• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PKI DALAM INGATAN KITA (1)

PKI DALAM INGATAN KITA (1)

Ketika terjadi pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965, saya berusia kira-kira tujuh tahun. Saya tentu belum tahu banyak  “apakah pemberontakan PKI itu atau apakah negara sedang dalam kacau atau aman, atau apakah PKI bersalah atau tidak”. Semua ini belum saya pahami.

Saya masih kecil dan saya baru  masuk Sekolah Dasar. Kelas I. Saya tentu ingat masih sering ada banyak tentara yang lalu lalang di jalanan depan rumah saya di Desa Sembungreko, Merakurak, Tuban, Jawa Timur. Juga saya lihat ada anak-anak muda berpakaian loreng atau doreng. Mungkin saja mereka adalah Banser NU yang sekali waktu keliling desa-desa.

Namun demikian, ada yang masih melekat di dalam ingatan saya adalah ketika orang-orang desa harus menyiapkan lobang-lobang di belakang rumah, dengan ukuran kira-kira panjangnya 2 meter dan lebar kira-kira 90 cm. Mereka menyebutnya dengan istilah “beteng” (Bahasa Jawa) atau kira-kira “Benteng” (Bahasa Indonesia) untuk mempertahankan diri kalau ada serangan atau  pertempuran. Bapak  dan Kakek saya membuat “Beteng” tersebut di belakang rumah, sisi sebelah timur. Rumah saya menghadap ke utara. Saya sungguh tidak ingat tahunnya kapan, tapi yang jelas di seputar pemberontakan PKI tersebut.

Saya juga tidak tahu siapa yang menyuruhnya, apakah PKI atau tentara. PKI atau pemerintah. Tetapi yang jelas, satu rumah satu “beteng”. Bentuknya yang menyerupai makam itu masih saya ingat betul dengan kedalaman kira-kira 1 meter. Persis seperti lobang mayat. Baru sekarang saja saya memahami bahwa lobang itu bisa saja dipersiapkan bukan dalam kerangka menghadapi perang atau serangan musuh,  akan tetapi mungkin justru untuk mengubur yang empunya rumah. Jadi, masyarakat menggali lobang untuk kuburannya sendiri.

Mungkin juga tidak seluruh penduduk harus menggali “beteng” tersebut. Bisa jadi yang diperintah hanyalah tokoh-tokoh masyarakat. Kakek saya, Mbah Ismail  adalah Modin Desa yang pekerjaannya adalah menjadi pelayan agama Islam bagi masyarakat. Beliau yang memimpin tahlilan, yasinan, slametan dan segala hal yang terkait dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Saya masih ingat bagaimana kakek saya bersama tokoh-tokoh Islam sering pergi ke Parakan (di Jawa Tengah), untuk belajar mengenai ilmu kekebalan terutama di dalam menghadapi kekacauan zaman kala itu.

Sebagai anak kecil tentu saja saya tidak perduli dengan nuansa politik kala itu, dan pengetahuan saya mulai terbuka kala setiap menjelang tanggal 1 Oktober lalu diputar film G 30 S/PKI atau yang disebut sebagai “Gerakan 30 September/PKI” yang kemudian disebut juga sebagai hari pemberontakan PKI. Ada 7 Jenderal yang dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam Sumur di Lubang Buaya, dan di tempat itu juga banyak lelaki dan perempuan yang bernyanyi “Genjer-Genjer” dan bahkan juga divisualisasikan bagaimana para perempuan terlibat menyiksa para Jenderal tersebut. Dari film yang menjadi ritual menjelang 1 Oktober itulah saya mengenal Pemberontakan G 30 S/PKI.

Seirama dengan kejatuhan Presiden Soeharto, maka film itu tidak lagi diputar menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan peringatan akan keganasan PKI dalam pemberontakan yang dilakukannya. Semua yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dianggap sebagai “kesalahan” dan perlu koreksi total, termasuk juga pandangan sejarah tentang PKI.

Saya yakin anak-anak muda sekarang sudah tidak lagi mengenal Pemberontakan PKI tahun 1965, sebab peristiwa sejarah itu sudah dianggap sebagai “barang lama” yang tidak perlu lagi menjadi “ingatan komunal”. Bahkan jika perlu peristiwa itu harus dihapus dari Sejarah Nasional Indonesia. Peristiwa pemberontakan PKI dianggap sebagai “kewajaran sejarah” dalam setiap peralihan kekuasaan dan juga perebutan kekuasaan. Bahkan yang lebih parah adalah pandangan bahwa yang menulis sejarah adalah kaum pemenang, sehingga sejarah pun bisa dibelak-belokkan.

