• December 2025
    M T W T F S S
    « Nov    
    1234567
    891011121314
    15161718192021
    22232425262728
    293031  

Prof. Dr. Nur Syam, M.Si

(My Official Site)

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE (3)

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE (3)

Satu lagi tulisan ingin saya hadirkan untuk memberikan gambaran tentang  acara video conference  dengan 12 Kakanwil Kementerian Agama (Kemenag) pada hari Rabu, 30 September 2015. Tulisan ini  akan membahas mengenai isu-isu yang berkembang atau sedang menjadi topik pembahasan di wilayahnya masing-masing.

Setidak-tidaknya ada enam hal yang menjadi pokok bahasan di dalam video conference sebagaimana disampaikan oleh kakanwil yang terlibat di dalam diskusi ini, yaitu: pertama, tentang terwujudnya nomenklatur struktur organisasi Kementerian Agama pada daerah pemekaran, belum hadirnya kantor Kementerian Agama dan juga pengisian struktur jabatan yang hingga hari ini banyak yang belum dilakukan. Memang harus diakui bahwa untuk menambah struktur baru memang tidak semudah membalik tangan, sebab perubahan struktur organisasi dan tata kelola (SOTK) harus dilakukan secara cermat berdasar atas kebutuhan dan fungsinya. SOTK akan terbentuk jika rekomendasi dari Kementerian PAN & RB sudah diperoleh dan kemudian Menteri Agama akan menerbitkan PMA yang terkait dengan SOTK dimaksud.

Kedua, tentang assesment jabatan. Sesuai dengan agenda reformasi birokrasi, bahwa assesment jabatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam upaya untuk melakukan perubahan secara mendasar mengenai rekruitmen pejabat, baik pada tataran pejabat structural maupun fungsional. Assesment dan lelang jabatan pada hakikatnya adalah upaya untuk menjaring pejabat secara fairness, dan berkeadilan. Meskipun tetap menggunakan system merit, akan tetapi tetap saja bahwa mereka yang kompetenlah yang seharusnya menjadi pejabat.

Melalui assesment yang tepat dan benar, maka akan didapatkan pemetaan potensi jabatan pada ASN Kemenag.  Melalui program ini, maka kita akan memiliki peta potensi, kapabilitas dan kemampuan ASN yang relevan dengan jabatannya. Dengan demikian untuk pengisian jabatan atau memutasi jabatan akan dapat didasarkan atas peta potensi dimaksud. Oleh karena itu, mengikuti assessment merupakan bagian yang tidak terpisahkan untuk memahami apa yang sesungguhnya menjadi potensi kita sebagai ASN.

Ketiga, serapan anggaran eks-bansos yang mengalami kendala regulasi. Sebagaimana diketahui bahwa anggaran eks-bansos mengalami kesulitan  di dalam penyerapannya. Hal ini disebabkan oleh perubahan nomenklatur akun 57 ke 52, atau dari Akun Bantuan Sosial ke Akun Belanja Barang dan Jasa. Sebagai akibatnya, maka serapannya menjadi sangat rendah sampai akhir-akhir ini.

Yang lebih menggelisahkan adalah eks-bansos tersebut merupakan anggaran yang langsung dirasakan oleh masyarakat, sehingga ketika terjadi keterlambatan di dalam pembayarannya, maka teriakan nyaring dari sasaran program juga akan terdengar dengan keras. Kesulitan serapan anggaran eks bansos tentu akan berpengaruh terhadap serapan anggaran Kementerian Agama secara umum. Padahal di satu sisi Kemenag harus mengejar target serapan sebesar 93 persen.

Keempat, pembangunan fisik yang didanai oleh SBSN. Tahun 2015, ada beberapa proyek pembangunan fisik yang didanai dari loan SBSN. Anggaran ini sesuai dengan rencana akan didayagunakan untuk pembangunan PTKIN, Revitalisasi Asrama Haji dan pembangunan Kantor Urusan Agama (KUA). Sayangnya bahwa anggaran SBSN untuk revitalisasi asrama haji tidak digunakan secara maksimal disebabkan oleh keterlambatan melakukan eksekusi pelelangan konsultan dan juga lelang konstruksi. Akibatnya, banyak anggaran SBSN yang harus dikembalikan ke kas Negara. Di sisi lain, masih banyak proyek pembangunan fisik yang tidak memperoleh sentuhan anggaran dari APBN.

