Kata kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi adalah makin kuatnya integritas. Makin kuat intergritas tentu makin kuat keberhasilan Reformasi Birokrasi. Perubahan mindset dari birokrasi yang dilayani menjadi melayani, perubahan mindset tidak menyalahgunakan kewenangan, perubahan tidak melakukan korupsi uang negara, tidak melakukan gratifikasi, tidak melakukan tindakan memperkaya diri sendiri, dan sebagainya.

Semua tindakan yang tidak relevan dengan nilai dan norma yang sudah disepakati sebagai kewenangan yang harus dilakukan dianggap sebagai tindakan anti integritas. Di dalam konteks ini, maka Aparat Sipil Negara (ASN) tentu harus menghidarinya. Harus diupayakan agar di dalam kehidupan yang dijalaninya sebagai birokrat dapat berada pada jalur yang benar sesuai dengan regulasi yang menjadi pattern for behaviornya.

Integritas dalam bahasa sederhana disebutkan sebagai kesesuaian antara apa yang dinyatakan dalam kebenaran dengan apa yang dilakukan dalam kebenaran tersebut. Seseorang yang memiliki integritas adalah orang yang selalu memaknai kehidupannya dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Di dalam dirinya terdapat mekanisme kontrol untuk selalu berada di dalam jalur dan koridor kebenaran itu.

Sesungguhnya yang mengontrol terhadap keberadaan integritas adalah diri sendiri. Jika ada pengawasan dan pengendalian dari luar sebenarnya hanyalah bagian dari untuk saling mengingatkan saja. Namun demikian yang dominan adalah pengawasan internal dari dalam diri sendiri. Pada tubuhnya sudah terdapat daya imun untuk menangkal dan menolak terhadap tindakan yang menyimpang. Control diri itulah yang sebenarnya perlu untuk dipupuk dan terus dikembangkan sehingga kemudian akan muncul tabiat atau tindakan yang mekanik dan sekaligus juga organik.  Yaitu  tindakan yang spontan tetapi disadari sebagai tindakan yang dipilih karena kebenaran.

Nilai budaya kerja Kementerian Agama (Kemenag) menempatkan integritas sebagai kata kunci pertama artinya menganggap bahwa integritaslah yang sesungguhnya menjadi fondasi bagi terlaksananya nilai-nilai-lainnya. Penempatan integritas sebagai nilai pertama dalam budaya kerja bukannya tidak memiliki dasar filosofis yang mendasar. Dia ditempatkan pertama karena menjadi philosophical base bagi berlakunya nilai-nilai lain.

Sesungguhnya kita sadari bahwa lima nilai budaya kerja (integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan) adalah nilai budaya yang sistemik, akan tetapi tetaplah yang sangat menentukan adalah integritas dimaksud. Percuma seseorang menjadi professional, jika tidak memili basic of feeling, thinking and action yang mendasar yaitu integritas. Jika seseorang tidak memiliki integritas pastilah yang bersangkutan tidak akan memiliki tanggungjawab dan juga keteladanan.

Melalui internalisasi integritas di dalam diri ASN, maka akan dapat dididik dan dilatih agar para aparat memiliki tindakan-tindakan yang relevan dengan nilai budaya kerja yang menjadi instrument penting di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya.  Dengan demikian, keberhasilan perluasan dan peningkatan imaje hanya akan diperoleh jika semua ASN dapat melaksanan dengan benar tentang nilai budaya kerja dimaksud.

