NIHILKAN EGOISME-RELIGIUS KEMBANGKAN KERUKUNAN BERAGAMA.
NIHILKAN EGOISME-RELIGIUS KEMBANGKAN KERUKUNAN BERAGAMA.
Saya merasa sangat bergembira bisa hadir dalam acara yang bertajuk “Dialog Kerukunan Umat Beragama di Ambon” pada hari Sabtu, 19 September 2015. Tema dialog ini adalah “Rukun itu Indah”. Sebuah tema yang sangat cocok dengan Misi Pemerintah Ambon untuk mewujudkan “Ambon Sebagai Laboratorium Kerukunan Umat Beragama”.
Nuansa kerukunan beragama tersebut sudah tampak dalam kehadiran seluruh jajaran pemerintah daerah dan juga tokoh-tokoh agama. Hadir di dalam acara penting ini adalah Wakil Gubernur Ambon, Dr. Zeith Sahuburua, SH., MH., Pangdam Pattimura, Mayor Jenderal Doni Monardo, Kapolda Maluku yang diwakili oleh Direktur Reserse Polda Ambon, Rektor IAIN Ambon, Dr. Hasbollah Toisuta., Ketua STAKEN Ambon, Agustina., Kakanwil Kementerian Agama Ambon, Feisal Musaad, SPd., MPd., pimpinan keagamaan: MUI., PGI., KWI., WALUBI., PHDI dan juga MATAKIN. Acara ini dilakukan dalam rangka Menyongsong Pesta Paduan Suara Gerejawi (Perparawi) XI yang digekar di Ambon, 2-8 Oktober 2015.
Sebagai narasumber di dalam acara ini adalah, Pangdam Pattimura, Kapolda Maluku dan sejumlah tokoh umat beragama di Ambon. Acara yang digelar siang hari ini sangat luar biasa, karena nara sumber acara, Pangdam Pattimura, Mayjen Doni Monardo memberikan presentasi, yang sangat menarik tentang potensi pembangunan Ambon sebagai sarana untuk menihilkan konflik umat beragama dan menjaga kerukunan umat beragama. Beliau menawarkan konsep pembangunan dengan basis Emas Hijau, yaitu pembangunan masyarakat berbasis pada potensi sumber daya alam yang luar biasa di Ambon. Ada kayu gaharu, cengkeh, pala, lada, dan sejumlah potensi SDA lainnya. Kemudian membangun Ambon melalui strategi Emas Biru, yaitu mengembangkan potensi sumber daya maritim yang luar biasa hebatnya. Tidak hanya ikan dengan berbagai variannya, akan tetapi juga kepiting, tripang, rumput laut, udang, dan lainnya. Diinginkan agar teluk Ambon dibudidayakan dengan perikanan budi daya (keramba-keramba) dan bukan dengan mengandalkan produk tangkapan. Baginya, jika Ambon bisa dibangun dengan dua strategi ini, maka rakyat Ambon akan lebih sejahtera dibanding dengan masyarakat Indonesia lainnya.
Sebagai seorang narasumber, maka saya sampaikan tiga hal yang saya anggap penting untuk menjadi bahan diskusi dan dialog. Pertama, ungkapan rasa syukur, bahwa masyarakat Ambon sudah pulih sebagaimana semula. Masyarakat Ambon sudah kembali kepada suasana kerukunan umat beragama sebagaimana sebelum terjadi kerusuhan beberapa tahun yang lalu. Ambon sudah pulih seperti sedia kala. Pela Gandong dan Kitorang Samua Basudara, sudah menjadi perilaku sehari-hari masyarakat di wilayah ini.
Ketenteraman dan kebersamaan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari tindakan masyarakat di daerah ini. Gambaran keberingasan konflik sudah nyata tidak ada lagi. Hal ini dapat dilihat dari keberhasilan penyelenggaraan MTQ Nasional di Ambon yang menangguk sukses luar biasa pada tahun 2012 lalu. Masih sangat kuat di dalam memori kita tentang bagaimana penyelenggaraan MTQ yang menjadi bukti bagaimana kerukunan umat beragama tersebut diselenggarakan. Rumah pendeta yang dijadikan sebagai tempat menginap kafilah Banten, Kantor keuskupan yang dijadikan sebagai tempat perlombaan baca Al Qur’an dan sebagainya.