Kelima, kendala penegerian madrasah dan lembaga pendidikan lainnya. Harus diakui bahwa memang ada perlambatan proses penegerian madrasah yang sekarang sedang terjadi. Hingga tahun 2015, jumlah penegerian madrasah dan lembaga pendidikan lainnya belum dapat dilaksanakan secara memadai. Ada sebanyak kurang lebih 600 madrasah yang ingin dinegerikan, hanya sayangnya bahwa proses penegerian tersebut mengalami kendala birokratis, yaitu makin banyaknya satker Kemenag, dan jika proses penegerian tersebut dengan mudah diberikan, maka akan terjadi semakin banyaknya satker Kemenag. Bisa dibayangkan bahwa sekarang jumlah satker kemenag sudah mencapai angka 4484 satker. Jika terus bertambah, maka jumlah satker Kemenag akan mencapai  angka 5000 bahkan 6000 satker.

Keenam, penyikapan ASN Kemenag dalam menghadapi pilkada serentak. Salah satu agenda pemerintah di akhir tahun ini adalah pelaksanaan pilkada serentak di seluruh Indonesia. Di dalam pilkada tentu saja akan terdapat upaya untuk saling tarik menarik   dalam rangka perebutan pemilih. Untuk itu, maka ASN Kemenag harus berada di dalam titik netral, tidak menjadi simpatisan apalagi tim sukses calon bupati/wali kota bahkan gubernur. Netralitas PNS menjadi sangat penting, sebab yang akan dilayani oleh ASN adalah semua masyarakat tanpa membedakan yang besangkutan dari golongan apa atau partai apa. Netralitas ASN menjadi jaminan akan dapat diberikannya pelayanan secara fairness dan adil.

Memang harus dipahami bahwa  tantangan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tugas dan fungsi Kemenag untuk menyelesaikannya. Semua ASN Kemenag haruslah terlibat secara aktif di dalam menjawab terhadap kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran Kemenag. Bagi ASN Kemenag, tentu haruslah memiliki sikap dan tindakan yang mencerminkan bahwa apa yang dilakukannya merupakan kewajiban sebagai ASN Kemenag.

Melakukan percepatan penyerapan, memberikan pelayanan yang baik, bekerja secara professional dan bertanggungjawab serta memberikan keteladanan yang baik bagi kalangan ASN sendiri maupun bagi masyarakat merupakan keniscayaan bagi ASN Kemenag.

Dengan demikian, ASN Kemenag haruslah berprinsip bahwa tantangan adalah peluang. Jangan pernah berpikir bahwa tantangan adalah problem yang menghambat. Jika ASN Kemenag bisa berpandangan seperti itu, maka dapat dipastikan bahwa ASN Kemenag  akan dapat mengatasi atau menghadapi tantangan dengan kewajaran dan bukan keluh kesah.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE (2)

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE (2)

Kali ini saya ingin membahas secara lebih mendalam mengenai tantangan Kementerian Agama  dalam konteks membangun wawasan kebangsaan dan kesadaran akan beratnya tantangan ke depan bagi bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sebagaimana yang saya tulis kemarin, bahwa ada empat tantangan makro bangsa Indonesia di masa depan dan apa peran Kementerian Agama di dalam menghadapi hal ini. Pandangan tersebut akan  saya perdalam, sebab bagi Kemenag, bahwa tantangan ini harus menjadi fokus perhatian di dalam menjalankan tugas bagi Indonesia ke depan.

Pertama, adalah tantangan Sosialisme Baru.  Salah satu di antara gerakan sosialisme baru adalah komunisme baru yang dalam banyak hal disebut  sebagai anak pergerakan  sosialisme. Gerakan ini  seakan tidak mengalami patah arang. Gerakan ini terus berkembang seirama dengan kebebasan dan demokratisasi yang terus bergulir. Melalui keterbukaan, kebebasan dan demokrasi, maka mereka dapat memasuki semua bidang kehidupan. Bisnis, pendidikan, birokrasi dan juga legislatif.

Salah satu di antara yang paling ideal untuk melakukan pergerakan adalah dengan menjadi anggota parlemen,  sebab akan menentukan arah ke mana negara  akan dibawa. Melalui kemampuan membuat peraturan perundang-undangan, maka mereka sangat menentukan terhadap arah kemana negara  ke depan.