Strategi yang harus digunakan untuk membangun integritas adalah sebagai berikut:

Pertama, mulai dari diri sendiri. Untuk membangun integritas, maka yang perlu dijalankan adalah dengan memulainya pada diri sendiri. Upayakan agar muncul dan tumbuh kembang kesadaran untuk selalu berbuat yang benar dan jujur. Sesungguhnya kejujuran mengajak kepada  jalan kebenaran. Siapa orang yang mengembangkan di dalam dirinya sikap dan tindakan yang jujur,  maka di dalam dirinya sudah terdapat mekanisme kontrol untuk selalu berbuat kebenaran. Kejujuran adalah jalannya Allah dan semua Rasulnya. Jadi harus dikembangkan tutur kata yang benar, sikap yang benar dan perilaku yang benar. Semua hanya akan diperoleh,  jika  seseorang selalu berada di dalam jalan yang lurus. Bacaan shalat kita di dalam Surat Al fatihah adalah “tunjukkanlah kami jalan yang lurus”.

Kedua, mencukupkan apa yang kita peroleh melalui kejujuran. Salah satu penyakit hati yang selalu menghinggapi manusia adalah sikap berlebihan. Selalu merasa kurang dan selalu merasa orang lain lebih baik dalam perolehan materi. Di tengah kehidupan yang serba materi berbasis pada filsafat kehidupan yang hedonis dan materialistis, maka yang dianggap segala-galanya adalah harta kekayaan. Dia menjadi Tuhan baru. Kesuksesan hanya diukur pada seberapa banyak perolehan harta yang didapatnya. Makanya, semua cara adalah halal. Cara berpikir “tujuan menghalalkan segala cara” mengandung bias moral yang sangat menyesatkan.

Ketiga, Pandanglah status di bawah. Kita  harus melihat ke bawah dan jangan selalu melihat ke atas dalam kehidupan dan capaian prestasi kita dalam banyak hal. Jika kita bisa menyapukan pandangan kita kepada orang lain yang kurang seberuntung kita, maka kita akan bisa merasakan sensasi betapa banyak atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Di Indonesia masih ada banyak orang yang tidak seberuntung kita dalam capaian kekayaan dan harta. Ada banyak orang yang masih menjadi peminta-peminta, masih ada banyak orang yang hidup di jalan-jalan karena tidak memiliki rumah. Mereka hidup di emperan toko. Ada yang membawa gerobak dengan anak dan istrinya. Mereka hidup dalam serba kekurangan. Makanya, jika Allah sudah memberikan keberkahannya, maka selayaknya kita merasakan bahwa hal ini adalah nikmat Allah kepada kita. Jika kita bisa melakukan hal ini, maka kita akan bisa bersyukur atas kenikmatan Allah itu.

Keempat, fokuskan mata hati kita pada pengawasan melekat. Tak ada yang lebih indah ketimbang ketentraman dan kedamaian. Keduanya akan diperoleh,  jika kita selalu berada di dalam koridor selalu melakukan tindakan yang benar. Tindakan yang benar akan membawa kepada kedamaian dan ketentraman itu. Makanya, marilah terus berusaha agar di dalam menjalani kehidupan birokrasi kita, maka koridor selalu berada di dalam pengawasan Allah sebagai fondasi kehidupan. Di manapun kita berada kita harus selalu dalam ketaqwaan kepada Allah. Takwa berarti selalu berada di dalam basis pengawasan tersebut. Di dalam hidup ini ada semacam CCTV yang maha raksasa yang akan merekam seluruh jejak kita, baik yang berupa keburukan maupun kebaikan.

Kelima, fokuskan pada kejernihan hati dan pikiran. Salah satu penyakit hati dan pikiran yang seringkali merusak kehidupan adalah iri dan dengki atas prestasi orang lain dalam berbagai hal. Jika kita bisa memanej hati dan pikiran kita untuk terus berada di dalam arus kejernihan hati dan pikiran, maka kita akan terus berada di dalam jalan yang benar. Membiasakan untuk membangun kejernihan hati dan pikiran memang memerlukan waktu dan kemauan. Oleh karenanya niatkan terus agar kita dapat melakukan yang terbaik di dalam hidup. Bukankah niat yang akan menentukan apa yang kita lakukan dan akan kita peroleh.