Memang harus dipahami bahwa peristiwa G 30 S/PKI adalah sejarah kelam Indonesia di era Negara bangsa. Sejarah pemberontakan PKI yang terjadi ke sekian kalinya. Pemberontakan yang selalu gagal. Selain pemberontakan PKI tahun 1965 juga Peristiwa Madiun, 1948, yang ditokohi oleh Muso. Dan sebelumnya juga ada pemberontakan PKI yang dipimpin oleh tokoh-tokoh PKI dan sebagainya. Semua pemberontakan PKI menuai kegagalan. Masyarakat melawan dengan keras terhadap PKI yang anti Tuhan atau atheis.

Melalui Lembaga Kesenian Rakyat  (LEKRA), Tim Kesenian PKI juga menampilkan lakon “Gusti Allah Mantu”, Gusti Allah Mati” dan sederet hinaan dan pelecehan terhadap kaum beragama. Semua dilakukan dengan masif dan terang-terangan. Semua diupayakan di dalam kerangka untuk perang psikhologis terhadap umat beragama, khususnya umat Islam. Saya kira cerita-cerita beginilah yang sesungguhnya harus menjadi ingatan sejarah, bahwa PKI yang sesungguhnya memulai dan mereka yang menuai badai. Saya kira tulisan,  Soegiarso Soerojo yang berjudul “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” masih layak untuk dibaca.

Partai Komunis tidak akan pernah mati. Jika sekarang tidak lagi dijumpai dalam kehidupannya di negara kita, bukan berarti bahwa mereka mati. Akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mati suri. Makanya, di lain kesempatan mereka akan bisa bangkit kembali. Mereka tidak lagi melakukan perlawanan terbuka seperti riwayat sejarah tahun 1965 atau 1948. Tetapi mereka melakukannya melalui Asimetris War atau Proxi War. Mereka melakukannya melalui cara-cara yang sangat strategis, yaitu mempengaruhi generasi muda dengan cara yang sangat santun, pelan-pelan, dan menggunakan instrument HAM dan sebagainya.

Saya kira harus tetap ada kewaspadaan di kalangan umat beragama di dalam melihat perubahan-perubahan di dalam strategi perjuangan PKI yang makin canggih ini. Mereka masih bisa kembali.

Wallahu a’lam bi al shawab

PERUBAHAN STRUKTUR DALAM REFORMASI BIROKRASI

PERUBAHAN STRUKTUR DALAM REFORMASI BIROKRASI

Hari Senin (28/09/2015) di ruang Sidang Sekretariat Jenderal Kementerian Agama dilaksanakan pembahasan tentang Struktur Organisasi Kementerian Agama. Pembahasan ini diikuti oleh pejabat eselon II baik di Sekteraiat jenderal maupun Bimbingan Masyarakat Islam, Budha, Kristen dan Katolik. Selain itu juga hadir pejabat eselon II Inspektorat, Balitbang dan Dirjen PHU.

Rapat ini ternyata memakan waktu yang cukup lama, sebab yang dibahas adalah perubahan struktur organisasi Kemenag yang memang membutuhkan waktu yang panjang. Diskusi ini memakan waktu kira-kira 2,5 jam dengan tingkat pembahasan yang relative rumit. Pembahasan ortaker ini diinisiasi oleh Biro Organisasi dan Tata Kerja (Ortaker) Kementerian Agama RI.

Sebagaimana diketahui  bahwa penggerak mesin birokrasi adalah struktur birokrasi dan SDM yang menjadi pendukungnya. Mesin birokrasi akan bisa bergerak cepat, sedang atau lambat sangat tergantung kepada bagaimana struktur organisasi tersebut eksis dan bagaimana peran SDM di dalamnya dalam mendinamisasi birokrasi tersebut.

Di dalam hal ini, maka keberadaabn struktur yang relevan dengan tupoksi dan SDM yang menggerakkan tupoksi tersebut menjadi variabel-variabel penting di dalam perubahan yang diinginkan. Salah satu alasan mengapa dilakukan restrukturisasi organisasi dan tata kelola lembaga-lembaga pemerintah adalah keinginan agar relevansi antara struktur organisasi pemerintah, tupoksi, SDM dan sasaran keinerjanya makin efektif dan efisien.