Strategi yang digunakan bukanlah kritik dari luar birokrasi atau legislatif akan tetapi masuk dan pengaruhi dari dalam. Melalui gerakan masuk ke dalam, maka akan dapat dipengaruhi berbagai kebijakan yang menyangkut negara dan juga agama. Mari kita pikirkan sudah berapa banyak orang-orang yang memiliki arus pikiran dan tindakan seperti ini yang sudah masuk ke dalam birokrasi dan legislatif

Kedua, tantangan Liberalisme. Pemikiran liberal merupakan turunan langsung  dari modernisasi. Gerakan liberalisme ini  mengusung prinsip keterbukaan, HAM dan demokrasi liberal dan telah menjadi bagian dari kehidupan  sebagian kecil masyarakat Indonesia.

Di dalam gerakannya, tidak hanya politik dan kebudayaan yang menjadi target dari gerakan ini tetapi juga agama. Melalui gerakan liberalisme, maka agama pun dipertanyakan. Apakah agama itu benar adanya. Semua yang menjadi prinsip dasar agama dipertanyakan. Agama dianggap sebagaimana isme-isme lain yang bisa dipertanyakan dan diganti. Kebanyakan di antara mereka lebih banyak berada di Lembaga Swadaya Masyarakat atau Non Governmental Organization (NGO) dan bergerak di berbagai gerakan kebebasan. Misalnya,  gerakan perempuan, politik, budaya, sosial dan HAM. Di antara yang mereka tuntut adalah misalnya  untuk mengubah UU Perkawinan agar nikah sejenis menjadi sah, mereka menuntut perubahan UU PNPS, No 1 tahun 1965 tentang kebebasan beragama, mereka menuntut agar HAM di Indonesia sama dengan negara barat dan sebagainya.

Ketiga, gerakan Kapitalisme Baru. Kapitalisme adalah keturunan langsung dari modernisasi.  Melalui konsep pasar bersaing bebas, maka siapa yang menguasai pasar maka dialah yang menguasai dunia ini. Kapitalisme menghasilkan raja-raja kapital di setiap negara. Maka dikenal ada raja properti, raja otomotif, raja minyak dan gas, raja kapal, raja penerbangan, raja bahan pokok, raja ritel dan seterusnya.

Mereka adalah pemilik modal yang menguasai dunia perdagangan internasional.

Mereka adalah orang yang bisa menjelajah dunia dengan kekuatan modalnya.

Mereka sekarang mulai memasuki dunia politik.  Ada kesadaran baru bahwa dunia politik bisa membawa pengaruh lebih besar bagi arah kapitalisme baru di negara berkembang. Melalui kekuatan modalnya, maka dunia politik yang rawan transaksional tentu akan bisa menjadi kendaraan untuk memperbesar kekuasaannya.

Kala kekuasaan kapitalisme dan kekuasaan politik bisa menyatu, maka akan menjadi kekuatan dahsyat untuk mengarahkan kemana negara ini akan dibawa.

Agamapun bisa juga akan menjadi bagian yang tidak lepas dari keinginan mereka untuk diarahkan. Agama akan dipisahkan dari politik, dan ideologi kahidupan.

Keempat, Gerakan fundamentalisme atau radikalisme. Fundamentalisme agama lahir sebagai reaksi terhadap modernisme yang menghasilkan liberalisme dan kapitalisme. Fundamentalisme agama telah memasuki kehidupan masyarakat kita.

Fundamentalisme agama juga memasuki birokrasi, militer, LSM dan juga legislatif.

mereka sadar betul bahwa kekuasaan merupakan instrumen untuk mengembangkan gerakan ini.

Strategi yang digunakan oleh mereka adalah dengan menguasai generasi mudah yang cerdas di lembaga-lembaga pendidikan.

Mereka dijadikan sebagai agen atau kader dengan tingkat militansi yang sangat baik. Mereka menjadikan dakwah dan pendidikan sebagai sarana yang strategis untuk mengembangkan pemikiran dan aksi keberagamaannya. Mereka mendirikan lembaga-lembaga pendidikan unggulan di setiap kabupaten atau kota sebagai lembaga pendidikan pilihan.

