PKI DALAM INGATAN KITA (3)
PKI DALAM INGATAN KITA (3)
Menurut teori fungsional, bahwa struktur apapun akan tetap lestari jika struktur tersebut dinilai oleh masyarakat berguna baginya. Oleh karena itu, saya ingin memberikan gambaran tentang PKI bagi masyarakat Indonesia melalui kacamata teori fungsional tersebut. Komunisme I sebagai ideologi dan gerakan politik memang telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
PKI sesungguhnya merupakan gerakan ideologi yang paling solid selama berabad-abad. Meskipun selalu mengalami kegagalan di dalam merebut kekuasaan baik dalam konteks soft power maupun hard power, PKI selalu kedodoran di dalam menghadapi masyarakat Indonesia yang religious.
Melalui soft power, mereka telah mengerahkan semua strategi ideologisnya, misalnya memasuki pemikiran para pemimpin Negara, termasuk yang kemudian dicetuskannya gagasan Nasakom atau Nasionalisme, Agama dan Komunisme.
Saya mengagumi terhadap gagasan orisinal Presiden Soekarno ini di dalam membangun pemikiran sintesis antara yang pro dan kontra. Nasionalisme dan komunisme mungkin masih bisa dipersatukan. Demikian pula antara Islam dan Nasionalisme tentu bukan hal yang aneh jika dipersatukan. Akan tetapi menyatukan agama dan komunisme tentu tidak bisa dengan mudah dicapai. Keduanya memiliki pandangan filosofis yang sangat berbeda. Agama dengan konsepsi ketuhanannya, sedangkan komunisme dengan anti tuhannya. Agama dengan ide teologis dan ritualya, sedangkan PKI dengan ide anti tuhan dan anti ritual-ritualnya.
Melalui eksperimen dengan menyatukan ketiganya dalam satu kesatuan tentu diharapkan agar terdapat kesepahaman bahwa realitas empiris ini merupakan kenyataan. Sayangnya, bahwa hal ini hanya menciptakan kesatuan dalam lapisan tipis permukaan. Surface structure kelihatan merupakan satu kesatuan, akan tetapi deep structure ternyata jauh panggang dari api.
Upaya tesis anti tesis dan sintesis ini ternyata gagal dalam menghasilkan kesepahaman kebersamaan. Hal ini diperparah dengan ulah PKI untuk melakukan kudeta dengan tindakan pembunuhan terhadap para Jenderal dan para ulama atau kyai dan bahkan para santri yang justru menyulut kemarahan massa sehingga kudeta PKI mengalami kegagalan total.
Saya kira ada kesalahan analisis para ideolog PKI mengapa gagal di dalam kudeta yang dilakukan dalam beberapa kali. Pertama, dikiranya bahwa dengan menjadi PKI terutama masyarakat pedesaan, maka sudah putus komunikasi dan tali hubungan antar mereka. Misalnya, hubungan dengan para juragan atau pemilik modal lalu terputus. Akan tetapi kenyataannya, bahwa mereka secara substansial tidak terputus komunikasinya. Ada ketergantungan timbal balik antara buruh dan majikan. Mereka tidak berada di dalam posisi saling berhadapan, akan tetapi tetap saling menjaga relasi sosialnya.
Kedua, dengan kudeta yang dilakukan oleh PKI makin mengokohkan ukhuwah Islamiyah di antara organisasi keagamaan di Indonesia. Jika selama ini di antara mereka ada saling gesekan karena perebutan SDM, maka ketika mereka memperoleh common enemy, maka mereka menjadi satu kesatuan melawan PKI. Maka di mana-mana gendering perang untuk melawan PKI menjadi saling bertalu-talu menyatu. Hal ini tentu di luar analisis ideolog PKI. Mereka menganggap bahwa perseteruan antara organisasi Islam merupakan konflik terbuka. Padahal persetruan tersebut bukanlah perseteruan mendasar, akan tetapi hanya cabang-cabangnya (furu’iyah) saja. Makanya, ketika aspek teologis dan ritual tersebut dihina dan dilecehkan serta lebih jauh akan dihilangkan dan diganti dengan ideolog komunisme, maka mereka serentak bahu membahu melakukan perlawanan. Makanya, secara langsung PKI berhadapan dengan kekuatan umat Islam yang telah menjadi satu tersebut.
Ketiga, kesalahan dalam mempersepsikan mengenai kekuatannya sendiri. Mereka mengira bahwa kekuatan PKI yang didukung oleh elemen angkatan Laut, Udara dan Darat serta Kepolisian, termasuk sebagian pasukan Cakrabirawa dapat digerakkan secara serentak untuk melakukan kudeta berdarah. Namun ternyata, bahwa kekuatan TNI tidak sebagaimana yang diduga yaitu terpecah belah sedemikian keras. Melalui Komando yang dilakukan oleh Letjen Soeharto dan dengan dukungan Jendral AH. Nasution, yang terlepas dari pembantaian, ternyata kekuatan TNI dapat dipersatukan kembali. Melalui pembunuhan terhadap para jenderal tersebut justru menumbuhkan semangat kebersamaan yang luar biasa. Makanya, dengan cepat Gerakan Kudeta G 30 S/PKI dapat dilumpuhkan di mana-mana.
Keempat, TNI dan Masyarakat Islam juga terjalin komunikasi dan aksi bersama untuk menggagalkan kudeta berdarah yang dilakukan oleh PKI. Di antara mereka memiliki kesamaan ideologi kebangsaan berbasis pada pengalaman menghadapi gerakan PKI semenjak awal Kemerdekaan hingga tahun 1948 dan juga tahun 1965. Kala dua kekuatan ini telah menyatu, maka tentu tidak mudah untuk melawannya. Melalui kemenyatuan kaum nasionalis dan agamis ini, maka kudeta PKI dapat digagalkan dan tokoh-tokohnya dapat ditangkap dan dihukum. Ketika para tokoh PKI sudah dilumpuhkan, maka masyarakat Indonesia yang paternalistik, tentu lalu berbalik arah tidak lagi mendukung PKI. Dalam arti tidak lagi dijumpai perlawanan yang keras. Jadi ketika sudah tidak ada lagi tokoh panutan yang menggerakkan perlawanan, maka usai sudah perlawanan mereka. Mereka kehilangan patron.
Sejarah PKI bagi bangsa Indonesia sudah jelas merupakan sejarah kelam. Tidak ada yang perlu untuk ditutup-tutupi. Mereka telah melakukan makar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), serta melakukan pengkhianatan terhadap Pancasila dan UUD 1945.
Makanya, meskipun ada upaya sebagian kecil Orang Indonesia (O dengan huruf besar) yang ingin membalik peristiwa sejarah tersebut dengan melakukan pembelaan terhadap PKI dalam level Internasional melalui HAM, maka masyarakat Indonesia sudah memahaminya.
Oleh karenanya jangan terpancing dengan ulah-ulah semacam ini. Mari kita jaga kewaspadaan di dalam menghadapi terhadap gerakan-gerakan New Communism yang pelan tetapi pasti sudah terdapat di negara kita.
Wallahu a’lam bi al shawab.