Keenam, kembangkan kearifan dalam memandang segala sesuatu. Di antara cara yang paling tepat untuk menemukan obyektivitas, kebenaran dan kejujuran adalah dengan melihat sesuatu dengan cara proporsional dan konprehensif. Jangan memandang sesuatu hanya dari sisi yang satu tetapi melupakan sisi lainnya. Ibarat mata uang, setiap hal memiliki dua sisi sekaligus, potensi dan hambatan, kekuatan dan kelemahan, kepositifan dan kenegatifan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejelakan dan sebagainya. Allah sudah memberikan gambaran melalui hukum dua sisi ini. Makanya, di dalam memandang kehidupan birokrasi juga harus menggunakan hukum berpasangan itu. Jaga kearifan dalam memandang segala persoalan melalui cermin kearifan ini.

Kita sungguh sadar bahwa membangun integritas bukanlah masalah gampang, akan tetapi juga bukan sesuatu yang sangat sulit. Jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh insyaallah akan juga didapatkan. Yang penting ada niat lalu wujudkan dalam tindakan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

NIHILKAN EGOISME-RELIGIUS KEMBANGKAN KERUKUNAN BERAGAMA.

NIHILKAN EGOISME-RELIGIUS KEMBANGKAN KERUKUNAN BERAGAMA.

Saya merasa sangat bergembira bisa hadir dalam acara yang bertajuk “Dialog Kerukunan Umat Beragama di Ambon” pada hari Sabtu, 19 September 2015. Tema dialog ini adalah “Rukun itu Indah”. Sebuah tema yang sangat cocok dengan Misi Pemerintah Ambon untuk mewujudkan “Ambon Sebagai Laboratorium Kerukunan Umat Beragama”.

Nuansa kerukunan beragama tersebut sudah tampak dalam kehadiran seluruh jajaran pemerintah daerah dan juga tokoh-tokoh agama. Hadir di dalam acara penting ini adalah Wakil Gubernur Ambon, Dr. Zeith Sahuburua, SH., MH., Pangdam Pattimura, Mayor Jenderal Doni Monardo, Kapolda Maluku yang diwakili oleh Direktur Reserse Polda Ambon, Rektor IAIN Ambon, Dr. Hasbollah Toisuta., Ketua STAKEN Ambon, Agustina., Kakanwil Kementerian Agama Ambon, Feisal Musaad, SPd., MPd., pimpinan keagamaan: MUI., PGI., KWI., WALUBI., PHDI dan juga MATAKIN. Acara ini dilakukan dalam rangka Menyongsong Pesta Paduan Suara Gerejawi (Perparawi) XI yang digekar di Ambon, 2-8 Oktober 2015.

Sebagai narasumber di dalam acara ini adalah, Pangdam Pattimura, Kapolda Maluku dan sejumlah tokoh umat beragama di Ambon. Acara yang digelar siang hari ini sangat luar biasa, karena nara sumber acara, Pangdam Pattimura, Mayjen Doni Monardo memberikan presentasi, yang sangat menarik tentang potensi pembangunan Ambon sebagai sarana untuk menihilkan konflik umat beragama dan menjaga kerukunan umat beragama. Beliau  menawarkan konsep pembangunan dengan basis Emas Hijau, yaitu pembangunan masyarakat berbasis pada potensi sumber daya alam yang luar biasa di Ambon. Ada kayu gaharu, cengkeh, pala, lada, dan sejumlah potensi SDA lainnya. Kemudian membangun Ambon melalui strategi Emas Biru, yaitu mengembangkan potensi sumber daya maritim yang luar biasa hebatnya. Tidak hanya ikan dengan berbagai variannya, akan tetapi juga kepiting, tripang, rumput laut, udang, dan lainnya. Diinginkan agar teluk Ambon dibudidayakan dengan perikanan budi daya (keramba-keramba) dan bukan dengan mengandalkan produk tangkapan. Baginya, jika Ambon bisa dibangun dengan dua strategi ini, maka rakyat Ambon akan lebih sejahtera dibanding dengan masyarakat Indonesia lainnya.

