MEMPERKUAT INTEGRITAS DI ERA REFORMASI BIROKRASI
MEMPERKUAT INTEGRITAS DI ERA REFORMASI BIROKRASI
Kata kunci keberhasilan Reformasi Birokrasi adalah makin kuatnya integritas. Makin kuat intergritas tentu makin kuat keberhasilan Reformasi Birokrasi. Perubahan mindset dari birokrasi yang dilayani menjadi melayani, perubahan mindset tidak menyalahgunakan kewenangan, perubahan tidak melakukan korupsi uang negara, tidak melakukan gratifikasi, tidak melakukan tindakan memperkaya diri sendiri, dan sebagainya.
Semua tindakan yang tidak relevan dengan nilai dan norma yang sudah disepakati sebagai kewenangan yang harus dilakukan dianggap sebagai tindakan anti integritas. Di dalam konteks ini, maka Aparat Sipil Negara (ASN) tentu harus menghidarinya. Harus diupayakan agar di dalam kehidupan yang dijalaninya sebagai birokrat dapat berada pada jalur yang benar sesuai dengan regulasi yang menjadi pattern for behaviornya.
Integritas dalam bahasa sederhana disebutkan sebagai kesesuaian antara apa yang dinyatakan dalam kebenaran dengan apa yang dilakukan dalam kebenaran tersebut. Seseorang yang memiliki integritas adalah orang yang selalu memaknai kehidupannya dengan nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Di dalam dirinya terdapat mekanisme kontrol untuk selalu berada di dalam jalur dan koridor kebenaran itu.
Sesungguhnya yang mengontrol terhadap keberadaan integritas adalah diri sendiri. Jika ada pengawasan dan pengendalian dari luar sebenarnya hanyalah bagian dari untuk saling mengingatkan saja. Namun demikian yang dominan adalah pengawasan internal dari dalam diri sendiri. Pada tubuhnya sudah terdapat daya imun untuk menangkal dan menolak terhadap tindakan yang menyimpang. Control diri itulah yang sebenarnya perlu untuk dipupuk dan terus dikembangkan sehingga kemudian akan muncul tabiat atau tindakan yang mekanik dan sekaligus juga organik. Yaitu tindakan yang spontan tetapi disadari sebagai tindakan yang dipilih karena kebenaran.
Nilai budaya kerja Kementerian Agama (Kemenag) menempatkan integritas sebagai kata kunci pertama artinya menganggap bahwa integritaslah yang sesungguhnya menjadi fondasi bagi terlaksananya nilai-nilai-lainnya. Penempatan integritas sebagai nilai pertama dalam budaya kerja bukannya tidak memiliki dasar filosofis yang mendasar. Dia ditempatkan pertama karena menjadi philosophical base bagi berlakunya nilai-nilai lain.
Sesungguhnya kita sadari bahwa lima nilai budaya kerja (integritas, profesionalitas, inovasi, tanggungjawab dan keteladanan) adalah nilai budaya yang sistemik, akan tetapi tetaplah yang sangat menentukan adalah integritas dimaksud. Percuma seseorang menjadi professional, jika tidak memili basic of feeling, thinking and action yang mendasar yaitu integritas. Jika seseorang tidak memiliki integritas pastilah yang bersangkutan tidak akan memiliki tanggungjawab dan juga keteladanan.
Melalui internalisasi integritas di dalam diri ASN, maka akan dapat dididik dan dilatih agar para aparat memiliki tindakan-tindakan yang relevan dengan nilai budaya kerja yang menjadi instrument penting di dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dengan demikian, keberhasilan perluasan dan peningkatan imaje hanya akan diperoleh jika semua ASN dapat melaksanan dengan benar tentang nilai budaya kerja dimaksud.
Strategi yang harus digunakan untuk membangun integritas adalah sebagai berikut:
Pertama, mulai dari diri sendiri. Untuk membangun integritas, maka yang perlu dijalankan adalah dengan memulainya pada diri sendiri. Upayakan agar muncul dan tumbuh kembang kesadaran untuk selalu berbuat yang benar dan jujur. Sesungguhnya kejujuran mengajak kepada jalan kebenaran. Siapa orang yang mengembangkan di dalam dirinya sikap dan tindakan yang jujur, maka di dalam dirinya sudah terdapat mekanisme kontrol untuk selalu berbuat kebenaran. Kejujuran adalah jalannya Allah dan semua Rasulnya. Jadi harus dikembangkan tutur kata yang benar, sikap yang benar dan perilaku yang benar. Semua hanya akan diperoleh, jika seseorang selalu berada di dalam jalan yang lurus. Bacaan shalat kita di dalam Surat Al fatihah adalah “tunjukkanlah kami jalan yang lurus”.
