• November 2024
    M T W T F S S
    « Oct    
     123
    45678910
    11121314151617
    18192021222324
    252627282930  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

PKI DALAM INGATAN KITA (1)

PKI DALAM INGATAN KITA (1)

Ketika terjadi pemberontakan PKI tanggal 30 September 1965, saya berusia kira-kira tujuh tahun. Saya tentu belum tahu banyak  “apakah pemberontakan PKI itu atau apakah negara sedang dalam kacau atau aman, atau apakah PKI bersalah atau tidak”. Semua ini belum saya pahami.

Saya masih kecil dan saya baru  masuk Sekolah Dasar. Kelas I. Saya tentu ingat masih sering ada banyak tentara yang lalu lalang di jalanan depan rumah saya di Desa Sembungreko, Merakurak, Tuban, Jawa Timur. Juga saya lihat ada anak-anak muda berpakaian loreng atau doreng. Mungkin saja mereka adalah Banser NU yang sekali waktu keliling desa-desa.

Namun demikian, ada yang masih melekat di dalam ingatan saya adalah ketika orang-orang desa harus menyiapkan lobang-lobang di belakang rumah, dengan ukuran kira-kira panjangnya 2 meter dan lebar kira-kira 90 cm. Mereka menyebutnya dengan istilah “beteng” (Bahasa Jawa) atau kira-kira “Benteng” (Bahasa Indonesia) untuk mempertahankan diri kalau ada serangan atau  pertempuran. Bapak  dan Kakek saya membuat “Beteng” tersebut di belakang rumah, sisi sebelah timur. Rumah saya menghadap ke utara. Saya sungguh tidak ingat tahunnya kapan, tapi yang jelas di seputar pemberontakan PKI tersebut.

Saya juga tidak tahu siapa yang menyuruhnya, apakah PKI atau tentara. PKI atau pemerintah. Tetapi yang jelas, satu rumah satu “beteng”. Bentuknya yang menyerupai makam itu masih saya ingat betul dengan kedalaman kira-kira 1 meter. Persis seperti lobang mayat. Baru sekarang saja saya memahami bahwa lobang itu bisa saja dipersiapkan bukan dalam kerangka menghadapi perang atau serangan musuh,  akan tetapi mungkin justru untuk mengubur yang empunya rumah. Jadi, masyarakat menggali lobang untuk kuburannya sendiri.

Mungkin juga tidak seluruh penduduk harus menggali “beteng” tersebut. Bisa jadi yang diperintah hanyalah tokoh-tokoh masyarakat. Kakek saya, Mbah Ismail  adalah Modin Desa yang pekerjaannya adalah menjadi pelayan agama Islam bagi masyarakat. Beliau yang memimpin tahlilan, yasinan, slametan dan segala hal yang terkait dengan kegiatan-kegiatan keagamaan. Saya masih ingat bagaimana kakek saya bersama tokoh-tokoh Islam sering pergi ke Parakan (di Jawa Tengah), untuk belajar mengenai ilmu kekebalan terutama di dalam menghadapi kekacauan zaman kala itu.

Sebagai anak kecil tentu saja saya tidak perduli dengan nuansa politik kala itu, dan pengetahuan saya mulai terbuka kala setiap menjelang tanggal 1 Oktober lalu diputar film G 30 S/PKI atau yang disebut sebagai “Gerakan 30 September/PKI” yang kemudian disebut juga sebagai hari pemberontakan PKI. Ada 7 Jenderal yang dibunuh dan mayatnya dimasukkan ke dalam Sumur di Lubang Buaya, dan di tempat itu juga banyak lelaki dan perempuan yang bernyanyi “Genjer-Genjer” dan bahkan juga divisualisasikan bagaimana para perempuan terlibat menyiksa para Jenderal tersebut. Dari film yang menjadi ritual menjelang 1 Oktober itulah saya mengenal Pemberontakan G 30 S/PKI.

Seirama dengan kejatuhan Presiden Soeharto, maka film itu tidak lagi diputar menjelang peringatan Hari Kesaktian Pancasila dan peringatan akan keganasan PKI dalam pemberontakan yang dilakukannya. Semua yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dianggap sebagai “kesalahan” dan perlu koreksi total, termasuk juga pandangan sejarah tentang PKI.

Saya yakin anak-anak muda sekarang sudah tidak lagi mengenal Pemberontakan PKI tahun 1965, sebab peristiwa sejarah itu sudah dianggap sebagai “barang lama” yang tidak perlu lagi menjadi “ingatan komunal”. Bahkan jika perlu peristiwa itu harus dihapus dari Sejarah Nasional Indonesia. Peristiwa pemberontakan PKI dianggap sebagai “kewajaran sejarah” dalam setiap peralihan kekuasaan dan juga perebutan kekuasaan. Bahkan yang lebih parah adalah pandangan bahwa yang menulis sejarah adalah kaum pemenang, sehingga sejarah pun bisa dibelak-belokkan.

Memang harus dipahami bahwa peristiwa G 30 S/PKI adalah sejarah kelam Indonesia di era Negara bangsa. Sejarah pemberontakan PKI yang terjadi ke sekian kalinya. Pemberontakan yang selalu gagal. Selain pemberontakan PKI tahun 1965 juga Peristiwa Madiun, 1948, yang ditokohi oleh Muso. Dan sebelumnya juga ada pemberontakan PKI yang dipimpin oleh tokoh-tokoh PKI dan sebagainya. Semua pemberontakan PKI menuai kegagalan. Masyarakat melawan dengan keras terhadap PKI yang anti Tuhan atau atheis.

Melalui Lembaga Kesenian Rakyat  (LEKRA), Tim Kesenian PKI juga menampilkan lakon “Gusti Allah Mantu”, Gusti Allah Mati” dan sederet hinaan dan pelecehan terhadap kaum beragama. Semua dilakukan dengan masif dan terang-terangan. Semua diupayakan di dalam kerangka untuk perang psikhologis terhadap umat beragama, khususnya umat Islam. Saya kira cerita-cerita beginilah yang sesungguhnya harus menjadi ingatan sejarah, bahwa PKI yang sesungguhnya memulai dan mereka yang menuai badai. Saya kira tulisan,  Soegiarso Soerojo yang berjudul “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai” masih layak untuk dibaca.

Partai Komunis tidak akan pernah mati. Jika sekarang tidak lagi dijumpai dalam kehidupannya di negara kita, bukan berarti bahwa mereka mati. Akan tetapi sesungguhnya mereka hanya mati suri. Makanya, di lain kesempatan mereka akan bisa bangkit kembali. Mereka tidak lagi melakukan perlawanan terbuka seperti riwayat sejarah tahun 1965 atau 1948. Tetapi mereka melakukannya melalui Asimetris War atau Proxi War. Mereka melakukannya melalui cara-cara yang sangat strategis, yaitu mempengaruhi generasi muda dengan cara yang sangat santun, pelan-pelan, dan menggunakan instrument HAM dan sebagainya.

Saya kira harus tetap ada kewaspadaan di kalangan umat beragama di dalam melihat perubahan-perubahan di dalam strategi perjuangan PKI yang makin canggih ini. Mereka masih bisa kembali.

Wallahu a’lam bi al shawab

Categories: Opini