Sebagai seorang narasumber, maka saya sampaikan tiga hal yang saya anggap penting untuk menjadi bahan diskusi dan dialog. Pertama, ungkapan rasa syukur, bahwa masyarakat Ambon sudah pulih sebagaimana semula. Masyarakat Ambon sudah kembali kepada suasana kerukunan umat beragama sebagaimana sebelum terjadi kerusuhan  beberapa tahun yang lalu. Ambon sudah pulih seperti sedia kala. Pela Gandong dan Kitorang Samua Basudara, sudah menjadi perilaku sehari-hari masyarakat di wilayah ini.

Ketenteraman dan kebersamaan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tindakan masyarakat di daerah ini. Gambaran keberingasan konflik sudah nyata tidak ada lagi. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan penyelenggaraan MTQ Nasional di Ambon yang menangguk sukses luar biasa pada tahun 2012 lalu. Masih  sangat kuat di dalam memori kita tentang bagaimana penyelenggaraan MTQ yang menjadi bukti bagaimana kerukunan umat beragama tersebut diselenggarakan. Rumah pendeta yang dijadikan sebagai tempat menginap kafilah Banten, Kantor keuskupan yang dijadikan sebagai tempat perlombaan baca Al Qur’an dan sebagainya.

Kedua, pembangunan bangsa hanya akan terwujud jika terjadi kerukunan bangsa. Saya sering ungkapkan bahwa tidak akan terjadi kesejahteraan tanpa pembangunan dan tidak akan terjadi pembangunan tanpa kerukunan. Agar terjadi pembangunan dan kesejahteraan,  maka prasyarat dasarnya adalah kerukunan bangsa. Salah satu bentuk kerukunan bangsa adalah kerukunan umat beragama. Baik kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.

Antara pemerintah dan umat beragama sudah dapat dinyatakan tidak lagi terjadi sikap antagonism. Hubungan antara umat beragama dan pemerintah sudah sangat kondusif. Masyarakat selalu merespon kebijakan pemerintah dengan respon yang sangat memadai. Hal ini tentu berbeda dengan masa-masa Orde Baru, di mana terdapat kebijakan pemerintah yang sering dianggap sebagai peminggiran terhadap umat beragama. Sekarang hubungan dekat itu telah terjadi. Negara membutuhkan agama sebagai dasar pijak etikanya, dan agama membutuhkan pemerintah untuk mengatur kehidupan umat beragama.

Agama memang menawarkan perbedaan yang tidak bisa dikompromikan. Kebenaran agama adalah sesuatu yang mutlak. Agama diyakini sebagai kebenaran mutlak dan yang paling benar sendiri. Orang akan membenarkan agamanya sendiri dan menyalahkan agama orang lain. Ada truth claimed di sini. Makanya, setiap pemeluk agama akan menyatakan bahwa agamanya sendiri yang benar dan agama orang lain adalah agama yang tidak benar. Dan inilah sikap yang benar dari pemeluk agama itu.  Setiap  pemeluk agama akan mempertahankan agamanya secara total.

Truth claimed yang egositik,  akan dapat menjadi pemicu konflik , jika tidak dimanej dengan baik. Di sinilah arti penting mengerem ego-religius agar tidak berkecenderungan untuk menihilkan agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia lainnya. Agama selalu mengajarkan akan kasih sayang dan kedamaian. Islam mengajarkan agama yang rahman dan Rahim. Kristiani mengajarkan agama kasih, Konghucu mengajarkan kebajikan, Budha mengajarkan kesederhanaan, Hindu mengajarkan kesempurnaan. Semua ini adalah ajaran agama yang menghendaki adanya keselarasan dan keserasian hidup, harmoni dan kerukunan dalam kehidupan.

