• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (2)

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (2)

Saya kira, penerapan manajemen resiko untuk penyelenggaraan ibadah haji sudah saatnya untuk didiskusikan. Manajemen resiko ini juga tidak hanya dikhususkan bagi pemegang otoritas penyelenggaraan ibadah haji di Tanah Suci saja, akan tetapi juga bagi negara-negara lain yang terlibat di dalam pengiriman jamaah haji. Pemerintah Arab Saudi dalam kapasitas sebagai penyelnggara ibadah haji memang memiliki kewenangan untuk menerapkan manajemen resiko, sebab banyaknya masalah yang dihadapi jamaah haji berada di wilayah kekuasaannya. Namun demikian, juga sangat diperlukan dukungan negara-negara lain yang mengirimkan jamaah haji agar program ini dapat mencapai tujuannya.

Bagi pemerintah Indonesia, penerapan manajemen resiko tentu sangat urgen menginat bahwa Indonesia adalah pengirim jamaah haji terbesar di dunia. Dengan jumlah 211.000 sampai 212.000 jamaah haji  setiap tahun, maka bisa dibayangkan bagaimana memanej mereka di tengah jutaan umat Islam yang melaksanakan ibadah haji. Berbeda dengan negara lain, misalnya Malaysia yang hanya mengirimkan jamaah haji sebanyak 23.000 orang atau bahkan Brunei Darussalam yang hanya 400 orang, maka jumlah jamaah haji Indonesia haruslah dimanej dengan sangat hati-hati dan memadai.

Penyelenggaraan ibadah haji tentu melibatkan banyak pihak. Bagi pemerintah Indonesia, misalnya ada lembaga-lembaga non government, misalnya Kelompok Bimbingan Ibadah Haji, asosiasi-asosiasi penyelenggara ibadah haji, dan juga badan-badan swasta lainnya yang selama ini terkait di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Makanya, ketika harus merumuskan penerapan manajemen resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji, maka mereka juga mesti harus terlibat di dalamnya.

Ada beberapa hal yang kiranya bisa didiskusikan terkait dengan penerapan manejemen resiko ini, khususnya bagi Pemerintah Indonesia.   Pertama, memperhatikan terhadap SDM penyelenggara ibadah haji. Penyelenggara ibadah haji tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Selain yang ada di pusat juga ada di daerah-daerah kabupaten/kota. Tentu saja juga dengan kualitas pemahaman dan pemikiran yang sangat variatif. Ada yang sangat care terhadap penyelenggaraan ibadah haji dan ada pula yang hanya sebagai pelaku atau pelaksana kegiatan.

SDM pendukung penyelenggaraan Ibadah Haji terdiri dari ASN di Kementerian Agama, petugas yang tergabung pada Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH), Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), Tim Pembimbing Ibadah Haji Daerah (TPIHD), Pembimbing Haji dari KBIH, dan sejumlah tim lain yang tergabung di dalam penyelenggaraan ibadah haji (tenaga Musiman). Merekalah yang sesungguhnya menjadi pendamping jamaah haji di dalam prosesi ibadahnya. Mereka adalah tim yang secara langsung terlibat dan menjadi satu kesatuan dengan jamaah haji di Mekkah maupun Madinah. Dengan demikian, mereka memiliki peran yang sangat signifikan untuk mengarahkan para jamaah haji pada prosesi ibadahnya.

Kedua, pelatihan tim pendamping haji. Sebagaimana diketahui bahwa tugas tim ini adalah menjadi pedamping jamaah haji, terutama terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji (prosesi ibadah maupun administrative dan perbekalan). Kesuksesan penyelenggaraan haji sebenarnya sangat tergantung pada peran mereka. Di dalam konteks ini, maka pelatihan untuk persiapan pendampingan harus melibatkan tim khusus yang memahami tentang manajemen resiko. Mereka tidak hanya dipersiapakan mengenai bimbingan ibadah dan teknis lainnya, akan tetapi harus memahami benar bahwa ada potensi resiko yang menjadi tantangan tim ini untuk dipahami.

Mereka harus mengenal benar tentang tempat, waktu, proses yang sering menjadi masalah di dalam penyepenggaraan haji. Kasus Mina yang selalu menjadi problem utama haji haruslah dikenal dengan baik. Bahkan juga berbagai simulasi untuk melakukan tindakan-tindakan penting yang  harus dikuasainya. Dan yang lebih utama adalah kemampuan mengantisipasi terhadap potensi musibah yang berpeluang terjadi di dalam prosesi ibadah.