Perubahan struktur organisasi memang tidak selalu mudah, akan tetapi juga memiliki keniscayaan untuk direstrukturisasi atau direkonstruksi sesuai dengan visi dan misi yang akan dikembangkan. Di dalam berbagai pengalaman pemerintahan, maka gonta-ganti struktur kementerian/lembaga bukanlah sesuatu yang aneh. Hal ini pula yang terjadi pada cabinet Kerja pada zaman Pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Bahkan juga seringkali terjadi tarik menarik kewenangan. Contoh yang sangat sederhana tentang Pemerintahan Desa, kala dilakukan restrukturisasi, maka pertanyaannya adalah apakah administrasi desa tetap berada di Kementetrian Dalam Negeri atau juga harus diboyong ke Kementerian Desa, Percepatan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi? Pertanyaan ini kemudian menghasilkan kesepakatan, bahwa administrasi desa harus tetap berada di Kemendagri, sementara pembangunan desa berada di Kemendes, PDT dan Trans. Jadi memang juga harus tetap ada kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing dan fokus otoritas yang tegas dan jelas.

Di dalam memberikan pengarahan meeting tersebut, saya sampaikan tiga hal: pertama, restrukturisasi dapat dilakukan dengan dua strategi, yaitu revolusioner dan evolusioner. Jika dipilih yang pertama, maka harus dilakukan perombakan secara mendasar dan juga dengan alokasi waktu yang lama. Perubahan nomenklatur tentu harus diikuti dengan perubahan tupoksi dan juga jabatannya. Jika dipilih strategi yang kedua, maka yang dibutuhkan adalah penambahan yang memang harus ditambahkan, dan mempertimbangkan mana yang kelebihan beban ditambah strukturnya dan mengurangi yang dianggap sudah tidak perlu dipertahankan. Strategi kedua akan lebih sederhana, sebab tidak membutuhkan banyak energi untuk melakukan perubahan.

Kedua, melakukan analisis jabatan, beban kerja dan tupoksi di dalam struktur. Analisis jabatan sangat diperlukan sebab yang akan direstrukrisasi adalah nomenklatur-nomenklatur jabatan yang nantinya akan diuji oleh realitas empiris. Grade jabatan harus jelas sesuai dengan kebutuhan dan sasaran kinerja yang akan dilakukan. Kemudian, juga analisis beban kerja, yang juga menjadi syarat bagi penambahan atau pengurangan struktur jabatan. Analisis beban kerja menjadi syarat utama mengenai restukturisasi jabatan. Dan yang tidak kalah penting adalah mengenai tugas pokok dan fungsi struktur dalam hirarkhi jabatan di kementerian/lembaga. Tiga faktor ini yang akan menentukan terhadap pembentukan struktur baru atau pengurangan struktur lama.

Ketiga, regulasi-regulasi yang terkait dengan penambahan atau pengurangan struktur. Restrukturisasi harus dimulai dengan perumusan naskah akademis dan penetapan regulasi atau aturan yang jelas. Naskah akademis diperlukan agar setiap restrukturisasi merupakan hasil analisis yang mandasar dan mendalam tentang kebutuhan restrukturisasi dimaksud. Restrukturisasi bukan hanya berdasar commonsense belaka, akan tetapi adalah produk dari kajian, analisis dan logika empiris yang sangat kuat yang dipadukan dengan diskusi dan serangkaian pembicaraan yang mendasar. Jika berdasarkan kajian tersebut ternyata memang diperlukan restrukturisasi, maka perlu didukung oleh regulasi yang jelas.

Memang harus diakui bahwa  selalu ada struktur yang kelihatannya tumpang tindih. Misalnya, terkait dengan asset.  Di dalam struktur ada biro keuangan dan BMN dan ada biro umum, yang kedua-duanya bersinggungan dalam asset. Di sini diperlukan otorisasi yang jelas, yaitu Biro Keuangan dan BMN mengurus seluruh aspek administrasinya, sedang Biro Umum terkait dengan seluruh pemanfaatannya. Namun demikian, juga terdapat wilayah kebersamaan dan koordinasi, misalnya jika menghadapi konflik asset. Maka, Biro Umum, Biro Keuangan dan BMN serta Biro Hukum dan KLN mestilah melakukan koordinasi penyelesaiannya.