Jika di banyak wilayah terjadi peperangan, maka sesungguhnya hal itu bukanlah perang atas nama agama, akan tetapi adalah perang untuk memenuhi ego-kekuasaan, perang untuk menguasai dan memerintah masyarakat yang menjadi lawannya.  Coba kalau dicermati, apakah perang di Timur Tengah yang sedang terjadi sekarang itu perang agama. Jawabannya tentulah tidak. Ini adalah perang murni untuk kepentingan kekuasaan politik. Lalu agar menjadi mengeras, maka agama disangkutkan di dalamnya sebagai jihad atau perang agama. Sejarah selalu mengajarkan kepada kita bahwa peperangan selalu tidak menguntungkan kedua belah pihak, baik yang menang atau yang kalah. Keduanya babak belur dan hancur.

Ketiga, jadikan agama sebagai pendorong untuk pembangunan bangsa. Ajaran agama yang luhur harus digunakan untuk mendorong pembangunan bangsa yang sedang berlangsung. Agama sebagai basis etika mengajarkan tentang bagaimana membangun suatu bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama akan selalu memberi rahmat bagi seluruh alam ini. Hal ini akan bisa terjadi kalau masing-masing umat beragama menerapkan konsep “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”.   Konsep yang diusung oleh  Dr. Hasyim Muzadi ini dapat menjadi panduan kita semua di dalam merajut keharmonisan untuk menggapai kerukunan. Jika kita bisa menerapkan konsep ini dalam relasi intern dan antar umat beragama, maka agama sesungguhnya bisa menjadi pendorong pembangunan bangsa.

Kita semua berkeyakinan bahwa melalui penerapan ajaran agama yang benar, mengamalkan ajaran agama yang penuh dengan kerahmatan dan kerahiman tentu akan membawa kehidupan masyarakat ke depan akan lebih sejahteran dan bahagia. Makanya, mari kita jaga kearifan lokal kita yang selama ini telah teruji menjadi referensi bagi keberlangsungan harmoni dan kerukunan, sehingga pembangunan sebagai instrument untuk mencapai kesejehtaraan dan kebahagaiaan akan benar-benar terwujud.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (2)

KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (2)

Sebelum pelaksanaan Itsbat, sebenarnya sudah tergambar bahwa pelaksanaan hari Raya Idul Adha akan mengalami perbedaan. Dari perhitungan yang dilakukan oleh ahli ilmu falaq, ternyata menggambarkan data tentang keadaan hilal dengan segala atributnya  bahwa posisi hilal memang masih sangat rendah bahkan minus. Oleh karena itu, kita sudah merasakan aroma bahwa hari raya sekarang (2015) akan mengalami perbedaan.

Sebagaimana biasa, Muhammadiyah lebih dahulu mengeluarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, No. 01/MLM/1.0/E/2015 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal dan Zulhijjah 1436 Hijriyah. Yang intinya menyatakan bahwa Hari Raya Idul Adha 1436 Hijriyah akan diselenggarakan pada hari Rabu Kliwon, tanggal 23 September 2015. Hal ini karena Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki, yang pada dasarnya menyatakan bahwa selama sudah ada “wujud” hilal, berapapun ketinggian derajadnya, maka sahlah sudah menyatakan bahwa tanggal satu  bulan Qamariyah sudah terjadi.

Benar juga, kala diselenggarakan Sidang Itsbat yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahasin, Dirjen Bimas Islam, pada tanggal 13 September 2015,  maka semua perukyat di seluruh Indonesia tidak melihat hilal. Bagaimana bisa melihat hilal, jika posisi ketinggian hilal masih berada pada posisi -0,37 derajat sampai 0,37 derajat, dengan umur hilal 4 jam 8 menit. Artinya, posisi hilal sangat rendah dan tidak akan mungkin terlihat dengan peralatan teknologi sekalipun.