Ketiga, meninjau ulang terhadap penyelenggaraan pelatihan tim haji, baik di daerah maupun di pusat. Salah satu yang harus dipertimbangkan adalah bagaimana agar mereka memahami manajemen resiko, sebagai usaha manusia untuk memberikan peringatan dini tentang potensi bahaya (early warning). Kiranya diperlukan seperangkat instrument teknologi yang akan dapat mendeteksi terhadap arah pergerakan dan kecenderungan penumpukan massa jamaah, sehingga akan bisa dideteksi lebih awal mengenai langkah antisipasi terhadap problem tersebut.

Pada tulisan saya terdahulu, saya sebutkan pentingnya Geographic Security System (GSS) yang dapat dijadikan sebagai instrument untuk melakukan deteksi dini (early warning) terhadap kemungkinan terjadinya resiko negative bagi para jamaah haji. Melalui sistem yang terpadu, maka akan dapat diputuskan mana tindakan yang akan diambil untuk kepentingan penyelamatan jamaah haji.

Keempat, mengubah mindset para pendamping haji dari orientasi surplus pahala sentris ke pahala dan keselamatan sentris. Tidak ada artinya tujuan memperoleh pahala yang lebih besar tetapi keselamatan tidak diperhatikan. Makanya, mindset mencari keafdholan (keutamaan) harus diubah menjadi kemaqbulan. Bukankah haji yang mabrur sudah cukup menjadi kendaraan seseorang untuk memasuki surga dan keridlaan Allah.

Sampai saat ini masih banyak tim pendamping haji yang merasa bahwa dirinya paling tahu mengenai medan haji, sehingga dengan pengetahuannya itu dijadikan sebagai justifikasi untuk mengajak para jamaah haji dalam mengejar keutamaan haji. Sebagaimana contoh haji tahun ini (2015) yang menuai masalah bagi jamaah haji Indonesia, sesungguhnya dipicu oleh ajakan-ajakan untuk menunaikan keutamaan haji dimaksud. Padahal Pemerintah Arab Saudi sudah memberikan jadwaj bagi jamaah Asia untuk melempar jumrah pada jam  tertentu, akan tetapi ada sekian banyak tim pemandu haji yang melakukan berbeda dengan time schedule dimaksud.

Kelima, merekonstruksi kurikulum pelatihan PPIH, TPIHI, TPIHD dan juga Pimpinan KBIH dan Lembaga lainnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan haji. Kurikulum baru tersebut dimaksudkan sebagai kurikulum pelatihan dan pendidikan yang di dalamnya mengedepankan manajemen resiko. Selama ini manajemen yang diajarkan adalah manajemen operasional haji, sehingga cakupannya lebih kepada memahami proses penyelenggaraan haji. Melalui kurikulum baru tersebut, maka seluruh komponen personal yang akan menjadi penyelenggaran haji adalah mereka yang sudah memiliki kepedulian terhadap deteksi dini pada masalah-masalah haji, terutama di Mekkah dan Armina.

Saya berkeyakinan bahwa tidak ada sedikitpun di antara kita yang menghendaki penyelenggaraan ibadah  haji bermasalah, baik ketika di negara asal maupun di Tanah Suci. Dengan keyakinan seperti ini, maka menyelenggarakan haji dengan mengedepankan manajemen operasional dan memadukannya dengan manajemen resiko rasanya menjadi keniscayaan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (1)

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (1)

Mungkin di antara kita ada yang mempertanyakan meskipun tidak terang-terangan, tentang bagaimana memanej takdir Tuhan, Allah swt. Musibah  tersebut pasti akan terjadi dan tidak bisa diundurkan atau dimajukan kejadiannya. Begitulah orang memaknai takdir itu.

Sebagaimana yang sering saya tulis, bahwa perkara takdir adalah persoalan keyakinan, dan biasanya digunakan sebagai penjelasan terhadap suatu kejadian yang tidak diprediksi oleh kemampuan akal manusia. Makanya, Allah mengajarkan kepada kita jika terjadi musibah hendaknya kita menyatakan: “inna lillahi wa inna ilaihi rajiun”, yang atinya kurang lebih adalah “Sesungguhnya semua milik Allah dan sesungguhnya semua akan kembali kepadanya”.

Kalimat itulah yang dinyatakan oleh umat Islam dalam kaitannya dengan musibah demi musibah yang terjadi sekarang ini. Semenjak tragedi crane sampai tragedi Mina, maka seluruh umat Islam menyatakan kalimat yang sama. Basis keyakinanlah yang mengantarkan kita semua menerima terhadap kenyataan takdir ini.