Tantangan ini menjadi bagian tidak terpisahkan dari Kementerian Agama, yang sedari awal akan berupaya mengembangkan agama dalam coraknya yang ramah dan memberikan kedamaian dan keselamatan. Oleh karena itu, Kementerian Agama harus menjadi institutional agent dalam kerangka untuk menggunakan strategi, sebagaimana yang diungkapkan oleh Prof. Dien Syamsudin, yaitu struggle for dan struggle against. Di dalam konteks ini, rasanya Kementerian Agama tidak hanya menggunakan salah satunya, akan tetapi harus menggunakan kedua-duanya.

Melalui strategi struggle against akan dilakukan pola strategi melindungi umat dari “serangan” berbagai golongan tersebut dan melalui strategi struggle for, maka akan dilakukan upaya penyusunan program yang relevan dengan kebutuhan akan keadilan, kesamaan dan keselamatan. Dengan demikian, ruang gerak untuk melakukan penetrasi di antara mereka akan dapat diminimalisasikan sedemikian rupa.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

 

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE(1)

MEMBAHAS TANTANGAN KEMENTERIAN AGAMA VIA VIDEO CONFERENCE(1)

Hari Rabo, 30 September 2015 adalah hari yang sangat penting bagi saya sebab pada hari itu, saya melakukan video conference dengan 12 Kepala Kantor Kementerian Agama RI. Sebanarnya sudah lama, Kementerian Agama (Kemenag RI) memiliki perangkat video conference ini. Dan saya juga sudah pernah membukan sebuah acara di Kakanwil Kemenag Sumatera Selatan untuk acara yang sama.

Akan tetapi bagi saya, bahwa acara kemarin sungguh mrupakan bagian dari cita-cita Kemenag untuk membangun system informasi yang efektif dan efisien untuk kepentingan penguatan dan pengembangan birokrasi pada seluruh jajaran Kemenag baik di pusat maupun di daerah.

Di antara Kakanwil yang terlibat di dalam Video Conference (Vidcon) ini adalah Kakanwil Sumatera Utara, Kakanwil Sumatera Selatan, Kakanwil Kalimantan Selatan, Kakanwil Kalimantan Barat, Kakanwil Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kakanwil Sulawesi Selatan, Kakanwil Sulawesi Tenggara, Kakanwil Nusa Tenggara Barat, Kakanwil Nusa Tenggara Timur dan Kakanwil Jambi dan Kakanwil Bengkulu.

Acara vidcon ini berjalan dengan durasi waktu yang sangat memadai, yaitu dimulai dari jam 10 sampai jam 13.30 WIB. Saya kira merupakan acara yang menarik, sebab hadir di dalam acara ini adalah jajaran pejabat di tingkat Kanwil kemenag yang memang memiliki tupoksi sebagaimana yang menjadi pembicaraan atau diskusi pada conference ini.

Setelah berbasa-basi dengan para kakanwil yang terlibat di dalam acara conference ini, maka Rasyidin tim IT pada Puspinmas Kemenag RI., memperkenankan saya untuk menyampaikan beberapa hal uang dianggap urgen untuk dibicarakan melalui conference ini. Saya menyampaikan beberapa hal yang terkait dengan vidcon kali ini.

Pertama, ucapan selamat dan apresiasi atas terselenggaranya vidcon yang pertama selama dua tahun terakhir. Selamat kepada seluruh kakanwil yang memiliki kepedulian luar biasa untuk mengembangkan teknologi informasi, sehingga kita bisa duduk bersama di pusat dan daerah untuk mendiskusikan masalah kita bersama. Saya berharap semoga kakanwil yang belum terlibat segera dapat terlibat di dalam acara ini. Bagi yang sudah memiliki tim IT dan teknologi komunikasi agar segara hadir pada acara ini, dan bagi yang belum tahun 2016 harus diprioritaskan anggaran untuk kepentingan bersama ini.

Saya berharap dalam waktu dekat, setibanya Pak Menteri dari Arab Saudi untuk menjalani Sebagai Amirul Hajj, maka Beliau tentu berkenan untuk melakukan hal yang sama guna memberikan informasi di seputar pelaksanaan ibadah haji tahun 2015 dan hal-hal lain yang terkait dengan kementerian Agama. Melalui kehadiran Beliau di dalam acara vidcon, maka akan kita peroleh informasi terakhir dan kekinian tentang masalah-masalah haji yang sedang menjadi pembicaraan hangat di media informasi di Indonesia, terutama di seputar tragedy Mina.

