KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (2)
KAPAN BISA MERAJUT KEBERSAMAAN HARI RAYA? (2)
Sebelum pelaksanaan Itsbat, sebenarnya sudah tergambar bahwa pelaksanaan hari Raya Idul Adha akan mengalami perbedaan. Dari perhitungan yang dilakukan oleh ahli ilmu falaq, ternyata menggambarkan data tentang keadaan hilal dengan segala atributnya bahwa posisi hilal memang masih sangat rendah bahkan minus. Oleh karena itu, kita sudah merasakan aroma bahwa hari raya sekarang (2015) akan mengalami perbedaan.
Sebagaimana biasa, Muhammadiyah lebih dahulu mengeluarkan Maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, No. 01/MLM/1.0/E/2015 tentang Penetapan Hasil Hisab Ramadan, Syawal dan Zulhijjah 1436 Hijriyah. Yang intinya menyatakan bahwa Hari Raya Idul Adha 1436 Hijriyah akan diselenggarakan pada hari Rabu Kliwon, tanggal 23 September 2015. Hal ini karena Muhammadiyah menggunakan metode Hisab Hakiki, yang pada dasarnya menyatakan bahwa selama sudah ada “wujud” hilal, berapapun ketinggian derajadnya, maka sahlah sudah menyatakan bahwa tanggal satu bulan Qamariyah sudah terjadi.
Benar juga, kala diselenggarakan Sidang Itsbat yang dipimpin oleh Prof. Dr. Mahasin, Dirjen Bimas Islam, pada tanggal 13 September 2015, maka semua perukyat di seluruh Indonesia tidak melihat hilal. Bagaimana bisa melihat hilal, jika posisi ketinggian hilal masih berada pada posisi -0,37 derajat sampai 0,37 derajat, dengan umur hilal 4 jam 8 menit. Artinya, posisi hilal sangat rendah dan tidak akan mungkin terlihat dengan peralatan teknologi sekalipun.
Kenyataan tersebut yang akhirnya membawa kepada kesimpulan di dalam Sidang Itsbat bahwa hilal belum bisa dirukyat sehingga bulan Zulqaidah diistimalkan menjadi 30 hari, sehingga tanggal 1 Zulhijjah jatuh pada hari Selasa, 15 September 2015. Sebagai konsekwensinya adalah hari Raya Idul Adha jatuh pada Hari Kamis, 10 Dzulhijjah atau bertepatan dengan tanggal 24 September 2015.
Hari Raya Idul Adha tahun ini, sebagaimana pengumuman pemerintah, ternyata bersamaan waktunya dengan pelaksanaan Hari Raya Idul Adha di Tanah Suci Makkah al Mukarramah. Berdasarkan rukyat yang dilakukan oleh otoritas Pemerintah Arab Saudi, bahwa hari Raya Idul Adha tahun ini bersamaan dengan Pemerintah Indonesia dan juga Otoritas MABIMS. Pada kesempatan lain, bisa jadi yang bersamaan dengan keputusan otoritas Pemerintah Arab Saudi adalah hasil Hisab Hakikinya Muhammadiyah. Jadi, sungguh kita berada dalam posisi yang kurang menentu.
Ada yang sesungguhnya membuat kita galau adalah penetapan tanggal 1 Qamariyah itu terkait dengan rentetan ibadah lainnya. Jadi, berakibat pada pelaksanaan hari tasyri’ atau kapan kita akan menyembelih kurban, dan sebagainya. Dengan berbeda sehari mengenai pelaksanaan shalat Idul Adha, maka ada maju atau mundur sehari mengenai hari tasyri’ dimaksud. Jadi yang mengikuti Muhammadiyah sudah menyembelih korban, sementera yang mengikuti pemerintah belum, dan seterusnya. Karena persoalan ibadah itulah yang membuat kegalauan demi kegalauan tersebut. Terkadang kita berpikir, kapan kita bisa bersatu dalam perkara yang satu ini.