Namun demikian, saya kira tetaplah harus dipikirkan tentang penerapan manajemen resiko di dalam pelayanan haji, khususnya di Arab Saudi. Menajemen resiko ditetapkan penggunaannya, sebab memang penyelenggaraan haji memiliki potensi masalah yang tidak sedikit. Dan bahkan berdasarkan kenyataan empiris bahwa penyelenggaraan ibadah haji juga terus menuai musibah.

Agar penyelenggaraan ibadah haji dapat memberikan pelayanan yang lebih baik, maka diperlukan suatu manajeman yang terkait dengan kejadian atau peristiwa yang tidak mengenakkan atau kerugian. Inilah yang kemudian disebut sebagai manajemen resiko, yaitu proses untuk mengidentifikasi, mengukur dan mengontrol resiko (apa saja: bisa finansial, asset bahkan jiwa seseorang) agar didapatkan penyelenggaraan suatu even akan lebih menyelamatkan dari pada merugikan.

Dasar  digunakannya menajemen resiko di dalam penyelenggaraan haji adalah untuk mengantisipasi masalah atau musibah. Pertama,  banyaknya jamaah haji. Jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun makin bertambah. Jumlah mereka berkisar antara dua sampai tiga juta umat. Mereka berada di dalam tujuan yang sama, yaitu melaksanakan ibadah haji.

Kedua, terjadinya penumpukan massa di dalam satu titik yang sama. Di dalam ritual haji, maka dipastikan bahwa jamaah haji akan menumpuk di sekitar ka’bah untuk thawaf dan kemudian di dalam masjid untuk sa’I dan salat jamaah. Lalu, di jalan menuju Arafah, Muzdalifah dan Mina. Dan yang paling bermasalah adalah jalan menuju titik tempat pelemparan jamarat serta pelaksanaan melempar jamarat. Bisa dibayangkan orang dalam jumlah besar bergerak bersama menuju satu titik ritual, sehingga peluang terjadinya musibah sebenarnya bisa diprediksi.

Ketiga, semangat beribadah dan ketercapaian ibadah secara individual akan menyebabkan seseorang melupakan dimensi keselamatan diri. Apalagi jika dipandu oleh semangat untuk mengejar waktu afdhal dan pahala yang lebih besar.

Penerapan manajemen resiko, sesungguhnya diinspirasikan oleh keinginan untuk memberikan rasa aman dan nyaman serta keselamatan bagi jamaah haji. Sebagai tamu Allah, maka mereka haruslah memperoleh jaminan akan keselamatan dan keamanan. Oleh karena itu, penerapan menajemen dimaksudkan sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya masalah atau musibah di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Saya tentu juga berkeyakinan bahwa otoritas Arab Saudi sudah melakukan banyak hal terkait dengan jaminan keamanan dan keselamatan ini, meskipun juga harus tetap diperhitungkan resiko-resiko fisik atau kejiwaan bagi para jamaah haji.

Di dalam pelaksanaannya, maka manajemen resiko dapat menggunakan tiga tahapan yang secara umum sering digunakan. Yaitu: pertama, mengidentifikasi resiko. Sebagaimana diketahui secara umum, bahwa medan resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji sudah teridentifikasi. Bahkan kejadian-kejadian musibah selama ini juga sudah diidentifikasi secara memadai. Bukankah kejadian-kejadian musibah tersebut sudah sering terjadi di saat penyelenggaraan ibadah haji. Misalnya, tempat pelemparan jamarat, jalan menuju jamarat, seputar ka’bah dan sebagainya. Jika terjadi kasus berulang-ulang, maka sesungguhnya terdapat kesamaan medan musibah atau masalah. Dengan demikian, peta masalah atau gambaran musibah itu sudah bisa diduga tempat dan waktunya.

Kedua, melakukan evaluasi resiko. Salah satu yang sangat penting untuk dimanej dengan baik adalah bagaimana menyelamatkan ratusan jamaah haji yang dalam suatu waktu melakukan ritual-ritual haji. Mungkin agak berbeda dengan manajemen resiko perusahaan yang lebih banyak kaitannya dengan evaluasi resiko finansial dan asset, maka di dalam manajemen resiko penyelenggaraan ibadah haji adalah mengevaluasi keselamatan jamaah haji. Nyawa mereka menjadi taruhannya, jika manajemen resiko gagal beroperasi. Evaluasi terhadap titik-titik resiko penyelenggaraan ibadah haji harus terus menerus dilakukan.