Kedua, saya sampaikan bahwa kita semua ikut berbela sungkawa disebabkan oleh tragedy Mina yang merenggut sejumlah jamaah haji Indonesia. Semoga mereka yang wafat di tanah suci tersebut akan menjadi kaum syuhadak yang tidak ada lain pahalanya adalah surganya Allah swt. Dan dengan begitu maka semoga keuarganya juga memperoleh ketabahan dan kesabaran dan kemudian Allah menggantinya dengan sestau yang lebih baik dan bermanfaat.

Terkait dengan musibah demi musibah yang terjadi, saya ingin mengulangi pembacaan saya terhadap tragedy Mina ini dengan satu konsepsi Manajemen Resiko sebagai solusinya. Saya ingin mengingatkan kembali tulisan saya beberapa saat yang lalu tentang pentingnya mengadaptasi Majamen Resiko sebagai bagian dari penyelenggaraan ibdah haji di tahun-tahun yang akan datang.

Saya mengingatkan akan pentingnya menggunakan Geographic Security System (GSS) yang saya kira akan relevan dengan kebutuhan untuk memberikan pendampingan keselamatan jamaah haji di saat-saat engalami crowded. Terutama di daerah-daerah yang rawan musibah. Meskipun musibah itu datangnya dari Allah akan tetapi tidak ada salahnya kalau manusia tetap berusaha untuk selamat. Melalui GSS akan bisa dipantau wilayah mana yang sangat crowded, sehingga jamaah kita bisa menunda atau menyimpang dari daerah rawan dimaksud.

Ketiga, di dalam banyak kesempatan selalu saya nyatakan bahwa tantangan kita ke depan adalah mengenai serapan anggaran. Sesuai dengan rencana target serapan anggaran tahun 2015 adalah sebesar 93 persen. Angka yang cukup tinggi mengingat tahun 2014 tingkat serapan kita hanya 88 persen. Namun demikian, percepatan serapan anggaran juga harus mempertimbangkan keselamatan. Jadi cepat dan selamat. Jika di tahun sebelumnya masih terkendala serapan kemenag terkait dengan belanja barang dan jasa serta belanja modal dan belanja bansos, maka sekarang seharusnya sudah diantisipasi. Tahun ini untuk belanja barang dan jasa sudah dikeluarkan Inpres No 1 tahun 2015, sehingga harus dilakukan percepatan. Demikian pula tentang Eks Bansos juga sudah dikeluarkan PMK No 168 tentang Belanja Pemerintah, sehingga memungkinkan percepatan. Jadi tidak ada alasan untuk terlambat di dalam serapan anggaran.

Keempat, tantangan makro kementerian agama, yaitu semakin menguatnya Gerakan Komunisme Baru, Kapitalisme Baru, Fundamentalisme dan Liberalisme. Gerakan-gerakan ini sudah menjadi bagian dari sebagian kecil masyarakat Indonesia, sehingga dperlukan kecermatan, kejelian dan kewaspadan di dalam menghadapinya. Di dalam konteks ini, bangsa Indonesia tidak boleh lengah dan menyederhanakannya. Semakin tidak waspada bangsa ini, maka akan semakin mudah mereka akan memprorakporandakan kesatuan dan persatuan bangsa. Oleh karena itu, kemenag harus menjadi garda depan untuk melakukan antisipasi terkait dengan gerakan-gerakan ini melalui berbagai program dan kegiatan yang dimungkinkan.

Sungguh kita tidak menghendaki kesatuan dan persatuan bangsa yang sudah terjalan dalam panji Negara Republik Indonesia akan mengalami perpecahan sebagaimana di tempat-tempat lain.

Wallahu a’lam bi al shawab.

 

 

PKI DALAM INGATAN KITA (3)

PKI DALAM INGATAN KITA (3)

Menurut teori fungsional, bahwa struktur apapun akan tetap lestari jika struktur tersebut dinilai oleh masyarakat berguna baginya. Oleh karena itu, saya ingin memberikan gambaran tentang PKI bagi masyarakat Indonesia melalui kacamata teori fungsional tersebut. Komunisme I sebagai ideologi dan gerakan politik memang telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.