Di antara yang dipersepsi tumpang tindih juga terkait dengan pentashihan Al-Quran. Apakah hal ini menjadi otoritas Balitbang, sebab tashih tentu ada kaitannya dengan kajian dan penelitian, ataukah seluruhnya menjadi kewenangan Dirjen Bimas Islam, artinya kala mencetak al Qur’an, maka seluruh pekerjaan yang terkait dengan pencetakan al Qur’an, mulai dari tashih sampai produk cetakannya berada di Dirjen Bimas Islam.

Di dalam konteks ini, maka harus dirunut dari kewenangan dasar di antara keduanya. Dirjen Bimas Islam, tentu memiliki otoritas pelayanan bagi pemeluk agama Islam, sedangkan Balitbang memiliki kewenangan melakukan kajian dan penelitian. Dengan demikian, jika kita menggunakan logika satu pekerjaan adalah satu sistem, maka pengadaan al Qur’an adalah satu pekerjaan, sehingga mulai dari pentashihan al Qur’an sampai pasca produk menjadi kewenangan Dirjen Bimas Islam. Namun jika logikanya adalah otoritas pentashih al Qur’an, yang artinya mengkaji dan meneliti keabsahan tulisan al Qur’an, maka kiranya kewenangan pentashihan al Qur’an menjadi kewenangan Balitbang.

Menurut hemat saya, pentashihan al Qur’an adalah bagian kecil tetapi sangat penting di dalam proses pencetakan al Qur’an, makanya akan menjadi efektif jika pentashihan al Qur’an adalah bagian dari proyek  pencetakan al Qur’an. Sedangkan grand design untuk melakukan kajian dan penelitian tentang mushab Al Qur’an dalam konteks kesahihannya, sejarahnya, dan juga pengaruhnya terhadap kehidupan umat beragama, maka hal ini menjadi ranah otoritas Balitbang.

Dari konteks ini yang kiranya perlu untuk dipikirkan bagaimana way outnya. Jika dirasakan bahwa pentashih al Qur’an itu adalah kewenangan Balitbang dari perspektif makro, maka tentu benar jika pentashih al Qur’an tetap berada di sini, akan tetapi jika pentashih al Qur’an hanyalah masalah mikro saja, tentu bisa didiskusikan tempatnya  di Dirjen Bimas Islam.

Dengan demikian, penempatan struktur mikro di dalam struktur yang lebih besar (makro)  harus mengacu kepada tupoksi dasar dan seberapa luas cakupan struktur dimaksud  di tengah kebutuhan masyarakat terhadap struktur baru. Berdasarkan teori fungsional, bahwa sebuah struktur sosial akan tetap bermanfaat selama struktur tersebut fungsional bagi kehidupan manusia.

Melalui proposisi ini, maka sesungguhnya sebuah struktur yang akan dibangun harus selalu dinyatakan kemanfaatannya bagi  stakeholder itu sendiri. Semua tergantung kepada konsensus dan kemanfaatan struktur tersebut bagi masyarakat.

Wallahu a’lam bi al shawab

DARI MUI UNTUK UMAT ISLAM DAN BANGSA

DARI MUI UNTUK UMAT ISLAM DAN BANGSA

Hari ini, Selasa (29/09/2015), saya mewakili Menteri Agama RI, Bapak Lukman Hakim Saifuddin, untuk menghadiri undangan “Taaruf Kepengurusan MUI Periode 2015-2019” di kantor MUI Jakarta. Hadir pada acara ini adalah segenap jajaran pengurus MUI Pusat, baik Pengurus Dewan Pertimbangan MUI maupun Pengurus MUI dan juga badan-badan MUI. Hadir di acara ini, Prof. Dr. Dien Syamsudin, MA sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI dan juga DR. KH. Ma’ruf Amin, Ketua Umum MUI dan segenap jajaran pengurus MUI.

Acara ini berlangsung  cukup panjang, sebab diisi dengan pembacaan seluruh pengurus MUI dan juga pengukuhan pengurus MUI. Dan yang menarik adalah sambutan-sambutan yang dibawakan oleh Ketua Umum MUI, DR. KH. Ma’ruf Amin, maupun Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Prof. Dr. Dien Syamsudin, MA maupun pidato yang saya bacakan ternyata memiliki benang merah yang saling terkait.