Ketiga, mengendalikan resiko.  Di antara tujuan mendasar dari manejeman resiko adalah bagaimana penyelenggara even: badan, pemerintahan, perusahaan dan sebagainya agar dapat mengendalikan masalah atau resiko. Dengan demikian, pengendalian resiko tentu menjadi sangat penting di saat krisis yang membutuhkan penyelamatan. Mengamati terhadap penyelenggaraan ibadah haji yang selalu terdapat potensi musibah –sebagaimana yang sering terjadi—maka tidak ayal lagi bahwa diperlukan adanya pengendalian resiko ini. Apalagi resiko yang berpotensi itu tidak hanya terkait dengan finansial atau asset, akan tetapi nyawa seseorang.

Tulisan ini tentunya bukan dimaksudkan dan bahkan bukan untuk meragukan otoritas Arab Saudi di dalam penyelenggaraan ibadah haji, apalagi mendegradasikan kewenangannya, namun sebagai bahan renungan bahwa sudah saatnya untuk melakukan yang lebih baik terkait dengan layanan haji.

Pemerintah Arab Saudi sudah melakukan segalanya untuk kepentingan kenyamanan jamaah haji, pemasangan CCTV, perbaikan Masjidil Haram, perluasan tempat pemondokan dan sebagainya. Makanya, yang kiranya diperlukan adalah bagaimana melakukan antisipasi terhadap kejadian musibah yang memang menghantui penyelenggaraan ibadah haji.

Saya kira perbaikan manajemen SDM, manajeman operasional dan manajemen resiko tetaplah dipentingkan. Kiranya memang perlu evaluasi yang mendasar mengenai penyelenggaraan ibadah haji ini.

Wallahu a’lam bi al shawab.

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (3)

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (3)

Saya baru saja datang dari ziarah Makam Ayah saya, kala Jurnalis INews TV, Mas Dani menelepon saya terkait dengan berita terjadinya musibah Mina, yaitu berita tewasnya sebanyak 220 orang. Maksud Mas Dani adalah ingin memperoleh klarifikasi tentang berita tersebut.

Lalu saya sampaikan kepadanya bahwa saya sedang di tempat kelahiran saya, Desa Sembungrejo, Kecamatan Merakurak, Kabupaten Tuban, Jawa Timur  untuk acara khusus. Saya meminta kepadanya untuk menghubungi tim humas haji yang tentu saja  siap memberikan klarifikasi.

Saya merasakan betapa pelaksanaan haji tahun ini penuh dengan  masalah dan musibah. Belum lepas dari ingatan kita tentang masalah robohnya crane yang juga menewaskan jamaah haji, termasuk jamaah haji Indonesia, dan sekarang juga terjadi musibah sebagai akibat mereka berdesakan untuk melempar jumrah. Dan akhirnya diketahui bahwa jumlahnya juga sangat banyak, 717  orang. Sungguh ini merupakan bagian dari Idul Adha yang kelabu bagi umat Islam (Republika, 26/09/2015).

Tragedi di dalam melaksanakan ibadah haji tentu bukan barang baru, sebab memang pernah terjadi beberapa kali dengan korban jamaah haji dalam jumlah yang bevariasi. Akan tetapi musibah yang terjadi tahun ini terasa sangat mendalam, sebab terjadi dalam rentang waktu yang berdekatan. Saya tentu tidak akan lagi bertanya dalam corak pertanyaan spiritual, akan tetapi saya hanya akan menyatakan bahwa tentu harus diberlakukan manajemen baru  secara sangat mendasar terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji dengan jumlah jamaah yang mencapai jutaan orang.

Saya tentu yakin bahwa semua yang terjadi adalah bagian dari ketentuan Tuhan, Allah swt. Akan tetapi Pemerintah Saudi sebagai Khadimul Haramain dan pemilik otoritas untuk menyelenggarakan ibadah haji, tentunya harus melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap penyelenggaraan ibadah haji. Namun demikian, negara pengirim jamaah haji juga harus memberikan bimbingan yang memadai tentang tatacara dan  perhitungan waktu yang cermat mengenai pelaksanaan ritual-ritual dimaksud. Masing-masing negara pengirim jamaah haji juga harus menerapkan manajemen resiko untuk kepentingan ini.

Perubahan  ini dirasakan sangat penting. Ibadah haji akan tetap menjadi bagian penting di dalam sistem peribadahan Islam.  Meskipun terdapat sejumlah resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji, namun hal itu tentu tidak akan menyurutkan calon jamaah haji untuk mengurungkan niatnya. Bahkan yang usianya sangat beresiko sekalipun juga akan tetap melaksanakan ibadah haji jika peluang ibadah haji tersebut didapatkannya.