Kenyataan tersebut yang akhirnya membawa kepada kesimpulan di dalam Sidang Itsbat bahwa hilal belum bisa dirukyat sehingga bulan Zulqaidah diistimalkan menjadi 30 hari, sehingga tanggal 1 Zulhijjah jatuh pada hari Selasa, 15 September 2015. Sebagai konsekwensinya adalah hari Raya Idul Adha  jatuh pada Hari Kamis, 10 Dzulhijjah atau bertepatan dengan tanggal 24 September 2015.

Hari Raya Idul Adha  tahun ini, sebagaimana pengumuman pemerintah, ternyata  bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Hari Raya Idul Adha di Tanah Suci Makkah al Mukarramah.  Berdasarkan rukyat yang dilakukan oleh otoritas Pemerintah Arab Saudi, bahwa hari Raya Idul Adha tahun ini  bersamaan dengan Pemerintah Indonesia dan juga Otoritas MABIMS. Pada kesempatan lain, bisa jadi yang bersamaan dengan keputusan otoritas Pemerintah Arab Saudi adalah hasil Hisab Hakikinya Muhammadiyah. Jadi, sungguh kita berada dalam posisi yang kurang menentu.

Ada yang sesungguhnya membuat kita galau adalah penetapan tanggal 1 Qamariyah itu terkait dengan rentetan ibadah lainnya. Jadi, berakibat pada pelaksanaan hari tasyri’ atau kapan kita akan menyembelih kurban, dan sebagainya. Dengan berbeda sehari mengenai pelaksanaan shalat Idul Adha, maka ada maju atau mundur sehari mengenai hari tasyri’ dimaksud. Jadi yang mengikuti Muhammadiyah sudah menyembelih korban, sementera yang mengikuti pemerintah belum, dan seterusnya. Karena persoalan ibadah itulah yang membuat kegalauan demi kegalauan tersebut. Terkadang kita berpikir, kapan kita bisa bersatu dalam perkara yang satu ini.

NU dan beberapa organisasi yang lain, sesungguhnya sudah melangkah satu tahap dengan mengikuti paham yang dikembangkan oleh MUI dan juga kesepakatan Negara Anggota MABIMS yaitu dengan konsep Imkanur Rukyah atau peluang melihat hilal. Melalui kriteria serendah-rendahnya 2 derajat ketinggian hilal, maka diputuskan –meskipun  hilal tidak terlihat karena halangan—maka  keputusannya tanggal 1 Qamariyah sudah dapat dipastikan. Jika kurang 2 derajat, maka peluang hilal tidak akan bisa dilihat, sehingga diistikmalkan menjadi 30 hari.

Kita suatu ketika ingin bertanya kepada masyarakat awam, apakah mereka menikmati terhadap perbedaan hari Raya ini. Secara commonsense, saya menyatakan bahwa masyarakat tidak menikmati perbedaan ini. Mereka pasti menginginkan kesamaan dalam berhari raya. Bagi mereka, kesamaan hari raya adalah berkah yang membawa ketentraman dan kedamaian. Kebersamaan tetap sebagai keindahan. Ada ungkapan “Alhamdulillah kita sama dalam hari raya”.

Masyarakat awam tentu tidak tahu apakah hari raya akan jatuh pada hari apa dan kapan. Mereka adalah pengikut setia terhadap keyakinan para pimpinannya. Jadi apa yang dikatakan oleh pemimpinnya adalah apa yang akan dilakukannya. Mereka melakukan sesuatu yang “terkadang” tidak menjadi pilihan rasionalnya. Mereka meyakini saja terhadap penafsiran, statemen, atau keputusan yang tekah diambil oleh pemimpinnya. Jika di Madura ada ungkapan Baba, Bubu dan Ratuh atau ketaatan pada orang tua dan kemudian negara, maka juga berlaku ungkapan ketaatan pada orang tua dan organisasi.