Di dalam sambutannya Ketua Umum MUI menyatakan bahwa MUI memiliki tantangan yang cukup besar di era sekarang, baik yang terkait dengan radikalisme beragama maupun banyaknya aliran-aliran agama yang menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Agama Islam. Selain itu juga tantangan untuk mengembangkan pendidikan bagi kader ulama, yang sesuai dengan realitas empiris dinyatakan jumlah ulama makin berkurang. Pendidikan Kader Ulama ternyata telah menghasilkan ulama-ulama yang sekarang mewarnai kehidupan beragama  pada masyarakat Indonesia.

Sementara itu, Prof. Dien Syamsudin MA, yang baru saja datang pada acara di PBB bersama Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla, menyatakan bahwa sekarang ada perkembangan baru terkait dengan pandangan PBB mengenai pembangunan masyarakat dan negara di dunia ketiga.  Setelah berakhirnya program Millenium Development Goals (MDGs), maka sekarang disadari benar bahwa strategi pembangunan yang benar adalah melalui konsep Sustainable Development Goals  (SDGs). Untuk kepentingan ini, maka semua negara di dunia harus terlibat di dalam mengimplementasikan konsep ini, sebab tanpa kebersamaan di dalam pembangunan ini, maka tujuan menciptakan kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat dunia ketiga tidak akan tercapai.

Menurut Pak Dien, bahwa MUI dan organisasi-organisasi Islam lainnya harus mengambil peran di dalam konteks SGDs ini. Ada dua strategi yang bisa dilakukan, yaitu “Struggle for dan Struggle against”. MUI dapat memilih konsep pertama, yaitu MUI terlibat secara aktid di dalam pembangunan masyarakat bangsa dan bukan strategi melawan terhadap pembangunan bangsa.

Berdasarkan peran MUI selama ini, maka pilihan pada strategi Struggle for menjadi pilihan cerdas, sebab hakikat MUI adalah Pembina, pembimbing dan penasehat bagi kelangsungan pembangunan masyarakat bangsa. MUI harus menjadi Tenda Besar Umat Islam. Makanya, sikap yang dikembangkan adalah inklusif dan bukan eksklusif. MUI harus lentur di dalam mengayomi seluruh organisasi keagamaan Islam dan juga masyarakat Islam.

Sebagai sambutan penutup, maka saya sampaikan tia hal: pertama, MUI merupakan organisasi yang menghimpun para ulama dari berbagai organisasi keagamaan Islam. Makanya, MUI memiliki peran yang sangat strategis di dalam pembinaan kehidupan umat beragama dan juga kerukunan umat beragama. Sebagai wadah berkumpulnya para ulama, maka MUI bisa menunjukkan perannya secara lebih aktif untuk membangun kerukunan umat beragama. Di tengah perubahan social dan dinamika kebangsaan yang terus bergulir, maka MUI akan memiliki peran strategis untuk merumuskan pedoman-pedoman atau fatwa yang memberikan kesejukan dan kedamaian bagi umat Islam dan bahkan juga umat beragama lainnya.

Kedua, MUI akan dapat berperan dalam kerangka pembangunan pendidikan dan ekonomi masyarakat. Tentu saja yang dimainkan oleh MUI bukan dengan mendirikan lembaga pendidikan atau lainnya, akan tetapi adalah peran motivasi untuk kemajuan dan percepatan pembangunan pendidikan dan ekonomi. Di dalam konteks ini, maka MUI dapat memberikan motivasi dan dorongan untuk memaksimalkan peran lembaga-lembaga pendidikan atau lembaga ekonomi syariah untuk terus berkembang dan memajukan dirinya bagi kepentingan umat Islam.

MUI harus berperan di dalam kerangka peningkatan kehidpan umat Islam dalam aspek keagamaannya dan juga kehidupan social dan ekonominya. MUI harus merancang arah pengembangan kehidupan beragama yang kaffah, agama dan kehidupannya menuju arah yang relavan dengan kesejahteraan umat Islam. Makanya, MUI harus terus berijtihat untuk kepentingan peningkatan kualitas kehidupan umat Islam melalui instrument-instrumen yang relavan dan benar.

Tantangan MUI ke depan akan sangat kompleks, misalnya makin merosotnya akhlak masyarakat, makin rentannya kehidupan keluarga, makin banyaknya penggunaan narkotika, makin banyaknya tawuran antar pelajar, makin banyaknya tawuran antar desa, korupsi, nepotisme dan kolusi, dan sebagainya. Seluruh tantangan ini haruslah dijawab dengan nyata. Makanya, harus ada action plan terkait dengan tujuan penguatan kehidupan umat beragama ini.