Memang harus diakui bahwa ibadah haji memiliki potensi resiko yang cukup besar. Hal ini disebabkan banyaknya jumlah jamaah haji yang dalam waktu yang nyaris bersamaan harus melakukan ritual wajib. Yang paling potensial adalah perjalanan untuk melempar jumrah, baik Jumratul Ula, Wustha maupun Aqabah. Potensi yang paling berpotensi rawan adalah perjalanan menuju lokasi melempar jumrah tersebut. Bisa dibayangkan manusia dalam jumlah ratusan ribu bahkan jutaan bergerak bersama untuk melakukan ritual ini.

Rombongan pejalan kaki yang mencapai ratusan ribu orang bahkan jutaan orang tersebut sangat rawan musibah. Jika yang bagian depan menghentikan langkahnya, sementara yang ditengah dan belakang tidak mengetahuinya tentu akan terjadi suasana berjubel dan hal ini sangat rawan terjadinya prosesi berdesakan yang luar biasa. Bisa dibayangkan bahwa mereka hanya membayangkan satu titik yang sama dan akan melakukan tindakan yang sama. Makanya, potensi kerawanan akan sangat besar. Kita tentu ingat ketika pejalan kaki di Haratul Lisan saling berhimpitan dan kemudian menyebabkan korban tewas yang tidak sedikit.

Lokasi yang juga sering menjadi tempat berpotensi masalah adalah titik tempat melempar jumrah. Lokasi ini memang sudah dibangun bertingkat, akan tetapi tetap saja berpotensi untuk terjadinya tumpukan massa dan bisa menyebabkan terjadinya musibah. Banyak kejadian di titik lokasi melempar jumrah  dan bahkan juga sudah pernah terjadi musibah yang menewaskan banyak jamaah haji.

Oleh karena itu, kiranya diperlukan manajemen resiko untuk mengatasi masalah demi masalah yang terkait dengan penyelenggaraan ibadah haji. Meskipun musibah adalah kepastian Tuhan, akan tetapi manusia tetap harus berusaha untuk melayani keselamatan jamaah haji. Haji yang merupakan salah satu rukun Islam penting dan menjadi idaman umat Islam untuk melaksanakannya tentu tidak boleh dijadikan sebagai bahan olok-olokan bahwa ibadah haji sebagai ladang musibah. Bukankah banyak kaum Islamphobia yang selalu mengumandangkan rasa hasudnya terhadap Islam dan umat Islam.

Berdasarkan pemetaan terhadap tempat-tempat potensial musibah, maka berikutnya akan bisa diterapkan manajemen resiko yang dapat digunakan sebagai instrument untuk meminimalisir potensi rawan musibah. Untuk kepentingan ini, maka dapat dipertimbangkan beberapa strategi manajemen resiko, yaitu:

Pertama, memetakan secara cermat pergerakan jamaah di tempat yang rawan masalah. Pemetaan dilakukan melalui sistem satelit, seperti Geographic Security System (GSS) yang akan dapat memonitor secara cermat terhadap penumpukan massa. Melalui sistem ini, maka petugas yang sudah disiapkan secara terlatih akan dapat mengerem laju jamaah, jika dirasakan tumpukan massa sudah mengkhawatirkan atau mengarahkan ke jalur lain yang berpeluang aman.

Kedua, mengalokasikan tim internasional yang terdiri dari berbagai negara peserta haji sebagai tim yang melakukan penjagaan secara bersama di wilayah-wilayah yang rawan dan potensial musibah. Melalui tim internasional yang sesungguhnya mengetahui banyak rute-rute jamaahnya, maka akan didapatkan kesepahaman kapan harus melakukan ritual dan kapan harus berhenti.

Ketiga, melakukan antisipasi waktu yang ketat terhadap pelaksanaan ibadah atau ritual. Misalnya dengan pembagian waktu yang cermat kapan jamaah Indonesia harus melakukan ritual, dan kapan jamaah Negara lainnya. Cara ini memang tidak popular, sebab ada banyak keyakinan untuk mengejar waktu afdhal beribadah. Jamaah haji yang ingin mengejar waktu afdhal inilah yang terkadang sangat sulit dikendalikan oleh petugas dan biasanya melakukannya tanpa koordinasi.

Keempat, memperkuat tim pemandu haji dengan pengetahuan mengenai manajemen resiko. Satu hal yang sangat penting untuk diketahui oleh petugas haji adalah mengenai resiko atau potensi musibah. Oleh karena itu, setiap petugas harus memahami bahwa tugasnya mengandung resiko untuk menyelamatkan jamaah haji. Makanya, sebagai petugas mereka harus memahami apa yang harus dilakukan jika akan terjadi peluang resiko musibah. Melalui panduan GSS yang ada di tangannya, maka mereka akan bisa berkomunikasi dengan tim-tim pemandu jamaah haji untuk melakukan penyelamatan jamaah haji.