Organisasi merupakan atribusi identitas, sehingga melalui organisasi akan terbentuk identitas yang jelas, siapa kita ini sesungguhnya. Maka setiap organisasi akan membangun identitas sebagai hal yang sangat urgen dan mendasar. Maka setiap pemimpin organisasi juga akan memperkuat basis identitas organisasinya dengan berbagai macam upaya. Yang terkadang menjadi penting juga melibatkan keyakinan untuk simbol identitas.

Secara sosiologis tentu hal ini sebagai realita empiris yang akan terjadi di mana saja dan kapan saja. Organisasi dan identitas sudah menjadi konsep universal yang dapat ditemui di manapun. Di suatu masyarakat yang religositasnya kuat lalu ditambahkan dengan dengan  proposisi “ada korelasi antara keyakinan, organisasi dan identitas individu atau komunitas dalam suatu momen tertentu”. Dalam kasus penetapan tanggal satu Qamariyah, maka korelasi tersebut sangat signifikan. Batas identitas menjadi sangat kentara. Makanya, para pemimpin organisasi –apapun organisasinya—lalu merasa berhasil di dalam menghegemoni anggotanya, jika keputusan pimpinan menjadi pedoman tindakan anggotanya.

Kita memang bersyukur bahwa perbedaan hari raya bukan merupakan halangan untuk berkomunikasi dan bersilaturrahim. Tidak ada lagi saling mencela dan mengutuk perbedaan itu. Semuanya memahami bahwa perbedaan adalah rahmat. Inilah bentuk kedewasaan yang sudah terbangun selama ini. Jadi, masyarakat menganggap perbedaan sebagai perkara biasa saja.

Pengalaman seperti ini tentu akan terus terjadi selama   metode penafsiran yang digunakan  berada di dalam titik yang ekstrim. Kementerian Agama merupakan institusi yang memiliki otoritas sebagai penentu tanggal Qamariyah sesuai dengan regulasi yang dimiliki, tentu sudah berupaya untuk melakukan berbagai pertemuan untuk merumuskan solusi kebersamaan. Ke depan tentu kita semua masih berharap semoga ada titik temu di antara yang menggunakan prinsip rukyat dan hisab, sehingga kesamaan menjadi mainstream dari mindset kita bersama. Memang membuthkan kearifan dan pengorbanan untuk mengubah prinsip,  jika kita memang masih menghendaki kebersamaan.

Wallahu a’lam bi al shawab

KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (1)

Ketika terjadi kesamaan pelaksanaan hari Raya Idul Fithri, 1436 H., atau tahun 2015 M., maka seluruh rakyat Indonesia menyatakan kegembiraannya. Merayakan hari Raya Idul Fithri dalam kesamaan adalah sebuah berkah yang luar biasa. Makanya, ketika akan dilaksanakan Sidang Itsbat pada tanggal  16 Juli  2015, maka dengan harap-harap cemas, seluruh masyarakat berharap agar hari Raya Idul Fithri  dapat dilaksanakan secara bersamaan.

Dan alhamdulillah, masyarakat Indonesia dapat merayakan Idul Fithri secara bersamaan. Seperti biasa, Organisasi Muhammadiyah sudah menentukan terlebih dahulu kapan dilaksanakan hari raya dan kemudian disusul dengan Sidang Itsbat yang dilakukan pemerintah. Muhammadiyah menentukan hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari Jum’at, 17 Juli 2015 dan kemudian melalui Sidang Itsbat pemerintah juga menentukan hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari yang sama. Di dalam sidang terungkap bahwa hilal dapat dilihat dengan bantuan teknologi di wilayah-wilayah yang menjadi tempat pengamatan hilal.

Di Indonesia, memang terdapat dua metode utama di dalam penentuan kapan hilal bisa diprediksi wujud atau dapat dilihat wujudnya. Muhammadiyah menggunakan metode hisab (ilmu falaq), sedangkan sebagian lainnya menggunakan metode ru’yat (melihat langsung terhadap hilal). Dua metode yang sebenarnya bisa saling mendukung dan menentukan. Jika keduanya masing-masing digunakan, maka bisa akan terjadi persamaan dan juga perbedaan.

