PKI DALAM INGATAN KITA (2)
PKI DALAM INGATAN KITA (2)
Orde Reformasi memberikan keleluasaan terhadap semua elemen masyarakat untuk mengekspresikan kebebasannya. Reformasi memberikan peluang bagi HAM untuk mengekspresikandirinya secara total dan tuntas. Saya menjadi ingat pada Karel Steenbrink yang menyatakan bahwa demokratisasi dan keterbukaan adalah surga bagi munculnya agama-agama lokal. Tidak hanya agama lokal, akan tetapi juga munculnya fundamentalisme dan radikalisme agama-agama.
Sebagaimana diketahui bahwa dengan semangat reformasi, maka semua ekspressi lalu bermunculan. Tidak pernah kita bayangkan bagaimana anak-anak muda bisa mengekspresikan dirinya dengan lambang-lambang “palu arit” sebagai simbol PKI. Dan kita juga tidak membayangkan bagaimana penggiat HAM melaporkan pemerintah Indonesia di Mahkamah HAM Internasional karena dianggapnya telah melakukan genosida terhadap para korban PKI.
Sungguh ini merupakan peristiwa-peristiwa yang luar biasa bagi saya selaku warga Negara Indonesia yang sekurang-kurangnya tetap beranggapan bahwa PKI pernah melakukan kudeta gagal di Indonesia. Sebagai bagian dari bangsa yang besar, Republik Indonesia, saya tentu tidak memahami apa yang ada dibalik pikiran penggiat HAM dengan segala tindakannya ini. Saya yang memang tidak menjadi bagian dari penggiat HAM tentu saja saya tidak memahami apa dan bagaimana latar belakang pemikiran di antara mereka. Saya hanya menebak-nebak dari luar dengan logika yang saya bangun sendiri.
Namun demikian, hanya melihat PKI sebagai korban tanpa melihat perspektif lain yang juga menjadi korban rasanya juga kurang adil. Bukankah tindakan PKI sudah sangat jelas di dalam buku-buku sejarah. Bukan buku sejarah yang dihasilkan oleh pemerintah, akan tetapi buku-buku yang merupakan hasil rekaman pengalaman para pelaku. Semuanya memberikan gambaran tentang bagaimana tingkah polah PKI di dalam masa-masa krisis pemerintahan Republik Indonesia. Bisa dibayangkan bahwa pada saat krisis menegaskan kemerdekaan Indonesia itu, tokoh-tokoh PKI selalu melakukan tindakan yang mementingkan kelompok dan partai politiknya.
Saya menjadi tercenung juga kala di dalam acara Indonesian Lawyer Club (ILC), dengan gagahnya para penggiat HAM ini menyatakan bahwa dengan melaporkan ke Mahkamah HAM Internasional, maka akan dapat diketahui bahwa pemerintah Indonesia melakukan kesalahan di dalam gerakan genosida terhadap PKI tahun 1965. Laporan itu dikuatkan dengan penelitian-penelitian yang menurut mereka valid tentang kekejaman pihak tertentu pada tahun 1965. Makanya, baginya pemerintah di dalam konteks ini, Presiden, tidak hanya cukup minta maaf, akan tetapi harus ada rekonsiliasi dengan empat tahapan, yaitu menyatakan bahwa pemerintah mengakui bersalah, pemerintah meminta maaf, pemerintah memberikan kompensasi atas penderitaan fisik dan psikhis bagi PKI dan barulah rekonsiliasi dilakukan.
Yang tentu tidak dipahami adalah bagaimana dengan kekejaman PKI terhadap sebagian warga masyarakat Indonesia, seperti: Angkatan Bersenjata, para pejabat, para ulama, santri dan masyarakat yang anti komunisme. Apakah tindakan PKI melawan pemerintah yang sah itu bukan tindakan makar terhadap pemerintah dan pembantaian yang dilakukann juga bukan kekerasan dan kejahatan yang luar biasa.
Inilah ketidakpahaman saya terhadap gerakan penggiat HAM untuk melaporkan pemerintah Indonesia dalam forum internasional di dalam pembelaannya terhadap PKI. Pertanyaan saya adalah mengapa para pnggiat HAM ini begitu total di dalam membela terhadap PKI yang bagi bangsa Indonesia sudah dianggap sebagai musuh bersama? Tentu terhadap pertanyaan ini, saya tidak akan memperoleh jawaban, sebab mereka tentu tidak wajib menjawab dan tidak ada otoritas saya untuk memaksa mereka menjawabnya.
Sebagai bangsa yang besar tentu kita tidak ragu terhadap pilihan untuk memilih sebagai negara yang berketuhanan, yang berperikemanusiaan, yang berpersatuan, yang demokratis dan yang berkeadilan, sebagaimana tercantum di dalam Pancasila. Kita juga tidak ragu memilih sebagai NKRI, dan menjadikan UUD 1945 sebagai dasar negara dan berbinneka tunggal ika sebagai konsensus nasional.
Maka, PKI dengan atheisnya tentu tidak mendapatkan tempat di negara kita yang Berketuhanan Yang Maha Esa. Pilihan ini merupakan pilihan cerdas para founding fathers negeri ini, yang begitu menyadari bahwa bangsa kita yang religious juga harus memiliki dasar negara yang berketuhanan dimaksud. Oleh karena itu, segala bentuk pertentangan terhadap Ketuhanan akan menjadi common enemy masyarakat Indonesia yang religious.
Bagi saya kepentingan nasional adalah segala-galanya. Oleh karena itu, saya menghormati terhadap pilihan masyarakat Indonesia yang terus menolak kehadiran PKI dalam baju apapun. Pengalaman sejarah yang pahit harus menjadi kaca benggala bagi bangsa ini untuk terus mewaspadai terhadap ancaman yang datang dari manapun, terutama yang akan menggantikan konsensus kebangsaan dengan konsensus lainnya.
Jadi pilihan untuk mempertahankan konsensus kebangsaan sebagai tema peringatan Hari Kesaktian Pancasila, 1 Oktober 2015 perlu untuk direnungkan maknanya bagi kita semua. Jas Merah, jangan pernah melupakan sejarah. Ungkapan bijak Presiden Soekarno tentu perlu kita renungkan.
Wallahu a’lam bi al shawab.