Kelima, koordinasi dan kerjasama internasional. Meskipun penyelenggaraan haji adalah otoritas Pemerintah Arab Saudi, akan tetapi juga harus terbuka untuk membangun jejaring kerjasama di dalam pelaksanaan manajemen resiko ini. Oleh karena itu, harus ada Badan Internasional dibawah koordinasi Pemerintah Arab Saudi yang memiliki tugas untuk mengembangkan implementasi manajemen resiko di dalam kerangka penyelenggaraan ibadah haji.

Saya kira sudah saatnya untuk memikirkan apa yang terbaik bagi keselamatan jamaah haji, meskipun kita tahu bahwa semua yang terjadi hakikatnya adalah kehendak Allah swt. Kita harus tetap berusaha untuk memberikan rasa aman dan nyaman bagi tamu-tamu Allah yang merindukan beribadah dengan kekhusyuan dan keselamatan.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (2)

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (2)

Ketertarikan saya untuk tetap menulis mengenai Idul Adha diinspirasikan oleh kenyataan bagaimana umat Islam begitu bersemangat untuk mencontoh tradisi ritual yang sudah dilakukan  oleh Nabi Ibrahim dan diteruskan oleh Nabi Muhammad saw. Sebagaimana kita ketahui bahwa seluruh ibadah haji adalah contoh perjalanan ritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim, Nabi Ismail dan juga Hajar isteri Nabi Ibrahim. Teladan ritual inilah yang kemudian memperoleh pengabsahan melalui Nabi Muhammad saw dan terus dilakukan oleh umat Islam sampai kini dan juga yang akan datang.

Yang tidak kalah penting juga teladan pengorbanan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim As dan putranya Nabi Ismail as. Nabi Ibrahim adalah nenek moyang agama-agama Semitis: Yahudi, Nasrani dan Islam. Ketiganya adalah agama monoteis yang bersumber dari ajaran Nabi Ibrahim as. Itulah sebabnya, ketiga agama ini  memiliki  ajaran-ajaran universal yang menjadi pilarnya.

Di dalam perkembangannya, memang terjadi perbedaan yang sangat mendasar, terutama dalam bidang teologis dan ritual. Namun  demikian,  sesungguhnya yang terkait dengan ajaran kemanusiaan tentulah terdapat  titik temunya. Misalnya tentang ajaran kasih sayang. Terjadinya perbedaan yang sangat mendasar dalam bidang teologi tentu disebabkan oleh adanya penafsiran dan rentang waktu dari para pelaku agama tersebut. Makanya, sering dinyatakan bahwa agama yang datang terakhir adalah sebagai rekonstruksi dan penemuan kembali kebenaran yang datangnya dari Tuhan.

Idul Adha sesungguhnya merupakan momentum untuk mengingat dan menemukan kembali  ajaran Ibrahim –yang diyakini oleh ketiga agama Semitis ini—yaitu peristiwa bagaimana Nabi Ibrahim berkorban untuk  keyakinannya. Nabi Ibrahim mengorbankan putranya untuk dipersembahkan kepada Allah swt dan untuk menandai kepatuhan dan kesetiaannya pada Tuhannya. Pengorbanan Nabi Ibrahim inilah yang kemudian ditradisikan sebagai Idul Adha di kalangan umat Islam, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad saw.

Kata kunci penting di dalam memperingati peristiwa Idul Adha adalah “pengorbanan”. Jika orang ingat tentang Idul Adha, maka yang diingatnya adalah “mengorbankan hewan yang halal sesuai dengan takaran” untuk menandai kepatuhannya pada ajaran agamanya. Unta, sapi, kerbau, kambing adalah lambang hak milik yang bisa dikurbankan untuk pengabdian pada Allah.

Untuk bisa melakukan pengorbanan, dalam banyak aspek kehidupan, maka Prof. Dr. Amin Abdullah, Khotib Shalat Idul Adha (2015) menyarankan tiga hal, yaitu kedisiplinan, etos kerja dan pengabdian. Sebagaimana pengorbanan untuk dimensi ritual, maka pengorbanan untuk membangun dan menyejahterakan masyarakat juga membutuhkan kediplinan, artinya dilakukan secara terus menerus dan  berkelanjutan yang didasari oleh niat yang tulus dan ikhlas hanya untuk kepentingan kemanusiaan.