PKI sesungguhnya merupakan gerakan ideologi yang paling solid selama berabad-abad. Meskipun selalu mengalami kegagalan di dalam merebut kekuasaan baik dalam konteks soft power maupun hard power, PKI selalu kedodoran di dalam menghadapi masyarakat Indonesia yang religious.

Melalui soft power, mereka telah mengerahkan semua strategi ideologisnya, misalnya memasuki pemikiran para pemimpin Negara, termasuk  yang kemudian dicetuskannya gagasan Nasakom atau Nasionalisme, Agama dan Komunisme.

Saya mengagumi terhadap gagasan orisinal  Presiden Soekarno ini di dalam membangun pemikiran sintesis antara yang pro dan kontra. Nasionalisme dan komunisme mungkin masih bisa dipersatukan. Demikian pula antara Islam dan Nasionalisme tentu bukan hal yang aneh jika dipersatukan. Akan tetapi menyatukan agama dan komunisme tentu tidak bisa dengan mudah dicapai. Keduanya memiliki pandangan filosofis yang sangat berbeda. Agama dengan konsepsi ketuhanannya, sedangkan komunisme dengan anti tuhannya. Agama dengan ide teologis dan ritualya, sedangkan PKI dengan ide anti tuhan dan anti ritual-ritualnya.

Melalui  eksperimen dengan menyatukan ketiganya dalam satu kesatuan tentu diharapkan agar terdapat kesepahaman bahwa realitas empiris ini merupakan kenyataan.  Sayangnya, bahwa hal ini hanya menciptakan kesatuan dalam lapisan tipis permukaan. Surface structure kelihatan merupakan satu kesatuan, akan tetapi deep structure ternyata jauh panggang dari api.

Upaya tesis anti tesis dan sintesis ini ternyata gagal dalam menghasilkan kesepahaman kebersamaan. Hal ini diperparah dengan ulah PKI untuk melakukan kudeta dengan tindakan  pembunuhan terhadap para Jenderal dan para ulama atau kyai dan bahkan para santri  yang justru menyulut kemarahan massa sehingga kudeta PKI mengalami kegagalan total.

Saya kira ada kesalahan analisis para ideolog PKI mengapa gagal di dalam kudeta yang dilakukan dalam beberapa kali. Pertama, dikiranya bahwa dengan menjadi PKI terutama masyarakat pedesaan,  maka sudah putus komunikasi dan tali hubungan antar mereka. Misalnya, hubungan dengan para juragan atau pemilik modal lalu terputus. Akan tetapi kenyataannya, bahwa mereka secara substansial tidak terputus komunikasinya. Ada ketergantungan timbal balik antara buruh dan majikan. Mereka tidak berada di dalam posisi saling berhadapan, akan tetapi tetap saling menjaga relasi sosialnya.

Kedua, dengan kudeta yang dilakukan oleh PKI makin mengokohkan ukhuwah Islamiyah di antara organisasi keagamaan di Indonesia. Jika selama ini di antara mereka ada saling gesekan karena perebutan SDM, maka ketika mereka memperoleh common enemy, maka mereka menjadi satu kesatuan melawan PKI. Maka di mana-mana gendering perang untuk  melawan PKI menjadi saling bertalu-talu menyatu. Hal ini tentu di luar analisis ideolog PKI. Mereka menganggap bahwa perseteruan antara organisasi Islam merupakan konflik terbuka. Padahal persetruan tersebut bukanlah perseteruan mendasar, akan tetapi hanya cabang-cabangnya  (furu’iyah) saja.  Makanya, ketika aspek teologis dan ritual tersebut dihina dan dilecehkan serta lebih jauh akan dihilangkan dan diganti dengan ideolog komunisme, maka mereka serentak bahu membahu melakukan perlawanan. Makanya, secara langsung PKI berhadapan dengan kekuatan umat Islam yang telah menjadi satu tersebut.