Inti perbedaan sesungguhnya bukan pada metodenya yang ekstrim, akan tetapi pada penafsiran tentang wujud hilal. Bagi kaum ru’yat, maka hilal akan dinyatakan ada, jika sudah bisa dilihat dengan mata. Namanya saja ru’yat. Pastilah ada sesuatu yang dilihat. Di sisi lain, bagi kaum hisab, maka selama sudah ada atau sudah wujud hilal tersebut berdasarkan perhitungan ilmu falaq, maka sudah dianggap wujud hilal itu ada. Namanya juga wujud. Berapapun besarannya tidak menjadi masalah, yang penting sudah ada atau wujud.

Perbincangan  tentang Yang Ada sudah terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Pemikiran filosofis banyak mengungkapkan mengenai hal ini. Bagi kaum agamawan, Allah adalah Dzat Yang Wujud, meskipun akal dan pikiran manusia tidak akan mampu menjangkaunya. Kita hanya diberi ilmu sedikit untuk menjangkau terhadap Wujud Yang Ada itu. Wa ma utitum minal ‘ilmi illa qalila. Jadi jangan pernah berpikir tentang Wujud Tuhan. Kita hanya diberi kekuatan untuk melihat tanda-tanda alam tentang keberadaannya.

Eksistensi wujud hilal itulah yang menjadi persoalan di dalam menentukan kapan kita harus berhari raya, baik idul fithri maupun idul adha. Konteks perbedaannya adalah wujud sebagai eksistensi dan wujud dalam penampakan. Perbedaan ini yang belum bisa dikompromikan. Muhammadiyah berada dalam satu sisi dan NU dengan yang lain di dalam sisi lainnya. Keduanya berkeyakinan bahwa pandangannya yang benar, dan karena pandangan itu diyakini bersumber dari ajaran agama, maka keduanya lalu belum bisa berkompromi.

Sebenarnya upaya merintis jalan untuk berkompromi sudah dilakukan melalui konsep Imkanur Ru’yah atau kemungkinan meru’yah. Konsep yang dicetuskan oleh MUI ini sungguh sebagai upaya untuk mempersatukan pandangan mengenai kapan hari raya dan juga kapan hari-hari besar umat Islam lainnya akan bisa disamakan. Andaikan umat Islam menerima konsep ini, maka kesamaan tersebut akan bisa didapatkan. Sayangnya belum semua umat Islam Indonesia menerima konsep ini.

Berdasarkan konsep Imkanur Ru’yah, sebagaimana kriteria yang disepakati oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), yaitu tinggi hilal sekurang-kurangnya 2 derajat.

Berdasarkan kriteria itu, maka pengalaman menunjukkan bahwa hilal dapat dilihat dengan bantuan teknologi teropong bintang, sehingga tidak ada keraguan untuk menentukan hilal bisa diru’yah jika ketinggiannya seperti itu. Kriteria MABIMS inilah yang seharusnya menjadi pedoman umat Islam di negara-negara anggotanya.

Imkanur ru’yah adalah jalan tengah untuk menjembatani perbedaan pendapat antara yang berkonsepsi wujudul hilal dengan yang ru’yatul hilal. Jika kedua pendapat ini tidak bisa disatukan dalam bentuk kompromi, maka akan sulit dicapai kesepakatan di dalam penentuan awal bulan untuk kepentingan ibadah, khususnya hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha.

Melalui perbedaan yang terus dilestarikan ini, memang kadangkala hasil perhitungan kaum hisab di Indonesia yang sama dengan Saudi Arabia atau terkadang  hasil ru’yatnya yang  sama dengan  Saudi Arabia.  Jika sudah begini, akhirnya kita hanya bisa pasrah “perbedaan adalah perkara biasa”.

Wallahu a’lam bi alshawab.