Ketiga, MUI harus lebih berperan untuk menciptakan kader ulama. Di dalam konteks pembinaan umat beragama, maka keberadaan ulama tentu sangat penting. MUI harus mendorong agar upaya untuk tafaqquh fiddin akan dapat dilakukan percepatan. MUI harus menjadi lokomotif bagi terciptanya banyak ulama di Indonesia. MUI haruslah memiliki program pendidikan kader ulama yang akan menghasilkan ulama yang ilmuwan dan ilmuwan yang ulama. Dengan demikian, MUI haruslah menghasilkan ulama-ulama yang ekselen dalam ilmu agama Islam dan juga memiliki wawasan yang baik tentang dunia sekitarnya.

Ulama yang dihasilkan oleh pendidikan yang dilakukan oleh MUI adalah ulama yang memiliki konsern dalam pengembangan agama Islam yang memberi rahmat bagi seluruh alam dan juga yang berkesadaran untuk membangun kehidupan masyarakat agar setarap lebih baik.

Tantangan seperti ini harus dijawab oleh sebanyak 300 orang pengurus MUI di pusat, dengan agenda utama adalah bagaimana kehidupan umat Islam dan kerukunan umat beragama makin terjamin. Sungguh diharapkan bahwa kehadiran MUI sebagai wadah pengabdian para ulama akan dapat menjawab tantangan zaman yang terus berubah.

Wallahu  a’lam bi al shawab.

KLINIK AKUNTANSI DI ERA ACRUAL SYSTEM

KLINIK AKUNTANSI DI ERA ACRUAL SYSTEM

Acara Launching Klinik Akuntansi dan BMN dan Meeting Point  (28/09/2015) yang diiniasiasikan oleh Biro Keuangan dan BMN Kementerian Agama (kemenag) menarik untuk dicermati. Hal ini tentunya terkait dengan kebutuhan atas tantangan penerapan sistem baru, yang dikenal dengan sebutan Sistem Akuntansi Instansi Berbasis Akrual (SAIBA).

Hadir di dalam acara ini adalah Prof. Dr. Abdurahman Mas’ud (Kabalitbang), Syihabuddin Latief (Karo Keuangan dan BMN), Mahsusi (Karo Kepegawaian), Nur Arifin (Karo Ortala), Syafrizal (Karo Umum), Maman Saifullah (Inspektur Wil. II),  Rahmat Mulyana (Seslitbang), Sigit Hariyanto (Staf Khusus Menteri Agama), Kabag TU Kanwil Kemenag Jawa Barat, Banten dan DKI, para pejabat eselon III dan Auditor BPK, serta sejumlah pejabat lainnya. Acara ini menarik selain untuk launching klinik juga dilakukan pemberian voucher bagi para undangan. Kalau saya boleh menyebut seperti acara birokrasitainmen.

Sebagai sistem akuntansi baru, maka harus disadari bahwa ada banyak kendala yang dihadapi oleh para pejabat structural maupun fungsional Kemenag, terutama para bendaharawan. Jadi dengan diresmikannya Klinik Akuntansi dan BMN dan Meeting Point di Kemenag tentunya memberikan gambaran bahwa kesadaran kita untuk menyongsong sistem akrual sangatlah besar.

Sebagaimana diungkapkan oleh Kepala Biro Keuangan dan BMN, Syihabuddin Latief, bahwa hanya ada dua Kementerian yang sudah menempatkan Klinik Akuntansi yaitu Kementerian Keuangan dan Kementerian Agama. Inilah yang tentunya membanggakan kita semua untuk menunjukkan bahwa Kemenag memiliki atensi yang sangat besar di dalam implementasi Akuntansi berbasis akrual. Melalui pembukaan klinik akuntansi ini, maka hal-hal yang terkait dengan penerapan akuntansi berbasis akrual akan bisa dihandle secara lebih memadai.