Ketiga, kesalahan dalam mempersepsikan mengenai kekuatannya sendiri. Mereka mengira bahwa kekuatan PKI yang didukung oleh elemen angkatan Laut, Udara dan Darat serta Kepolisian, termasuk sebagian pasukan Cakrabirawa dapat digerakkan secara serentak untuk melakukan kudeta berdarah. Namun ternyata, bahwa kekuatan TNI tidak sebagaimana yang diduga yaitu terpecah belah sedemikian keras. Melalui Komando yang dilakukan oleh Letjen Soeharto dan dengan dukungan Jendral AH. Nasution, yang terlepas dari pembantaian, ternyata kekuatan TNI dapat dipersatukan kembali. Melalui pembunuhan terhadap para jenderal tersebut justru menumbuhkan semangat kebersamaan yang luar biasa. Makanya, dengan cepat Gerakan Kudeta G 30 S/PKI dapat dilumpuhkan di mana-mana.

Keempat, TNI dan Masyarakat Islam juga terjalin komunikasi dan aksi bersama untuk menggagalkan kudeta berdarah yang dilakukan oleh PKI. Di antara mereka memiliki kesamaan ideologi kebangsaan berbasis pada pengalaman menghadapi gerakan PKI semenjak awal Kemerdekaan hingga tahun 1948 dan juga tahun 1965. Kala dua kekuatan ini telah menyatu, maka tentu tidak mudah untuk melawannya. Melalui kemenyatuan kaum nasionalis dan agamis ini, maka kudeta PKI dapat digagalkan dan tokoh-tokohnya dapat ditangkap dan dihukum. Ketika para tokoh PKI sudah dilumpuhkan, maka masyarakat Indonesia yang paternalistik, tentu lalu berbalik arah tidak lagi mendukung PKI. Dalam arti tidak lagi dijumpai perlawanan yang keras. Jadi ketika sudah tidak ada lagi tokoh panutan yang menggerakkan perlawanan, maka usai sudah perlawanan mereka. Mereka kehilangan patron.

Sejarah PKI bagi bangsa Indonesia sudah jelas merupakan sejarah kelam. Tidak ada yang perlu untuk ditutup-tutupi. Mereka telah melakukan makar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta melakukan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.

Makanya, meskipun ada upaya sebagian kecil Orang Indonesia (O dengan huruf besar) yang ingin membalik peristiwa sejarah tersebut dengan melakukan pembelaan terhadap PKI dalam level Internasional melalui HAM, maka masyarakat Indonesia sudah memahaminya.

Oleh karenanya  jangan terpancing dengan ulah-ulah semacam ini. Mari kita jaga kewaspadaan di dalam menghadapi terhadap gerakan-gerakan New Communism yang pelan tetapi pasti sudah terdapat di negara kita.

Wallahu a’lam bi al shawab.

PKI DALAM INGATAN KITA (2)

PKI DALAM INGATAN KITA (2)

Orde Reformasi memberikan keleluasaan terhadap semua elemen masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya. Reformasi memberikan peluang bagi HAM untuk mengekspresikandirinya secara total dan tuntas. Saya menjadi ingat pada Karel Steenbrink yang menyatakan bahwa demokratisasi dan keterbukaan adalah surga bagi munculnya agama-agama lokal. Tidak hanya agama lokal, akan tetapi juga munculnya fundamentalisme dan radikalisme agama-agama.

Sebagaimana diketahui bahwa dengan semangat reformasi, maka semua ekspressi lalu bermunculan. Tidak pernah kita bayangkan bagaimana anak-anak muda bisa mengekspresikan dirinya dengan lambang-lambang “palu arit” sebagai simbol PKI. Dan kita juga tidak membayangkan bagaimana penggiat HAM melaporkan pemerintah Indonesia di Mahkamah HAM Internasional karena dianggapnya telah  melakukan genosida terhadap para korban PKI.

Sungguh ini merupakan peristiwa-peristiwa yang luar biasa bagi saya selaku warga Negara Indonesia yang sekurang-kurangnya tetap beranggapan bahwa PKI pernah melakukan kudeta gagal di Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa yang besar, Republik Indonesia, saya tentu tidak memahami apa yang ada dibalik pikiran penggiat HAM dengan segala tindakannya ini. Saya yang memang tidak menjadi bagian dari penggiat HAM tentu saja saya tidak memahami apa dan bagaimana latar belakang pemikiran di antara mereka. Saya hanya menebak-nebak dari luar dengan logika yang saya bangun sendiri.