Kedisiplinan tidak akan memiliki makna apapun jika tidak didasari oleh etos kerja yang kuat. Etos kerja adalah panggilan dari dalam diri manusia untuk terus menerus dan berkelanjutan di dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai khalifah Allah fil ardh. Jika tugas untuk memakmurkan kemanusiaan itu adalah tugas kemanusiaan, maka kedisiplinan dan etos kerja harus menjadi satu kesatuan yang utuh dan sistemik.  Jika masyarakat Islam memiliki kedisiplinan dan etos kerja yang kuat, maka peluang untuk memakmurkan umat Islam akan menjadi besar.

Kedisiplinan dan etos kerja yang berhasil tentu akan memberikan peluang kemakmuran, akan tetapi hal itu juga tidak ada maknanya jika tidak dibarengi dengan semangat pengabdian kepada kemanusiaan. Semangat pengabdian akan mengajarkan kepada manusia tentang kesediaan berbagi kepada yang lain. Dengan semangat berbagi, maka tidak akan terjadi akumulasi kekuatan dan kemakmuran hanya pada sekelompok orang, akan tetapi akan dibagi-bagi dengan lainnya. Disinilah makna “taqsimul arzaq” yang kiranya menjadi kata kunci untuk share kemakmuran.

Idul Adha atau Idul Kurban juga akan memiliki makna jika kita menghayati akan teladan Ibrahim dan keluarganya untuk berbagi kepada yang lain. Daging kurban, air zamzam, keramaian kota Makkah dalam musim haji dan bulan lainnya adalah buah dari doa dan teladan ritual yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as  dan keluarganya. Maka jika kita meneladani keluarga ini, maka yang harus dilakukan adalah mencontoh bagaimana mereka itu memiliki semangat dan jiwa berkurban di dalam kehidupannya.

Namun, ketika saya menulis paragraph demi paragraph di dalam tulisan saya ini, nuansa hati kita menjadi makin tidak menentu.  Musibah demi musibah di dalam  pelaksanaan haji terus berlangsung. Kita yang awam ini lalu suka bertanya, ada apa dibalik kejadian demi kejadian ini. Pasti Tuhan bukan marah kepada kita. Namun tentu kita juga harus melakukan introspeksi tentang banyak hal yang harus  kita lakukan terkait dengan penyelenggaraan haji.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (1)

IDUL ADHA DI TENGAH MUSIBAH (1)

Saya merasa sudah sering  menulis tentang Idul Adha dalam beberapa tahun terakhir. Namun  kali ini,  tetap saja saya ingin menuliskannya lagi,  karena kiranya tetap ada yang special untuk ditulis. Tentu saja, yang ingin saya paparkan adalah tentang nuansa idul Adha yang berada di dalam berbagai problema yang dihadapi umat Islam, termsuk umat Islam Indonesia.

Kita baru saja menerima musibah yaitu robohnya crane untuk pembangunan Masjidil Haram dan menyebabkan jatuhnya banyak korban tewas dan  lainnya luka-luka. Juga peristiwa kebakaran hotel tempat pemondokan jamaah Haji Indonesia. Meskipun tidak ada korban, akan tetapi tetap saja hal itu sebagai peristiwa yang tidak mengenakkan bagi jamaah haji Indonesia dan juga keluarganya di tanah air.

Selain itu, kita masih merasa prihatin terhadap beberapa hal yang menjadi problema bangsa Indonesia, terutama yang terkakit dengan kehidupan umat beragama. Dan juga masih terdapatnya beberapa persoalaan bangsa yang harus memperoleh penuntasan penyelesaiannya, misalnya masalah kabut asap yang terjadi di beberapa wilayah di Kalimantan dan Sumatera. Masalah kabut asap ternyata menjadi problem tahunan yang tidak mudah diselesaikan. Selain menyebabkan  pencemaran juga memiliki dampak ikutan yang cukup banyak, misalnya ekonomi dan pendidikan.

Idul Adha kali ini juga menyimpan keunikannya terutama terkait dengan penetapan pelaksanaannya yang berbeda. Sebagaimana diketahui bahwa Pemerintah menetapkan hari Raya Idul Adha pada hari Kamis, 24 September 2015, sementara Muhammadiyah menetapkannya pada hari Rabo, 23 September 2015. Sebuah perbedaan yang seringkali terjadi di Bumi Nusantara terkait dengan pelaksanaan ibadah, baik shalat Idul Adha maupun Idul Fithri.