Sebagaimana yang saya jelaskan pada waktu memberikan sambutan, bahwa ada beberapa tantangan yang dihadapi oleh Aparat Sipil Negara (ASN) Kemenag terkait dengan implementasi SAIBA. Tantangan ini perlu diungkapkan sebab Kemenag termasuk lima Kementerian yang menginisiasai dan mendeklarasikan implementasi SAIBA. Oleh karena itu, semua di antara kita tentu mengharapkan bahwa dengan perubahan sistem akuntansi lalu tidak mempengaruhi tampilan laporan keuangan kita, misalnya harus tetap memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Pertama, tantangan mismatch pendidikan dengan tupoksi bendaharawan. Sebagaimana diketahui bahwa kebanyakan pejabat bendaharawan kemenag adalah alumni perguruan tinggi agama, sehingga basis keilmuannya adalah ilmu agama. Oleh karena itu hard skillednya adalah ilmu keagamaan. Sedangkan di sisi lain, mereka harus menghadapi tupoksi keuangan yang sesungguhnya di luar kapabilitas keilmuannya. Jadi ada gap yang sangat jauh antara didiplin keilmuannya dengan bidang profesionalitas pekerjaannya. Kalaupun mereka terpilih menjadi pejabat keuangan, maka hal ini karena pengalaman dan pembelajaran yang diperolehnya. Mereka memang telah mengikuti sejumlah pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan profesi keuangan.

Kedua, tantangan banyaknya satker Kemenag dan komunikasi serta koordinasi antar satker. Harus dipahami bahwa dengan jumlah satker yang sangat banyak 4484 satker, maka pastilah didapati sejumlah kendala di dalam koordinasi dan komunikasi. Meskipun dewasa ini sudah didapati teknologi informasi yang sedemikian canggih, akan tetapi faktor SDM dan banyaknya satker tentu tetaplah menjadi kendala yang tidak sederhana. Oleh karena itu setiap akhir tahun kita mesti berhadapan dengan rekonsiliasi laporan keuangan, yang ternyata terdapat perbedaan antara satu dengan lainnya. Seringkali, bahwa rekonsiliasi sudah dilakukan,  akan tetapi masih terdapat perbedaan hasil akhir laporan keuangan.

Hal ini terjadi semata-mata karena problem koordinasi dan komunikasi data yang belum sepenuhnya relavan dengan tujuan penyusunan laporan. Belum lagi gap antara SAI dan SAKPA yang juga menjadi problem hampir di setiap tahun. Untuk menyelesaikan problema ini, maka di antara yang sangat urgen adalah bagaimana klinik akuntansi akan membantu problem koordinasi dan komunikasi tersebut.

Melalui klinik ini, maka seluruh data keuangan akan bisa dikomunikasikan dan dikoordinasikan setiap hari. Jika melalui sistem informasi belum mencapai kesepahaman, maka bisa dilanjutkan dengan koordinasi secara fisikal. Di kantor ini disediakan berbagai ragam diskusi dan meeting untuk membahas problem satker yang mengimplementasikan SAIBA.

Melalui upaya yang sungguh-sungguh untuk mengimplementasikan SAIBA di dalam praktek pengelolaan keuangan, maka saya berkeyakinan bahwa implementasi SAIBA akan menuai kesuksesan. Makanya, tidak ada ketakutan dengan slogan SAIBA: “Go Akrual, Go WTP”.

Jika kita sungguh bekerja keras, cermat, ikhlas dan tuntas, maka tujuan untuk memperbaiki performance Laporan Keuangan dan mempertahankan Opini BPK, WTP, pastilah akan dapat diperoleh. “Man Jadda wa Jadda”.

Wallahu a’lam bi al shawab.

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (3)

MEMIKIRKAN MANAJEMEN RESIKO IBADAH HAJI (3)

Saya bukanlah ahli teknologi Informasi (TI), sebab pendidikan saya maupun pekerjaan saya sama sekali tidak terkait secara langsung dengan mesin-mesin teknologi. Saya hanyalah sebagai pemanfaat TI dalam kaitannya dengan pekerjaan yang harus saya lakukan. Posisi ini yang  saya kira harus saya jelaskan agar tidak dipahami sebagai kesalahan konseptual, jika tulisan ini dirasakan kurang relevan.

Ketika kita melihat acara televisi, Discovery Channel, sering kita melihat bagaimana tim monitoring pergerakan dan kehidupan binatang laut, seperti Ikan Hiu, Lumba-lumba dan binatang laut langka lainnya, dapat dimonitor dengan cermat tentang keberadaannya, pergerakannya, dan juga perkembangan kehidupannya.

