KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (1)
Ketika terjadi kesamaan pelaksanaan hari Raya Idul Fithri, 1436 H., atau tahun 2015 M., maka seluruh rakyat Indonesia menyatakan kegembiraannya. Merayakan hari Raya Idul Fithri dalam kesamaan adalah sebuah berkah yang luar biasa. Makanya, ketika akan dilaksanakan Sidang Itsbat pada tanggal 16 Juli 2015, maka dengan harap-harap cemas, seluruh masyarakat berharap agar hari Raya Idul Fithri dapat dilaksanakan secara bersamaan.
Dan alhamdulillah, masyarakat Indonesia dapat merayakan Idul Fithri secara bersamaan. Seperti biasa, Organisasi Muhammadiyah sudah menentukan terlebih dahulu kapan dilaksanakan hari raya dan kemudian disusul dengan Sidang Itsbat yang dilakukan pemerintah. Muhammadiyah menentukan hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari Jum’at, 17 Juli 2015 dan kemudian melalui Sidang Itsbat pemerintah juga menentukan hari Raya Idul Fithri jatuh pada hari yang sama. Di dalam sidang terungkap bahwa hilal dapat dilihat dengan bantuan teknologi di wilayah-wilayah yang menjadi tempat pengamatan hilal.
Di Indonesia, memang terdapat dua metode utama di dalam penentuan kapan hilal bisa diprediksi wujud atau dapat dilihat wujudnya. Muhammadiyah menggunakan metode hisab (ilmu falaq), sedangkan sebagian lainnya menggunakan metode ru’yat (melihat langsung terhadap hilal). Dua metode yang sebenarnya bisa saling mendukung dan menentukan. Jika keduanya masing-masing digunakan, maka bisa akan terjadi persamaan dan juga perbedaan.
Inti perbedaan sesungguhnya bukan pada metodenya yang ekstrim, akan tetapi pada penafsiran tentang wujud hilal. Bagi kaum ru’yat, maka hilal akan dinyatakan ada, jika sudah bisa dilihat dengan mata. Namanya saja ru’yat. Pastilah ada sesuatu yang dilihat. Di sisi lain, bagi kaum hisab, maka selama sudah ada atau sudah wujud hilal tersebut berdasarkan perhitungan ilmu falaq, maka sudah dianggap wujud hilal itu ada. Namanya juga wujud. Berapapun besarannya tidak menjadi masalah, yang penting sudah ada atau wujud.
Perbincangan tentang Yang Ada sudah terjadi sepanjang sejarah hidup manusia. Pemikiran filosofis banyak mengungkapkan mengenai hal ini. Bagi kaum agamawan, Allah adalah Dzat Yang Wujud, meskipun akal dan pikiran manusia tidak akan mampu menjangkaunya. Kita hanya diberi ilmu sedikit untuk menjangkau terhadap Wujud Yang Ada itu. Wa ma utitum minal ‘ilmi illa qalila. Jadi jangan pernah berpikir tentang Wujud Tuhan. Kita hanya diberi kekuatan untuk melihat tanda-tanda alam tentang keberadaannya.
Eksistensi wujud hilal itulah yang menjadi persoalan di dalam menentukan kapan kita harus berhari raya, baik idul fithri maupun idul adha. Konteks perbedaannya adalah wujud sebagai eksistensi dan wujud dalam penampakan. Perbedaan ini yang belum bisa dikompromikan. Muhammadiyah berada dalam satu sisi dan NU dengan yang lain di dalam sisi lainnya. Keduanya berkeyakinan bahwa pandangannya yang benar, dan karena pandangan itu diyakini bersumber dari ajaran agama, maka keduanya lalu belum bisa berkompromi.
Sebenarnya upaya merintis jalan untuk berkompromi sudah dilakukan melalui konsep Imkanur Ru’yah atau kemungkinan meru’yah. Konsep yang dicetuskan oleh MUI ini sungguh sebagai upaya untuk mempersatukan pandangan mengenai kapan hari raya dan juga kapan hari-hari besar umat Islam lainnya akan bisa disamakan. Andaikan umat Islam menerima konsep ini, maka kesamaan tersebut akan bisa didapatkan. Sayangnya belum semua umat Islam Indonesia menerima konsep ini.
Berdasarkan konsep Imkanur Ru’yah, sebagaimana kriteria yang disepakati oleh Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura (MABIMS), yaitu tinggi hilal sekurang-kurangnya 2 derajat.
Berdasarkan kriteria itu, maka pengalaman menunjukkan bahwa hilal dapat dilihat dengan bantuan teknologi teropong bintang, sehingga tidak ada keraguan untuk menentukan hilal bisa diru’yah jika ketinggiannya seperti itu. Kriteria MABIMS inilah yang seharusnya menjadi pedoman umat Islam di negara-negara anggotanya.
Imkanur ru’yah adalah jalan tengah untuk menjembatani perbedaan pendapat antara yang berkonsepsi wujudul hilal dengan yang ru’yatul hilal. Jika kedua pendapat ini tidak bisa disatukan dalam bentuk kompromi, maka akan sulit dicapai kesepakatan di dalam penentuan awal bulan untuk kepentingan ibadah, khususnya hari raya Idul Fithri maupun Idul Adha.
Melalui perbedaan yang terus dilestarikan ini, memang kadangkala hasil perhitungan kaum hisab di Indonesia yang sama dengan Saudi Arabia atau terkadang hasil ru’yatnya yang sama dengan Saudi Arabia. Jika sudah begini, akhirnya kita hanya bisa pasrah “perbedaan adalah perkara biasa”.
Wallahu a’lam bi alshawab.