Kedua, mencukupkan apa yang kita peroleh melalui kejujuran. Salah satu penyakit hati yang selalu menghinggapi manusia adalah sikap berlebihan. Selalu merasa kurang dan selalu merasa orang lain lebih baik dalam perolehan materi. Di tengah kehidupan yang serba materi berbasis pada filsafat kehidupan yang hedonis dan materialistis, maka yang dianggap segala-galanya adalah harta kekayaan. Dia menjadi Tuhan baru. Kesuksesan hanya diukur pada seberapa banyak perolehan harta yang didapatnya. Makanya, semua cara adalah halal. Cara berpikir “tujuan menghalalkan segala cara” mengandung bias moral yang sangat menyesatkan.
Ketiga, Pandanglah status di bawah. Kita harus melihat ke bawah dan jangan selalu melihat ke atas dalam kehidupan dan capaian prestasi kita dalam banyak hal. Jika kita bisa menyapukan pandangan kita kepada orang lain yang kurang seberuntung kita, maka kita akan bisa merasakan sensasi betapa banyak atas nikmat yang diberikan oleh Allah kepada kita. Di Indonesia masih ada banyak orang yang tidak seberuntung kita dalam capaian kekayaan dan harta. Ada banyak orang yang masih menjadi peminta-peminta, masih ada banyak orang yang hidup di jalan-jalan karena tidak memiliki rumah. Mereka hidup di emperan toko. Ada yang membawa gerobak dengan anak dan istrinya. Mereka hidup dalam serba kekurangan. Makanya, jika Allah sudah memberikan keberkahannya, maka selayaknya kita merasakan bahwa hal ini adalah nikmat Allah kepada kita. Jika kita bisa melakukan hal ini, maka kita akan bisa bersyukur atas kenikmatan Allah itu.
Keempat, fokuskan mata hati kita pada pengawasan melekat. Tak ada yang lebih indah ketimbang ketentraman dan kedamaian. Keduanya akan diperoleh, jika kita selalu berada di dalam koridor selalu melakukan tindakan yang benar. Tindakan yang benar akan membawa kepada kedamaian dan ketentraman itu. Makanya, marilah terus berusaha agar di dalam menjalani kehidupan birokrasi kita, maka koridor selalu berada di dalam pengawasan Allah sebagai fondasi kehidupan. Di manapun kita berada kita harus selalu dalam ketaqwaan kepada Allah. Takwa berarti selalu berada di dalam basis pengawasan tersebut. Di dalam hidup ini ada semacam CCTV yang maha raksasa yang akan merekam seluruh jejak kita, baik yang berupa keburukan maupun kebaikan.
Kelima, fokuskan pada kejernihan hati dan pikiran. Salah satu penyakit hati dan pikiran yang seringkali merusak kehidupan adalah iri dan dengki atas prestasi orang lain dalam berbagai hal. Jika kita bisa memanej hati dan pikiran kita untuk terus berada di dalam arus kejernihan hati dan pikiran, maka kita akan terus berada di dalam jalan yang benar. Membiasakan untuk membangun kejernihan hati dan pikiran memang memerlukan waktu dan kemauan. Oleh karenanya niatkan terus agar kita dapat melakukan yang terbaik di dalam hidup. Bukankah niat yang akan menentukan apa yang kita lakukan dan akan kita peroleh.
Keenam, kembangkan kearifan dalam memandang segala sesuatu. Di antara cara yang paling tepat untuk menemukan obyektivitas, kebenaran dan kejujuran adalah dengan melihat sesuatu dengan cara proporsional dan konprehensif. Jangan memandang sesuatu hanya dari sisi yang satu tetapi melupakan sisi lainnya. Ibarat mata uang, setiap hal memiliki dua sisi sekaligus, potensi dan hambatan, kekuatan dan kelemahan, kepositifan dan kenegatifan, keindahan dan keburukan, kebaikan dan kejelakan dan sebagainya. Allah sudah memberikan gambaran melalui hukum dua sisi ini. Makanya, di dalam memandang kehidupan birokrasi juga harus menggunakan hukum berpasangan itu. Jaga kearifan dalam memandang segala persoalan melalui cermin kearifan ini.
Kita sungguh sadar bahwa membangun integritas bukanlah masalah gampang, akan tetapi juga bukan sesuatu yang sangat sulit. Jika kita berusaha dengan sungguh-sungguh insyaallah akan juga didapatkan. Yang penting ada niat lalu wujudkan dalam tindakan.
Wallahu a’lam bi al shawab.