Melalui sistem monitoring yang digerakkan oleh teknologi informasi berbasis satelit, maka binatang-binatang laut tersebut dapat mengirimkan signal secara akurat kepada tim monitoring dengan data yang akurat. Melalui pemantauan tersebut, maka kehidupan binatang laut tersebut dapat diketahui dan dipahami lalu dianalisis untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau kepentingan lainnya.

Selain itu, misalnya juga sudah didapati teknologi informasi untuk melacak di mana posisi kendaraan (mobil atau sepeda motor) berada. Melalui teknologi informasi ini, maka akan dengan mudah diketahui letak mobil dan bagaimana posisinya di tempat tersebut, apakah sedang parkir atau tengah melaju di jalan raya. Teknologi ini tentu sangat cocok untuk memonitor kendaraan yang kita miliki, misalnya ketika sedang digunakan oleh orang lain. Mobil rental atau sejenisnya akan mudah dipantau dengan teknologi ini.

Gambaran ini yang kiranya akan memberikan inspirasi tentang bagaimana cara kerja Geographic Security System (GSS) yang akan dapat dijadikan sebagai alat monitoring berbasis satelit untuk mendeteksi mengenai resiko di dalam penyelenggaraan ibadah haji. Sistem monitoring tersebut akan digunakan untuk mendeteksi secara umum tetapi mendasar terkait dengan bagaimana arah pergerakan jamaah haji Indonesia, dan bagaimana melalui sistem tersebut akan terbantu mendeteksi secara lebih dini atau early warning terhadap potensi musibah yang akan terjadi.

Teknologi informasi (GSS) dimaksudkan sebagai upaya untuk mendeteksi secara akurat tentang positioning gerakan jamaah Indonesia di dalam lautan jamaah haji di seluruh dunia. Alat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pimpinan jamaah (pembimbing ibadah, panitia dan KBIH atau lainnya) yang mendampingi jamaah haji di dalam prosesi ibadah. Kemanapun jamaah pergi, maka dapat dipastikan bahwa alat ini akan menyertainya. Dengan demikian, alat ini akan bekerja sesuai dengan rombongan demi rombongan yang mengarungi prosesi ibadah.

Kemudian, alat ini juga disiapkan untuk PPIH yang terus menerus secara bergantian berada di wilayah-wilayah yang kita identifikasi sebagai tempat potensi kerawanan musibah.   Mereka akan memonitor secara langsung terhadap pergerakan jamaah dan bagaimana keamanan dan kenyamanan mereka menyelanggarakan ibadah haji. Mereka adalah orang yang terpilih untuk menjadi penjaga wilayah yang rawan masalah. Mereka haruslah orang yang sangat peduli dengan kenyamanan dan keselamatan jamaah haji.

Selain itu, juga terdapat suatu tempat monitor atau monitoring centre yang memiliki kapasitas untuk mengendalikan operasional pemantauan terhadap wilayah-wilayah yang rawan masalah. Teknologi informasi  yang berada di sini merupakan alat yang memiliki kapasitas mengendalikan jaringan informasi secara keseluruhan. Dengan demikian, maka informasi yang diperoleh melalui monitoring kewilayahan lalu akan bisa disampaikan kepada seluruh jaringan yang terkonek dengannya. Jadi akan terdapat jaringan pusat dan wilayah lainnya, sesuai dengan hasil monitoring yang dilakukan.

Yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan SDM untuk mendukung program ini. Apapun yang dihasilkan dari manajemen resiko dan juga pemanfaatan teknologi canggih tidak akan ada artinya,  jika kesiapan SDM untuk melaksanakannya belum memadai. Untuk ini, maka seluruh komponen yang terlibat di dalam prosesi ibadah haji harus terus diupdate pengetahuannya, sehingga mereka memiliki semangat untuk melayani jamaah dalam beribadah berbasis pada keselamatan.

Kita lalu jadi teringat akan kata-kata penting: “man behind the gun.” Secanggih apapun senjata, kalau tidak berada di tangan orang yang ahli mengoperasikan senjata itu,  maka akan sia-sia belaka. Oleh karena itu harus disiapkan semuanya agar tujuan mengembangkan manajemen resiko akan bisa menghasilkan produk yang optimal.

Terlepas dari persoalan takdir Tuhan, akan tetapi sejauh masih bisa diprediksi mengenai selamat dan menyelamatkan, maka tidak salah untuk diusahakan. Jadi peran manusia memang masih ada untuk menjaga agar keselamatan berpihak padanya.

Wallau a’lam bi al shawab