Untunglah bahwa masyarakat Indonesia sudah sangat memahami perbedaan bukanlah sebagai sesuatu  yang problematik. Pengalaman berkali-kali mengalami perbedaan dalam hari raya, menyebabkan masyarakat tidak merasakannya sebagai beban, baik teologis maupun kultural. Kedewasaan religious inilah yang kiranya perlu diapresiasi oleh kita semua di dalam menghadapi perbedaan demi perbedaan yang terus dilestarikan.

Idul Adha kita kali ini juga masih dibayangi oleh persoalan kerusuhan yang terjadi di Tolikara, Papua seputar pelaksanaan Shalat Idul Fithri 1436 H yang lalu. Masih ada kekhawatiran yang menggelayut terkait dengan pelaksanaan Idul Adha kali ini. Untungnya bahwa Pemerintah dengan segenap jajarannya sudah melakukan antisipasi terkait dengan pelaksanaan hari raya Idul Adha 1436 H di Tolikara. Jauh-jauh hari sudah dilakukan koordinasi yang sangat mendasar oleh Menkopolhukam terkait dengan pelaksanaan ibadah Idul Adha ini. Kementerian Agama juga melakukan koordinasi secara memadai melalui Kepala Kantor Kementerian Agama Provinsi Papua. Dari berbagai koordinasi itu, maka didapatkan kesepakatan dengan pimpinan Sinode Gereja Injili di Indonesia (GIDI), bahwa umat Islam dapat melaksanakan shalat Idul Adha dengan jaminan keamanan, termasuk menyembelih hewan  kurban, memakai jilbab dan pengeras suara.

Kala terjadi kekisruhan dalam pelaksanaan shalat Idul Fitri yang lalu, sungguh kita merasakan bahwa kerukunan umat beragama terasa dalam ancaman. Tanpa ada sinyal yang memadai akan terjadinya kerusuhan antar umat beragama, ternyata terjadilah persoalan itu. Makanya, kita semua tentu sudah belajar banyak dari peristiwa seperti ini, sehingga koordinasi lalu dilakukan dengan sangat memadai dan penuh tanggungjawab.

Kita tentu tidak ingin masalah seperti ini terjadi di tengah kehidupan umat beragama kita. Kita semua memahami bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang religious. Mereka memiliki kearifan lokal yang sudah teruji bertahun-tahun. Mereka terbiasa saling membantu dalam peristiwa keagamaan. Bahkan mereka juga saling menjaga di dalam pelaksanaan ritual beragama. Mereka adalah masyarakat yang memiliki kesadaran multikulturalitas dan pluralitas yang sangat tinggi.

Kala  terjadi kerusuhan atau apapun namanya, lalu kita selalu mengkaitkannya dengan berbagai faktor eksternal yang memang didesain untuk membuat terkoyaknya kerukunan masyarakat kita. Disadari oleh kelompok semacam ini, bahwa pintu masuk untuk membuat tujuan mereka tercapai adalah melalui keterpecahbelahan masyarakat, khususnya masyarakat beragama.

Melalui momentum Idul Adha, yang dimaknai sebagai pengorbanan, maka selayaknya semuanya melakukan introspeksi secara khusus, apakah kita akan terus berada di dalam nuansa ketidakmenentuan hubungan antar umat beragama yang damai dan tenteram. Pesan agama Islam tentu sangat jelas, bahwa kita harus menjaga ukhuwah kebangsaan. Yaitu dengan selalu menyambungkan tali persaudaraan antar warga bangsa.

Melalui ukhuwah kebangsaan, maka sekat primordialitas agama, suku, etnis dan sebagainya akan dapat dimanej dengan baik. Meskipun kita berbeda antara satu dengan lainnya dalam banyak hal, akan tetapi yang menjadi rujukan kembali bagi semuanya adalah ikatan persaudaraan kebangsaan yang memang meniscayakan untuk tetap bersatu.

Sekedar contoh, pengorbanan yang besar telah dilakukan oleh Presiden Barack Obama dalam menghadapi pluralitas masyarakat Amerika. Di tengah tekanan internasional tentang relasi Islam dengan negara bangsa di dunia ini, maka Beliau menyatakan bahwa: “Islam is part of America. Muslim woman & girls have freedom to wear hijab anywhere in United State and there who deny will be punished”. Presiden Amerika Serikat memperbolehkan wanita muslimah berjilbab di manapun berada. Siapa yang menolak akan dihukum”.

Dengan demikian, kita mesti melakukan yang terbaik untuk membangun kesepahaman kerukunan beragama dengan melakukan pengorbanan pada dimensi kehidupan yang memang memerlukan kerukunan.

Wallahu a’lam bi al shawab.