Namun demikian, hanya melihat PKI sebagai korban tanpa melihat perspektif lain yang juga menjadi korban rasanya juga kurang adil. Bukankah tindakan PKI sudah sangat jelas di dalam buku-buku sejarah. Bukan buku sejarah yang dihasilkan oleh pemerintah,  akan tetapi buku-buku yang merupakan hasil rekaman pengalaman para pelaku. Semuanya memberikan gambaran tentang bagaimana tingkah polah PKI di dalam masa-masa krisis pemerintahan Republik Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa pada saat krisis menegaskan kemerdekaan Indonesia itu, tokoh-tokoh PKI selalu melakukan tindakan yang mementingkan kelompok dan partai politiknya.

Saya menjadi tercenung juga kala di dalam acara Indonesian Lawyer Club (ILC), dengan gagahnya para penggiat HAM ini  menyatakan bahwa dengan melaporkan ke Mahkamah HAM Internasional,  maka akan dapat diketahui bahwa pemerintah Indonesia melakukan kesalahan di dalam gerakan genosida terhadap PKI tahun 1965. Laporan itu dikuatkan dengan penelitian-penelitian yang menurut mereka  valid tentang kekejaman pihak tertentu pada tahun 1965. Makanya, baginya pemerintah di dalam konteks ini, Presiden,  tidak hanya cukup minta maaf,  akan tetapi harus ada rekonsiliasi dengan empat tahapan, yaitu menyatakan bahwa pemerintah mengakui bersalah, pemerintah meminta maaf, pemerintah memberikan kompensasi atas penderitaan fisik dan psikhis bagi PKI dan barulah rekonsiliasi dilakukan.

Yang tentu tidak dipahami adalah bagaimana dengan kekejaman PKI terhadap sebagian warga masyarakat Indonesia, seperti: Angkatan Bersenjata, para pejabat, para ulama, santri dan masyarakat yang anti komunisme. Apakah tindakan PKI melawan pemerintah yang sah itu bukan tindakan makar terhadap pemerintah dan pembantaian yang dilakukann juga bukan kekerasan dan kejahatan yang luar biasa.

Inilah ketidakpahaman saya terhadap gerakan penggiat HAM untuk melaporkan pemerintah Indonesia dalam forum internasional di dalam pembelaannya terhadap PKI. Pertanyaan saya adalah mengapa para pnggiat HAM  ini begitu total di dalam membela terhadap PKI yang bagi bangsa Indonesia sudah dianggap sebagai musuh bersama? Tentu terhadap pertanyaan ini,  saya tidak akan memperoleh jawaban, sebab mereka tentu tidak wajib menjawab dan tidak ada otoritas saya untuk memaksa mereka menjawabnya.

Sebagai bangsa yang besar tentu kita tidak ragu terhadap pilihan untuk memilih sebagai negara yang berketuhanan, yang berperikemanusiaan, yang berpersatuan,  yang demokratis dan yang  berkeadilan, sebagaimana tercantum di dalam Pancasila. Kita juga tidak ragu memilih sebagai NKRI, dan menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara dan berbinneka tunggal ika sebagai konsensus nasional.

Maka,  PKI dengan atheisnya tentu tidak mendapatkan tempat di negara kita yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Pilihan ini merupakan pilihan cerdas para founding fathers negeri ini, yang begitu menyadari bahwa bangsa kita yang religious juga harus memiliki dasar negara yang berketuhanan dimaksud. Oleh karena itu, segala bentuk pertentangan terhadap Ketuhanan akan menjadi common enemy masyarakat Indonesia yang religious.

Bagi saya kepentingan nasional adalah segala-galanya. Oleh karena itu, saya menghormati terhadap pilihan masyarakat Indonesia yang terus menolak kehadiran PKI dalam baju apapun. Pengalaman sejarah yang pahit harus menjadi kaca benggala bagi bangsa ini untuk terus mewaspadai terhadap ancaman yang datang dari manapun, terutama yang akan menggantikan konsensus kebangsaan dengan konsensus lainnya.

Jadi pilihan untuk mempertahankan konsensus kebangsaan sebagai tema peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2015 perlu untuk direnungkan maknanya bagi kita semua. Jas Merah, jangan pernah melupakan sejarah. Ungkapan bijak Presiden Soekarno tentu perlu kita renungkan.

Wallahu a’lam bi al shawab.