NU dan beberapa organisasi yang lain, sesungguhnya sudah melangkah satu tahap dengan mengikuti paham yang dikembangkan oleh MUI dan juga kesepakatan Negara Anggota MABIMS yaitu dengan konsep Imkanur Rukyah atau peluang melihat hilal. Melalui kriteria serendah-rendahnya 2 derajat ketinggian hilal, maka diputuskan –meskipun hilal tidak terlihat karena halangan—maka keputusannya tanggal 1 Qamariyah sudah dapat dipastikan. Jika kurang 2 derajat, maka peluang hilal tidak akan bisa dilihat, sehingga diistikmalkan menjadi 30 hari.
Kita suatu ketika ingin bertanya kepada masyarakat awam, apakah mereka menikmati terhadap perbedaan hari Raya ini. Secara commonsense, saya menyatakan bahwa masyarakat tidak menikmati perbedaan ini. Mereka pasti menginginkan kesamaan dalam berhari raya. Bagi mereka, kesamaan hari raya adalah berkah yang membawa ketentraman dan kedamaian. Kebersamaan tetap sebagai keindahan. Ada ungkapan “Alhamdulillah kita sama dalam hari raya”.
Masyarakat awam tentu tidak tahu apakah hari raya akan jatuh pada hari apa dan kapan. Mereka adalah pengikut setia terhadap keyakinan para pimpinannya. Jadi apa yang dikatakan oleh pemimpinnya adalah apa yang akan dilakukannya. Mereka melakukan sesuatu yang “terkadang” tidak menjadi pilihan rasionalnya. Mereka meyakini saja terhadap penafsiran, statemen, atau keputusan yang tekah diambil oleh pemimpinnya. Jika di Madura ada ungkapan Baba, Bubu dan Ratuh atau ketaatan pada orang tua dan kemudian negara, maka juga berlaku ungkapan ketaatan pada orang tua dan organisasi.
Organisasi merupakan atribusi identitas, sehingga melalui organisasi akan terbentuk identitas yang jelas, siapa kita ini sesungguhnya. Maka setiap organisasi akan membangun identitas sebagai hal yang sangat urgen dan mendasar. Maka setiap pemimpin organisasi juga akan memperkuat basis identitas organisasinya dengan berbagai macam upaya. Yang terkadang menjadi penting juga melibatkan keyakinan untuk simbol identitas.
Secara sosiologis tentu hal ini sebagai realita empiris yang akan terjadi di mana saja dan kapan saja. Organisasi dan identitas sudah menjadi konsep universal yang dapat ditemui di manapun. Di suatu masyarakat yang religositasnya kuat lalu ditambahkan dengan dengan proposisi “ada korelasi antara keyakinan, organisasi dan identitas individu atau komunitas dalam suatu momen tertentu”. Dalam kasus penetapan tanggal satu Qamariyah, maka korelasi tersebut sangat signifikan. Batas identitas menjadi sangat kentara. Makanya, para pemimpin organisasi –apapun organisasinya—lalu merasa berhasil di dalam menghegemoni anggotanya, jika keputusan pimpinan menjadi pedoman tindakan anggotanya.
Kita memang bersyukur bahwa perbedaan hari raya bukan merupakan halangan untuk berkomunikasi dan bersilaturrahim. Tidak ada lagi saling mencela dan mengutuk perbedaan itu. Semuanya memahami bahwa perbedaan adalah rahmat. Inilah bentuk kedewasaan yang sudah terbangun selama ini. Jadi, masyarakat menganggap perbedaan sebagai perkara biasa saja.
Pengalaman seperti ini tentu akan terus terjadi selama metode penafsiran yang digunakan berada di dalam titik yang ekstrim. Kementerian Agama merupakan institusi yang memiliki otoritas sebagai penentu tanggal Qamariyah sesuai dengan regulasi yang dimiliki, tentu sudah berupaya untuk melakukan berbagai pertemuan untuk merumuskan solusi kebersamaan. Ke depan tentu kita semua masih berharap semoga ada titik temu di antara yang menggunakan prinsip rukyat dan hisab, sehingga kesamaan menjadi mainstream dari mindset kita bersama. Memang membuthkan kearifan dan pengorbanan untuk mengubah prinsip, jika kita memang masih menghendaki kebersamaan.
Wallahu a’lam bi al shawab