Kedua, pembangunan bangsa hanya akan terwujud jika terjadi kerukunan bangsa. Saya sering ungkapkan bahwa tidak akan terjadi kesejahteraan tanpa pembangunan dan tidak akan terjadi pembangunan tanpa kerukunan. Agar terjadi pembangunan dan kesejahteraan, maka prasyarat dasarnya adalah kerukunan bangsa. Salah satu bentuk kerukunan bangsa adalah kerukunan umat beragama. Baik kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Antara pemerintah dan umat beragama sudah dapat dinyatakan tidak lagi terjadi sikap antagonism. Hubungan antara umat beragama dan pemerintah sudah sangat kondusif. Masyarakat selalu merespon kebijakan pemerintah dengan respon yang sangat memadai. Hal ini tentu berbeda dengan masa-masa Orde Baru, di mana terdapat kebijakan pemerintah yang sering dianggap sebagai peminggiran terhadap umat beragama. Sekarang hubungan dekat itu telah terjadi. Negara membutuhkan agama sebagai dasar pijak etikanya, dan agama membutuhkan pemerintah untuk mengatur kehidupan umat beragama.
Agama memang menawarkan perbedaan yang tidak bisa dikompromikan. Kebenaran agama adalah sesuatu yang mutlak. Agama diyakini sebagai kebenaran mutlak dan yang paling benar sendiri. Orang akan membenarkan agamanya sendiri dan menyalahkan agama orang lain. Ada truth claimed di sini. Makanya, setiap pemeluk agama akan menyatakan bahwa agamanya sendiri yang benar dan agama orang lain adalah agama yang tidak benar. Dan inilah sikap yang benar dari pemeluk agama itu. Setiap pemeluk agama akan mempertahankan agamanya secara total.
Truth claimed yang egositik, akan dapat menjadi pemicu konflik , jika tidak dimanej dengan baik. Di sinilah arti penting mengerem ego-religius agar tidak berkecenderungan untuk menihilkan agama-agama yang dipeluk oleh umat manusia lainnya. Agama selalu mengajarkan akan kasih sayang dan kedamaian. Islam mengajarkan agama yang rahman dan Rahim. Kristiani mengajarkan agama kasih, Konghucu mengajarkan kebajikan, Budha mengajarkan kesederhanaan, Hindu mengajarkan kesempurnaan. Semua ini adalah ajaran agama yang menghendaki adanya keselarasan dan keserasian hidup, harmoni dan kerukunan dalam kehidupan.
Jika di banyak wilayah terjadi peperangan, maka sesungguhnya hal itu bukanlah perang atas nama agama, akan tetapi adalah perang untuk memenuhi ego-kekuasaan, perang untuk menguasai dan memerintah masyarakat yang menjadi lawannya. Coba kalau dicermati, apakah perang di Timur Tengah yang sedang terjadi sekarang itu perang agama. Jawabannya tentulah tidak. Ini adalah perang murni untuk kepentingan kekuasaan politik. Lalu agar menjadi mengeras, maka agama disangkutkan di dalamnya sebagai jihad atau perang agama. Sejarah selalu mengajarkan kepada kita bahwa peperangan selalu tidak menguntungkan kedua belah pihak, baik yang menang atau yang kalah. Keduanya babak belur dan hancur.
Ketiga, jadikan agama sebagai pendorong untuk pembangunan bangsa. Ajaran agama yang luhur harus digunakan untuk mendorong pembangunan bangsa yang sedang berlangsung. Agama sebagai basis etika mengajarkan tentang bagaimana membangun suatu bangsa untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan. Agama akan selalu memberi rahmat bagi seluruh alam ini. Hal ini akan bisa terjadi kalau masing-masing umat beragama menerapkan konsep “yang sama jangan dibedakan dan yang beda jangan disamakan”. Konsep yang diusung oleh Dr. Hasyim Muzadi ini dapat menjadi panduan kita semua di dalam merajut keharmonisan untuk menggapai kerukunan. Jika kita bisa menerapkan konsep ini dalam relasi intern dan antar umat beragama, maka agama sesungguhnya bisa menjadi pendorong pembangunan bangsa.
Kita semua berkeyakinan bahwa melalui penerapan ajaran agama yang benar, mengamalkan ajaran agama yang penuh dengan kerahmatan dan kerahiman tentu akan membawa kehidupan masyarakat ke depan akan lebih sejahteran dan bahagia. Makanya, mari kita jaga kearifan lokal kita yang selama ini telah teruji menjadi referensi bagi keberlangsungan harmoni dan kerukunan, sehingga pembangunan sebagai instrument untuk mencapai kesejehtaraan dan kebahagaiaan akan benar-benar terwujud.
Wallahu a’lam bi al shawab.